Page

Total Tayangan Halaman

Selasa, 27 Desember 2011

Politik Estetika Jacques Rancière

Politik Estetika Jacques Rancière
Oleh Adam Azano Satrio, 0906522861
Rancière dilahirkan di Aljeria pada tahun 1940. Ia dikenal sebagai murid Althusser dan menulis bersama Althusser sebuah buku yang hingga kini sangat terkenal dan berpengaruh dalam pemikiran Marxist Reading Capital (1965). Namun demikian, setelah peristiwa Mei 1968, Rancière berpisah dengan gurunya, ia bahkan menerbitkan sebuah esai pada tahun 1969 yang melancarkan kritik keras terhadap pemikiran Althusser. Setelah berpisah dari Althusser, Rancière kemudian bergabung dengan semacam organisasi mahasiswa-pekerja berhaluan Maois yang membuat dia mondar-mandir antara universitas dan pabrik. Pada tahun 1975 ia membantu mendirikan sebuah Jurnal bernama Rèvoltes Logiques. Dalam periode antara akhir 70’an hingga awal 80’an ia menerbitkan karya-karya yang kemudian berpengaruh besar seperti The Night of Labor (1981) dan The Philosopher and His Poor (1983). Rancière mengajar di University of Paris VIII dari tahun 1969 hingga tahun 2000. Ia mengepalai Chairs of Aesthetic and Politics dari tahun 1990 hingga pensiun di Universitas itu.
Ia membagi filsafat politik dominan yang berkembang dalam sejarah filsafat di barat ke dalam tiga jenis yakni ‘archipolitics’, ‘metapolitics’ dan ‘parapolitics’. Ketiganya adalah dijelaskan Rancière sebagai berikut:
Pertama, Archipolitics adalah model filsafat politik yang dimulai oleh Plato. Di dalam Archipolitics ‘yang politis’ hancur karena di dalamnya tidak ada kesetaraan. Yang Politis tidak muncul karena setiap orang diposisikan pada sebuah tempat dan posisi yang ‘diharapkan’ ketimbang bergerak untuk mencapai kesetaraan.Archipolitics menyusun dan menata setiap orang dalam tembok yang rugid. Slavoj Zizek menafsirkan archipolitics Rancière dengan menyimpulkan karakter archipolitics sebagai: ruang sosial yang homogen dan terstruktur secara organis yang tidak memungkinkan munculnya ‘yang politis’.
kedua, parapolitics. Parapolitics mendapatkan pendasarannya dari Aristoteles yang dipandang sedikit lebih ‘demokratis’ ketimbang Plato. Di dalam parapolitics, politik dipandang sebagai persoalan estetika: politik adalah percakapan dan penampilan atau pemunculan dalam ruang publik. Di titik ini, parapolitics boleh dikatakan adalah bentuk dari depolitisasi politik karena konflik dalam politik diterima tetapi untuk dengan segera direformulasikan ke dalam bentuk-bentuk yang lebih lembek seperti kompetisi dalam, konsensus dan representatif. Dalam kepolitikan kontemporer semua bentuk-bentuk kepolitikan yang berbasis pada pandangan kontrak dan deliberasi (Rawls dan Habermas) merupakan kelanjutan dari parapolitics.
ketiga, metapolitics yang berakar dalam pikiran Marxis. Menurut Rancière, metapolitics pada dasarnya adalah bentuk pengingkaran terhadap ‘yang politis’ karena kebenaran akan politik sering ditempatkan atau dicari di tempat lain ‘di luar sana’, jauh melampaui politik. Kita mengetahui bahwa menurut Marxist seluruh relasi politik tidak lebih dari sekadar refleksi dari kepentingan dan relasi-relasi dalam mode produksi. Dengan itu politik bukanlah perkara utama, ia hanya merupakan etalase saja dari kepentingan relasi produksi dominan.
Rancière melakukan penelitian dengan tujuan membangun teori tandingan dalam filsafat politik. Dirinya meneliti bagaimana kehidupan para pekerja secara empiris. Dari penelitian itu ia menemukan bahwa kebanyakan pekerja tidak terlalu banyak mengeluhkan kesulitan hidup karena alasan-alasan materi tetapi lebih pada soal kualitas hidup yang rendah akibat ketatnya hirarkhi yang dibentuk oleh sosial. Dari penelitian ini lahirlah kesimpulannya yang terkenal:
Perhaps trully dangereous classes were not so much the uncivilized one thought to undermine society from below but rather the migrants who move at the borders between class –individuals and groups who developt capabilities of no direct use for the improvement of their material lives, and which might in fact make them despise material concern.
Menurut Rancière, kelas yang paling radikal bukanlah kelas yang menginginkan adanya perubahan yang mutlak dalam hirarki social, namun justru kelas yang berada dalam situasi atau posisi ‘migrasi’, kelas yang berada dalam wilayah perbatasan yakni mereka yang memiliki ideal yang melampaui batasan-batasan materialnya.
Apa yang dimaksud Rancière dengan migrasi? Migrasi adalah gerak setiap subyek untuk melampaui batasan-batasan seperti social maupun ekonomi dan kebudayaan yang menempatkannya pada posisi yang statis tertentu. Dari pandangan ini kita mendapatkan keterangan, bahwa percobaan untuk mengubah keadaan, tidak dapat dilakukan melalui penolakan karena situasi. Tembok dan hirarki sosial tidak dapat dilampaui dengan melewan suatu kebudayaan, melainkan harus dengan sebuah perlintasan kebudayaan. Praktik kegiatan kebudayaan yang dilakukan kelas pekerja untuk melintasi hirarki sosial.
Pertanyaan yang muncul di sini adalah, apa yang memungkinkan kelas pekerja itu melintasi dan mendobrak struktur atau hirarki sosialnya? Untuk menjawab pertanyaan ini kita akan tiba pada asumsi antropologis Rancière. Rancière mengatakan bahwa the proletarian of 1830’s were people seeking to constitutes themselves as speaking beings, as thinking being in their own right.
Dengan demikian asumsi dasar yang dipergunakannya untuk mengukuhkan kemampuan menggeser tembok yang dibangun Plato sungguh sangat sederhana, yaitu setiap orang mampu berfikir dan berbahasa! Pikiran mampu melelehkan segala regulasi dan menantang segala bentuk klasifikasi sosial. Berfikir berarti menghancurkan setiap modus distribusi kelas, tempat dan norma-norma. Berfikir mungkinkan terjadinya the disturbances of the speaker and disruption of the community.

Bagian yang paling unik dan krusial dalam pemikiran Rancière pada akhirnya adalah pada soal sejauh mana ‘yang politis’ sekaligus ‘yang estetis’. Untuk memahami ini petikan kesimpulan di bawah ini memberikan gambaran yang jelas mengenai kesatuan estetika dan yang politis:
A worker who had never learned how to write and yet tried to compose verses to suit the taste of his times was perhaps more of a danger to the prevailing ideological order than a worker who performed revolutionary songs.
Seorang anggota kelas pekerja yang belajar bagaimana menulis dan menyusun sebuah syair yang cocok untuk jamannya barangkali jauh lebih mengancam keutuhan tatanan ideologis ketimbang mereka yang menyanyikan lagu-lagu revlusioner? Apa maksudnya.? Untuk memahami ini kita kembali mesti memahami makna ‘yang politis’ dan migrasi dalam Rancière.
Apabila ‘yang politis’ adalah interupsi kepada tembok dan distribusi sensibilitas, maka jelas tujuan dari ‘yang politis’ yang pertama adalah perubahan pada posisi hirarki suatu tatanan, Dengan demikian di sini yang dipentingkan adalah ‘gerak’ atau migrasi dari status sosial (buruh atau borjuis misalnya) ke status sosial lainnya sambil menghancurkan tembok dan hirarki sosial dalam rezim sensibilitas itu.
Seorang buruh yang membaca dan menyusun sebuah syair, barangkali bukanlah pekerja dengan obsesi mengenai pembalikan struktur kapitalis, tetapi justru melalui kegiatan itu ia sebenarnya telah bergerak melintasi struktur dan ketetapan yang semula digariskan oleh standar ideologi kapitalis. Dengan demikian, dalam proses kegiatan estetik itu buruh menerobos ‘tatanana higienis’ yang diciptakan oleh sistem untuk menempatkan dia dalam posisinya. Dengan ini ia menghapuskan ‘kutukan Platonis’ awal bahwa ‘kelas pekerja’ hanya patut bekerja pada tempatnya, sementara urusan estetika dikerjakan oleh para bijak di singgasananya.
Di titik ini sebenarnya kita menemukan arus ganda dalam pandangan Rancière mengenai ‘yang politis’ sebagai ‘yang estetis’ yakni pertama, arus yang ditelusuri melalui jalur subyeknya (buruh yang menulis puisi) dan kedua, melalui keseniannya itu sendiri (puisinya). Sebagai contoh kita bisa membandingkan misalnya orang seperti Wiji Thukul sebagai subyeknya di satu sisi dan Syair Chairil Anwar di sisi yang lain.
Dalam sudut pandang Rancière, keduanya bisa disebut sebagai ‘revolusioner’. Seorang Wiji Thukul disebut revolusioner karena sebagai seorang buruh ia membaca filsafat dan karya sastra yang berada di luar ‘kelasnya’ bukan karena sikap politiknya yang anti kapitalis. Di sini aktivitas estetiknya melampaui kedudukan sosialnya dalam rezim tembok. Sikap politiknya tidak menggeser suatu rezim hirarkhi apapun, tetapi aktivitas estetiknya secara faktual dan langsung telah menerobos tembok dan hirarkhi yang dibangun oleh elitisme kebudayaan borjuis ataupun feodal di Indonesia. Di titik ini Thukul adalah seorang ‘migran’, ia beranjak dari situasi dan posisi kelas yang disediakan oleh tatanan kepadanya.

Di sisi yang lain, pada Chairil Anwar, aspek revolusionernya tidak terletak pada dirinya selaku subyek tapi pada karya-karyanya.
Aspek estetiknya mampu melintasi batasan dan tembok sosial. Puisi Chairil adalah estetika borjuis tetapi ditulis dengan bahasa sedemikian rupa hingga mampu diakses dan dihayati oleh beragam kelas sekaligus. Dengan kata lain, puisi Chairil disebut revolusioner karena ia memberikan kesempatan ‘migrasi’, ia menghapus tembok termasuk menghapus eksistensi pengarangnya sendiri. Persis sebagaimana ketika Flaubert menerbitkan Madame Bovary. Di sini Sastra semacam puisi Chairil dan Flaubert misalnya menghadirkan semacam kesempatan kesetaraan karena ia menghancurkan seluruh hirarkhi representasi sehingga dengan itu mereka mengukuhkan suatu komunitas pembaca sebagai komunitas yang tanpa embel-embel legitimasi, sebuah komunitas yang terbentuk semata-mata karena sirkulasi acak dari suatu tulisan. Di titik ini semua kesenian yang sedemikian rupa tampil dan berhasil menghancurkan rezim representasi ini memiliki kesamaan simteris dengan tujuan yang politis yakni kesetaraan. Dalam kesetaraan ini ‘yang estetis’ sekaligus ‘yang politis’.
Pada akhirnya, dari dua contoh ini kita kemudian bisa memahami apa yang dimaksud revolusi estetika di dalam Rancière. Revolusi Estetika adalah setiap guncangan pada seni yang telah didefinisikan sebagai sebuah kerangka tindakan yang sistematis, guncangan terhadap seluruh hirarkhi konsepsi dan sensibilitas.
In this sense, the aesthetic revolution is an extension to infinity of the realm language, of poetry. It is the affirmation that poems are everywhere, that painting are everywhere. So, it is also the development of a whole series of forms of perception which allow us to see the beautiful everywhere.

Senin, 26 Desember 2011

Karya Tersulit Lacan, Ecrits, The Function And Field Of Speech And Language In Psychoanalysis


The Function And Field Of Speech And Language In Psychoanalysis
Oleh Adam Azano Satrio, 0906522861
Narasi
Pengantar
            Jika kita mempelajari Lacan maka ada sebuah ajaran utama yang selalu akan kita pegang secara kuat, yaitu permasalahan simbol. Simbol bagi Lacan merupakan salah satu cara agar semua teorinya bisa menjadi satu. Dimana Lacan dalam tulisan ini ,the function and field of speech and language in psychoanalysis, membagi tulisannya menjadi sebuah pendahuluan dan tiga bab. Tulisannya ini berfokus pada permasalahan Speech dan Language dalam permasalahannya dalam psikoanalisa.
            Dalam pendahuluannya Lacan memulai dengan membagi permasalahan dalam suatu pengerjaan psikoanalisa menjadi tiga hal, yaitu bagaimana imaginasi itu bekerja dan disusun dalam kajian psikoanalisa dan kemudian diinterpretasi, lalu  konsep tentang libidinal object relation which, dengan cara menggabungkan hal yang baru tentang psikoanalisa dengan fenomenologi, dan yang terakhir adalah kemampuan seorang psikoanalisis tersebut untuk menganalisa. Dalam kajian psikoanalisa Lacan memperhatikan tentang bagaimana metode yang cocok untuk menganalisa psikologi manusia. Lalu Lacan menjelaskan bahwa teori yang dibuat oleh Freud harus dikembangkan karena teori tersebut telah usang dan harus diubah.

Empty Speech And Full Speech In The Psychoanalytic Realization Of The Subject
            Saat proses penyembuhan melalui metode psikoanalisa Lacan menunjukan bahwa hanya ada satu media antara sang pasien dengan psikoanlisis dalam berkomunikasi yaitu melalui patient Speech, tetapi speech tersebut tak hanya terbatas apa yang tersampaikan, dan terlempar, bahkan yang tidak tersampaikanpun merupakan suatu speech. Inilah yang dikatakan oleh Lacan sering terlupakan dan diabaikan oleh para psikoanalisis. Lacan mengatakan bahwa subject membutuhkan perantara dalam menyampaikansesuatu dan apakah yang menyebabkan dia bertindak dan berkelakuan sesuatu tersebut. Memang dalam Freud seseorang dikatakan memiliki suatu pandangan bahwa manusia merupakan rekonstruksi dari alam bawah sadar, yang dibentuk pada masa kanak - kanaknya, tetapi Lacan mengganti bahasa Freud menjadi manusia dibentuk melalui suatu simbol, dan diperlukan suatu komunikasi agar simbol tersampaikan.
            Lacan mengkritik model pemikiran psikoanalisa klasik yang mengatakan bahwa, hanya ada sang psikoanalisa yang bisa menginterpretasi “bahasa” yang dikeluarkan oleh sang pasien. Di sinilah sang psikoanalisi bergerak sebagai interpretator yang mengkonstruksi apakah masa lalu sang pasien serta berusaha melakukan suatu anamnesis, yang apabila hal tersebut sudah dirasakan, maka manusia tersebut dikatakan telah sehat, dan inilah salah satu kritiknya bagaimana mungkin masa lalu yang saya rasakan sendiri dan saya jalani, bisa dimaknai oleh orang lain? Maka lacan menjelaskan bahwa, seharusnya seorang psikoanalisis bisa membuat sang pasien mengingat apakah alam bawah sadar sang pasien, dan bukan dia yang membentuk apakah sebenarnya alam sadar sang pasien. Maka Lacan berusaha untuk mencoba menggunakan metode simbolik miliknya, dan setiap simbolik membutuhkan perantara, dan dalam kasus ini perantaranya merupakan speech, tetapi tidak hanya ucapan verbal saja, tetapi ucapan non-verbal merupakan suatu simbol, sehingga kita harus berusaha memahami, ataupun setidaknya menanyakan asal muasal simbol tersebut dalam speech tersebut. Permasalahan speech ini tidak hanya seperti ucapan yang bersifat logis saja, tetapi juga dengan bahasa simbolik, metafora, humor dan berbagai jenis lainnya.
            Karena hal tersebutlah ucapan sangatlah penting dalam psikoanalisa, sebab ucapan merupakan satu – satunya alat bantu memahami secara dua arah. Dimana pasien akan mampu mengetahui dirinya sendiri tentang apa desire milik dirinya sendiri.


Symbol And Language As Structure And Limit Of The Psychoanalytic Field
Selanjutnya Lacan ingin menunjukan bagaimana simbol dan bahasa merupakan batasan yang ada. Kita mengetahui bahwa simbol merupakan hal yang menjadi penting dalam psikoanalisa Lacan. Dia mempertanyakan apakah sistem simbol dan bahasa itu merupakan sistem yang serupa, seperti yang dikatakan oeh para - para positivisme logis? Yang hanya hal yang dapat diferivikasilah yang bisa disampaikan dan dibahas? Sebenarnya semua sistem dan bahasa itu bergerak dan mengontrol manusia melebihi sistem logika. Lacan menganalogikan dengan anjing yang selalu diikat dan jika dibunyikan bel, maka anjing itu diberikan makan, sehingga setelah beberapa lama anjing tersebut akan terbiasa bersiap - siap untuk makan jika dibunyikan suara bel. Seperti itulah simbol bekerja yang bahkan lebih menariknya lagi simbol tersebutlah yang menjadikan dan memberikan makna pada diri kita,
            Simbol jugalah yang membangun kerelasian antara manusia, seperti adanya kesamaan tetang keyakinan adanya reinkarnasi. Sehingga manusia pada akhirnya memakai nama ayahnya sebagai nama belakangnnya sehingga merasakan adanya sebuah relasi antara dirinya dan sang ayah, yang dalam fenomena ini dikatakan memiliki kesamaan dengan symptom Oedipus complex.
            Language yaitu bahasa memiliki kegunaannya sendiri dalam psikoanalisis, dan hal sering terjadi adalah permasalahan komunikasi bahasa. Bahasa dalam Lacan tidak hanya diartikan sebagai huruf - huruf yang  tersusun menjadi kata, tetapi segala hal yang dikeluarkan manusia, hingga ada suatu bahasa yang tidak bisa disusun dalam bentuk huruf dan kalimat yang dapat dimengerti secara harfiah namun dapat dipahami secara simbolik, seperti, oracles of anxiety, charm of impotence seal of self-punishment dan berbagai macam hal yang Freud katakana ini semua merupakan penderitaan yang muncul pada manusia beradab. Tapi dibutuhkan suatu landasan agar psikoanalisa yang terbatas ini memiliki sebuah landasan yang kuat dan saintifik.
            Semua fenomena menunjukan bahwa simbol dan bahasalah yang membatasi semua gerak - gerik psikoanalisa sehingga secara metodis psikoanalisa dapat menggunakan bantuan linguistik, dimana linguistik dapat membantu psikoanalisa dengan memahami dan mengkaji bagaimana struktur - struktur yang ada itu terbentuk.
The Resonance Of Interpretation And The Time Of The Subject In Psychoanalytic Technique
            Dalam teks ini, Lacan berusaha untuk menunjukan bagaimana proses interpretasi itu terjadi. Lacan menggunakan text Freud untuk memahami, bahwa imajinasi merupakan suatu alat bantu yang sangat penting untuk mendapatkan hasil interpretasi, dan imajinasi tersebut sangat erat dengan permasalahan subjektifitas.
            Keadaan subjek yang membangun dirinya dan berusaha untuk mengucapkan segala bentuk imajinasi akan dibahas oleh sang interpretator. Lacan dalam kasus ini mengatakan bahwa semua sumber objek yang terkatakan oleh sang subjek tetaplah merupakan makna simbolik yang harus dan mampu diinterpretasi. Sang subjek merupakan sumber utama dalam pemabahasan, pembahasan kita tentang subjek dapat dilanjutkan dengan pertanyaan tentang, bagaimana kita dapat memahami subjek secara seutuhnya jika dibatasi oleh simbol - simbol yang ada? Dikatakan jawabannya adalah dengan memahami kesejarahan sang subjek.
            Mengenai permasalahan kesejarahan dapat kita ketahui bahwa sejarah berkaitan erat dengan waktu. Maka Lacan menambah suatu fokus psikoanalisa dengan ketersadaran psikoanalisa tentang pentingnnya waktu, yang pada akhirnya bisa membongkar simbol - simbol yang berada di sekitar subjek yang membentuk dirinya. Ketersadaran psikoanalisa tentang waktu memang telah dimulai oleh freud, tetapi bagi lacan bukan hanya masa kecil, dimana masa anak - anak merupakan masa terpenting, tetapi dimulai saat hidup hingga subjek itu tidak bereksistensi dalam waktu.
Pada akhirnya karya tulis ini ditutup dengan kisah para Deva, sebuah perbincangan dengan Prajapatida, Manusia, dan Ashura,
dimana saat  Prajapati mengatakan “Da”, maka para Seva menjawab “Engkau telah mengatakan pada kita  : Damyata kuasai dirimu”, hal ini bermakna harus mengikuti peraturan kemampuan berbahasa.
lalu Prajapati kembali mengatakan “Da”, maka Manusia menjawab “Engkau telah mengatakan pada kita : Data, berikanlah”, hal ini berarti bahwa Manusia mengenal sesamanya dikarenakan ucapan.
Kemudian Prajapati kembali mengatakan “Da” kepada Asura, dan Asura menjawab, “Engkau telah mengatakan pada kita : Dayadhyam, untuk lebih menjadi penyayang”, hal ini berarti ada kekuatan terpendam yang sesungguhnya dalam ucapan namun harus ditekan.
Prajapati mengatakan untuk yang terakhir kali, “Da,Da,Da”, dan semuanya mengatakan bahwa, “Engkau semua telah mendengarkan aku.”

Komentar

Kita telah mengetahui semua bahwa Psikoanalisa dimulai oleh Freud, dimana psikoanalisa merupakan bidang ilmu yang mencoba membahas bagaimana psikologi manusia itu bekerja, dan berusaha menyembuhkan penyakit - penyakit kejiwaan dengan metode - metode miliknya. Namun ada anggapan bahwa psikoanalisa merupan suatu cabang ilmu non-sainstifik sebab secara konsep sains sendiri, kita dapat mengetahui bahwa sains membutuhkan objek yang objektif, dapat diukur, diulang dan diindrai, namun apakah psikologi manusia dapat masuk kedalam itu semua?
Kita dapat mengetahui, bahwa Lacan merupakan orang yang menghidupi kembali psikoanalisa dan berusaha membuat psikoanalisa lebih diterima oleh sains. Sebab psikoanalisa sendiri seringkali dikatakan sebagai pseudoscience dan sangat berbau mistik. Lacan berusaha untuk merubah pandangan tentang psikoanalisa tersebut, kita dapat mengetahui dalam teks ini pada bagian pertama dimana Lacan mengatakan bahwa dirinya memubutuhkan bantuan dari bidang ilmu lainnya. Seperti bidang lingustik. Tetapi Disini lacan berusaha untuk menjelaskan bahwa simbol, seperti bahasa merupakan struktur kaku yang sistemik, dan mau tidak mau psikoanalisa membuat kerjasama dengan bidang ilmu tersebut.
Pada bab pertama kita bisa mengetahui betapa pentingnya kemampuan berkomunikasi (speech) bagi ilmu psikoanalisa, sebab speech merupakan satu satunya media yang mampu menyambungkan maksud antara sang pasien dan sang psikoanalisis. Dikatakan bahwa speech tersebut tidak hanya terbatas pada kemampuan verbal saja yang terlontar dari sang subject, namun juga dengan apa yang tak terkomunikasikan, maka diperlukan psikoanalisa untuk menganalisis lebih dalam tak hanya dengan yang dapat kita tangkap secara gamblang tetapi juga dengan apa yang tak terkomunikasikan tersebut, sehingga pasien dapat mengetahui apakah desire miliknya tersebut.
Pada bab kedua dijelaskan bahwa psikoanalisa memiliki batasan yaitu simbol dan bahasa. Dimana simbol itu bekerja kepada tiap subjek, seperti seekor anjing yang terbiasa datang menunggu makanan pada jam tertentu. Sistem dan logika dari simbol tersebut mengatur bagaimana manusia harus bertindak agar bisa diterima oleh sekitarnnya. Salah satu kegunaan simbol yang paling terlihat ada pada nama belakang dimana simbol tersebut membuat kita merasa ada hubungan dengan leluhur kita, sehingga kita menyimpan nama tersebut. Selain itu dikatakan bahwa diri kita memang terkontrol oleh simbol - simbol dan bahasa - bahasa terseebut.
Pada bab terakhir dijelaskan tentang bagaimana suatu interpretasi itu terjadi dalam suatu analisa psikoanalisis dan mementingkan tentang waktu. Mengapa interpretasi analisis itu merupakan hal yang dilihat dari sudut pandang waktu? Kita harus mencoba kembali kemasa lalu diman psikoanalisa bersifat kaku dan hanya memiliki doktin Freudian  yang utama, yaitu masa balita dimana manusia itu dibentuk oleh lingkungannya. Lacan melihat hal tersbut masih kurang lengkap. Dikarenakan Lacan melihat bahwa symbol bergerak dan mempengaruhi tak hanya sebatas masa balita, bahkan sampai sang subjek tersebut meninggal. Waktu merupakan hal yang mempengaruhi bagaimana simbol itu terbentuk, sebab setiap manusia memiliki temporality tersendiri dan unik.
Apa saja yang dapat kita pertanyakan ataupun kritisi dari teks ini? Hal yang paling umum kita bahas adalah, jika kita mengakui bahwa diri kita terkontrol oleh simbol - simbol tersebut kita juga telah mengakui bahwa diri kita seperti sebuah alat mekanik. Teori Lacan yang memfokuskan diri tentang subject yang membutuhkan suatu komunikasi dengan bahasa dan suatu simbol tertentu, yang secara tak langsung akan membawa kita kedalam permasalahan strukturalisme, dimana simbol tersebut bekerja dan mengontrol diri kita, dan jika kita berusaha melawan simbol tersebut, maka kita mau tidak mau akan menjadi sebuah anomali yang mengganggu,
Marilah kita berpindah sejenak dengan eksistensialisme, ajaran filsafat dimana eksistensi merupakan suatu tugas manusia dan membuat manusia itu bisa berbeda dengan Being lainnya. Kenapa saya ingin membawa eksistensialime dalam pembacaan teks saya terhadap lacan? Kita akan menyadari Lacan berpendapat bahwa, semua hal yang kita ketahui merupakan simbol, dan kita dikontrol olehnya, sehingga pilihan juga seharusnya merupakan hal yang telah terkontrol oleh simbol tersebut. Maka jika seorang manusia melakukan pilihan maka belum tentu pilihan tersebut merupakan pilihan otentik dirinya sendiri, sebab bisa saja pilihan tersebut merupakan hasrat The Other. Teori milik Lacan ini merupkan suatu pemotongan eksistensi manusia yang otentik, dimana symbol tersebut akan mengebiri semua keberadaan dan kebebasan eksistensi manusia, dimulai dari hal hal simbolik dari bahasa, sosial, metafora, hingga simbol yang lebih nyata seperti negara dan hukum.
Kesimpulan
Kita dapat mengetahui dalam teks ini bahwa psikoanalisa Lacan merupakan suatu psikoanalisa kritis, dimana Lacan berusaha untuk membaca Freud tanpa menggunakan narasi besar milik Freud. Sehingga dirinya bisa mengembangkan psikoanalisa Lacan menjadi lebih jauh dan lebih kompleks. Tidak seperti Freud yang hanya berhenti pada penelitian rekonsturksi sejarah subjek pada 0 – 5 tahun, dan berusaha membongkarnya. Maka Lacan mengembangkan persoalan tersebut menjadi hal lainnya dimana yang merepresi bukan hanya ada pada 0-5 tahun tetapi sampai sang subjek itu tidak ada. Disini kita dapat melihat, bahwa bahasa dan simbol merupakan kunci utama dalam teori Lacan, dan itulah yang kita hadapi sebagai subjek. Selain itu pada bagian komentar penulis berusaha menarik suatu pertanyaan yang sangat berat bagi kehidupan manusia, yaitu permasalahan eksistensi, dan akan mempertanyakan apakah ada eksistensi bagi manusia? Kita akan menyadari bahwa dalam teks tersebut simbol mengebiri kebebasan eksistensi kita. Maka pada akhirnya saya mengatakan bahwa teks ini saya artikan sebagai usahanya untuk mengembalikan dengan cara menghancurkan dan menyusun kembali psikoanalisa.

Sabtu, 24 Desember 2011

Apakah Itu Deep Ecology?

UAS ETIKA LINGKUNGAN
Apakah Itu Deep Ecology?
Oleh, Adam Azano Satrio, 0906522861



Arnie Naaes adalah seorang filsuf Norwegia, yang pada tahun 2007 memberikan gagasan tentang suatu gerakan lingkungan, yang kemudian ia namakan dengan Deep Ecology. Deep Ecology sendiri berarti kesadaran mendalam dalam mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah kesatuan dalam arti luas.Benih benih pemahaman Deep Ecology sendiri sebenarnnya mulai muncul dari faham Spinoza tentang pantaeismenya, dimana kita harus menyadari bahwa kita berelasi dengan alam semesta sebab kita merupakan bagian dari dunia itu sendiri.

Deep ecology itu sendiri didasari oleh dua doktrin utama:

Doktrin pertama adalah adanya sebuah pengetahuan tentang dan berasal dari relasi secara menyeluruh dari berbagai sistem kehidupan di dunia, dan mereka secara yakin beranggapan bahwa ajaran tentang antroposentrisme merupakan ajaran yang benar - benar salah serta pencipta kerusakan pada alam ini. Walaupun kita mengetahui bahwa manusia adalah sesuatu yang unik serta dipilih oleh Tuhan, para ekosentris masih bersifat integral dengan sistem kehidupan, dimana mereka percaya bahwa manusia harus mengurangi dominasi dan mengambil posisi non-agresif pada bumi jika kita dan planet ingin terus bertahan.

            Doktrin kedua dari deep ecology adalah apa yang Arnie Naes sebut sebagai kebutuhan penyadaran diri manusia. Meskipun di sini kita masih  mengidentifikasi pohon, binatang, dan tamanan dengan ego manusia, yang terpenting adalah terciptanya whole ecosphere. Ini akan melibatkan perubahan radikal kesadaran dan membuat perilaku kita lebih konsisten dengan pengetahuan yang menceritakan kita akan kebutuhan untuk menjadi Being yang baik dalam kehidupan dunia. Jadi intinya kita tidak boleh melakukan hal-hal yang merusak planet, seperti kita tidak ingin memotong jari-jari kita, sebab kita sebagai manusia harus menyadari bahwa kita terkoneksi dengan berbagai Being di semesta ini.

Deep Ecology menolak pemikiran manusia modern terhadap lingkungan, karena mereka menggunakan konsep universal, bahwa konsep manusia pada umumnya adalah seperti laki-laki  putih bangsa eropa. Manusia modern mempercayai hanya ada satu jenis landasan kebenaran yaitu rasionalitas ilmiah analitik yang hanya dimiliki oleh manusia. Deep Ecology mengkritik bahwa patokan Being bukan semata- mata karena memiliki rasional yang menjadi fondasi absolut untuk klaim ilmiah dan politik. Semua hal yang dikritik oleh Deep Ecology terhadap manusia modern disebabkan ditonjolkan sisi ego mereka tanpa memperdulikan lingkungan sekitar mereka. Mereka terlalu sombong mengatakan mereka pusat kehidupan.

Banyak penganut ekofeminisme mendukung deep ecology. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa yang menjadi masalah bukan sekedar antroposentrisme tetapi androsentrisme, yaitu yang berpusat pada laki-laki. Menurut mereka laki-laki harus bertanggung jawab karena hampir 10.000 tahun hidup berkuasa secara patriaki dengan menghancurkan bio sphere dan mengembangkan praktek otoritarial tak hanya kepada sosial tetapi juga lingkungan. Para penganut Deep ecology menyetujui bahwa paradigm patriarkilah yang harus bertanggungjawab terhadap eksploitasi terhadap wanita dan alam semesta. Tetapi yang dituntut oleh ecofeminisme adalah penghapusan penindasan bagi kaum perempuan dan menyerukan relasi sosial egalitarian. Deep ecology memandang bahwa solusi menyingkirkan patriarki tidak akan efektif mengatasi permasalahan, karena landasan berfikir tersebut tetap memiliki kecacatan yaitu, bisa dibayangkan sebuah masyrakat dengan relasi sosial egalitarian yang adil tetapi tetap menjadikan alam sebagai instrumental dan terus dieksploitasi.

            Deep Ecology pun tak lepas dari kritik. Murray Bookchin dengan pandangannya tentang Social Ecology mengatakan bahwa Deep Ecology lebih mengangkat egalitarian sosial. Deep Ecology juga gagal melihat otoritarianisme dan hirarki. Untuk membuktikan adanya hierarki, maka kita dapat melihat dalam kasus rasisme, seksisme, dan eksploitasi dunia ketiga, itu semua adalah penganiayaan kelompok marginal, dimana semuanya merupakan fenomena yang terjerat dalam satu landasan yang sama. Bookchin memaparkan kesemuanya itu adalah masalah nyata, dan mereka mendominasi secara sosial dan lingkungan. Mereka menyerukan manusia perlu mengganti struktur sosialnya. Kritik yang dimaksudkan bertujuan untuk untuk merubah paradigma berpikir secara radikal, berani melakukan suatu tindakan revolusioner dengan mengeliminasi otolitarianisme dan hirarki dalam tatanan masyarakat yang pada akhirnya akan mengakhiri krisis lingkungan. 

Selasa, 20 Desember 2011

TUGAS FILSAFAT KETUHANAN Atheisme Sigmund Freud?


TUGAS FILSAFAT KETUHANAN
Atheisme Sigmund Freud?














Oleh :
Aldair zerista H – 0906631811
Audiah Ulfa N - 0906559126
Oktania Tri H - 0906632000
Raden Annisa B – 0906632013
Adam Azano Satrio- 0906522851
Rizky Rachim I - 0906523031
Tutu Citra Resmi - 0906632083
Panji Prasetyo - 0706292492
Biografi
Sigmund Freud dilahirkan pada tanggal 6 Mei 1856 di Freiberg (Austria) dengan nama Yahudi, Schlomo, dan wafat di London pada tanggal 23 September 1939. Ayahnya bernama Jacob Freud dan ibunya bernama Amalie Nathanson. Ia lahir dalam keluarga yang mempunyai perekonomian yang sulit.  Freud dibesarkan oleh tradisi dan keyakinan dari agama Yahudi. Dalam autobiografi Freud yang sebenarnya diterbitkan pada tahun 1925 ia mengatakan bahwa "Orang tua saya adalah orang Yahudi, dan aku tetaplah seorang Yahudi."
Pengaruh masa lalu Freud terhadap pemikirannya tentang Tuhan
1. Semasa muda ia merupakan anak favorit ibunya.  Ia sering disebut dengan “My Golden Sigi” (Jean Chiriac). Dia sangat dekat dengan ibunya. Ia menganggap bahwa hubungan antara ibu dan anak laki-laki adalah hubungan yang sempurna dan bebas dari ambivalensi semua hubungan manusia. Ayah Freud memiliki riwayat perkawinan yang dirahasiakan, dipaparkan bahwa sebenarnya ayah Freud menikah tiga kali dan istri ketiganya (Rebekka) dikabarkan bunuh diri. Ayah Freud menikahi Amalie Nathanson (ibu Freud) setelah ia menghamilinya terlebih dulu. Masa lalu ayahnya yang terkuak ke hadapan Freud menyebabkan rasa malu yang mendalam. Dari sini Freud diam-diam mulai mengembangkan teorinya tentang psikoanalisa khususnya pada kasus Oedipus Complex. Berdasarkan analisanya sendiri, ia mengakui bahwa pada masa kanak-kanaknya ia pernah mengidap Oedipus Complex. Dimana ia mencintai ibu kandungnya sendiri dan cemburu terhadap ayahnya. Oleh sebab itulah ia menilai setiap anak sekitar usia 5 tahun akan mengalami nasib yang serupa seperti dia. Pemikirannya ini akan bersinggungan dengan pandangannya mengenai Tuhan dalam karyanya "Totem and Taboo."
2.Freud adalah orang yang sensitif dan penuh gairah, ia memiliki kemampuan khusus untuk berhubungan intim, pada waktu menjadi siswa, Freud dan temannya, Edward Silberstein membentuk perkumpulan Spanyol dan keduanya memiliki keterikatan khusus, suatu kesatuan yang tidak mempercayai orang lain dan memiliki kecurigaan tentang dunia dan mengenai Tuhan.
3.Freud seperti menggeneralisir semua agama karena sempat mengalami trauma agama pada masa kecil, dimana keyahudiannya menjadi bahan olok-olok oleh teman Kristennya. Pada 1873, setelah menghadiri Universitas di Wina, ia mengatakan bahwa: "Saya merasa diriku rendah dan asing karena saya adalah seorang Yahudi." Freud juga menganggap bahwa keyahudiannya akan membuat peluang-peluangnya di bidang akademik menjadi terbatas. Dari sisi keluarga, Freud tidak pernah mendapat penekanan pada salah satu agama. Keluarganya memberi kebebasan kepadanya untuk berfikir sesuai dengan apa yang diyakini. Wajarlah jika akhirnya ia pun nampak tidak punya pendirian yang jelas mengenai suatu agama. Kaitannya dengan hal ini, Freud beranggapan bahwa agama adalah illusi. Setiap orang yang taat pada agama dianggapnya sebagai orang yang berada dalam ketakutan dan dalam ketidakberdayaan.

Sosok yang menginspirasi
Dalam hidupnya Freud sangat dipengaruhi oleh Darwin (survival) dan Fechner (dasar pengetahuan ilmu jiwa). Freud juga mengagumi filsuf Franz Brentano, yang dikenal karena teori persepsi, serta Theodor Lipps, yang merupakan salah satu pendukung utama ide-ide dari ketidaksadaran dan empati.
Karya-karya yang bersinggungan dengan pandangannya mengenai Tuhan
The Future of an Illusion - 1927. Menurutnya agama itu hanya sekedar ilusi atau iming-iming saja. Agama itu dasar utamanya hanya sekedar angan-angan (wishfulfillment), karena manusia takut mati dan menderita.
Totem and Taboo - 1913. Tuhan itu sebenarnya adalah ciptaan dari daya khayal manusia, sebagai pengganti dari sang ayah. Jadi akar kebutuhan terhadap agama ada di father complex. Seorang Bapak yang berkuasa, adil dan pengasih hal ini menjadi hidup kembali di dalam sosok figur Tuhan. Oleh sebab itulah umat Nasrani paling merasa genah dan cocok dimana mereka diperkenankan untuk menyapa Sang Pencipta dengan panggilan nama "Bapa".
















Pengertian Psikoanalisis

Psikoanalisis ditemukan di Wina, Austria, oleh Sigmund Freud. Psikoanalisis merupakan salah satu aliran di dalam disiplin ilmu psikologi yang memilik beberapa definisi dan sebutan, Adakalanya psikoanalisis didefinisikan sebagai metode penelitian, sebagai teknik penyembuhan dan juga sebagai pengetahuan psikologi.
Menurut Freud, psikoanalisis mempunyai tiga arti (Bertens, 1979: x – xi). Pertama, istilah psikoanalisis dipakai untuk menunjukkan suatu metoda penelitian terhadap proses-proses psikis yang sebelumnya hampir tidak terjangkau oleh penelitian ilmiah. kedua, istilah ini menunjukan juga suatu teknik untuk menyembuhkan gangguan-gangguan jiwa yang dialami pasien neurosis. Ketiga, istilah yang sama juga dalam arti lebih luas lagi untuk menunjukkan seluruh pengetahuan psikologis yang diperoleh melalui metoda dan teknik tersebut.
Psikoanalisis memiliki sebutan-sebutan lain yaitu (1) Psikologi dalam, karena menurut Freud penyebab neurosis adalah gangguan jiwa yang tidak dapat disadari, pengaruhnya lebih besar dari apa yang terdapat dalam kesadaran dan untuk menyelidikinya, diperlukan upaya lebih dalam, (2) Psikodinamika, karena Psikoanalisis memandang individu sebagai sistem dinamik yang tunduk pada hukum-hukum dinamika, dapat berubah dan dapat saling bertukar energi.
Adapun contoh dari Psikoanalisis: Hipnotis, analisis mimpi, mekanisme pertahanan diri.
Pemikiran dan teori
Freud membagi mind ke dalam consciousness, preconsciousness dan unconsciousness. Dari ketiga aspek kesadaran.
Unconsciousness adalah yang paling dominan dan paling penting dalam menentukan perilaku manusia (analoginya dengan gunung es). Di dalam unconsciousness tersimpan ingatan masa kecil, energi psikis yang besar dan insting.
Preconsciousness berperan sebagai jembatan antara conscious dan unconscious, berisi ingatan atau ide yang dapat diakses kapan saja. Consciousness hanyalah bagian kecil dari mind, namun satu-satunya bagian yang memiliki kontak langsung dengan realitas.
Freud mengembangkan konsep struktur mind di atas dengan mengembangkan “mind apparatus”, yaitu yang dikenal dengan struktur kepribadian Freud dan menjadi konstruknya yang terpenting, yaitu id, ego dan super ego.
Id adalah struktur paling mendasar dari kepribadian, seluruhnya tidak disadari dan bekerja menurut prinsip kesenangan, tujuannya pemenuhan kepuasan yang segera. Ego berkembang dari id, struktur kepribadian yang mengontrol kesadaran dan mengambil keputusan atas perilaku manusia. Superego, berkembang dari ego saat manusia mengerti nilai baik buruk dan moral.
Superego merefleksikan nilai-nilai sosial dan menyadarkan individu atas tuntuta moral. Apabila terjadi pelanggaran nilai, superego menghukum ego dengan menimbulkan rasa salah.
Ego selalu menghadapi ketegangan antara tuntutan id dan superego. Apabila tuntutan ini tidak berhasil diatasi dengan baik, maka ego terancam dan muncullah kecemasan (anxiety). Dalam          rangka menyelamatkan diri dari ancaman, ego melakukan reaksi defensif /pertahanan diri. Hal ini dikenal sebagai defense mecahnism yang jenisnya bisa bermacam-macam.
Freud mengkategorisasi tahapan evolusi manusia dari balita sebagai organisme irasional yang berpusat pada kenikmatan menuju kedewasaan yang berorientasi pada realitas :
No
Tahapan
Periode
Dinamika
1
Oral
0-1 Tahun
Kenikmatan pada saat memasukkan sesuatu ke dalam mulut (Menguyah, menggigit, menghisap, dll), menurut Freud ini adalah prototipe karakteristik manusia di masa depan yang menggambarkan keserakahan dan agresifitas.
2
Anal
1-2 Tahun
Belajar untuk buang air kecil di kamar mandi (perjuampaan pertama dengan otoritas eksternal). Ketika anak ini mulai menahan meinginan untuk buang air kecil, maka ini menggambarkan sifat tidak bertanggung jawab dan pelit.
3
Phallic
2-5 Tahun
Kenaikan dorongan seksual yang mengacu pada Oedipus  Complex. Pada tahap ini berkembang suatu elemen pada psikis manusia yang disebut Superego.
4
Latency
5-12 Tahun
Berkat superego, aktivitas id mulai terepresi. Mulai muncul rasa jijik dan malu yang akhirnya membatasi enersi seksual.
5
Genital
>12 Tahun
Cinta altruistik mulai bergabung dengan cinta diri pada tiga tahap pertama. Ketertarikan pada orang lain menjadi sarana pemuas kenikmatan. Muncul dorongan ketertarikan seksual, reproduksi, dan juga sosialisasi.





Munculnya sosok Tuhan dari sudut pandang Sigmund Freud dengan memakai teori Oedipus Complex
Bagi Freud, agama merupakan Oedipus complex-nya umat manusia. Berbagai macam agama hanya merupakan bentuk-bentuk yang berkembang dari totemisme primitive, selalu menyajikan suatu ide tentang Allah, yang sebenarnya hanyalah ide sang ayah manusiawi. Dalam hari depan suatu ilusi, maka Freud menekankan dan menggeneralisasikan teori itu. Sang anak mencari perlindungan pada ayahnya. Orang dewasa menciptakan sosok seorang ayah yang lebih kuat lagi dari pada manusia untuk mengisi kekurangannya. Perasaan patuh dan iri hati anak terhadap ayah di berikan dengan peralihan kepada totem pada usia dewasa.
Sebelum konsentrasi pada masalah agama, lebih dulu Freud melakukan penelusuran panjang tentang, “Apa yang mendasari segala tingkah laku manusia”. Proses panjang telah dilalui dengan berbagai cara. Terapi hipnosis, Preasure Technique, asosiasi bebas, analisis mimpi, dan transferensi adalah rangkaian proses yang dilalui. Freud tidak sia-sia. Ia berhasil menemukan satu kesimpulan besar dari proses panjang tersebut. Kesimpulan itu menyatakan, “Perilaku manusia dipengaruhi oleh dorongan-dorongan tak sadar.” (Dalam Sigmund Freud, Sekelumit Sejarah Psikoanalisa, terj. K. Bertens (Gramedia: Jakarta, 1986). Kesimpulan ini tidak berhenti begitu saja. Freud terus-menurus mengerucutkan temuannya sampai pada satu temuan mendasar. Seksual. Itulah temuan besar Freud. Ia menganggap dorongan-dorongan tak sadar yang mengendalikan seluruh tingkah laku manusia tidak akan beranjak dari masalah seksual. Masalah seksual ini dijelaskan dengan apa yang disebut Oedipus Complex (pada laki-laki atau Electra Complex (pada perempuan).
Oedipus Complex adalah keinginan untuk memiliki ibu. Arti memiliki adalah secara intim. Namun, keinginan ini tidak mungkin dapat dipenuhi oleh anak karena ada sosok ayah yang menghalangi. Keadaan ini kemudian mendorong anak untuk membunuh sang ayah. Begitulah Oedipus Complex. Keinginan untuk memiliki ibu dan membunuh ayah. Pada anak perempuan, yang diberi istilah Electra Complex perbedaannya terletak pada objek.
Namun seseorang tidak mungkin mewujudkan dorongan Oedipusnya. Hal tersebut disebabkan karena mereka direpresi oleh norma, aturan, agama, dan lain sebagainya. Sehingga mereka harus menekan/melupakan/merepresi keinginan tersebut.
Tetapi dorongan itu tidak dapat dihilangkan sampai tuntas. Keinginan memiliki ibu dan membunuh ayah masih terus berlangsung meskipun frekuensinya berkurang. Di waktu yang sama, ke-tidak terhapus-an dorongan Oedipus ini menyebabkan rasa bersalah. Rasa ini terus mengepung sebanyak kepungan norma dan aturan sosial. Di sinilah agama, menurut Freud, dimunculkan. Ia dimunculkan sebagai pengobat perasaan bersalah. Kehadiran tuhan adalah sebagai pengganti ayah (father substitute) atau ayah yang ditinggikan yang disebut Freud dengan istilah tuhan paternal.
Bagi Freud, agama juga merupakan pengobat ketakutan manusia terhadap alam. Manusia merupakan makhluk yang tidak pernah lepas dari ketakutan-ketakutan. Tidak hanya pada masa bayi, pada saat dewasa pun mereka harus menerima serangan-serangan yang menakutkan. Pada masa dewasa, manusia mengalami ketakutan-ketakutan terhadap kekuatan yang mematikan, yaitu alam. Manusia sadar atas ketidakmampuannya menghadapi kerusakan alam yang mematikan. Oleh sebab itu, mereka membutuhkan agama sebagai sandaran. Dengan agama, mereka mendapatkan kenyamanan. Kenyamanan ini tidak hanya dirasakan, tetapi juga diharapkan. Diharapkan terus berlangsung hingga masa setelah mati. Di dalam harapan itu terdapat gambaran-gambaran. Gambaran hidup di surga, bersama malaikat-malaikat dan bidadari. Gambaran-gambaran ini diharapkan menjadi nyata oleh manusia. Inilah yang oleh Freud disebut agama sebagai ilusi. Manusia mempercayai agama karena sangat menginginkan semuanya menjadi benar. Jadi agama bukanlah kebenaran yang diwahyukan oleh Tuhan, apalagi dibuktikan secara ilmiah, melainkan gambaran yang diharapkan kebenarannya.
Untuk lebih jauh mengerti tentang pemikiran Freud terhadap ketuhanan, tentu kita perlu mencari dan membaca jejak jejak tulisannya tentang hal tersebut. Dan seperti yang sudah dijelaskan dalam Introduction terhadap Sigmund Freud, dalam permasalahan ketuhanan, setidaknya ada 5 tulisan yang dikeluarkan oleh Freud yang memberikan pandangannya mengenai ketuhanan. Yaitu:
Obsession Action and Religious Practices (1907)
Dalam tulisan ini Freud mengatakan bahwa, orang-orang yang bertuhan itu sama saja dengan orang-orang yang mengalami sakit Neurosis atau kasarnya orang yang beragama itu juga memiliki masalah kejiwaan. Bagi Freud religiusitas dan neurosis adalah dua hal yang sama, dimana dua hal tersebut sama-sama berasal dari human mind. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumya, bahwa Tuhan itu adalah suatu pencarian keamanan yang oleh ketidaksadaran kita diarahkan terhadap sesosok ayah baru yang lebih supra dan hal itu adalah hasil dari kerja unconciousness kita yang sebelumnya selalu merasa bahwa kita mendapatkan suatu sosok yang melindungi dan mengatur kita yaitu ayah, dan unconciousness inilah yang membawa kita menuju suatu sosok ayah baru yang lebih supra ini yaitu yang kita sebut dengan Tuhan. Freud selalu berkata bahwa apa yang terrepresi itu adalah buruk, Tuhan adalah suatu pelarian dan pencarian keamanan diciptakannya konsep Tuhan akhirnya akan menimbulkan super ego yang makin merepresi id kita. Oleh karena itulah manusia yang bertuhan disebut memiliki masalah kejiwaan dimana ia tidak berani untuk hidup dengan caranya sendiri dan melarikan diri dari masalah.

Totem and Taboo (1913)
            Freud memiliki ketertarikan tersendiri terhadap sejarah dan mitos. Hal ini jelas terlihat seperti bagaimana dalam beberapa karyanya ia mencoba memakai pemikiran mitos-mitos seperti oedipus complex untuk menjelaskan atau bahkan digunakan dalam pemikirannya. Salah satu yang menarik adalah bagaimana ia melihat dan mengkritisi tentang Suku Primitif dimana ia melihat bahwa ada kesamaan diantara produk psikis dan mitos suku primitif. Ia mencoba menerangkan tentang bagaimana taboo-taboo yang ada pada suku itu bisa terbentuk.
Untuk memulai penjelasannya ia menggunakan teori darwin yang mengatakan bahwa pada awalnya manusia hidup berkelompok dan dalam kelompok itu selalu dikuasai oleh seorang ayah yang keras dan mengatur segalanya. Kebencian sang anak-anak pada ayah ini akhirnya membuat mereka membunuh si ayah dan bukan hanya itu saja. Malah mereka memakan si ayah itu. Atas perbuatan yang sudah mereka lakukan ternyata mereka merasakan dosa yang sangat menghantui mereka, dan karena tidak adanya sesosok pemimpin akhirnya membuat suku ini mengalami kekacauan yang mengakibatkan perebutan istri dan sebagainya.
Rasa dosa dan kekacauan yang terjadi setelah mereka membunuh si ayah ini membuat mereka berusaha untuk menebus rasa bersalah mereka ini. Dan mereka pun akhirnya membuat sebuah taboo dimana mereka memberikan larangan untuk memakan suatu binatang yang tentu saja binatang ini adalah representasi dari sang ayah. Dimana mereka tidak mau lagi berbuat kesalahan seperti memakan ayah mereka itu. Dan mereka pun membuat taboo untuk menikah dengan satu suku tentu saja ini bercermin dari kekacauan yang terjadi ketika mereka berebut istri setelah si ayah mati.
Bagi Freud hal-hal seperti di ataslah yang kemudian akan membentuk mereka membuat suatu susunan masyarakat, dimana mereka mulai merasakan jika tidak ada yang memimpin akan terjadi Chaos. Mereka membentuk suatu religiusitas suatu pelarian akan dosa mereka dan membuat suatu kepercayaan-kepercayaan, dan mereka akan membentuk moral dimana mereka akan mengerti bahwa membunuh ayah tidak baik. Dan sebagainya. Disini terlihat bahwa Freud ingn menunjukan bahwa agama, atau religiusitas sebenarnya dibentuk oleh ketidaksadaran contohnya dalam kasus tottem and taboo rasa bersalah dalam memakan si ayah inilah yang akhirnya membuat mereka menciptakan taboo dan menjadi religiusitas di suku tersebut.
In The Future of Illusions (1927)
            Buku ini adalah buku yang paling banyak membahas tentang ketuhanan dimata Freud, dan merupakan pandangan umumnya tentang Tuhan. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, Freud Melihat bahwa sebenarnya Tuhan hanyalah ilusi. Mengapa tuhan hanya ilusi? Karena sebenarnya ia hanyalah sosok yang diciptakan sendiri oleh manusia. Seperti yang ia katakan semakin dewasa manusia semakin merasakan bahwa banyak permasalahan yang ada di dalam hidup. Dan ia akan merasa butuh perlindungan dimana ia bisa nyaman disana, dan unconciousness mereka yang terbiasa dilindungi oleh sesosok ayah membuat manusia membentuk sosok ayah baru yaitu Tuhan. Namun jelas bagi Freud manusia yang seperti itu adalah manusia yang infantil dan masih payah karena ia masih seperti anak-anak yang belum dewasa karena masih membutuhkan pertolongan dan keamanan dari sosok lain.
Menurut Freud agama itu hanyalah ilusi dan ia berlindung dengan kemisteriusannya dan ketidak bolehannya untuk dikritik sehingga Freud mengatakan agam itu kebal bukti, karena kita tdak boleh mengkritisinya dan hanya boleh menerima dogma apa saja yang kita terima dari agama tersebut mentah-mentah. Freud mengatakan bahwa kedogmatisan agama ini adalah suatu pemberi konstribusi bagi melemahnya intelektual manusia. Lebih jauh Freud mengatakan bahwa ia berharap kedepannya ilmu pengetahuan dapat menggantikan agama, dan reasoning manusia dapat menggantikan dogma-dogma yang ada.
Civilizations and Discontents (1930)
            Buku ini sebenarnya adalah suatu tanggapa Freud dari surat yang dituliskan oleh temannya yang menanggapi tentang pemikiran Freud yang mengatakan bahwa agama hanyalah ilusi. Temannya mengatakan, bahwa dengan agama ia dapat merasakan sensasi oseanistik suatu sensasi rasa tenang dan kenikmatan, dan pada akhirnya Freud mengatakan bahwa manusia memang membutuhkan agama sebagai kebutuhan egoistik anak yang butuh perlindungan. Namun Freud melihat bahwa nantinya religiusitas ini akan dimanfaatkan oleh peradaban dan membuatnya merepresi Id.
            Contohnya manusia melakukan kegiatan religinya demi mencapai ketenangan, tapi hal ini digunakan oleh peradaban untuk melakukan represi-represi. Seperti contohnya membuat suatu institusi agama dengan segala larangan-larangan mereka. Dan jelas walau dalam buku ini Freud agak mengendurkan dan mengatakan bahwa beragama itu wajar namun baginya pada akhirnya keberagamaan akan selalu dimanfaatkan peradaban untuk merepresi id kita.
Moses and Monotheism (1939)
Buku ini banyak bercerita tentang pendapat Freud bahwa baginya Musa bukanlah seorang yang sesungguhnya Yahudi seperti apa yang selalu diceritakan oleh Bible karena bagi Freud, Musa hanyalah sosok yang diadopsi oleh para Yahudi.








Kesimpulan dan refleksi kritis
Ketuhanan dari Freud ini cukup menarik. 'Sosok Bapak', yang walaupun terdengar patriarkal, merupakan penggambaran bagaimana unconsciousness bekerja menafsir Tuhan dalam psikoanalisa, adalah kata kunci penjelasan darinya, yang dengan jelas kita bisa coba membandingkan keduanya dengan memilah-milah sifat dan eksistensi yang ada. Bapak adalah pelindung sekaligus super-ego yang tak jarang menjadi momok dalam kehidupan setiap anak, Freud membawa fenomena ini menuju teori psikoanalisa, yang mana mengacu pada cerita klasik Oedipus. Anda akan dibawa terkatung-katung saat menjelaskan Tuhan melalui ego-superego-it miliknya, kecenderungan yang ada adalah ketiganya seakan-akan mampu di-isi oleh Sosok Bapak tersebut. Mencoba menelaah dengan, sok-kritis, ala Adam Azano, menggabungkan Nietzsche kedalam Freud, pernah ada sebuah teori dalam buku Nietzsche yaitu “Birth of Tragedy” mengenai bagaimana tarian adalah 'output' lain dari hasrat seksualitas yang dikonversikan. Tuhan tampaknya merupakan suatu drive, disaat anda berposisi sebagai individu yang bingung dan merasa tidak stabil, anda membutuhkan suatu pembelaan, atau mungkin 'kambing hitam', bahkan sekalipun itu metafisis dan absurd. Di sinilah konsep Tuhan muncul, atau di”ada”kan sebagai pelepas hasrat dan ketakutan, sebagai drive sama layaknya tarian terhadap hasrat seksual. Ilusi kesadaran, atau dengan kata lain adanya sebuah kesadaran palsu yang menyelubingi diri kita, sebagai individu.

            Setelah cukup dalam, maka anda akan bersentuhan dengan pertanyaan "apakah kepercayaan terhadap tuhan dapat dipertanggung jawabkan?", yang mana bermuara pada "apakah agama benar-benar baik bagi manusia?". Jawaban dari keduanya tidak benar-benar dijawab oleh freud, walaupun Freud menjelaskan mengenai keberadaan Tuhan adalah keberadaan palsu, yang jelas, dalam penjelasannya, adalah manusia tidak seharusnya mempertanyakan keberadaan tuhan, bagaimana ia mempertanyakan keyakinannya, iman-nya, disamping Tuhan, merupakan apa yang dijelaskan Freud mengenai bagaimana manusia tidak terjebak dalam bentuk-bentuk neurosis dan infantil.
            Menurut Freud, bahwa kita menciptakan sosok Tuhan hanya untuk mewujudkan keinginan kita saja, yang mungkin tidak ada di dalam dunia nyata ini. Sosok Tuhan yang diciptakan oleh Freud adalah sosok pengganti Bapaknya, ketika dia mengalami permasalahan dengan Bapaknya sewaktu kecil (Oedipus complex), dan lebih banyak dimanja oleh Ibunya. Dalam salah satu teorinya, Freud menyebutkan bahwa pada tahap lima tahun pertama akan mencerminkan pribadi di masa dewasa. Oleh sebab itu, ketika pada tahap lima tahun pertama, Sigmund Freud memang banyak berselisih dengan ayahnya sewaktu kecil, sehingga dia menciptakan sosok pengganti Bapaknya, yang lebih peduli terhadap keinginan dia. Banyak orang yang memang menciptakan sosok Tuhan berdasarkan pada pengalaman masa lalunya (terutama ketika masa kecilnya), sehingga mereka menciptakan imajinasinya tersebut pada masa dewasanya.
            Perselisihannya terhadap ayahnya membuatnya semakin membutuhkan sosok baru seorang Bapak yang berbeda dengan masa kecilnya, sehingga dia berpikir bahwa sebuah konsep ketuhanan di dalam institusi agama adalah sama dengan apa yang dia pikirkan saat ini, yaitu untuk mewujudkan keinginan manusia dengan membuat sebuah aturan atau norma – norma beragama berdasarkan keinginan mereka sendiri. Oleh sebab itu, atas pertentangan inilah, maka Sigmund Freud dikatakan atheis. Dia tidak menganggap bahwa Tuhan memang ada berdasarkan wahyu yang diturunkan kepada manusia, karena menurutnya bahwa Tuhan itu memang diciptakan oleh benak atau kesadaran manusia sendiri, yang terlahir sejak kecilnya, dan diciptakan ketika dia mulai dewasa.
            Freud memang sependapat dengan Feuerbach, bahwa Tuhan diciptakan lewat kesadaran (ego) manusia, walaupun Feuerbach juga belum tentu menyetujui bahwa Tuhan terlahir dari masa lima tahun pertama. Menurut hemat saya, bahwa Freud memang mendambakan sosok ayah yang baru (yang tidak mengekang segala keinginannya), karena sosok ayah pada masa kecilnya telah membuatnya kecewa (terutama ketika dia tidak dibolehkan untuk berdekatan dengan Ibunya), dan kekecewaan itu terus berlanjut sampai dia dewasa. Namun, ketika ada seorang anak yang masa kecilnya selalu mengalami kebahagiaan atau dia tidak mempunyai pengalaman seperti Sigmund Freud (yang memiliki ayah ataupun ibu), maka dia akan terus menciptakan kebahagiaan untuk dirinya sampai pada masa dewasanya dengan sosok imajinasi yang diyakininya, ketika pada masa kecilnya tersebut (entah itu apa?), karena manusia selalu ingin mendapatkan sebuah keinginan yang utama yaitu “Kebahagiaan” yang memang tidak didapatkan di dalam dunia nyata, atau seperti pendapat sokrates, bahwa hakikat utama manusia adalah mendapatkan “eudaimonia” (kebahagiaan) itu sendiri, terutama kebahagiaan di dalam hidup.
            Namun apa sajakah yang bisa kita pertanyakan dari teori miliknya? Saya akan membuat Thought Experiment seperti ini.
Bagaimana konsep Tuhan itu terbentuk jika:
  1. Seorang anak yang diasuh oleh ibunya dan tidak pernah sekalipun dirawat oleh sosok bapak.
  2. Seorang anak yang memiliki kehidupan seperti Tarzan dimana yang mengasuhnya bukanlah manusia.
  3. Seorang anak yang diasuh dalam republik utopia Plato.
Hal yang kami ingin angkat adalah adanya kecacatan bagi saya dalam teori milik Freud,di mana teori miliknya itu bersifat terlalu sexist dan menggeneralisir, tidak memperhitungkan hal hal yang mungkin terjadi. Dalam statemen pertama saya mempertanyakan. Di mana sosok Tuhan yang bersifat kebapaan itu bisa terjadi? Sedangkan sosok pembentuknya itu tidak ada. Pada statemen kedua dimana anak tersebut diasuh oleh bukan manusia, apakah mungkin adanya suatu sosok Tuhan mengingat sistem relasi sosial manusia berbeda dengan mahluk lainnya. Sedangkan pada penutupnya saya memberikan suatu pertanyaan menggelitik, kita harus mengingat bahwa dalam teori republik utopia milik Plato tidak ada konsep orang tua.
Statemen diatas merupakan sebagian kecil dari kejanggalan bagi kami tentang teori psikoanalisa dan keterhubungannya dengan konsep Tuhan, walaupun begitu teori psikoanalisa miliknya telah banyak membantu dalam menambah kosakata dan pemikiran tentang konsep Tuhan.
Sumber Bacaan 
Yustinus Semiun, OFM, 2006. Teori Kepribadian Dan Terapi Psikoanalitik Freud. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
Website          
http://en.wikipedia.org/wiki/Sigmund_freud
http://en.wikipedia.org/wiki/Freud_and_religion
http://www.eramuslim.com/konsultasi/konspirasi/sigmund-freud-bukan-seorang-atheis.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_ketuhanan
http://hanharsa.blogspot.com/2009/04/freud-agama-dan-keberadaan-tuhan.html
http://Wordpress.com/Atheisme Psikologis « MUSLIM MENJAWAB TANTANGAN