Page

Total Tayangan Halaman

Minggu, 30 September 2012

The First Reason Principle


The First Reason Principle
Prinsip Reasoning                                                                  
Ada sebuah intuisi manusia untuk mengaitkan suatu hal dengan hal lainnya,sehingga sering memperoleh suatu kesimpulan. Hal itulah yang menyebabkan kita bisa mengambil kesimpulan jika di satu ruangan terlihat ada kaca jendela pecah dan tergeletak batu diruangan tersebut, kita berkesimpulan bahwa ada seseorang yang melempar kaca tersebut dengan batu dari luar ruangan. Kebiasaan kita tak hanya berhenti sampai sekitar masalah kausalitas saja, tetapi bisa berlanjut ke hal - hal lainnya. Pola pikir reasoning tersebut memiliki unsur - unsur yang berhubungan tentang bagaimana kita memandang hal yang dianggap diluar kita yaitu, things, events, dan propotition.
Unsur - unsur pemikiran tersebut dirangkum oleh Aristotales dengan syarat - syarat utama agar reasoning manusia yang sahih.
Pertama kita akan membahas prinsip identitas, prinsip ini muncul karena sesuatu yang ada pasti memiliki sesuatu yang melekat dalam dirinya sehingga hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari dirinya.
Yang kedua kita akan membahas mengenai prinsip non-kontradiksi, prinsip ini merupakan hal yang sama yang tidak bisa dari keduanya menjadi benar secara bersamaan dan menjadi salah dalam waktu bersamaan. Dalam prinsip tersebut terjadi ketidak sesuaian karena sebuah proposisi dpaksakan pada sebuah keadaan yang sama.
            Yang ketiga kita menemukan apa yang dinamakan dengan prinsip eksklusi tertii (principium exclusi tertii), prinsip ini berlandaskan dari apa yang ada dalam sebuah proposisi namun tidak ada kejelasan sehingga tidak ada kemungkinan mengenai untuk kemungkinan yang ketiga. (Tertium datur non:. Ketiga tidak disediakan). Prinsip ini menyudahi sesuatu tanpa memenuhi dan memunculkan kemungkinan yang lain.
            Dalam yang keempat ada yang dikatakan dengan Prinsip alasan menjadi (prinsip kejelasan), prinsip ini berkaitan dengan apa yang dimengerti oleh akal manusia dan sebagai obyek pemikiran dapat dijelaskan hanya melalui ontically menjadi, sehingga tidak dapat diidentifikasi dengan non-being. Setiap makhluk memiliki alasan keberadaannya baik dalam dirinya sendiri atau sesuatu yang lain.
Selanjutnya adalah sebuah Prinsip finalitas, dalam prinsip ini terdapat sebuah  agent dari Setiap tindakan untuk mengakhiri dari fenomena yang terjelaskan. Prinsip ini menjelaskan bagaimana suatu fenomena tersebut terjelaskan dengan secara final sehingga tak memunculkan sesuatu dikemudiannya.
            Kemudian kita akan membahas prinsip kausalitas, prinsip yang sangat terkenal dan sering menjadi sesuatu yang mudah kita gunakan dalam menjelaskan suatu fenomena. Prinsip kausalitas atau sebab akibat ini didasarkan pada apa yang diyakini bahwa tak ada sesuatu yang terjadi secara tiba – tiba. Fenomena tidak ada yang secara tiba – tiba terjadi dan menjadi, dalam prinsip ini selalu ada sebab dari akibat yang terjadi dari sebuah fenomena yang berlangsung.  
 Things, Event, dan Propotition
Disaat kita membahas suatu things, reasoning kita secara intuitif mengambil beberapa pertanyaan intuitif yang menghasilkan kesimpulan intuitif pula, yang tetap memiliki landasan dari syarat utama di atas. Saat kita melihat things berupa “x”, kita mempertanyaan apa itu “x”, dan mengetahui jika “x” tersebut adalah “x”, dan jika kita mengatakan “x” sama dengan “y”,”w”,ataupun “z” maka kita tak bisa mengetahui apa “x” tersebut, dan jika mengatakan bahwa “x” itu sama dengan non – “x” maka kesemuanya itu akan jatuh dalam kesimpulan yang absurd,  dan aneh tidak secara logis tetapi juga intuitif. Selain itu pola pemikiran kita akan mempertanyakan tentang darimana asal mula “x”, dan apa tujuan adanya “x”.
Ketika kita mengatakan event, secara intuitif kita menyadari jika suatu kejadian “a” menyebabkan “b”, maka hal tersebut akan terasa ganjil jika terjadi “a” tetapi tidak terjadi “b” melainkan “r”, karena kita mengenal adanya prinsip prinsip diatas tersebut, dan selain itu menurut aristotales persoalan event ini mengijinkan adanya sebab musabab adanya suatu keharusan tentang tujuan “a” menyebabkan “b”.
Dalam hal propotition kita dapat mengetahui secara pasti penggunaan prinsip ini dengan tujuan pencarian kesimpulan. Semua proposisi yang diberikan selama memenuhi syarat -syarat diatas akan menghasilkan kesimpulan yang hasilnya sahih, seperti
Semua “q” adalah “w”
Semua “w” menyebabkan “z”
Maka, “q” menyebabkan “z”
            Semua prinsip di atas tersebut mengijinkan kita untuk mengambil kesimpulan secara sahih dan benar serta bisa dipertanggung jawabkan secara logis dan tidak berakhir pada kesimpulan yang absurd.
Kesimpulan
            Prinsip – prinsip reasoning, yang diambil dari teori Aristotales, merupakan suatu sistemasi yang rigid tentang bagaimana kebiasan reasoning kita bekerja, sehingga mengijinkan kita untuk mengambil kesimpulan secara sahih tak hanya dalam akademis tetapi juga kehidupan sehari - hari, selain itu kita dapat mengetahui kadar kualitas argumen seseorang menggunakan prinsip – prinsip reasoning tersebut, sehingga dapat kita adu secara rasional.

TOWARDS SPECULATIVE REALISM


Review Diskusi TOWARDS SPECULATIVE REALISM

Oleh : Adam Azano Satrio
Speculative realism merupakan gerakan terbaru dalam filsafat kontemporer ini, merupakan gerakan pemikiran filsafat yang mengangkat kembali permasalahan dasar filosofis yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Dalam sejarah filsafat barat, terdapat dua landasan yang berbeda yaitu idealism dan realism, kedua filsafat tersebut dianggap oleh para pemikir speculative realism pada akhirnya berakhir pada narsistik terhadap dogma miliknya sendiri. baik idealism yang berhenti pada pengakuan jika being yang real berada dalam mind, ataupun realism yang berhenti pada pengakuan bahwa being yang real berada di luar manusia secara independen, keduanya merupakan pernyataan yang menggiring kita untuk melupakan untuk mengkritisi the real being itu sendiri. Inilah yang menjadi semangat dasar mereka untuk memajukan dan menghidupi kembali kegiatan berfilsafat pada kehidupan manusia.

Immanuel Kant merupakan orang yang bertanggung jawab dalam memunculkan persoalan ini, dengan mengangkat pernyataan bahwa ada dua hal yang ada dalam dunia ini, yaitu fenomena yang merupakan hal hal yang bisa diamati, tampak, berada diluar mind manusia ,diperoleh secara persepsi, dan mampu kita ketahui dengan konsep yang kita dapatkan secara apriori dalam 12 kategori, lalu nomena yang merupakan hal yang ada dalam dirinya sendiri atau sering dikatakan das ding an sich. Usaha menyelesaikan permasalahan epistemologi awal tentang empirisisme dan idealism tersebut, pada akhirnya tetap menyisakan permasalahan tentang klaim nomena yang dianggap tidak bisa diketahui dan berada terpisah baik oleh mind dan being secara independen. Disinilah speculative realisme ingin membuka kembali jalan yang telah ditutup Immanuel Kant sampai pada nomena itu. Disinilah secara filosofis Immanuel Kant telah menyerah dan mengklaim bahwa pasti ada finites dalam pengetahuan, dan secara tak langsung mengangkat unsur antropsentrik dalam pengetahuan.

Para pemikir speculative realism menggunakan term correlationism untuk menjelaskan permasalahan tersebut. Correlationism itu sendiri didefinisikan oleh Quentin Meillassoux, salah satu pemikir speculative realism sebagai "the idea according to which we only ever have access to the correlation between thinking and being, and never to either term considered apart from the other." Penggunaan correlationism itu sendiri untuk menjelaskan teorinya tentang adanya suatu permasalahan yang dianggap dibuat – buat, baik oleh realism dan idealism, serta mengijinkan untuk memutuskan pemikiran bahwa nomena itu sama sekali tak bisa dijamah, dan diketahui secara utuh karena independensi antara mind dan being. Disinilah para pemikir speculative realism mencoba mengangkat permasalahan bahwa pengetahuan kita hanyalah usaha untuk mengkorelasikan kualitas primer (atau yang Kant sebut sebagai nomena) dan kualitas sekunder (atau yang Kant sebut sebagi fenomena). Konsekuensinya adalah tidak ada pengetahuan di luar korelasi itu. Baik penggunaan metode koherensi oleh idealism, ataupun metode korespondensi oleh realism, keduanya tetap bergerak menggunakan dasar correlationism tersebut. Apa yang ingin speculative realism ajukan dalam hal ini adalah sebuah metode dimana kita bisa menembus dunia nomena, yang menurut Kant tidak bisa diketahui itu, dengan kembali pada filsafat spekulatif.

Speculative realism ingin menghilangkan pandangan, dalam banyak aliran filsafat, yang bersifat absolut dan antroposentik terhadap objek, dengan membiarkan objek itu mendefinisikan dirinya sendiri, bukan dengan term universal yang dipikirkan manusia, karena hal tersebut menggiring kita kembali kepada permasalahan awal yang berujung pada antroposentik. Mereka percaya salah satunya dengan cara mengemansipasi matematika, karena matematika memiliki klaim ontologis yang berada diluar bahasa atau dengan kata lain infinite. Klaim ontologis matematika tersebut juga merupakan jalan keluar yang diajukan spekulative realism untuk mengatasi chaos yang mungkin muncul akibat sifat ontologis benda yang kontingen. Matematika juga memberikan kesadaran bahwa realitas itu infinite, tidak seperti yang dikatakan Kant bahwa realitas itu dapat diketahui terbatas pada apa yang tampak, selain itu hanya bisa dipikirkan. Jadi dengan matematika, speculative realisme ingin membongkar absolutisme yang memberikan pagar-pagar yang finite pada keberadaan the real idea (objektivitas).

Pada speculative realism tersebut kita bisa melihat, bahwa ada usaha untuk membangunkan stagnansi dalam pemikiran filsafat barat, yang selama ini melupakan permasalahan - permasalahan filsafat yang merupakan peninggalan pada Immanuel Kant, yaitu sebuah dogma adanya sebuah finite dalam pengetahuan manusia, yang berujung pada adanya correlationism dalam berbagai aliran filsafat, dan usaha untuk bisa untuk membongkar dengan mengemansipasi matematika yang dianggap infinite, namun hal yang menjadikan gerakan ini lebih menarik adalah upaya untuk menghancurkan adanya hal - hal absolut dan dogmatis dalam alam pemikiran filsafat yang ditinggalkan dalam pemikiran filsafat era sebelumnya, dengan cara membangunkan lagi spekulasi di dalam alam pemikiran filsafat.

Jumat, 21 September 2012

Tugas Eksistensialisme ( Kierkegaard )


Tugas Eksistensialisme

Dalam sejarah agama Samawi pengujian tentang keimanan yang terbesar terdapat pada kisah pengrobanan Ishak oleh Abraham. Dalam sejarah Kristen, dikatakan bahwa Abraham mendapatkan perintah mengurbankan anak satu - satunya, yang telah ditunggu selama berpuluh puluh tahun untuk dikurbankan kepada Tuhan. Seperti yang kita ketahui pada akhirnya anaknya tersebut diganti oleh Tuhan dengan domba. Berbeda dengan para penganut agama pada umumnya, Kierkegaard mencoba untuk mengambil langkah lain dalam mencoba membongkar permasalahan etik dan iman dalam kasus ini, yaitu dengan mengambil kemungkinan apa yang bisa dilakukan oleh Abraham saat berada di atas gunung Moria. Ada 4 alternatif yang bisa dilakukan Abraham dalam keadaan tersebut.

1.      Abraham mengkurbankan Ishak tapi dia menjaga iman Ishak dengan mengatakan bahwa pengurbanan itu bukan perintah Tuhan melainkan keinginnya sendiri dengan mengatakan bahwa dirinya bukan ayahnya dan mau mengorbankan Ishak untuk berhala.
2.      Abraham pada saat di gunung Moria melihat, bahwa ada domba yang ada disana dan mengganti pengorbanan tersebut dengan domba.
3.      Abraham membatalkan pengurbanan tersebut dan pada akhirnya memilih untuk memohon kepada Tuhan untuk diampuni, yang dikarenakan dirinya menganggap bahwa dengan membunuh anaknya sendiri dia telah gagal menjadi seorang ayah dan manusia yang baik secara etik.
4.      Abraham pada akhirnya tidak mengurbankan apapun sama sekali, dan pada akhirnya turun dari gunung dan tidak menceritakan apapun kejadian tersebut.

Kita harus ingat bahwa pada masanya kemajuan intelektual dan filsafat mengalami kejayaannya, terutama dalam bidang etik. Rasionalitas yang berdasarkan pada humanisme dianggap sebagai salah satu alat untuk mengetahui apakah perbuatan tersebut benar secara etik atau tidak.

Ke empat skenario yang disebutkan di atas tersebut, adalah sebuah kemungkinan apa yang bisa dilakukan oleh seorang manusia ketika diperintahkan melakukan suatu hal yang mungkin tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat dan kehidupan sosial pada umumnya atas nilai keimanan. Ketika suatu hal dalam kehidupan manusia tidak bisa dicari tahu jawabannya secara rasional maka apa yang kita bisa lakukan untuk menjawabnya? Itu adalah pertanyaan filosofis utama yang dilakukan oleh Kierkegaard dalam menjalani kehidupan filosofisnya. Berbeda dengan kebanyakan filsuf, dirinya menjalani filsafatnya tersebut, bukan hanya mensintesiskan teorinya saja.

Permasalahan tentang keimanan yang dilakukannya merupakan kisah yang selama ini sebenarnya mungkin pernah kita alami sehari hari. Seperti apakah nilai keimanan yang sebenarnya kita jalani dan apakah kita berani untuk memilih yang sebenarnya akan beresiko untuk kehidupan kita sendiri yang akan datang.

Dari skenario kisah Abraham tersebut terlihat bagaimana manusia seringkali diuji untuk pembuktian imannya dan apa tindakan manusia yang sering manusia lakukan untuk mempertahankan kedua nilai yang dianggap tidak bisa digabungkan, yaitu masalah iman dan etik. Pada skenario ke 2 dan3  dikatakan bahwa manusia seringkal melakukan “negosiasi” terhadap Tuhannya dikarenakan beranggapan bahwa kita secara manusiawi harus memperhatikan permasalahan etis dan masih bisa menganggap bahwa Tuhan memahami permasalahan kita. Sedangkan dalam skenario ke 4 kita dapat dapat melihat, bahwa manusiapun mampu secara sadar menentang Tuhannya secara terang – terangan dengan melawan perintahnya.

Namun dalam skenario pertama, disini kita lihat bagaimana seorang manusia bisa memilih untuk mengkorbankan dirinya, dengan tetap mempertahankan tak hanya iman dirinya tetapi terhadap iman orang lain. Disinilah keberanian seseorang dalam memilih pilihan yang mungkin akan merugikan dirinya secara akal sehat, tetapi hal tersebut akan membuat dirinya merasakan berharganya kehidupan tersebut setiap momennya dengan tetap menjalaninya dengan iman serta kepercayaan bahwa Tuhan akan menunjukan kekuasaanNya. Semua permasalahan manusia, seperti perasaaan yang dirasakan Kierkegaard terhadap Regina Olsen, yang memilih untuk membatalkan pertunangannya, perasaan seorang laki – laki yang memilih jurusan filsafat Universitas Indonesia dibandingkan jurusan matematika IPB, dikarenakan ingin membuktikan pada seorang perempuan, bahwa dirinya berharga, perasaan seorang suami yang tetap mencintai dan menemani istrinya, walaupun istrinya tersebut mengalami penyakit kejiwaan, yang dikarenakan krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1998. Semua contoh permasalahan kehidupan tersebut, yang jika dilihat dalam perkembangan filsafat barat sebagai suatu keanehan dan tidak masuk akalan, mampu dijawab oleh filsafat eksistensialisme milik Kierkegaard, yaitu dengan iman.

Minggu, 16 September 2012

Telaah Kasus Perubahan Lambang Palang Merah Menjadi Sabit Merah


Adam Azano Satrio
0906522861

Telaah Kasus Perubahan Lambang Palang Merah Menjadi Sabit Merah



            Bagaimana jika suatu institusi kemanusiaan yang seharusnya bergerak secara universal membantu para manusia tanpa memandang apapun itu, baik suku, agama, dan ras, menjadi pertolongan yang akan memperhatikan agama yang terpampang dalam kartu tanda penduduk?

Bagaimana jika hal tersebut dicetuskan oleh para pelayan negara, yang seharusnya berfikir menggunakan ayat – ayat konstitusi dan memakai sudut pandang kenegaraan secara utuh? Mereka membenarkan pola pikir mereka yang masih menggunakan simbol agama sebagai identitas kebangsaan, yang sebenarnya dalam demokrasi setiap ayat - ayat Tuhan itu disimpan didalam hati setiap individu, dan para pelayan tersebut hanya tak lagi mengingat essensi dirinya sendiri yang bertugas untuk memikirkan warga negaranya secara penuh tak terbatas dalam agama tertentu.

            Pertanyaan diatas merupakan pertanyaan yang muncul dari kasus studi banding anggota DPR yang ke Denmark dan Turki untuk rencana perubahan lambang PMI yang berupa palang merah menjadi bulan sabit merah.

Di bawah ini merupakan potongan artikel berita tersebut :

DPR ke Luar Negeri, Cari Lambang Palang Merah
Oleh: Marlen Sitompul
nasional - Rabu, 5 September 2012 | 10:59 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Badan Legislatif (Baleg) DPR kembali melakukan perjalanan ke luar negeri, kali ini ke Denmark dan Turki. Tujuannya, mencari lambang palang merah yang akan digunakan Indonesia.

Perjalanan yang dikemas dalam studi banding itu dinilai Koordinator Investigasi dan advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi, terlalu mengada-ngada dan tidak masuk akal. "Masa mau menentukan lambang palang merah saja, harus berkunjung ke dua negara tersebut," kata Uchok, di Jakarta, Rabu (5/9/2012).
DPR, kata dia, semestinya bisa menghemat anggaran dan membuang agenda-agenda yang tidak penting. Agenda Baleg ke Denmark dan Turki ini pun dinilai hanya untuk berlibur. "Baleg hanya ingin senang-senang sendiri saja," tegas Uchok.

Menurutnya, studi banding tersebut menelan biaya Rp1,2 miliar. Secara rinci alokasi anggaran ke Denmark, menurut Uchok menghabiskan alokasi anggaran sebesar Rp666,2 juta untuk 10 anggota DPR.

"Jadi, setiap satu anggota dewan akan menghabiskan anggaran sebesar US$6.917 atau sekitar Rp62,2c juta untuk ongkos pesawat yang duduk di kelas eksekutif, dan satuan biaya harian akan menghabiskan anggaran sebesar US$472 atau sekitar Rp4,2 juta per hari," paparnya.

Sedangkan anggaran untuk ke negara Turki, menurut Uchok, menghabiskan Rp636,7 juta untuk 10 anggota DPR, tanpa ada staf, ataupun keikutsertaan keluarga mereka.

"Setiap satu anggota dewan akan menghabiskan anggaran sebesar US$6.641 atau sekitar Rp59,8 juta untuk kelas eksekutif, dan untuk satuan biaya harian akan menghabiskan anggaran sebesar US$365 atau sebesar Rp3,2 juta per hari," jelasnya.

DPR merasa perlu mengunjungi kedua negara itu karena di dunia saat ini ada dua lambang palang merah. Yakni, palang merah (red cross) dan bulan sabit merah (red crescent). Denmark merupakan negara asal lambang palang merah dan Turki negara asal bulan sabit merah. Kepergian DPR ke kedua negara itu nantinya diharapkan bisa membawa oleh-oleh lambang mana yang akan digunakan Indonesia.
"Ke sana mereka untuk pemilihan lambang palang merah, karena perdebatan di Baleg tidak selesai-selesai. Ada yang minta lambang bulan sabit merah dan palang merah, makanya kita mengecek ke negara asal lambang tersebut," ujar Ketua Baleg Ignatius Mulyono, Selasa (5/9/2012). [tjs]
Sumber          :

Sejarah Singkat Mengenai Lambang Palang Merah
Dalam permasalahan tersebut saya melihat bahwa para anggota DPR terutama pada fraksi PKS tidak dapat melihat permasalahan , atau malah mungkin ingin membangun masalah, terselubung dalam persoalan tersebut.
Fraksi PKS beranggapan bahwa penggunaan sabit merah lebih cocok di gunakan di indonesia sebab 80 % penduduknya beragama muslim. Dengan alasan tersebut dianggap bahwa logo tersebut pada akhirnya akan lebih mengenai mayoritas masyarakat.
Sebelum saya melanjutkan permasalahan tersebut saya ingin menunjukkan 7 Prinsip keberadaan Palang Merah

1. KEMANUSIAAN (Humanity)
Gerakan Palang Merah didirikan berdasarkan keinginan memberikan pertolongan tanpa membedakan korban terluka di dalam pertempuran, berupaya dalam kemampuan bangsa dan antar bangsa, mencegah dan mengatasi penderitaan sesama manusia. Palang Merah menumbuhkan saling pengertian, kerjasama dan perdamaian abadi bagi sesama manusia.
2. KESAMAAN (Impartiality)
Gerakan ini tidak membuat perbedaan atas dasar kebangsaan, kesukuan, agama/kepercayaan tingkatan atau pandangan politik. Tujuannya semata – mata mengurangi penderitaan manusia sesuai dengan kebutuhannya dan mendahulukan keadaan yang paling parah.
3. KENETRALAN (Neutrality)
Agar senantiasa mendapat kepercayaan dari semua pihak, gerakan ini tidak boleh memihak atau melibatkan diri dalam pertentangan politik, kesukuan, agama atau idiologi.
4. KEMANDIRIAN (Independence)
Gerakan ini bersifat mandiri. Perhimpunan Nasional disamping membantu Pemerintahannya dalam bidang kemanusiaan, juga harus mentaati peraturan negaranya, harus selalu menjaga otonominya sehingga dapat bertindak sesuai dengan prinsip – prinsip gerakan ini.
5. KESUKARELAAN (Voluntary Service)
Gerakan ini adalah gerakan pemberi bantuan sukarela, yang tidak didasari oleh keinginan untuk mencari keuntungan apapun.
6. KESATUAN (Unity)
Di dalam suatu negara hanya ada satu Perhimpunan Palang Merah yang terbuka untuk semua orang dan melaksanakan tugas kemanusiaan di seluruh wilayah.


7. KESEMESTAAN (Universality)
Gerakan Palang Merah adalah bersifat semesta. Setiap perhimpunan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam menolong sesama manusia.
Menurut sejarahnya, lambang palang merah (red cross) merupakan sebuah lambang penghormatan bagi negara Switzerland (Swiss), yang merupakan tempat lahirnya gerakan palang merah internasional. Switzerland merupakan sebuah negara yang ‘ajaib’ dalam percaturan politik internasional: karena netralitasnya. Sampai awal abad ke-21, Switzerland bukanlah negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Switzerland juga bukan anggota Uni Eropa, dan memilih tidak bergabung dalam berbagai organisasi internasional lainnya. Switzerland sebagai konfederasi modern juga tidak pernah dijamah perang (baik nasional maupun internasional) yang memberikan status spesial Switzerland. bendera Konfederasi Switzerland sendiri lahir dari bendera perang (war banner), bukan semata-mata merujuk pada agama tertentu.
Lalu, apa betul-betul tidak ada pengaruh agama? Tidak untuk menafikan sama sekali, karena Switzerland pernah menjadi tempat lahirnya aliran agama yang besar, yaitu Reformasi Protestan (dengan berbagai tokoh, di antaranya Calvin). Saya sendiri belum menemukan bukti definitif bahwa memang agama sebagai faktor utama yang melatar belakangi munculnya lambang ini, tapi hanya untuk tidak menyingkirkan sama sekali saja.
Untuk menambahkan, lambang palang merah ini telah dikenal secara internasional dan diakui hanya sebagai penghormatan terhadap Switzerland. Berikut hasil Konvensi Jenewa 6 Juli 1906
Mengalihkan lambang kepada lambang lain hanya akan menambah persoalan — bukan hanya karena solusi yang ditawarkan sebetulnya tidak menjawab, tapi karena proses peralihan yang tentu tidak mudah — dan barang pasti akan membutuhkan biaya lebih. Belum lagi kita membicarakan biaya yang sekarang harus dikeluarkan untuk studi banding.
Kehebatan lain dari lambang palang merah adalah karena letaknya yang ada di bawah alam sadar (sub-conscious mind), bahwa ketika kita melihat lambang palang merah, kita tahu apa korelasinya: baik itu masalah medis, rumah sakit, pertolongan pertama, atau jika dilihat dalam konteks besar, perlindungan dalam konflik bersenjata. Ketika melihat palang merah, sudah tertanam dalam benak kita bahwa lambang ini ada kaitannya dengan upaya kemanusiaan secara universal. Inilah keperkasaan lambang palang merah!
Dengan demikian, seperti yang digalang Palang Merah Indonesia (PMI), yaitu “1 negara, 1 lambang, 1 gerakan”, maka bagi saya lambang palang merah masih menjadi lambang terbaik. Bukan karena tendensi agama, bukan karena mudah; tapi karena universalitas, dan tujuan mulia di baliknya: universal untuk kemanusiaan.

Keanehan Pola Pikir Dalam Kehidupan Kenegaraan
Berdasarkan hal diatas tersebut kita dapat mengetahui bahwa, Palang Merah sudah seharusnya bergerak dalam kenetralan dan kesamaan, bukan berdasarkan mayoritas suatu agama maupun ras tertentu. Hal tersebut merupakan logika dasar diciptakannya Palang Merah, dan hal tersebutlah yang tidak dipelajari oleh para fraksi DPR terutama fraksi PKS.
Dengan berargumen bahwa, lambang palang tersebut sebaiknya diganti dengan bulan sabit merah, mengingat bahwa negara kita mayoritas muslim maka secara implisit mengizinkan bahwa lembaga kemanusiaan tersebut tidak lagi bersifat netral dan universal tetapi menolong agama tertentu yang mayoritas. Disitulah letak penyakit utama dalam permasalahan kenegaraan demokratis, yaitu menggabungkan permasalahan privat kedalam permasalahan publik.
Penulis berkeyakinan bahwa hal – hal berupa lambang tersebut pasti memiliki maksud ideologis tersebut. Berdasarkan kesejarahannya sendiri palang merah tidak mau menggunakan lambang palang seperti yang pada suatu agama tertentu (yaitu salib) tapi menggunakan lambang palang yang simetris, dikarenakan mereka harus mempertahankan ideologi mereka untuk membantu semua manusia tanpa batasan apapun tanpa terkecuali agama. Para perancang undang - undang kita masih tidak bisa memisahkan dimanakah letak permasalahan yang harus dibahas dalam permasalahan kemanusiaan. Mereka masih memandang bahwa permasalahan agama adalah persoalan yang bisa dicampur adukkan di ruang publik negara.
Dalam teori Emphatic Civilization milik Jeremy Rifkin, ada tahap evolusi dalam perkembangan empati manusia, yang pertama adalah empati pada tahap blood ties atau ikatan darah, dimana garis keturunan yang dekat mengawali rasa empati kita dan manusia yang lain dan jauh dari ikatan darah kita merupakan orang asing dalam kehidupan kita. Tahap kedua adalah tahap religious ties atau ikatan agama, pada tahap ini manusia menciptakan suatu fiksinya sendiri dengan adanya ikatan keberagamaan. Disana tiap manusia merasa memiliki ikatan dari masing – masing agama yang dianut, seperti ikatanan antar kristiani, ikatan antara yahudi, ikatan antar muslim, dan sejenisnya. Berkembangnya konsep kenegaraan dan nasionalisme pada abad ke-19 meningkatkan suatu tahap empati yang baru yaitu tahap National Identification yang berdasarkan pada fiksi bahwa kita memiliki ikatan dalam suatu negara sebagai warga negara satu dan antar lainnya. Hal tersebutlah yang mengijinkan adanya ikatan yang lebih luas lagi dimana suatu nation adalah ikatan yang lebih luas pengaruhnya dibandingkan agama. Dan pada tingkatan akhir adalah rasa empati pada tahap biosphere dimana rasa empati kita terhadap semua mahluk yang berada di dunia.
Kenapa penulis membawa teori tersebut dalam permasalahan ini? Karena jika kita memandang teori tersebut kita bukan bergerak maju untuk menuju nilai empati yang universal, tetapi malah memundurkan pola pemikiran empati kita. Dengan dirubahnya simbol netral tersebut dengan simbol bulan sabit yang identik dengan agama tertentu.
Dalam kehidupan kenegaraan demokrasi para anggota dewan tersebut telah membawa masalah dalam kehidupan bernegara kita. Ide mereka tentang merubah lambang palang merah menjadi lambang sabit merah yang bertendensi terhadap agama tertentu, seperti memerintahkan seorang paramedik untuk memprioritaskan mengecek kartu identitas untuk melihat agama apa yang dimiliki sang korban, bukan melihat letak trauma yang terdapat dalam tubuh korban dan secara sigap harus mengeluarkan peluru dalam tubuh sang korban.
Pola pikir aneh tersebutlah yang mengizinkan adanya pengeluaran dana untuk rancangan hal yang tak masuk akal seperti lebih berani mempersoalkan bagaimana meneropong rok para siswi untuk mengecek keperawanan dibandingkan mempersoalkan bagaimana seorang siswi di daerah terpencil bisa tertarik untuk meneropong rasi bintang di antariksa. Pola pemikiran yang tak bisa memisahkan ruang privat dan ruang publik tersebutlah yang mengijinkan terjadinya ketidakberesan dalam kehidupan bernegara kita.
Selain itu jika kita telaah lagi, jika perubahan rancangan undang undang itu disahkan, berarti nilai negara kita tidak lagi megenal asas demokrasi yang dimana landasan berfikir kemahslahatan rakyat dan berdasarkan argumentasi rasional untuk menjaga keamanan dan kenyamanan setiap warga negara yang membayar pajak kepada negara. Pada rumah perancang undang - undang tersebut, dimana masalah publik merupakan target utama dalam setiap permasalahan telah bergeser menjadi mempermasalahkan permasalahan privat. Belum lagi yang menjadi landasan argumen para anggota DPR tersebut disebabkan permasalahan agama mayoritas, yang dimana menandakan bahwa negara tidak mampu melindungi hak para kaum agama minoritas. Argumen yang dibawa para pelayan masyarakat tersebut disadari ataupun tidak, membawa landasan argumen yang berasal dari kitab suci, dan secara rasional kita tidak bisa melawan argumen kitab suci, karena dibuat bukan oleh manusia.
Keanehan pola pikir para perancang undang – undang kita tentang tanggung jawab negara terutama pembagian permasalahan masalah publik dan masalah privat. Disaat seorang perancang undang - undang tidak bisa mengetahui dasar pemikiran negara yang harus bisa bersifat mendukung semua warga negara tanpa memperdulikan atribut miliknya malah memfokuskan pada kepuasan para mayoritas, dalam persoalan adalah agama yang kebenarannya hanya bisa ditentukan saat kita meninggal, pada saat itulah kita telah mengakui bahwa negara tidak lagi dikuasai rasionalitas melainkan oleh rejim mayoritas, yang mungkin lebih tertarik untuk membahas persoalan bagaimana cara membuat para perempuan mengenakan pakaian yang sopan dan tertutup, dibandingkan bagaimana membangun fasilitas untuk sekolah – sekolah yang berada dikawasan pinggiran papua.
Pada akhirnya penulis beranggapan, Rp 1,2 milyar yang dikeluarkan oleh para anggota dewan terhormat tersebut, merupakan uang yang secara sia – sia dikeluarkan oleh negara untuk meneliti tentang permasalahan legalitas simbol, yang sebenarnya info tersebut dapat diakses melalui internet dengan dana tidak lebih dari Rp 4.000 per jam, serta dana sebesar Rp 1,2 milyar yang didapatkan dari pajak warga negara tersebut, bisa digunakan untuk melakukan penyuluhan tentang bagaimana cara memancing para warga negara bisa membantu dalam menyumbangkan darahnya dan bantuan sosial secara langsung ataupun membangun fasilitas kemanusiaan agar setiap warga negara memiliki akses yang mudah dalam partisipasi masalah kemanusiaan. Serta jika perubahan lambang tersebut disahkan, maka negara ini sudah dapat dipastikan dikuasai oleh rejim mayoritas dan kita bukan hanya berjalan ditempat melainkan mengizinkan diri untuk berjalan mundur dalam proses peradaban global bidang kemanusiaan.