Page

Total Tayangan Halaman

Kamis, 05 Januari 2012

Kata Pengantar.
Dengan rahmat tuhan yang maha esa telah selesainya makalah tentang alat music calung ini. Semoga dengan adanya makalah ini dapat memotivasi masyarakat untuk mengenal kembali alat-alat music tradisional terutama calung ini. Penulis membuat makalah ini semata-mata untuk melestarikan seni dan kebudayaan tradisional terutama alat-alat music daerah di kalangan yang serba modern ini.
Ada pun kesalahan penulisan dalam makalah ini semata-mata saya dan masyarakat atau tentang fungsi dan arti kebudayaan tradisional.sekian yang saya ingin sampaikan
Walaikum salam.wr.wb

















JAKARTA, 5 JANUARI 2012

BAB  I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

di wilayah Jawa Barat dikenal satu pertunjukan seni yang menggunakan waditra calung jingjing sebagai media. Dahulu ada calung renteng, yaitu kesenian calung yang waditranya diikat ujung-ujungnya menggunakan tali, kemudian pada kedua isinya diikatkan pada sebuah rancak kayu.cara. Di tatar Sunda, khususnya yang berdiam di wilayah Jawa Barat tumbuh berbagai ragam bentuk seni calung.

Namun di zaman ini banyak penerus keturunan tatar sunda sudah tidak memperhatikan lagi akan banyaknya kesenian suku sunda, dan mereka cenderung lebih asik untuk mempelajari seni yang datangnya dari luar.

Dengan adanya penjelasan singkat tentang kacapi ini, diharapkan para anak-anak / keturunan sunda mengetahui sedikit-banyaknya tentang kesenian Calung yang berada di wilayah sunda.













B. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah, sebagai berikut :

1. Untuk memenuhi salah tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Bahasa Sunda.

2. Untuk mengetahui lebih jelas tentang seni Calung.

3. Untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan penulis.



C. Metode Penulisan

Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode Studi Kepustakaan yaitu mengumpulkan sumber-sumber dari buku dan naskah yang berhubungan dengan permasalahan menganalisis dan mengambil pokok masalah yang akan dijadikan data dan bahan dalam penyusunan makalah ini.












D. Sistematika Pembahasan

Untuk memperlancar dalam penyusunan makalah ini, penulis membuat sistematika yaitu,
sebagai berikut :
KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Tujuan Penulisan

C. Metode Penulisan

D. Sistematika Pembahasan

BAB II SENI CALUNG

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran








BAB II

SENI CALUNG

Calung yang dikenal di wilayah Jawa Barat adalah seni pertunjukan yang menggunakan waditra calung jingjing sebagai media. Dahulu ada calung renteng, yaitu kesenian calung yang waditranya diikat ujung-ujungnya menggunakan tali, kemudian pada kedua isinya diikatkan pada sebuah rancak kayu.cara menabuh calung renteng seperti halnya menabuh waditra pada kesenian arumba. Sayang kesenian calung renteng tidak dapat bertahan, sehubungan dengan berkurangnya penggemar dan tidak ada regenerasi penabuhnya.
Sebelum terjadi pembaharuan, artinya sebelum meniru contoh waditra calung yang berkembang di Bandung. Calung yang digunakan di wilayah Jawa Barat adalah calung konvensional sebagaimana Eutik Muchtar (pencipta calung dari Bandung) membuatnya, yaitu terdiri atas calung kingking, calung panempas, calung jongrong, dan calung gonggong. Calung kingking berperan sebagai melodi lagu, calung panempas berperan memberikan balunganing gending terhadap melodi, calung jongrong berperan sebagai kenongan dan calung gonggong berperan memberikan suara gong pada akhir melodi.

Sesuai dengan kebutuhan lagu yang semakin dinamis dan variatif, calung jongrong dan calung gonggong kini jarang digunakan. Pertunjukan calung sekarang menggunakan dua buah calung kingking dan dua buah calung panempas dengan laras yang sama. Perkembangan calung demikian membutuhkan keterampilan menabuh yang semakin kompleks pada para pemainnya. Sebagai pelengkap pertunjukan ditambah dengan seorang pemain kosrek yang biasanya sekaligus berperan sebagai bodor atau lawak. Kelengkapan permainan calung lainnya adalah gendang dan gong. Kini secara kreatif seniman calung menambahkan waditra lain, seperti rebab, kecapi, biola, dan bahkan alat musik elektone, dan gitar.
Pertunjukan calung tidak mengutamakan lagu sebagai sajian utama. karena kemudian lawaklah yang lebih mendominasi suasana. Lagu hanya sesekali saja disajikan, bahkan hanya berperan sebagai pengantar kepada suasana bodoran. Oleh karena itu, bisa jadi dari lima pemain calung, tiga di antaranya adalah mereka yang memiliki kemampuan melawak. Sedangkan dua lainnya (biasanya penabuh kingking) berperan sebagai dalang, yang diharapkan mampu menjaga suasana agar lawakan tidak ngelantur terlalu jauh dan mampu menawarkan suasana.

Kesenian calung di Majalengka dikenal sejak tahun1960-an, dan mulai berkembang pesat ketika Edi Jubaedi, pengasuh kesenian Pabrik Gula Kadipaten, pada tahun 1970-an membentuk kesenian calung yang para pemainnya adalah Abah Duleh, Abah Bontot, Mang Sawo, (alm), Mang Dompet dan Mang Pentil. Dari kelompok inilah kemudian tumbuh kelompok-kelompok lain seperti Mustika Budaya di Cigasong, Tandang Midang di Munjul, Jedag di Gandu, Putra Beger di Karayunan, Putra Mekar di Leuwiseeng, Rinenggasari di Argapura, Binara di Cijurey Panyingkira, dan Gentra Pasundan di Darmalarang.
Selain berkembang di masyarakat, calung juga berkembang di sekolah-sekolah, baik di SD, SLTP, maupun di SLTA. Calung di lingkungan sekolah biasa ditampilkan pada acara kenaikan kelas.


Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan purwarupa dari Angklung. Alat musik ini sama-sama terbuat dari bambu. Namun berbeda dengan Angklung, Calung di mainkan dengan cara di pukul, sedang Angklung memainkannya dengan cara di goyangkan. Dalam perkembanganya, saat ini calung lebih mengarah kepada calung dangdut (caldut) lagu maupun musiknya ditambah drum, gitar, keybord dan memakai tata lampu untuk menambah ramai pertunjukannya. Kini telah banyak bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Ria Buana, Layung sari dan Glamor dan masih banyak lagi. Seperti halnya Angklung, Calung juga banyak di jual untuk kebutuhan oleh-oleh para wisatawan. Mungkin Calung bisa di Jadikan oleh-oleh souvenir untuk anda, sekaligus anda belajar melestarikan kebudayaan Indonesia.
Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan memukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.
Calung Rantay
Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak "dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.
Calung Jinjing
Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek dan solorok.



Perkembangan
Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal secara umum yaitu calung jinjing. Calung jinjing adalah jenis alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di daerah Sindang Heula - Brebes, Jawa tengah, dan bisa jadi merupakan pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun di Jawa Barat, bentuk kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen Kesenian Dewan Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung ini melalui kreativitasnya pada tahun 1961. Menurut salah seorang perintisnya, Ekik Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan. Kemudian pada tahun 1963 bentuk permainan dan tabuh calung lebih dikembangkan lagi oleh kawan-kawan dari Studiklub Teater Bandung (STB; Koswara Sumaamijaya dkk), dan antara tahun 1964 - 1965 calung lebih dimasyarakatkan lagi oleh kawan-kawan di UNPAD sebagai seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan informasi (penyuluhan (Oman Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, dan kawan-kawan), dan grup calung SMAN 4 Bandung (Abdurohman dkk). Selanjutnya bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Layung Sari, Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain, hingga dewasa ini bermunculan nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso.
Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga banyak bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan Hendarso.




1. Calung Gambang

Yang disebut Calung Gambang adalah sebuah calung yang dideretkan diikat dengan tali
tanpa menggunakan ancak/standar. Cara memainkannya sebagai berikut: kedua ujung tali
diikatkan pada sebuah pohon/tiang sedangkan kedua tali pangkalnya diikatkan pada
pinggang si penabuh. Motif pukulan mirip memukul gambang.

2. Calung Gamelan

Calung Gamelan adalah jenis calung yang telah tergabung membentuk ansamble. Sebutan
lain dari calung ini adalah Salentrong (di Sumedang), alatnya terdiri dari:

1. Dua perangkat calung gambang masing-masing 16 batang

2. Jengglong calung terdiri dari 6 batang

3. Sebuah gong bamboo yang biasa disebut gong bumbung

4. Calung Ketuk dan Calung Kenong terdiri dari 6 batang

5. Kendang

Lagu-lagunya antara lain Cindung Cina (Cik indung menta Caina), Kembang Lepang, Ilo ilo
Gondang.
Calung Panepas
jumlahnya lima potong untuk lima nada (1 Oktaf) nadanya merupakan sambungan nada terendah calung kingking dan dari lima nada tersebut ada yang yang dibagi dua ada yang digorok ( disatukan jongjong seperti halnya panepas yang berbeda hanya nadanya yang lebih rendah dari panepas ) nada panepas bentuknya selalu tinggi dibagi dua yaitu 3 potong untuk nada berturut-turut dari yang tinggi , dua potong untuk dua nada lanjutan

Calung Gonggong
 merupakan calung yang paling besar jumlahnya hanya  dua bumbung yang disatukan keduanya dalam nada rendah diantara keseluruhan calung . Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal adalah calung jinjing.

Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Pengemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan.

CALUNG BANYUMASAN
by Dodo on 11:34 AM, 09-Dec-11
1. Asal usul Musik Calung Banyumas Musik bongkel yang selama ini disebut-sebut sebagai cikal-bakal Angklung dan Calung Banyumas. Anggapan ini cukup beralasan, sebab antara keduanya sebagian besar mengacu pada bongkel. Hal ini terlihat jelas pada bentuk fisik instrumen, bahan baku, proses pembuatan, sistem pelarasan, struktur komposisi, dan teknik permainan dari beberapa instrumen. Bongkel adalah salah satu bentuk musik rakyat yang terdapat di desa Gerduren, Banyumas (Jawa Tengah) . Musik ini didukung oleh sebuah instrumen perkusi sejenis Angklung Bambu berlaras slendro. Dalam satu bingkai terdapat empat tabung nada berbeda. Cara memainkannya dengan cara digoyang dan digetarkan menggunakan kedua tangan, serta diikuti tutupan jari-jari tertentu untuk menentukan nada. Karakteristik permainan bongkel terletak pada jalinan ritmis antara keempat tabung nada. Dalam perkembangannya bentuk jalinan- jalinan ini mengilhami lahirnya alat musik tradisional yang sejenis yaitu Angklung, Krumpyung dan Calung. Bongkel pada awalnya berfungsi sebagai musik hiburan petani ketika berada di ladang. Namun, dalam perkembangannya kini fungsi musik tersebut bergeser menjadi musik jalanan (ngamen) dan musik ronda (jaga malam). Secara musikal, bongkel memiliki teknik permainan tinggi, unik, khas, dan tidak ada duanya baik di Banyumas, maupun di daerah Indonesia. Berdasarkan analisis fisik, musikalitas, dan fungsi dapat diketahui bahwa bongkel termasuk musik bambu tertua di Banyumas. Setelah melalui proses perjalanan panjang, genre musik ini diduga mendapat pengaruh gamelan kemagan dan ringgeng yakni perangkat gamelan kecil yang biasa digunakan untuk mengiringi Lengger dan Ebeg. Dari bongkel berkembanglah menjadi Buncis, kemudian dari buncis berkembang menjadi Krumpyung, dan dari krumpyung menjadi Calung. Calung merupakan musik tradisional dengan perangkat mirip gamelan yang terbuat dari bambu wulung. Musik calung hidup di komunitas masyarakat pedesaan di wilayah sebaran budaya Banyumas. Menurut masyarakat setempat, kata “calung” merupakan jarwo dhosok (dua kata yang digabung menjadi kata bentukan baru) yang berarti carang pring wulung (pucuk bambu wulung) atau dicacah melung-melung (dipukul bersuara nyaring). Spesifikasi musik calung adalah bentuk musik minimal, yaitu dengan perangkat yang sederhana (minimal) namun mampu menghasilkan aransemen musikal yang lengkap. Perangkat musik calung terdiri atas gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong dan kendhang. Perangkat musik ini berlaras slendro dengan nada-nada 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma) dan 6 (nem). Hingga sekarang calung masih berkembang di hampir seluruh wilayah budaya Banyumas.
2. Fungsi dan Peran Calung merupakan seperangkat alat musik tradisional yang terdapat di dalam suatu budaya masyarakat Banyumas yang lebih disebut dengan nama Gamelan Calung. Calung ini mempunyai sistem pelarasan yang relatif sama dengan pelarasan gamelan yang ada di wilayah Indonesia seperti Yogyakarta, Surakarta, dan Sunda. Alat musik ini terbuat dari potongan bambu yang diletakkan secara melintang dan dimainkan dengan cara dipukul. Calung biasa difungsikan sebagai alat musik dalam seni pertunjukkan seperti Lengger (seni tari) dan Ebeg (kuda lumping khas Banyumas). Pada era tahun 1970-an kehidupan calung sangat popular. Disamping berperan penting dalam kehidupan seni pertunjukan masyarakat Banyumas, Calung juga memiliki satu bentuk spirit musikal yang sangat kuat sebagai daya ungkap seniman Banyumas. Kesenian Lengger Calung ini pun semakin berkembang dan mampu menempatkan posisinya sebagai seni pertunjukkan terdepan dari sederetan jenis pertunjukkan seni lainnya yang terdapat di Banyumas. Hal ini didukung dengan difungsikannya kesenian Lengger Calung sebagai kebutuhan sosial seperti acara hajat pernikahan, khitanan, tindik, dan keperluan ritual lainnya seperti syukuran (nadhar), sedekah bumi, dan sedekah laut.
 3. Perkembangan Kesenian Calung Seiring dengan perkembangan zaman, sikap dan selera masyarakat yang selalu berubah, maka sifat kesenian Calung ini tidak bisa mengelak dari kondisi tersebut. Perubahan kesenian Calung tampak sebagai gejala adanya faktor zaman yaitu bentuk dan penggarapannya. Perubahan penggarapan yang terjadi pada sajian gendhing- gendhing Banyumasan gamelan Calung telah tergeser oleh arus perkembangan zaman yang berorientasi pada selera pasar. Peristiwa tersebut menuntut adanya perubahan-perubahan penggarapan secara musikal maupun bentuk sajiannya. Semenjak awal tahun 1990-an, terlihat bahwa pertunjukkan Lengger tidak lagi didominasi oleh sajian gendhing-gendhing Banyumasan dengan Gamelan Calung melainkan lebih mengedepankan lagu-lagu pop (dangdut). Masuknya alat musik seperti gitar, keybord, seruling, drum, dan kendang dangdut ke dalam Lengger Calung merupakan awal bergesernya eksistensi musik Calung dan merosotnya kualitas penggarapan musiknya. Calung pun sudah tidak dianggap lagi sebagai medium ungkap yang cerdas melainkan telah diperlakukan sebagai barang mati yang tidak berarti apa-apa.
Calung Sebagai Simbol Budaya Lokal Masyarakat Banyumas
Calung atau sering juga disebut dengan istilah gamelan Calung adalah nama dari seperangkat alat musik tradisional yang ada di sebaran budaya masyarakat Banyumas. Gamelan Calung yang ada di daerah Banyumas memiliki sistem pelarasan yang relatif sama dengan sistem pelarasan gamelan yang ada di wilayah-wilayah sekitarnya seperti Jogjakarta, Surakarta dan Sunda, yakni sistem pentatonik slendro.
lazim difungsikan sebagai alat musik seni pertunjukan seperti lengger dan ebeg. Pada masa kejayaan seni pertunjukan lengger sekitar tahun 19970-an, kehidupan gamelan Calung sangat populer. Di samping gamelan Calung sangat berperan penting dalam kehidupan seni pertunjukan masyarakat Banyumas. Disamping kedudukan gamelan Calung memiliki peran penting sebagai pendukung sebuah sajian pertunjukan kesenian rakyat seperti Lengger dan Ebeg, ia juga memiliki satu bentuk kekuatan spirit musikal yang sangat kuat di dalam refleksinya sebagai daya ungkap seniman Banyumas, karena terdapat satu spesifikasi gaya yang khas dan unik jika dibandingkan dengan jenis kesenian manapun.
Melalui proses perjalanan yang cukup panjang kesenian lengger-calung telah mampu menempatkan posisinya yang terdepan dari sederetan jenis seni pertunjukan yang ada di karesidenan Banyumas. Hal yang mendukung eksistensi kehidupan kesenian lengger-calung bagi masyarakat Banyumas adalah, sering difungsikannya sebagai kebutuhan-kebutuhan sosial seperti kegiatan punya hajat pernikahan, sunatan, tindik dan keperluan ritual seperti syukuran (nadar), sedekah bumi dan sedekah laut.
Melihat betapa kompleksnya fungsi dan peran Calung pada kehidupan masyarakat Banyumas, maka beban profesi seniman Lengger Calungpun menjadi sangat berat. Apalagi jika harus mempertahankan eksistensinya yang berorientasi pada kejayaan di masa lalu. Seiring dengan perkembangan zaman, sikap dan selera masyarkat yang selalu berubah, maka sifat kesenian Lengger Calungpun tidak bisa mengelak dari kondisi tersebut. Perubahan Lengger Calung yang tampak sebagai gejala adanya faktor zaman adalah bentuk dan garap.

Perubahan garap calung apabila dilihat secara historis dalam konteks budayanya telah berjalan seiring dengan kondisi zamannya. Arah perubahan garap yang kurang ditangani secara serius dan profesional dalam konteks budayanaya, akan berakibat fatal bagi kehidupan kesenian Calung dan akan berdampak negatif terhadap kehidupanya di masa yang akan datang. Pekerjaan seniman memang cukup berat, apalagi jika kemampuan untuk meng-garap yang dimilikinya tidak lagi sebanding dengan tuntutan zamannya, karena garap adalah bagian yang paling penting sebagai sistem ungkap seniman terhadap nilai-nilai estetik yang bersinggungan dengan nilai budayanya yang semakin dinamis.
Kerangka kehidupan kesenian yang dinamis tersebut mempunyai konsekuensi dan jelas merupakan faktor perubahan secara konseptual maupun ujud penerapannya. Perubahan garap yang terjadi pada sajian gending-gending Banyumasan gamelan Calung telah tergeser oleh arus perkembangan jaman yang berorentasi pada selera pasar. Peristiwa yang terjadi setiap kurun waktu tertentu menjadikan perubahan-perubahan garap secara musikal maupun bentuk sajiannya. Sangat disayangkan ketika perubahan garap yang terjadi pada sajian gending-gending tradisi Banyumasan dalam pertunjukan lengger mengarah pada bentuk pertunjukan yang bersifat dangkal dan Verbal. Hal ini sudah tidak bisa dipungkiri lagi semenjak awal tahun 1990-an, terlihat bahwa pertunjukan lengger tidak lagi didominasi oleh sajian gending-gending tradisi Banyumasan dengan gamelan Calung, melainkan lebih mengedepankan sajian lagu-lagu “pop” (dangdut) yang bernuansa kekinian. Masuknya alat musik seperti gitar, seruling, keybort, drum dan kendang dangdut ke dalam sajian lengger-calung yang telah terjadi semenjak awal tahun 1990-an, adalah awal bergesrnya eksistensi musik calung yang mengarah pada kemerosotan kualitas garap. Pernyataan ini adalah fenomena riil yang dilihat penyusun saat melakukan observasi di empat kabupaten yang ada di Karesidenan Bamyumas pada awal tahun 1990-an.
Menurut Kasbi (seniman/pimpinan lengger) desa Nusajati, Cilacap berendapat bahwa; sajian lagu-lagu “pop” (musik campursari) adalah suatu sajian yang dirasakan sebagai faktor mendangkalnya garap gamelan Calung, karena Calung sudah tidak lagi dianggap sebagai medium ungkap yang cerdas, melainkan telah diperlakukan sebagai barang mati seperti balung ( tulang). Dalam kenyataannya calung hanya memberi isian bunyi yang sebenarnya tidak berarti apa-apa. Dalam sajian lagu-lagu campusari Calung hanya difungsikan sebagai instrumen balungan, karena garap yang disajikan hanya berupa tekhnik-tekhnik mbalung (Wawancara: 29 Desember 2000).






CALUNG BANYUMAS
1. Asal usul Musik Calung Banyumas
Musik bongkel yang selama ini disebut-sebut sebagai cikal-bakal Angklung
dan Calung Banyumas. Anggapan ini cukup beralasan, sebab antara keduanya sebagian besar mengacu pada bongkel.  Hal ini terlihat jelas pada bentuk fisik instrumen, bahan baku, proses pembuatan, sistem pelarasan, struktur komposisi, dan teknik permainan dari beberapa instrumen.

Bongkel adalah salah satu bentuk musik rakyat yang terdapat di desa
Gerduren, Banyumas (Jawa Tengah). Musik ini didukung oleh sebuah instrumen perkusi sejenis Angklung Bambu berlaras slendro.

Dalam satu bingkai terdapat empat tabung nada berbeda. Cara memainkannya dengan cara digoyang dan digetarkan menggunakan kedua tangan, serta diikuti tutupan
jari-jari tertentu untuk menentukan nada. Karakteristik permainan bongkel
terletak pada jalinan ritmis antara keempat tabung nada. Dalam perkembangannya bentuk jalinan-jalinan ini mengilhami lahirnya alat musik tradisional yang sejenis yaitu Angklung, Krumpyung dan Calung.

Bongkel pada awalnya berfungsi sebagai musik hiburan petani ketika berada
di ladang.  Namun, dalam perkembangannya kini fungsi musik tersebut bergeser menjadi musik jalanan (ngamen) dan musik ronda (jaga malam). Secara musikal, bongkel memiliki teknik permainan tinggi, unik, khas, dan tidak ada duanya baik di Banyumas, maupun di daerah Indonesia.
Berdasarkan analisis fisik, musikalitas, dan fungsi dapat diketahui bahwa bongkel termasuk musik bambu tertua di Banyumas. Setelah melalui proses perjalanan panjang, genre musik ini diduga mendapat pengaruh gamelan kemagan dan ringgeng yakni perangkat gamelan kecil yang biasa digunakan untuk mengiringi Lengger dan Ebeg.

Dari bongkel berkembanglah menjadi Buncis, kemudian dari buncis berkembang menjadi Krumpyung, dan dari krumpyung menjadi Calung.

Calung merupakan musik tradisional dengan perangkat mirip gamelan yang terbuat dari bambu wulung. Musik calung hidup di komunitas masyarakat pedesaan di wilayah sebaran budaya Banyumas. Menurut masyarakat setempat, kata “calung” merupakan jarwo dhosok (dua kata yang digabung menjadi kata bentukan baru) yang berarti carang pring wulung (pucuk bambu wulung) atau dicacah melung-melung (dipukul bersuara nyaring). Spesifikasi musik calung adalah bentuk musik minimal, yaitu dengan perangkat yang sederhana (minimal) namun mampu menghasilkan aransemen musikal yang lengkap.

Perangkat musik calung terdiri atas gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong dan kendhang. Perangkat musik ini berlaras slendro dengan nada-nada 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma) dan 6 (nem). Hingga sekarang calung masih berkembang di hampir seluruh wilayah budaya Banyumas.

2. Fungsi dan Peran

Calung merupakan seperangkat alat musik tradisional yang terdapat di dalam suatu budaya masyarakat Banyumas yang lebih disebut dengan nama Gamelan Calung. Calung ini mempunyai sistem pelarasan yang relatif sama dengan pelarasan gamelan yang ada di wilayah Indonesia seperti Yogyakarta, Surakarta, dan Sunda. Alat musik ini terbuat dari potongan bambu yang diletakkan secara melintang dan dimainkan dengan cara dipukul.

Calung biasa difungsikan sebagai alat musik dalam seni pertunjukkan seperti Lengger (seni tari) dan Ebeg (kuda lumping khas Banyumas).


Pada era tahun 1970-an kehidupan calung sangat popular. Disamping berperan penting dalam kehidupan seni pertunjukan masyarakat Banyumas, Calung juga memiliki satu bentuk spirit musikal yang sangat kuat  sebagai daya ungkap seniman Banyumas.


Kesenian Lengger Calung ini pun semakin berkembang dan mampu menempatkan posisinya sebagai seni pertunjukkan terdepan dari sederetan jenis pertunjukkan seni lainnya yang terdapat di Banyumas.

Hal ini didukung dengan difungsikannya kesenian Lengger Calung sebagai kebutuhan sosial seperti acara hajat pernikahan, khitanan, tindik, dan keperluan ritual lainnya seperti syukuran (nadhar), sedekah bumi, dan sedekah laut.

3. Perkembangan Kesenian Calung

Seiring dengan perkembangan zaman, sikap dan selera masyarakat yang selalu berubah, maka sifat kesenian Calung ini tidak bisa mengelak dari kondisi tersebut. Perubahan kesenian Calung tampak sebagai gejala adanya faktor zaman yaitu bentuk dan penggarapannya.

Perubahan penggarapan yang terjadi pada sajian gendhing-gendhing Banyumasan gamelan Calung telah tergeser oleh arus perkembangan zaman yang berorientasi pada selera pasar. Peristiwa tersebut menuntut adanya perubahan-perubahan penggarapan secara musikal maupun bentuk sajiannya. Semenjak awal tahun 1990-an, terlihat bahwa pertunjukkan Lengger tidak lagi didominasi oleh sajian gendhing-gendhing Banyumasan dengan Gamelan Calung melainkan lebih mengedepankan lagu-lagu pop (dangdut).

Masuknya alat musik seperti gitar, keybord, seruling, drum, dan kendang dangdut ke dalam Lengger Calung merupakan awal bergesernya eksistensi musik Calung dan merosotnya kualitas penggarapan musiknya. Calung pun sudah tidak dianggap lagi sebagai medium ungkap yang cerdas melainkan telah diperlakukan sebagai barang mati yang tidak berarti apa-apa.





4. Isi Kandungan Musik Calung

Didalam musik Calung terkandung nilai-nilai kehidupan masyarakat Banyumas diantaranya :
1. Semua yang terjadi didalam sajian musik calung merupakan semacam luapan emosi dari alam pikir dan alam rasa masyarakat Banyumas yang tidak dapat diungkapkan di dalam pergaulan sosial.
2. Didalam sajian calung juga tertuang sikap-sikap kritis masyarakat Banyumas tentang falsafah hidup, tentang penderitaan, alam lingkungan, tentang kebahagiaan dan atau tentang segala sesuatu yang bersifat utopia.
3. Banyak gendhing yang disajikan pada pertunjukan calung yang menggambarkan negeri impian, kebahagiaan ideal atau perasaan kesejatian yang hanya dapat diperoleh didalam impian. Sebagai contoh gendhing Gunungsari dan Eling-eling. Kata ‘gunungsari’ berasal dari kata ‘gunung’ dan ‘sari’ (bunga) yang berarti kebahagiaan puncak setinggi gunung.
4. Sajian calung juga menuangkan ajaran dan atau ajakan untuk berbuat kebaikan, pernyataan sikap, larangan terhadap perbuatan menyimpang, kritik, sindiran atau bahkan sarkasme terhadap kejadian-kejadian umum sehari-hari di lingkungan pergaulan sosial. Kritik, sindiran atau sarkasme ini umumnya dilakukan melalui teks-teks syair (cakepan) yang diucapkan oleh sindhen atau senggak. Teks syair itu umumnya berbentuk parikan atau wangsalan yang disajikan dengan alur lagu tertentu sesuai dengan sajian gendhing yang sedang berlangsung.
5. Melalui aktivitas musik calung, masyarakat Banyumas malakukan penuangan nilai-nilai ideal tentang hidup, sekalipun hal itu tidak selamanya berlangsung dalam realita kehidupan sosial. Penuangan nilai-nilai ideal itu dilakukan melalui proses pembayangan dan penjadian bentuk.





BAB III

P E N U T U P

A. Kesimpulan

Calung yang dikenal di wilayah Jawa Barat adalah seni pertunjukan yang menggunakan waditra calung jingjing sebagai media. Sebelum terjadi pembaharuan, artinya sebelum meniru contoh waditra calung yang berkembang di Bandung. Calung yang digunakan di wilayah Jawa Barat adalah calung konvensional.

Sesuai dengan kebutuhan lagu yang semakin dinamis dan variatif, calung jongrong dan calung gonggong kini jarang digunakan. Pertunjukan calung sekarang menggunakan dua buah calung kingking dan dua buah calung panempas dengan laras yang sama.
Pertunjukan calung tidak mengutamakan lagu sebagai sajian utama. karena kemudian lawaklah yang lebih mendominasi suasana. Lagu hanya sesekali saja disajikan.

B. Saran-saran

Berdasarkan pada pembahasan di atas, penulis memberikan saran, sebagai berikut :

1. Kebudayaan Sunda merupakan salah satu kebudayaan di Indonesia yang harus kita ketahui.
2. Kebudayaan Sunda harus kita jaga dan dilestarikan.






DAFTAR PUSTAKA

Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Majalengka. 2005. Profil Kesenian Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2005
Diposkan oleh BISNIS ON LINE

http://panginyongan.blogspot.com/2008/12/seri-kesenian-lokal-banyumas-calung.html
http://punklung.wordpress.com/
http://groups.yahoo.com/group/banyumas/message/55264
http://www.google.com

Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar