Page

Total Tayangan Halaman

Minggu, 30 Oktober 2011

the silent partners, zizek potongan kecil


Deskripsi text
            Dalam buku Lacan : the silent partners, zizek menjelaskan pembacaannya terhadap lacan, dari segi sains dan juga seni. Pada kali ini saya akan membahas bab 10 pada karyanya yang berjudul berjudul burned by the sun.
Zizek memulai tulisan ini dengan menceritakan sebuah patung kebebasan di daerah Budapest yang berdiri pada tahun 1943 yang didirikan oleh admiral Horthy, untuk menghormati anaknya yang gugur pada perang saat melawan pasukan merah. Lalu pada tahun 1945 Marshall Kliement Voroshilov, melihat patung tersebut. Sang marshall pun mengusulkan agar patung itu menjadi patung yang melambangkan kebebasan. apa yang bias ambil kesimpulan dari kisah diatas? Dikatakan bahwa ksah diatas bias di analogikan tetntang  “pesan” dalam suatu seni. Dimana zizek analogikan dengan sains yang menceritakan realitas apa adanya dari suatu kejadian dengan metafisika seni tentang keindahan. Pada masa ini seni pada akhirnya menyentuh hal yang nyata, dimana menyebabkan seni yang pada awalnya merasakan pleasure dari aestethic menjadi merasakan pleasure dari rasa sakit.
            Kerangka berpikir tradisional platonic mengatakan bahwa science berurusan dengan fenomena, “event”, “appearance”. Sedangkan science berurusan dengan hard real (kebenaran sesungguhnya), kebenaran ini merupakan “objek” sesungguhnya dari seni. Prokofiev mengatakan hakikat seni seperti teks dibawh ini
            Throghout its four movements… one senses a powerful undertow of struggle. Yet it is not the struggle of a work against something outside itself, but rather the struggle, of something within the work, unmanifasted, trying desperately to break out, and constantly finding its emergence “blocked” by the existing, outward form and language of the piece/ this blocking of “something within”… has todo with the frustration of desire for carhartic release into some supremely positive state of being, where meaning – musical and supra musical is transparent, unironizable : in short, adomain of spiritual purity.
Dikatakan dalam teks ini seni merupakan upaya dalam kesadaran diri untuk mengeluarkan the thing in itself dari dalam dirinya. Memang merupakan ironi bahwa prokofiev tidak bias mengeluarkan hal tersebut dari dalam dirinya berbeda dengan Mozart yang mampu mengeluarkan haltersebut dalam karyanya.
            Maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah The thing in itself bias disamakan dengan kejeniusan didalam diri? Korelasi antara jenius dengan ego seharusnya tidak ada dalam ranah ketidaksadaran dalam Freudian, bahkan seharusnya berada dalam  ranah pemikian filsafat subjektifitas. Oleh karenaitu permasalahan ini seharusnya di lihat dari kerangka berpikir lebensphilosophie dan permasalahan Jungian. Ego dikatakan tidak melingkupi keseluruhan subjektivitas, itu adalah  yang bias di “datangkan” melaluli proses individuasi yang lama. Dapat kita simpulkan bahwa ketidaksadaran dalam pemikiran Freudian tidak berhubungan dengan id dalam hubungannya dengan lebensphilosophie. Maka pertanyaan selanjutnya adlah tentang apakah itu subjeck unconscious? Kita harus merefleksikannya sejenak dengan teks Kierkegaard tentang perbedaan jenius dengan utusan tuhan. Dimana jenius didefinisikan sebagai individu yang mampu mengekspresikan serta meng artikulasikan sesuatu dalam dirinya yang melebihi dirinya sendiri dalam menjelaskan substansi spiritualnya. Sedangkan utusan tuhan subsansi dalam dirinya tidak pernah menjadi suatu persoalan. Sebab utusan tuhan memiliki tugas formal untuk untuk menjadi saksi suatu Truth yang berada diluar dirinya yang transenden. Lacan mencontohkan utusan tuhan dengan seorang diplomat yang harus mereprenstasikan negaranya. Dapat maka lacan menyimpulkan subjek yang tidak berkesadaran yang dikatakan oleh freud sama dengan utusan tuhan yang dicirikan oleh Kierkegaard.
            Pada saat sang subjek merasakan truth dikatakan oleh lacan, tubuh tersebut telah di rubah menjadi sebuah medium terhadap truth tersebut, dan berada dalam realitas yang tercampur aduk, sesuai dengan pernyataan Kierkegaard tentang utusan tuhan. Zizek kemudian menyambungkan permasalahan tersebut dengan pernyataan stalin saat berada dalam pemakaman lenin, “we communist, are not like other people. We are made of  a special stuff” Special stuff ini diartikan oleh zizek sebagai contoh nyata perubahan dari the body menjadi the body of truth secara komunal.

Rabu, 26 Oktober 2011

Dialektika hegel

Dialektika HegelOleh: Adam Azano Satrio



Perkembangan filsafat tak akan lengkap jika kita tidak membahas Hegel. Hegel telah memberikan suatu metafisika yang diklaim oleh dirinya akan bisa menjawab pertanyaan tentang segala hal dalam universe. Dialektika universal itulah yang dianggap oleh Hegel sebagai jawaban atas semua perkembangan universe ini. Dikatakan bahwa setiap hal di universe ini memiliki sifat sintesis, yang berasal dari suatu tesis, yang akan dilawan oleh antithesis, yang akan menghasilkan sintesis.

Pada saat ini saya mencoba untuk menggunakan term agama, seni, hukum, estetika, seni, dan susila lalu akan coba menemukan rumusan sintesis dari term tersebut.

Etika

Susila       Hukum

Saya membuat susila berantagonis dengan hukum. Pada susila, dasar pemikiran yang digunakan difokuskan pada pencarian “GOOD” pada, untuk, dan dari diri sendiri, serta bersifat tidak bisa memaksakan nilai susilanya pada individu lainnya, maka jika seseorang melakukan tindakan yang melanggar susila maka orang tersebut tidak bias dikenai hukuman, melainkan hanya berupa beban psikis pada dirinya sendiri saja. Pada hukum pemfokusannya pada masalah hak dan kewajiban, serta hukum bias dipaksakan pada individu lainnya, yang jika tidak dilakukan maka individu dapat terkena hukuman karena tidak menjalankan kewajiban. Maka terjadilah sintesis dari hukum dan susila yaitu etika. Di sini etika adalah penggabungan dari hukum yang bersifat keras, tegas yang terkadang harus merelakan nilai susila seperti pembunuhan terhadap manusia, bisa ditentang dan dipikirkan ulang, karena harus memikirkan sudut pandang susila.

Estetika

Seni      Agama

Dialektika selanjutnya adalah dialektika tentang seni dan agama. Pada seni “Truth” merupakan sesuatu yang dirasakan, dan tidak bisa dijabarkan, karena pada saat seorang individu melakukan hal yang berhubungan dengan seni, individu tersebut merasakan suatu tremendum yang bersifat pribadi. Pada Agama, “Truth” di berikan pada manusia secara deskriptif, yang bisa dipahami, tetapi kita tidak merasakan apapun yang bersifat pengalaman individu, karena pada agama, “truth” tersebut berada di luar diri kita. Sintesis kedua term tersebut menghasilkan estetika yang dimana merupakan bentuk pendeskripsian Truth yang bersifat pribadi agar bisa di komunikasikan dan dimengerti dengan individu yang lainnya


Senin, 24 Oktober 2011

Mempertanyakan Kedudukan Manusia Dalam Kehidupan

       Mempertanyakan Kedudukan Manusia Dalam Kehidupan
Oleh : Adam Azano Satrio
           Manusia memiliki suatu ciri khas yang tidak dimiliki oleh mahluk lainnya, yaitu rasionalitas. Memang secara umum jika kita lihat melalui kacamata biologis, maka manusia sebenarnya tidak berbeda dengan mahluk lainnya terutama pada hewan. Manusia dan hewan memiliki ciri mahluk hidup pada umumnya, seperti berkembang biak ,tumbuh ,membutuhkan makanan.  Mahluk di dunia ini, kecuali manusia, diklaim tidak memiliki kesadaran dan rasionalitas, seperti hewan dan tumbuhan. Alasan itulah yang menyebabkan kita sebagai manusia merasa bahwa diri memiliki keekslusifan untuk menjadi prioritas dalam setiap keputusan moral terhadap segala macam peristiwa, dan secara tidak langsung menjadi landasan argumen untuk memperlakukan mahluk yang lainnya semau kita. Bagaimana fenomena ini terjadi, serta bagaimana cara kita menyikapinya?

            Pernyataan yang mengatakan bahwa manusia merupakan tinggkatan tertinggi dalam mahluk hidup sangat terlihat dalam pemikiran barat. Dimulai dari Aristotales yang mendefinisikan manusia sebagai Animal Rationale, yang secara tidak langsung mengatakan bahwa manusia itu sebenarnya setara dalam kategori kingdom, yaitu Animale, tetapi memiliki kelebihan pada kemampuan rationalnya. Pemikiran lainnya tentang manusia yang memiliki hierarki tertinggi dibandingkan mahluk lainnya sangat terlihat dalam pemikiran agama kristiani, seperti dalam Kitab Genesis 1: 26  “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Argument teologis inilah yang membuat pemikir pada eranya, seperti Agustinus, berpendapat bahwa kita bisa memberlakukan mahluk selain kita, sebab mahluk tersebut telah diberikan kekuasaannya pada diri kita. Selain itu mahluk selain manusia dikatakan tidak memiliki jiwa dan gambaran Tuhan, sehingga pada hari pembangkitan mereka tidak akan dibangkitkan.

            Pemikiran yang lebih filosofis tentang hierarki manusia terhadap mahluk lainnya dimulai pada era modern, dimana Decartes telah menemukan teori Cogito Ergo Sum, yang pada akhirnya memisahkan antara Ras Ekstensa, Ras Cogitan, dan Tuhan. Apa kesimpulan yang bisa diterima dari teorinya? Pertama, dia bisa mengatkan bahwa manusia memiliki 2 hal dalam substansi dirinya yaitu Ras Cogitan, sebagai mahluk yang memiliki kesadaran yang menyadari bahwa dirinya ada sebagai eksistensi berkesadaran, dan kesadaran tersebut bersifat ruh, rasional, yang diberikan oleh Tuhan. Dirinya juga mengakui adanya Ras Ekstensa, yaitu hal yang diluar dirinya sendiri yang bersifat fisik, mekanistik, dan dapat diketahui secara empiris. Kedua, Descartes percaya bahwa manusia itu merupakan gabungan dari keduanya, sehingga manusia bisa diibaratkan seperti mesin yang bergerak karena ada hantu di dalamnya. Berbeda dengan mahluk lainnya yang dia katakana bahwa hanya memiliki Ras Ekstensa saja, seperti hewan,  tumbuhan, batu dan lain sebagainya. Dikarenakan hanya memiliki Ras Ekstensa saja maka mahluk selain manusia bersifat mekanistik, tidak berkesadaran, dan hanya bersifat stimulus - respon. Alasan itulah yang membuat manusia memiliki hierarki yang lebih tinggi dibandingkan mahluk lainnya, dikarenakan kemampuan berkesadaran. Ketika anda melihat hewan yang kita pikir sedang kesakitan, maka sebenarnya mereka tidak sadar mereka itu kesakitan, semua respon yang dilakukannya hanya bersifat mekanis saja, berbeda dengan manusia yang menyadari bahwa ketika sedang kesakitan yang terjadi tidak hanya sifat mekanistik saja, sebab rasio manusia juga ikut bermain dalam proses tersebut. Inilah asal mula fondasi antroposentrisme mulai terbentuk, dimana manusia menjadi pusat dan landasan segala sesuatu terutama etika.

            Antroposentrisme sendiri merupakan teori yang menganggap manusia merupakan pusat dari universe. Teori ini ditentang secara mutlak oleh para pemikir etika environment, sebab apa yang dihasilkan pada pemikiran tersebut, tak lebih dari eksploitasi serta perusakan lingkungan secara besar. Walaupun begitu pemikir antroposentrisme seperti William Grey berpendapat, bahwa manusia sudah seharusnya menjaga lingkungannya karena hal tersebut memang menguntungkan manusia itu sendiri, sedangkan melakukan eksploitasi secara gegabah akan merugikan kehidupan manusia itu sendiri. Walaupun disini antroposentisme mulai berubah menjadi lebih bertanggung jawab, tetapi argumentasinya masih merupakan argumen yang bersifat untung rugi, ekonomistik, dan tidak tulus. Berbeda dengan para pembela Deep Ekologi yang berkeyakinan bahwa semua mahluk hidup memiliki haknya intrinsiknya tersendiri untuk hidup, dan manusia tidak pantas menggunakannya hanyak untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.

            Hal menarik yang kita bisa bahas selanjutnya adalah pemikiran tentang spesisiesme. Para ahli Deep Ekologi membuat hipotesis tentang perkembangan etika dibarat, yang menjadi fondasi argument menentang adanya spesiesme. Dikatakan bahwa pada tahap awalnya moral itu hanya dimiliki oleh orang yang memiliki rasionalitas, dan terutama pada kulit putih. Karena itulah maka terjadi perbudakan, apartheid, sexisme, serta rasisme. Setelah disadari bahwa tahapan awal tersebut salah secara moral maka etika berkembang menuju tahapan kedua, etika dimana semua orang tak terbataskan oleh status, warna kulit, sex, ras, dan lain sebagainya. Pada tahap ini kesadaran moral dimiliki secara universal bahkan tanpa dibatasi oleh keadaan rasionalitas manusia dan tidak hanya dimiliki oleh sebagian orang saja. Jika kita melihat pada keadaan lingkungan dimana terjadi antroposentrisme, maka kita bisa menemukan kesamaan dengan spesiesme. Spesiesme didefinisikan sebagai ajaran yang mengunggulkan spesies tertentu. Maka pemahaman spesiesisme itu haruslah diganti dengan sikap moral yang lebih luas, dimana semua spesies dapat merasakan kebaikan moral dan tidak digunakan untuk keuntungan semata mahluk lainnya. Tahapan kedua dalam etika ini berupa etika kesadaran bahwa kita ini dengan semua mahluk di alam memiliki tanggung jawab bersama dalam bumi ini, sebagai satu kesatuan yang disebut dengan earthlings.

            Pada akhirnya bisa disimpulkan, bahwa pemahaman kita tentang moral harus bisa dikembangkan secara radikal, tidak hanya perbuatan kita terhadap sesama manusia saja, tetapi juga dengan mahluk lainnya.

Jumat, 14 Oktober 2011

Seorang Filsuf Dengan Dua Aliran Yang Berbeda A.K.A Wittgenstein

Seorang Filsuf Dengan Dua Aliran Yang Berbeda
Oleh: Adam Azano Satrio

            Wittgenstein, seorang filsuf bahasa yang tidak hanya mampu menghasilkan karya yang luar biasa, tetapi juga menciptakan dua aliran yang berbeda dalam pemikirannya sendiri, yang pada umumnya hamper tidak ada filsuf yang melakukan hal tersebut. Karya monumentalnya yang pertama adalah Tractatus Logico-Philosophicus, dan dilanjutkan dengan Philosophical Investigation, dimana dirinya mengkritik pemikirannya sendiri dalam Tractatus.
Pada Tractatus Logico-Philosophicus terlihat antusiasme Wittgenstein untuk membentuk suatu sistem bahasa yang sempurna, dimana hanya proposisi yang bermakna sajalah yang bisa dan pantas untuk diucapkan dan perbincaangkan. Proposisi yang bermakna tersebut memiliki kemampuan untuk menggambarkan realitas yang ada di dunia ini secara atomisme logis,dimana suatu proposisi mampu dicacah menjadi suatu kata yang bermakna dan ada representasinya, seperti kata “ayam” yang akan merepresentasikan gambaran ayam itu sendiri, serta mampu diuji secara observasi empiris. Konsekuensi terbesar yang akan diterima adalah proposisi berbau metafisika dan etika akan tidak bisa dikatakan dan tidak diperbincangkan. Sedih, perih, keadilan, jahat, indah, dan cinta tidak dapat dikatakan dan diperbincangkan sebab kata tersebut tidak ada reprensentasinya dalam kehidupan ini. Terlihat secara jelas bahwa Wittgenstein sangat ingin membentuk suatu system bahasa yang sangat sempurna dimana terdapat garis demarkasi yang jelas tentang hal – hal yang bisa dengan yang tidak bias dibicarakan.
Setelah karyanya yang pertama yaitu Tractatus, Wittgenstein tidak menulis karya apa pun sampai ia kembali ke Cambridge pada tahun 1929. Pada masa-masa inilah, Wittgenstein mencoba menyusun secara bertahap karya besarnya yang kedua yaitu Philosophical Investigations dengan dibantu oleh dua orang muridnya yaitu G. Ascombe dan Rush Rhess. Tampaknya, Philosophical Investigations merupakan sebuah koreksi atas karya yang pertama
            Dalam Philosophical Investigations, ia menolak terutama tiga hal yang dulu diandaikan begitu saja:
1.      Bahwa bahasa hanya digunakan untuk menggambarkan hal – hal faktual saja.
2.      Bahwa kalimat-kalimat mendapat maknanya dengan cara menggambarkan suatu fakta.
3.      Bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna.
Jika bahasa tidak hanya ditugaskan untuk menggambarkan hal - hal faktual saja, maka apa saja tugas bahasa? Wittgenstein menunnjukan bahwa bahasa dalam realitas didunia ini memiliki penggunaan yang luas. Jika saya mengatakan kata “kipas angin” dan kata tersebut mampu untuk merepresentasikan gambaran dari kipas angin, lalu bagaimana dengan kata lain yang digunakan dalam realitas kehidupan ini seperti halo, ataupun maaf? Apakah gambaran yang cocok dengan kata tersebut? Secara sadar Wittgenstein mengakui bahwa dirinya melakukan kesalahan pada karyanya yang pertama. Selama ini dirinya beranggapan bahwa, hanya ada satu cara untuk menggunakan bahasa untuk menunjukan bahwa ada hubungan antara dunia dengan bahasa. Oleh karenanya Wittgenstein memberikan landasan lain dalam penggunaan bahasa yaitu dengan menggunakan “permainan bahasa.”

 Lalu apa saja kegunaan bahasa yang ditemukan oleh Wittgenstein?

Giving orders, and acting on them -
Describing an object by its appearance, or by its measurements -
Constructing an object from a description (a drawing) -
Reporting an event -
Speculating about the event -
Forming and testing a hypothesis -
Presenting the results of an experiment in tables and diagrams -
Making up a story; and reading one -
Acting in a play -
Singing rounds -
Guessing riddles -
Cracking a joke; telling one -
Solving a problem in applied arithmetic -
Translating from one language into another -
Requesting, thanking, cursing, greeting, praying.
 It is interesting to compare the diversity of the tools of language and of the ways they are used, the diversity of kinds of word and sentence, with what logicians have said about the structure of language.
Wittgenstein menunjukkan bahwa terdapat banyak cara mengenai pemakaian bahasa. Berbagai kata kerja, kata benda dan sebagainya dapat digunakan dengan cara berbeda yang menurut Wittgenstein tidak  tak terbatas. Keaneka ragaman ini bukanlah merupakan bahasa yang tetap, tetapi merupakan tipe bahasa baru (pluralisme bahasa), permainan bahasa yang muncul, yang lama menjadi kuno dan dilupakan orang. Di sini istilah permainan bahasa seperti menunjukkan bahwa pengucapan bahasa merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Wittgenstein memberikan contoh - contoh permainan bahasa, Konsep permainan bahasa menunjukan bahwa hakikat makna bahasa adalah masalah penggunaannya dalam kehidupan manusia yang bersifat kompleks, dan tak terbatas.
            Pertanyaan selanjutnya yang bisa untuk dikritisi adalah jika dalam karya pertama Wittgenstein mengatakan bahwa bahasa bermakna merupakan kata yang memiliki gambaran secara real dan berdasarkan observasi empiris, maka apa yang menjadi landasan dalam Philosopyhcal Investigation? Bagi Wittgenstein bahasa dalam karyanya ini bisa dikatakan dan diperbincangkan dengan mengikuti  “peraturan  permainan yang berlaku” yang sama antar individu satu dengan indiviu lainnya. kita asumsikan jika seseorang sedang membahas jiwa, dan ada salah satu individu yang menyamaratakan jiwa sebagai suatu benda yang fisik. Maka pada akhirnya perbincangan ini tidak akan pernah selesai karena mencampur peraturan satu “permaian”, dengan “permainan” lainnya dalam pembahasan tersebut sehingga penggunaan bahasa tersebut telah menjadi “kabur”. Bagi Wittgenstein ini adalah tugas utama dari filsafat yaitu membawa bahasa yang “kabur” sehingga bisa digunakan sehari-hari dengan kegunaannya yang seharusnya, atau dengan analogi dari dirinya yaitu membiarkan lalat untuk keluar dari dalam botol.
            Ada hal yang bisa dipetik dari penciptaan Philosophical Investigations, selain kegunaannya secara teoritis. Wittgenstein sebagai filsuf besar memiliki keunikan utama dalam perkembangan pemikirannya. Sangat jarang ada filsuf yang mampu mengembangkan pemikiran yang yang berbeda dengan pemikiran awalnya. Wittgenstein yang pada awalnya berpegang teguh bahwa bahasa bermakna harus dapat merepresentasikan realitas yang mampu di uji secara observasi empiris, dengan lapang dada mengkritik pemikiran awalnya sendiri dalam karya Philosophical Investigations. Ini merupakan suatu contoh yang patut ditiru, bahwa seseorang yang telah menyadari hidupnya untuk bergelut dalam dunia filsafat harus berani berkontemplasi, mengkritik, dan selalu berusaha mencari kebenaran yang sesungguhnya, walaupun hal yang dikritik adalah pemikirannya sendiri.

Kamis, 13 Oktober 2011

Kritik Estetika, Radiohead Lotus Flower

Tugas Estetika
Kritik Seni
Oleh : Adam Azano Satrio,0906522861
Deskriptif Objektif
Judul lagu Lotus Flower, dibawakan oleh band Radiohead, urutan lagu ke 5 dari album The Kings of Limbs. Album itu sendiri diproduksi pada 18 februari 2011 Berdurasi 5:00. Memiliki video klip yang menunjukan sang vokalis melakukan tarian dengan nuanasa warna hitam putih.Lagu ini menggunakan alat musik drum, bass dengan effect, vokal, serta synthesizer. Memiliki nada dasar dari D minor.
Lirik
Verse I
I will shape myself into your pocket
Invisible
Do what you want
Do what you want

I will shrink and I will disappear
I will slip into the groove
and cut me off
And cut me off

Reff
There's an empty space inside my heart
Where the weeds take root
And now I'll set you free
I'll set you free

There's an empty space inside my heart
Where the weeds take root
So now I'll set you free
I'll set you free

Chorus
Slowly we unfurl
As lotus flowers
'Cos all I want is the moon upon a stick
Just to see what if
Just to see what is
I can't kick your habit
Just to fill your fast ballooning head
Listen to your heart

Verse II
We will shrink and we'll be quiet as mice
And while the cat is away
Do what we want
Do what we want
Reff
There's an empty space inside my heart
Where the weeds take root
So now I'll set you free
I'll set you free
Bridge
'Cos all I want is the moon upon a stick
Just to see what if
Just to see what is
The bird lights float into my room

Chorus
Slowly we unfurl
As lotus flowers
'Cos all I want is the moon upon a stick
I dance around the pit
The darkness is beneath
I can't kick your habit
Just to feed your fast ballooning head
Listen to your heart

Analisa Formal
            Lagu ini memiliki aransemen yang menggunakan dasar nada D minor, dan penggunaan nada ini biasa digunakan untuk lagu yang bernuansa seram, dan sedih. Pada bagian verse dan refrain lirik yang digunakan memiliki 4 baris, sedangkan pada bagian chorus  memiliki 8 bait. Sedangkan vidio klip lagu tersebut menggambarkan sang vokalis yang sedang melakukan tarian yang mengekspresikan secara harfiah lirik yang terdapat dalam lagu tersebut, dengan nuansa hitam putih. Tarian itu sendiri diatur oleh Wayne McGregor, penari kontemporer yang terkenal.
Interpretasi
Saat mendengar vidio klip lagu tersebut, yang saya perhatikan pertama kali adalah permainan instrumennya. Lagu tersebut secara umum memiliki permainan nada minor yang sering digunakan pada lagu yang memiliki tema seram dan kesedihan. Penggunaan nada tersebut memberikan kesan bahwa lagu ini ingin bercerita tentang kebingungan dan kesuraman, walaupun pada bagian chorus lagu tersebut terasa nuansa lebih cerah. Tapi bagi saya sendiri ketika mendengar lagu tersebut, saya secara estetis merasakan keadaan penuh kebingungan.  
Lalu yang saya perhatikan selanjutnya adalah gerakan sang Vokalis Thom Yorke yang diarahkan oleh Wayne McGregor. Pada awalnya saya berpendapat bahwa  tarian yang dibawakan merupakan gerakan acak yang tak bertema dan tidak memiliki hubungan yang erat dengan lagu tersebut. Pendapat saya berubah setelah saya memperhatikan lirik lagu tersebut, yang ternyata tarian dalam lagu tersebut merupakan representasi dari sajak yang ada dalam lirik tersebut.
Dan yang terakhir dari segi lirik, yang bagi saya merupakan kekuatan utama lagu ini. Lirik dalam lagu ini merupakan lirik yang tidak mudah untuk dipahami secara literal dan sangat menarik untuk diinterpretasi. Disini saya secara personal merasakan kenikmatan tersendiri dalam menafsirkan apa maksud lirik lagu ini, dan keunikan lirik ini adalah kemampuannya untuk memberikan makna terhadap tarian yang berada dalam video klip tersebut.
Saya merasa ketika membahas lagu ini ada dua teori yang bisa digunakan untuk mengapresiasi lagu ini, yang pertama ekspresionisme, dan teori Noël Carroll tentang interpretasi. Lagu ini mampu mengekspresikan keadaan seseorang yang mengalami kebingungan dan kesuraman, dengan penggunaan nada – nada yang minor, serta karakter vokalis yang memiliki ciri khas suara tipis dan sering menggunakan teknik falseto. Permainan musik tersebut sangat tepat untuk menyampaikan ekspresi dari sang pencipta lagu tersebut.
Keunikan utama dalam lagu ini adalah memberikan kesempatan bagi kita untuk menginterpretasi lagu ini baik dari lirik, maupun dari tarian didalam vidio klip tersebut. Jika kita membaca lirik tersebut maka dapat kita tafsirkan bahwa lagu tersebut menceritakan kehidupan seseorang yang terkekang dan memiliki ketakutan dalam berekspresi, hal tersebut dapat terlihat dari bagian verse, Tetapi pada bagian refrain diceritakan bahwa orang tersebut sedang mengalami keberanian agar bisa membebaskan dirinya untuk berekspresi, sesuai dengan kalimat ini  “There’s an empty space inside my heart, where the weeds take root, so now I’ll set you free, I’ll set you free”. Lalu pada bagian chorus ditekankan lagi untuk berani berekspresi, dan bertindak,walaupun hal tersebut merupakan hal yang tak masuk akal, interpretasi tersebut berdasarkan pada kalimat “’cos all I want is the moon upon a stick”.
Yang saya hendak sampaikan pada paragraf di atas adalah, seni selain bermain dengan emosi estetis, juga mampu untuk menggugah para penikmatnya untuk menginterpretasi suatu karya. Lirik dalam lagu tersebut mengizinkan setiap orang untuk menginterpretasi maksud dan tujuan lagu itu diciptakan, sehingga setiap penikmat lagu Lotus Flower mampu memberikan makna pada lagu tersebut, dan bisa diperbincangkan serta didiskusikan.

Evaluasi
          Lagu Lotus Flower yang dibawakan oleh Radiohead, menurut penilaian saya merupakan lagu yang bagus dan unik, sebab penyampaian ekspresi lagu tersebut tak hanya terbatas melalui musik, tetapi juga melalui vidio klip dan lirik mereka. Mengingat banyak lagu yang memiliki musik yang bagus tetapi memiliki vidio klip yang tidak memiliki kaitan dengan lagu tersebut seperti lagu Only One yang dibawakan band Yellow card.
            Selain itu lirik dalam lagu tersebut mampu menggelitik para pendengarnya untuk menginterpretasi lirik dan maksud lagu tersebut. Mengingat bahwa lirik lagu ini mampu membuka kesempatan untuk diinterpretasi secara luas, dikarenakan pemilihan kata – kata yang unik. 

VideoRadiohead Lotus Flower

Only One Yellowcard

Filsafat Sosial Individu dan Negara

Makalah Filsafat Sosial
Individu dan Negara





Oleh, Adam Azano Satrio

Bab I
Pendahuluan
          Sebagaimana kita telah ketahui, dalam kehidupan manusia, terutama pada saat ini, setiap individu manusia yang lahir pastilah memiliki status kewarganegaraan, yang dimana label tersebut secara disadari maupun tidak disadari telah mengikat individu dengan peraturan. Individu itupun memiliki hak yang harus diberikan oleh negara yang mengikatnya, karena jika hak tersebut tidak diberikan, maka dimungkinkan terjadinya para individu tersebut akan memberontak.
            Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik rasa intelektual kita berdasarkan pernyataan dalam paragraph di atas tersebut. kita selalu diingatkan dan diajarkan bahwa manusia secara hakikat memiliki kebebasan yang besar, tetapi kenapa sampai diperlukan suatu institusi yang memiliki kekuatan untuk membatasi kebebasan tersebut, sehingga wajarlah J.J. Rousseau mengatakan “MANUSIA TERLAHIR BEBAS, DAN KINI DI MANA-MANA IA TERBELENGGU”. Di sinilah sebuah pembahasan tentang kontrak sosial bisa dijadikan acuan untuk menjawab hal tersebut.
            Pada umumnya negara memiliki tujuan untuk memberikan keadilan terhadap para individu yang telah terikat olehnya. Namun apakah sebenarnya makna dari keadilan tersebut? Apakah hanya sebatas perasaan sama rata, sama rasa? Ataukah memberikan kebebasan seutuhnya pada individu untuk berkompetisi? Mengingat sesuai pernyataan Locke, bahwa ada tiga hak utama individu yang mau tidak mau wajib dijaga oleh negara yaitu hak hidup, hak kebebasan, serta hak properti. Di sini John Rawls mengusung pembahasan baru tentang kehidupan sosial, yaitu tentang masalah keadilan dalam bukunya Theory of Justice. Selain itu pada abad ini terjadi kesadaran keberagaman baik dalam hal nilai, budaya, kebiasaan, hingga agama. Karena perbedaan itulah diperlukan suatu pandangan yang menyadari dan menghormati adanya perbedaan di negeri ini. Pandangan ini diperlukan bagi siapa saja dengan tujuan menumbuhkan rasa hormat dan terhadap manusia lain yang berbeda secara kebudayaan dan mempertahankan keunikan kelompoknya, maka pembahasan selanjutnya yang hadir adalah tentang masalah multikulturalisme.
            Penulis berusaha merangkum persoalan-persoalan di atas secara ringkas dan padat ke dalam makalah ini.


Bab II
Tentang Individu Dan Negara
Kita semenjak lahir dan mati sebagai individu yang bebas pada akhirnya pasti tinggal dan terikat pada suatu negara ataupun kekuasaan tertentu. Lalu apakah kita pernah bertanya – tanya, bagaimana hubungan antara tiap – tiap individu dengan suatu negara dan sebaliknya? Sebelum melanjutkan pertanyaan tersebut penulis akan membahas definisi negara dan individu dengan maksud mempermudah menjelaskan hubungan dari keduanya. Negara adalah suatu organisasi masyarakat yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta menyelenggarakan suatu masyarakat. Sedangkan menurut Max Weber, negara adalah suatu struktur masyarakat yang mempunyai monopoli dalam menggunakan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. Sedangkan Individu, yang berasal dari bahasa latin individum, yang tak terbagi, diartikan lebih jauh lagi sebagai manusia yang ,hidup, bertindak, berfikir secara mandiri dan sendiri. Dengan dua definisi diatas, kita bisa menyadari, bahwa negara adalah otoritas legal yang memiliki kekuasaan untuk mengontrol masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri pastilah terdiri dari individu. Dari benang merah tersebut kita bisa melanjutkan dengan pertanyan–pertanyaan filosofis dalam ranah ontologi dan epistemologi dari bagaimana proses terjadinya negara? Lalu bagaimana individu bisa terikat dengan dengan negara? Apakah individu yang membutuhkan keberadaan negara untuk menjaga mereka? Jika iya maka akan ada pertanyaan selanjutnya, yang akan bersinggungan dengan nilai etika suatu negara. Apakah tugas suatu negara itu hanya mengamankan kestabilitas dan keamanan negaranya saja, dengan konsekuensi memiliki legitimasi untuk mengontrol penuh kehidupan individu dari ruang publik hingga ruang privat? Atau negara hanya bertugas sebagai “Pembantu Rakyat”? Yang kewenangannya terbatas pada kehendak rakyatnya dan cukup berurusan pada ruang publik. Jika kita setuju dengan pernyataan kedua maka akan ada persoalan yang lainnya. Dengan diakuinya bahwa negara harus mengikuti kehendak rakyat, maka kemungkinan besar setiap keputusan negara akan berpola pikir mayoritas, sehingga memungkinkan pendiskriminasian terhadap kaum minoritas. Maka terjadilah pembahasan tentang masalah keadilan, dalam segala aspek. Selain itu pada realitas sekarang ini terjadi keberagaman baik dalam hal nilai, budaya, kebiasaan, hingga agama. Karena perbedaan itulah diperlukan suatu pandangan yang menyadari dan menghormati adanya perbedaan di negeri ini. Pandangan ini diperlukan bagi siapa saja dengan tujuan menumbuhkan rasa hormat dan terhadap manusia lain yang berbeda secara kebudayaan dan mempertahankan keunikan kelompoknya.
Teori Kontrak Sosial
“Jika tiap individu menyadari bahwa negara pada hakikatnya menggadaikan sebagian kebebasan kita, apakah kita masih memerlukan negara?”
Saya akan mencoba menjawab tiga pertanyaan utama berkaitan dengan individu dangan negara, yaitu, mengapa individu membutuhkan negara? Bagaimana individu bisa terikat dengan sesuatu kekuasan yang disebut dengan negara? Bagaimana negara itu ada? Semua permasalahan tentang ini, telah dibahas oleh tiga filsuf besar, yang sering disebut filsuf social contractism. yaitu, Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau. Mereka bertiga setuju jika terjadinya suatu negara melewati tiga tahap yaitu keadaan alamiah, keadaan perang, dan yang terakhir adalah keadaan negara atau persemakmuran. Jika Hobbes berpendapat bahwa pada saat keadaan alamiah manusia itu bebas dan selalu berkompetisi. Karena manusia selalu mementingkan keegoisan dirinya sendiri dan menjadi musuh dengan orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan dirinya, dan kesadaran yang dimiliki manusia pada saat itu adalah hak manusia untuk hidup dan memenuhi kebutuhannya masing-masing, maka Locke dan Rousseau mengajukan teori berbeda. Locke berpendapat, pada keadaan alamiah manusia hidup secara independen dan damai dengan memiliki hak hakiki, yaitu hak hidup, hak kebebasan, hak properti, dan manusia saling menghargai dan tidak mengganggu hak individu lainnya. Rousseau memiliki paham yang sama dengan Locke tentang keadaan asali manusia yang bebas dan damai, karena keadaan alam pada saat itu berkelimpahan sumber daya, tapi perbedaannya adalah dia mengganggap manusia tidak memiliki hak properti secara mutlak, dan tidak bersifat indipenden tetapi bersifat komunal, dengan alasan agar bisa bertahan hidup di alam. Lalu keadaan alamiah berubah menjadi keadaan perang dimana keadaan tersebut, mulai terjadi aksi kebrutalan manusia yang bersifat luas, yang pada akhirnya akan menghasilkan keadaan negara atau civil society. Menurut Hobbes, keadaan perang adalah keadaan dimana manusia mulai melakukan kompetisi dengan cara yang apapun juga, bahkan dengan jalan kekerasan. Ini dikarenakan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan manusia sudah terbatas. Pada Locke dan Rousseu, keadaan perang dimulai ketika manusia sudah mulai menginginkan suatu hal lebih dari yang dibutuhkan oleh dirinya sendiri, sehingga manusia merampas hak orang lain, dan orang yang dirampas tersebut memiliki kesadaran untuk menjaga hak pribadinya dengan cara apapun juga, salah satunya adalah dengan cara menggunakan senjata. Lalu terjadilah persekutuan yang menghasilkan negara. Yang jika pada Hobbes lebih memilih bentuk pemerintahan absolut, sedangkan pada Locke dan Rousseau memilih demokrasi.
Dapat kita simpulkan dari paragraph di atas, bahwa individu walau terpaksa menggadaikan sebagian kebebasan milik mereka, seharusnya mereka mendapatkan keuntungan dengan mendapatkan proteksi dari negara.
Teori Keadilan dan Multikulturalisme
Pada suatu masa, dimana ada negri yang memiliki danau yang di dalamnya banyak ikan, terdapat suatu peraturan, negara menjamin kebebasan tiap-tiap warga negaranya untuk mengeruk hasil alam dalam danau tersebut tanpa terkecuali, negara hanya akan ikut campur, jika terjadi masalah pencurian terhadap property hasil usahanya sendiri atau terjadi konflik fisik dalam proses penangkapan ikan, dan pertanyaan selanjutnya, apakah Negara itu adil?”
Pembahasan kita selanjutnya adalah mengkaji hubungan antara individu dan negara dengan menyinggung masalah etika suatu negara. Jika kita membicarakan negara, pastilah kita akan bersinggungan dengan dua hal yaitu kekuasaan, dan keadilan. Hal tersebut akan tergambar dari peraturan dan kebijakan, yang diterapkan negara kepada rakyat yang terikat kepadanya. Setelah kita mengetahui bahwa negara bisa berkuasa atas individu, baik secara mutlak maupun terbatas, maka salah satu pertanyaan yang bisa muncul adalah, bagaimana kekuasaan yang diberikan kepada negara bisa menjamin keadilan rakyatnya? Jika kita mengikuti faham Hobbes dengan bentuk negara totaliter miliknya, maka kita tidak bisa memaksa negara untuk memperdulikan aspirasi rakyatnya. Karena pada negara tersebut kekuatan negara adalah keadilan, dan penguasa pemerintahan mau tidak mau lebih memikirkan bagaimana cara mempertahankan kekuasaanya. Lalu bagaimana dengan bentuk negara demokrasi, dimana tidak boleh ada kekuatan yang melebihi hukum? Maka persoalan dasar adalah, bagaimana kebijakan yang diciptakan negara harus memiliki keadilan yang menyeluruh terhadap setiap individu didalamnya, baik keadilan ekonomi, keadilan politik, keadilan sosial, keadilan ekonomi dan lain sebagainya. Salah satu jawabannya adalah dengan merefleksikan Theory of Justice karya John Rawls.
Secara singkat karya Rawls merupakan pandangan baru tentang liberalisme dan egaliterian, terutama tentang masalah hak kepemilikan. Kita telah mengetahui, bahwa dalam hak kepemilikan, semua orang berhak untuk memiliki hasil dari usaha dirinya sendiri. Lalu terjadi pertanyaan apakah semua orang terlahir sama dan setara dalam hal kesempatan untuk mendapat hasil jerih payahnya sendiri? Berdasarkan Rawls kita memang terlahir secara secara sama dalam hak yang hakiki, tetapi kita lahir memiliki perbedaan, dan konsep keadilan miliknya bukanlah keadilan yang bersifat sama rata tetapi keadilan yang berdasarkan kesadaran adanya perbedaan terutama kesempatan. Sebab pada kenyataannya, ada sebagian orang yang terlahir dari keluarga yang kaya bisa memperoleh akses yang lebih luas pada semua hal baik, pendidikan, kehidupan sosial, dan lainnya. Namun jika kita melihat orang lain yang terlahir pada keluarga miskin, memiliki cacat tubuh, apakah bisa memiliki akses seperti orang kaya? Maka John Rawls merancang suatu sistem keadilan, dimana bisa diciptakan suatu keadilan dalam payung liberalisme dan egalitarian yang memungkinkan semua orang, baik yang paling beruntung, hingga yang paling menderita, agar mendapat keadilan dalam hal kesempatan yang sepantasnya. Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai kepentingannya terlebih dahulu baru kemudian kepentingan umum. Hasrat ini adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan ukuran pencapaian keadilan. Maka harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan ini. Namun realitas masyarakat menunjukan bahwa kebebasan tidak dapat sepenuhnya terwujud karena adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat. Perbedaan ini menjadi dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka yang lemah. Apabila sudah ada persamaan derajat, maka semua harus memperoleh kesempatan yang sama untuk memenuhi kepentingannya. Walaupun nantinya memunculkan perbedaan, bukan suatu masalah, asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan dan titik berangkat yang sama. Dari teori keadilan miliknya, menyiratkan pemerintahan berhak untuk campur tangan dalam kehidupan warganegaranya agar terjadi adanya keadilan dalam hal kesempatan tersebut, sebab segala keuntungan yang dimiliki kita sekarang sebenarnya hanya keberuntungan saja dan kita memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan kesempatan pada orang yang kurang beruntung. Kemudian rekan sejawatnya, Robert Nozik memberikan kritik keras terhadap dirinya.
Secara garis besar kritik utamNozick terhadap Rawls adalah yaitu moral principles. Nozik menekankan pada self ownership, dimana segara sumber daya yang dimiliki individu adalah hak sepenuhnya bagi individu itu termasuk apa yang dihasilkan dari sumber daya yang ia miliki. Nozick mengatakan bahwa sesuatu perbuatan disebut adil jika memenuhi dalam arti akusisi atau individu dapat menggunakan sumber daya tanpa merugikan keuntungan orang lain, kemudian bagi Nozick sebuah distribusi adalah legal, jika beranjak dari klaim yang sah atas barang / talenta (bisa diserahkan, dipertukarkan, diperdagangkan). Lalu hadir seorang filsuf India yang mendobrak pemikiran keadilan terutama dalam bidang ekonomi yaitu Amartya Sen. Sebagai murid John Rawls, dia memiliki keyakinan bahwa kebebasan dan keadilan merupakan syarat penting untuk mencapai kebahagiaan. Gagasan Sen sesungguhnya ingin menyelesaikan tiga hal pada tiga problem dunia, kekerasan sebagai akibat dari kemiskinan, kemiskinan sebagai buah pembangunan ekonomi yang salah, dan ekonomi berkeadilan sebagai solusi dalam menyelesaikan kemiskinan dan kekerasan. di masa lalu para ekonom dan ahli-ahli politik beranggapan, “kelaparan adalah kondisi di mana tidak punya makanan (sebab manusia lebih banyak dari makanan).” Dengan melewati pikiran itu, Sen ingin mengatakan bahwa “kelaparan adalah kondisi di mana orang tidak memiliki akses pada makanan akibat adanya ketidaksetaraan dalam bangunan mekanisme distribusi makanan.” Atau ada yang salah dalam pengelolaan pangan. Dalam keadaan yang globalisasi ini individu yang hidup dalam kebiasaan dari masyaraktnya akan banyak terintervensi, dan terpengaruh oleh kebudayaan diluar mereka. Hal ini menimbulkan adanya keinginan untuk mempertahankan keunikan dari masyarakat tersebut. Maka paham yang masih berhubungan dengan hubungan sekelompok individu atau masyarakat dengan negara, yaitu multikulturalisme. Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Will Kymlicka membedakan dua kategori keragaman yaitu negara multi bangsa dan negara polietnis, yang kedua hal tersebut bertujuan untuk mempertahankan keunikan kebudayaannya.

Bab III
Kesimpulan
          Filsafat sosial berusaha membahas individu dan negara tentang relasi antara individu dan negara itu terjadi, dan tidak hanya berhenti sampai langkah itu saja. Filsafat sosial juga berusaha mencari konsekuensi serta berspekulasi apa saja yang akan terjadi dalam realitas kehidupan sosial manusia.
            Dalam paragraph di atas bisa disimpulkan bahwa negara terbentuk karena konflik yang dibuat oleh individu itu sendiri. Dimana sebagian individu berusaha mencari jalan tengah untuk membuat perdamaian dan rela untuk menggadaikan sebagaian kebebasannya. Selain itu mengingat bahwa salah satu tugas dari negara adalah memberikan keadilan terhadap warga negaranya, maka persoalan yang selama ini jarang dibahas secara filosofis akhirnya terangkat, yaitu persoalan keadilan. Keadilan ini tidak hanya terbatas persoalan kesamaan dalam hal penghidupan, tetapi bisa berujung dalam persoalan keadilan dalam hal pengakuan komunitas, dan kesadaran tentang keberagaman dalam multikulturalisme.

Daftar Pustaka

Hampton, Jean. 1999. "Social Contract". In Cambridge Dictionary of Philosophy. London: Cambridge University Press.
Rawls, John. 1995. A Theory of justice. Revised edition. Cambridge, Massachusetts: Macmillan Publishing Company.
Kymlicka,Will. 2002. Kewargaan Multikultural, Pustaka LP3ES Indonesia.
Sen, Amartya. 2000. Development as Freedom. New York: Achor Books.

Hardiman, Budi. 2007. Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.