Page

Total Tayangan Halaman

Kamis, 25 April 2013

Personal Fable


Personal Fable
Diajukan untuk memenuhi mata kuliah
Tumbuh Kembang Anak



Disusun oleh :
Adam Azano Satrio ( 0906522861 )
Diana Utami ( 1006776510 )
Ima Nur Fajriani ( 0906493275 )
Isnaeni Nurrohmah ( 1106015964 )
Metha Bhalkis Irianti ( 1106020762 )
Renita ( 1106021632 )
Umi Rofingah ( 1106005654 )



Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
Depok, 2013
Bab I
Pendahuluan
  1. Latar belakang
…………
  1. Rumusan masalah
Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan, maka beberapa masalah yang dapat penulis rumuskan dan akan dibahas dalam makalah ini adalah:
  1. Apa saja penjelasan mengenai personal fable menurut para ahli?
  2. Faktor apa sajakah yang menyebabkan personal fable terjadi ?
  3. Bagaimana ciri – ciri dari personal fable?
  4. Bagaimana dampak negatif dari personal fable terhadap kehidupan remaja ?
  5. Apa saja treatment yang dapat dilakukan ?

  1. Tujuan
Penulisan makalah ini dilakukan untuk memenuhi tujuan-tujuan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Secara terperinci tujuan dari penelitian dan penulisan makalah ini adalah:
  1. Mengetahui secara jelas dan pasti penjelasan mengenai personal fable
  2. Mengetahui faktor yang menyebabkan personal fable terjadi.
  3. Mengetahui ciri – ciri dari personal fable.
  4. Mengetahui pengaruh negatif pada remaja terkait personal fable.
  5. Mengetahui treatment yang dapat dilakukan.





Bab II
Landasan Teori
I. Definisi Remaja :

Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan perubahan sosial. Di sebagian besar masyarakat dan budaya masa remaja pada umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Notoatdmojo, 2007). Menurut Soetjiningsih (2004) Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak yang dimulai saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu masa menjelang dewasa muda.
II. Konsep Perkembangan Remaja :

        Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2011).
        Perkembangan dalam kehidupan manusia terjadi pada aspek-aspek yang berbeda. Ada tiga aspek perkembangan yang dikemukakan (Hurlock, 1990; Papalia dan Olds, 2001), yaitu : (1) perkembangan fisik, (2) perkembangan kognitif, dan (3) perkembangan kepribadian dan sosial.
(1) Perkembangan Fisik, yaitu perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris, dan keterampilan motorik (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001). Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah kematangan. Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif (Hurlock, 1990; Papalia dan Olds, 2001).
(2) Perkembangan Kognitif. Menurut Piaget (Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, dimana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide tersebut. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru.
        Pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap formal operation (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001).
        Tahap formal operation adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap formal operation remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2001). Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang.
Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis. Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001).
        Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme. Egosentrime disini adalah “ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain”.
(3)  Perkembangan kepribadian dan sosial, yaitu perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik, sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001). Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri.
Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok temen sebaya dibanding orang tua. Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstrakurikuler, dan bermain dengan teman. Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walauoun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya.
III. Egosentrisme Remaja :
        Santrock (2007: 122) mengemukakan bahwa egosentrisme remaja menggambarkan mengenai meningkatnya kesadaran diri remaja yang terwujud pada keyakinan mereka bahwa orang lain memiliki perhatian amat besar, sebesar perhatian mereka terhadap diri mereka, dan terhadap perasaan akan keunikan pribadi mereka. Egosentrisme juga dipandang sebagai ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain (Papalia, 2001: 429). Menurut Dolcini (1989) & Elkind (1978), beberapa ahli perkembangan yakin bahwa egosentrisme dapat menerangkan beberapa perilaku remaja yang nampaknya ceroboh, meliputi penggunaan obat-obatan, pemikiran bunuh diri, dan lain-lain. David Elkind (Papalia, 2009; Santrock, 2007; Bee, 2006; Seifert, 1991) membagi egosentrisme remaja ke dalam dua, yaitu :
1. Imaginary Audience
Imaginary Audience menggambarkan peningkatan kesadaran remaja yang tampil pada keyakinan mereka bahwa orang lain memiliki perhatian yang amat besar terhadap diri mereka sendiri, gejalanya mencakup berbagai perilaku untuk mendapatkan perhatian (keinginan agar kehadirannya diperhatikan, disadari oleh orang lain, dan menjadi pusat perhatian) (Santrock, 2007: 122). Menurut Elkind (1980, 1984), remaja juga menyatakan kesadaran akan imaginary audience melalui strategi interaksi dengan teman sebaya yang tujuannya adalah untuk menyatakan atau menyembunyikan informasi pribadi.
2. Personal Fable
Beberapa ahli berpendapat bahwa egosentrisme tidak sepenuhnya merupakan gejala kognitif, melainkan disebabkan dua hal, yaitu adanya kemampuan berpikir hipotesis (operasional formal) dan kemampuan untuk keluar dari diri sendiri dan membayangkan reaksi orang lain dalam situasi imaginatif (pengambilalihan pandangan) (Santrock, 2007 : 123). Sedangkan menurut Lapsley (1993) & O’Connor (1995) teori pandangan baru (new look theory) berpendapat bahwa imaginary audience dan personal fable bukan didasari oleh fase operasi formal Piaget, melainkan didasari perkembangan sosio-emosian (Bee, 2006: 306).



Bab III
Isi

I. Definisi personal fable
Hurlock (Papalia & Olds, 2001) mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal dengan istilah personal fable. Personal Fable adalah “suatu cerita yang kita katakan pada diri kita sendiri mengenai diri kita sendiri, tetapi cerita itu tidaklah benar”. Kata fabel berarti cerita rekaan yang tidak berdasarkan fakta, biasanya dengan tokoh-tokoh hewan. Personal fable biasanya berisi keyakinan bahwa diri seseorang adalah unik dan memiliki karakteristik khusus yang hebat, yang diyakini benar adanya tanpa menyadari sudut pandang orang lain dan fakta sebenarnya.
Hurlock (1990, dalam Papalia dan Olds, 2001) menjelaskan “personal fable” sebagai berikut : “Personal fable adalah keyakinan remaja bahwa diri mereka unik dan tidak terpengaruh oleh hukum alam”. Belief egosentrik ini mendorong perilaku merusak diri self-destructive oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara magis terlindung dari bahaya. Misalnya seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya tidak mungkin hamil karena perilaku seksual yang dilakukannya atau seorang remaja pria berpikir bahwa ia tidak akan sampai meninggal dunia di jalan raya saat mengendarai mobil atau remaja yang mencoba-coba obat terlarang berpikir bahwa ia tidak akan mengalami kecanduan. Remaja biasanya menganggap bahwa hal-hal itu hanya terjadi pada orang lain bukan pada dirinya.
Personal Fable menurut Elkind adalah bagian dari egosentrisme remaja berkenaan dengan perasaan keunikan pribadi yang dimilkinya dan tidak ada yang menyamai pemikiran atau perasaan seperti yang mereka rasakan. Menurut Elkind, personal fable adalah bentuk egosentris yang khususnya lebih mengarah ke perilaku beresiko dan self-destructive (Papalia, 2001: 429). Fable menggambarkan kegagalan remaja dalam menyadari bagaimana frekuensi orang lain merasakan seperti mereka, keterbatasan empati yang mereka miliki atau kemampuan untuk memahami secara tepat pemikiran dan perasaan abstrak orang lain kemudian membandingkannya dengan pikiran dan perasaan mereka (Seifert, 1991 : 558).
Salah satu penelitian mengenai personal fable yang dilakukan Millstein menyimpulkan bahwa remaja lebih cenderung berpikir bahwa mereka tidak terlindung dari permasalahan alkohol dan obat-obatan terlarang daripada mahasiswa (Papalia, 2001: 429). Personal fable memunculkan adanya anggapan kalau dirinya mempunyai kebebalan terhadap hal-hal yang bersifat negatif dan cenderung merugikan. Bahwa segala peristiwa, kejadian atau pengalaman buruk mungkin terjadi pada orang lain, tetapi hal itu tidak mungkin terjadi pada dirinya.

II. Faktor Penyebab personal fable

Ada banyak faktor penyebab Personal Fable baik dari dalam diri remaja itu sendiri maupun dari faktor lingkungan dimana remaja tersebut tinggal. Sebenarnya Personal Fable tersebut adalah suatu hal kewajaran yang dialami oleh semua remaja, dimana memang terdapat egosentrisme dalam diri remaja yang mendorong akan Personal Fable tersebut. Akan tetapi, Menurut Elkind, Personal Fable merupakan bentuk egosentris yang lebih mengarah ke perilaku beresiko dan self-destructive (Papalia, 2001: 429). Sedangkan perilaku beresiko dan self-destructive tersebut memiliki banyak tingkatan dan bervariasi sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat penyebab-penyebab lain yang mendorong berkembangnya Personal Fable dalam diri remaja tersebut. Berikut beberapa penyebab Personal Fable dalam diri remaja:

1.      Adanya kemampuan imaginary audience yang dimiliki oleh remaja, yaitu semacam keyakinan bahwa dia mendapat perhatian yang besar dari orang lain. Dengan kemampuan inilah remaja ingin menghindari perilaku yang “salah” dimata orang lain, terutama teman-temannya. Sehingga membuat mereka berperilaku berlebihan agar diterima oleh teman-temannya baik cara perbicara, berpakaian, dan berperilaku. Apabila remaja berada di tempat yang “salah”, memiliki teman kelompok yang “nakal” maka ia cenderung berbuat sesuai dengan ideologi kelompoknya tersebut tanpa merasa bahwa ia akan mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya sendiri, misal narkoba.

2.      Self-esteem (Harga Diri).
Menurut Kristin Neff, harga diri dapat didefinisikan sebagai penilaian dan
perbandingan berasal dari evaluasi diri, selain itu juga mengevaluasi kinerja
pribadi dibandingkan dengan ketetapan standar, dan mengamati bagaimana orang
lain mengevaluasi dirinya untuk menentukan berapa banyak yang suka pada
dirinya. Sebagai contoh yaitu seorang remaja akan sangat merasa malu ketika banyak  rejawat di mukanya, dan merasa seakan dunia mau kiamat. Kemudian ia mencoba berbagai cara untuk menghilangkan jerawat tersebut, dari cara yang aman hingga cara yang berbahaya, yang akan merusak kulit muka remaja itu sendiri. Disinilah remaja merasa rendah diri, apabila terjadi depresi maka bisa saja berakibat fatal terhadap diri remaja itu sendiri.  

3.      Orang tua atau keluarga. Dimana memiliki pengaruh yang besar terhadap tumbuh kembang Personal Fable dalam diri remaja. Tidak sedikit orang tua yang melakukan kesalahan ketika mengasuh anak remajanya. Banyak orang tua yang tidak mengerti dengan gejolak dan perkembangan kognitif anak remajanya. Sebagai contoh yaitu orang tua tiba-tiba memarahi anaknya ketika didapatinya pulang larut malam tanpa mendengarkan penjelasan anaknya terlebih dahulu. Hal ini dapat menyebabkan remaja melakukan hal yang lebih beresiko lainnya karena ia merasa tidak memiliki orang yang melindungi dan mempercayainya di rumahnya sendiri.

4.      Faktor lingkungan. Seringkali remaja berada di lingkungan yang memiliki standar dan evaluasi yang salah mengenai tindakannya sehari-hari. Dimana remaja akan dianggap “hebat” ketika berani melakukan hal-hal yang beresiko yang justru akan membahayakan dirinya. Sebagai contoh yaitu tindakan seks bebas dikalangan remaja. Walaupun begitu remaja juga akan merasa bahwa dia tidak akan hamil dan sebagainya ketika ia melakukan hal-hal yang beresiko tersebut.

III. Ciri – ciri personal fable

Pada perkembangannya, seorang remaja yang mengalami personal fable adalah normal pada batasan tertentu. Tetapi, kepercayaan mereka (personal fable) memiliki konsekuensi yang serius. Berikut adalah ciri – ciri remaja sedang mengalami personal fable :
1.     Mereka percaya bahwa sesuatu keadaan yang buruk bisa saja terjadi pada setiap orang kecuali mereka. Oleh karena itu, mereka merasa bahwa mereka tidak dapat mendapat ancaman apapun dari pihak manapun.
2.     Mereka merasa bahwa diri mereka spesial sehingga tidak ada individu lain selain mereka yang dapat mengerti apa yang mereka kerjakan.
3.  Beberapa penelitian meneliti bahwa seorang remaja yang sedang mengalami personal fable lebih suka mengambil tantangan yang bisa saja membahayakan dirinya, contohnya seks bebas, penggunaan alkohol atau obat-obatan terlarang, dan hal-hal yang membahayakan fisik, seperti kebut-kebutan.
4.      Sebagian remaja percaya bahwa mereka lebih baik, lebih pintar dan lebih kuat daripada teman-temannya. Inilah yang juga menjadi salah satu alasan para remaja bertindak yang membahayakan karena mereka berpikir mereka dapat melakukan hal-hal  yang mereka lakukan tersebut dengan baik, lebih baik dari siapapun.
5.     Sebagian remaja yang justru merasa bahwa diri mereka lemah, bodoh, dan rendah dibanding teman-temannya. Sehinga, para remaja yang merasa demikian terpuruk dalam kesedihan, frustasi, dan merasa sendiri. Jika hal ini terus berlanjut, maka reaja tersebut bisa saja mengalami depresi sehingga memicu mereka melakukan hal-hal negatif seperti mengkonsumsi narkoba, melakukan seks bebas, bahkan bunuh diri.
6.     Remaja berpikir bahwa perasaan mereka adalah unik sehingga tidak ada seorangpun yang dapat merasakan apa yang sedang mereka rasakan. Empati yang diberikan orang kepada mereka juga sulit mereka percaya. Misalnya ketika orang tuanya berkata, “Kami tau apa yang kamu rasakan.” Para remaja justru akan merespon dengan, “Kalian salah. Kalian gak pernah merasakan apa yang sedang saya rasakan.”

IV. Dampak negatif personal fable

“Personal fable dan keputusan pengambilan resiko”
Berdasarkan atas keyakinan tersebut maka adolescene dianggap memiliki permasalahan dalam personal fable tentang permasalahan mempersepsi resiko. Keyakinan bahwa dalam diri adolescene memiliki kehebatan yang luar biasa, menyebabkan pengambilan keputusan yang sering kali tidak memikirkan resiko jangka panjangnya. Resiko ini menyangkut kebiasaan yang berhubungan dalam kehidupan masa depan seperti kesehatan, (seperti kebiasaan merokok, kebiasaan meminum minuman berakohol, sex sembarangan ,dsb) dan mental ( mengendarai kendaraan tanpa ijin ataupun secara ugal ugalan). Semua hal tersebut berhubungan dengan faktor potensial yang terdapat dalam personal fable, yaitu omnipotence, uniqueness, dan invulnerability.
Faktor potensi personal fable :
Ada 3 subtipe dari personal fable, yaitu :
1.      Omnipotence   :                    Berhubungan dengan kepercayaaan secara individu lebih hebat dibandingkan yang lainnya.
2.      Uniqueness   :                    Berhubungan dengan kepercayaan bahwa dirinya selalu mendapat pengalaman baru yang unik bagi dirinya dan orang lain tidak akan bisa merasakannya.
3.      Invulnerability :                   Berhubungan dengan kepercayaan bahwa dirinya, selalu akan terhindar dari permasalahan tidak seperti orang lain.
Ketiga tipe tersebut diyakini sebagai hal yang mempengaruhi perkembangan kognitif para adolescence dalam mempersepsi resiko.
Faktor omnipotence memperlihatkan alasan mengapa para adolescence lebih optimis dalam kehidupannya karena berhubungan dengan keberhargaan diri dan keinginan untuk lebih maju, selain itu faktor ini juga berfungsi sebagai mekanisme koping dari stress yang dialami oleh adolescence.
Faktor uniqueness memperlihatkan alasan mengapa para adolescence lebih rentan terhadap stress dalam kehidupannya, karena ada anggapan bahwa permasalahan dirinya adalah unik bagi dirinya sendiri dan tidak ada orang lain yang mengetahui permasalahannya. Karena faktor inilah tiap adolescence akan merasakan banyak kebaruan (novelty) dalam kehidupannya dan menjadi senang untuk mencari pengalaman yang baru dan unik. Namun hal ini pula penyebab adolescence rentan terhadap stress yang berkorelasi dengan peningkatan tingkat bunuh diri pada adolescence.
Penelitian mengatakan bahwa faktor terakhir yaitu invulnerability adalah penyebab utama kenapa para adolescence selalu melakukan kesalahan dalam melakukan keputusan karena menganggap bahwa dirinya tidak mungkin mendapatkan dan melakukan kesalahan yang sama seperti orang lain. faktor inilah yang selalu diyakini memiliki dampak terburuk dalam pengambilan keputusan yang dilakukan adolescence. Keyakinan tersebutlah yang menyebabkan banyak adolescence yang lebih berani melakukan hal yang beresiko dalam kehidupan jangka panjangnya, terutama pada kesehatan.
Dapat disimpulkan bahwa, walaupun para adolescence telah mempersepsi suatu resiko yang akan terjadi atas diri mereka sendiri, baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang, kecendrungan dari mereka tetap tidak memasukan resiko tersebut sebagai bahan pertimbangan ketika memilih suatu keputusan, dikarenakan kemampuan kognitif mereka dalam pengambilan keputusan sering terganggu dengan personal fable.
V. Dampak negatif personal fable secara gender
Faktor potensial yang terdapat dalam personal fable, yaitu omnipotence, uniqueness, dan invulnerability. Berdasarkan teori dan hubungannya dengan personal fable dan kaitannya dengan pengambilan tindakan resiko, para peneiti membuat pengukuran personal fable. Greene (2000), Hudson dan Gray (1986), Lapsley (1989), dan Melton (1988) memperoleh data laporan pribadi yang memberikan kesimpulan tentang kekuatan egosentrisme dan perilaku pengambilan resiko pada remaja. Hasil menunjukkan bahwa tingginya personal fable merupakan komponen penting dalam menjelaskan perilaku pengambilan resiko. Khususnya, dimensi invulnerability (kekebalan) personal fable berhubungan erat dengan pola perilaku pengambilan resiko. Pada studi yang dilakukan Greene dan Colleagues (1995, 1996), personal fable secara khusus merupakan prediksi tindakan remaja menuju perilaku yang beresiko.
Faktor jenis kelamin berpengaruh pada personal fable dan tindakan yang beresiko. Menurut Greene (1996) serta Hudson and Gray (1986), menyatakan bahwa remaja laki-laki cenderung lebih mudah melakukan tindakan yang beresiko dibandingkan dengan remaja perempuan, yakni pada omnipotence dan invulnerability. Elkins (2005) juga menemukan bahwa rata-rata skor penelitian personal fable pada remaja laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Elkind menyatakan bahwa remaja memiliki semacam perasaan invulnerability, yakni keyakinan bahwa diri mereka tidak mungkin mengalami kejadian yang membahayakan diri. Dengan perasaan invulnerability, bisa dikatakan bahwa remaja memiliki andil besar dalam perilaku yang beresiko. Umumnya dikemukakan bahwa remaja biasanya dipandang memiliki keyakinan yang tidak realistis yaitu bahwa mereka dapat melakukan perilaku yang dianggap berbahaya tanpa kemungkinan mengalami bahaya itu. Remaja laki-laki cenderung lebih omnipotence (remaja merasa bahwa ia memiliki kontrol penuh, memiliki kekuasaan, dan mengetahui segalanya) dibandingkan perempuan. Laki-laki lebih narcisstic dibandingkan perempuan.
Pada studi lain Hudson dan Gray (1986), perempuan memiliki skor yang lebih tinggi pada pengukuran personal fable daripada teman laki-laki sebayanya, yakni pada dimensi uniqueness (mendapat pengalaman baru yang unik bagi dirinya dan orang lain tidak akan bisa merasakannya). Studi lain mengemukakan bahwa remaja perempuan lebih memperhatikan imaginary audience dibandingkan laki-laki.

VI. Treatment personal fable

Pada dasarnya personal fable adalah hal yang wajar terjadi pada remaja. Namun, apabila personal fable telah keluar dari jalur-jalur yang sewajarnya, diperlukan penanganan khusus untuk mengkontrol personal fable. Penanganan khusus tersebut melibatkan peran penting dari  orang tua.  Peran penting dari orang tua tersebut adalah sebagai penyambung atau konektor antara imajinasi remaja dengan dunia nyata. Dengan kata lain, menyambungkan personal fable remaja dengan konsekuensi dari sebuah tindakan. Dalam menyambungkan imajinasi remaja dengan dunia nyata orang tua dapat menggunakan sarana teman/rekan dari remaja  itu sendiri.  Sarana teman/rekan dari remaja berupa contoh-contoh pengalaman yang terjadi pada mereka. Sehingga seorang remaja mampu membaca konsekuensi dari tindakannya. Hal ini, lebih mudah membuka jalan pikiran remaja, bahwa sesuatu yang terjadi pada orang lain pasti bisa saja terjadi pada dirinya.
Orang tua juga diharapkan mampu berkomunikasi baik dengan remaja. Seperti yang kita ketahui, remaja sangat egosentris. Dalam berkomunikasi dengan remaja  tidak melakukan  cara yang bersifat menggurui, seperti ucapan “ Kamu harus berfikir”, “Kamu harus merasa”. Akan tetapi gunakan komunikasi yang tidak terkesan menggurui yaitu dengan mendekati remaja dan menggunakan kata-kata yang pas seperti “ Mama merasa”, “Mama pikir”. Ketika komunikasi telah lancar antara orang tua dengan remaja, maka orang tua diharapkan mampu memberi ruang remaja mengeksplorasi idenya dan membuat keputusan yang tepat bagi dirinya. Apabila cara-cara di atas  dilakukan orang tua bisa maksimal maka personal fable dapat selalu terkontrol dan  tetap pada jalannya.


Bab IV
Kesimpulan dan Saran

I. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan mengenai personal fable yang dikemukakan oleh beberapa ahli maka dapat disimpulkan bahwa personal fable merupakan keyakinan yang dimiliki oleh remaja tentang dirinya dan tentang dunia. Dimana remaja yakin bahwa diri mereka unik dibandingkan orang lain sehingga ia menganggap bahwa sesuatu hal yang terjadi terhadap orang lain tidak akan terjadi terhadap dirinya. Pemahaman ini juga menimbulkan keyakinan bahwa mereka terlindungi dari hal – hal yang membahayakan dan merugikan akan tetapi pemahaman ini justru menimbulkan perilaku yang cenderung merusak diri. Banyak penyebab dari personal fable ini baik dari faktor internal maupun faktor eksternal. Salah satu penyebab personal fable ini adalah kematangan mereka dalam berpikir belum sematang pemikiran orang dewasa sehingga seringkali keputusan - keputusan yang dipilih tidak melewati proses yang baik yang cenderung mengakibatkan dampak negatif baginya sendiri. Selain itu karena kemampuan otak mereka yang mengendalikan sistem peringatan bahaya belum terlalu berkembang serta tidak diseimbangkan dengan kemampuan otak mereka untuk meregulasi emosinya. Penyebab lainnya dapat pula dikarenakan remaja masih dalam tahap pencarian jati diri. Tanda – tanda remaja yang sedang berada pada tahap ini dapat dilihat dari beberapa hal, seperti adanya keyakinan bahwa mereka tidak akan mengalami peristiwa buruk yang terjadi pada orang lain, adanya perasaan bahwa dirinya special melebihi orang lain sehingga apa yang ia kerjakan tidak akan dapat dimengerti oleh orang lain, adanya kecenderungan untuk mencoba hal – hal memacu adrenalin yang dapat membahayakan dan merusak diri, adanya kepercayaan diri yang tinggi untuk melakukan sesuatu hal dengan lebih baik dibandingkan orang lain, adanya keyakinan bahwa perasaan mereka unik sehingga tidak ada orang lain yang dapat mengerti apa yang mereka rasakan.
Selain itu keyakinan ini seringkali menyebabkan remaja salah melakukan pengambilan keputusan dalam bertindak tanpa memikirkan dengan matang dampak serta resiko yang dapat terjadi di masa depan. Seperti melakukan free sex tanpa memikirkan resiko tertular penyakit AIDS, kehamilan di luar nikah, mencemarkan nama baik keluarga, serta dapat merusak masa depan dirinya sendiri. Faktor yang mempengaruhi remaja dalam mempersepsikan resiko dipengaruhi oleh 3 faktor potensi personal fable, yakni omnipotence, uniqueness, dan invulnerability. Berdasarkan dampak negatif yang terjadi berdasarkan gender, remaja laki – laki cenderung memiliki resiko untuk melakukan tindakan yang beresiko merusak diri lebih tinggi dibandingkan perempuan hal ini dikarenakan remaja laki-laki cenderung lebih omnipotence (merasa bahwa ia memiliki kontrol penuh, memiliki kekuasaan, dan mengetahui segalanya) dibandingkan perempuan.
Ketika remaja berada pada fase ini, orang tua berperan penting untuk membantu mereka melewati fase ini. Orang tua dapat sebagai penyambung antara imajinasi remaja dengan dunia nyata. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan contoh – contoh nyata yang dekat terjadi dalam kehidupan anak dengan menggunakan bahasa yang jauh dari kesan menggurui sehingga anak akan lebih mudah untuk memahaminya serta membangun komunikasi yang lancar dan baik antara kedua pihak.

II. Saran untuk orangtua
  • Melakukan pendekatan kepada anak
  • Mencoba untuk mengerti alasan anak melakukan sesuatu hal
  • Mengawasi kegiatan anak namun tidak mengekang anak
  • Menerapkan pola asuh authoritative
  • Jadilah teman curhat yang baik ketika anak menginjak fase remaja
  • Melakukan komunikasi yang baik dengan anak yang menginjak remaja
  • Gunakan bahasa yang mudah untuk dimengerti dan jauh dari kesan menggurui.
  • Jadilah orang tua teladan yang baik bagi anak sedari kecil serta tanamkan nilai - nilai agama serta moral dalam diri anak





















Daftar Pustaka

Aalsma, M. C., Lapsley, D. K., & Fanner, D. J. (2006). Personal Fables, Narcissism, and Adolescent Adjustment. Retrieved Maret 18, 2013, from http://www3.nd.edu/~dlapsle1/Lab/Articles%20&%20Chapters_files/Aalsma%20Laps%20Flannery%20Personal%20Fables%20Narcissism%20Adol%20Adjustment.pdf.
Aalsma, M. C., Lapsley, D. K., & Flannery, D. J. (2006). Psychology in the Schools. New York: Wiley Periodicals hlm 488

Alberts, Amy,  Elkind, D., & Ginsberg, S. (2006). The Personal Fable and Risk-Taking in EarlyAdolescence. Retrieved Maret 18, 2013, from http://homepages.wmich.edu/~rmckinn2/3500/Risk%20Taking%20in%20Adolescence.pdf.

Anonim. Retrieved Maret 30 2013, pukul 16.28, from http://suite101.com/article/the-personal-fable-of-adolescents-a111248
Beyth-Marom, R., Austin, L., Fischhoff, B., Palmgren, C., & Jacobs-Quadrel, M. (1993). Perceived consequences of risky behaviors: Adults and adolescents. Journal of Developmental Psychology, 29(3), 549-563

Elkind, D. (1967). Egocentrism in Adolescence. Child Development, 38, 1025-1034

Manley, & Reece, W. (2009). The Personal Fable of Adolescents. Retrieved March 31, 2013 , from http://www.selfgrowth.com/articles/the_personal_fable_of_adolescents


Neff, K. D., & Mcgehee, P. (2009). Self-compassion and Psychological Resilience Among Adolescents and Young Adults. Texas: University of Texas. pp. 225–240.
Oswalt, A. (2010). Jen Piaget’s Theory of Cognitive Development. Retrieved March 31, 2013, from http://www.mentalhelp.net/poc/view_doc.php?type=doc&id=41157&cn=1310

Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, R.D. (2001). Human development (8th ed). Boston: McGraw-Hill

Paul, D., Schwartz, A. M., Maynard, & Sarah, M. ( 2008). Adolescent egocentrism: a contemporary view. (Report): An article from: Adolescence Hlm 447.

Vartanian, & Rae, L. (2000). Revisiting the imaginary audience and personal fable constructs of adolescent egocentrism: A conceptual review. Adolescence. 35(140), 639-661.

Thill, R. (2013). Definition of Personal Fable. Retrieved March 31, 2013, from