Page

Total Tayangan Halaman

Senin, 24 Oktober 2011

Mempertanyakan Kedudukan Manusia Dalam Kehidupan

       Mempertanyakan Kedudukan Manusia Dalam Kehidupan
Oleh : Adam Azano Satrio
           Manusia memiliki suatu ciri khas yang tidak dimiliki oleh mahluk lainnya, yaitu rasionalitas. Memang secara umum jika kita lihat melalui kacamata biologis, maka manusia sebenarnya tidak berbeda dengan mahluk lainnya terutama pada hewan. Manusia dan hewan memiliki ciri mahluk hidup pada umumnya, seperti berkembang biak ,tumbuh ,membutuhkan makanan.  Mahluk di dunia ini, kecuali manusia, diklaim tidak memiliki kesadaran dan rasionalitas, seperti hewan dan tumbuhan. Alasan itulah yang menyebabkan kita sebagai manusia merasa bahwa diri memiliki keekslusifan untuk menjadi prioritas dalam setiap keputusan moral terhadap segala macam peristiwa, dan secara tidak langsung menjadi landasan argumen untuk memperlakukan mahluk yang lainnya semau kita. Bagaimana fenomena ini terjadi, serta bagaimana cara kita menyikapinya?

            Pernyataan yang mengatakan bahwa manusia merupakan tinggkatan tertinggi dalam mahluk hidup sangat terlihat dalam pemikiran barat. Dimulai dari Aristotales yang mendefinisikan manusia sebagai Animal Rationale, yang secara tidak langsung mengatakan bahwa manusia itu sebenarnya setara dalam kategori kingdom, yaitu Animale, tetapi memiliki kelebihan pada kemampuan rationalnya. Pemikiran lainnya tentang manusia yang memiliki hierarki tertinggi dibandingkan mahluk lainnya sangat terlihat dalam pemikiran agama kristiani, seperti dalam Kitab Genesis 1: 26  “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Argument teologis inilah yang membuat pemikir pada eranya, seperti Agustinus, berpendapat bahwa kita bisa memberlakukan mahluk selain kita, sebab mahluk tersebut telah diberikan kekuasaannya pada diri kita. Selain itu mahluk selain manusia dikatakan tidak memiliki jiwa dan gambaran Tuhan, sehingga pada hari pembangkitan mereka tidak akan dibangkitkan.

            Pemikiran yang lebih filosofis tentang hierarki manusia terhadap mahluk lainnya dimulai pada era modern, dimana Decartes telah menemukan teori Cogito Ergo Sum, yang pada akhirnya memisahkan antara Ras Ekstensa, Ras Cogitan, dan Tuhan. Apa kesimpulan yang bisa diterima dari teorinya? Pertama, dia bisa mengatkan bahwa manusia memiliki 2 hal dalam substansi dirinya yaitu Ras Cogitan, sebagai mahluk yang memiliki kesadaran yang menyadari bahwa dirinya ada sebagai eksistensi berkesadaran, dan kesadaran tersebut bersifat ruh, rasional, yang diberikan oleh Tuhan. Dirinya juga mengakui adanya Ras Ekstensa, yaitu hal yang diluar dirinya sendiri yang bersifat fisik, mekanistik, dan dapat diketahui secara empiris. Kedua, Descartes percaya bahwa manusia itu merupakan gabungan dari keduanya, sehingga manusia bisa diibaratkan seperti mesin yang bergerak karena ada hantu di dalamnya. Berbeda dengan mahluk lainnya yang dia katakana bahwa hanya memiliki Ras Ekstensa saja, seperti hewan,  tumbuhan, batu dan lain sebagainya. Dikarenakan hanya memiliki Ras Ekstensa saja maka mahluk selain manusia bersifat mekanistik, tidak berkesadaran, dan hanya bersifat stimulus - respon. Alasan itulah yang membuat manusia memiliki hierarki yang lebih tinggi dibandingkan mahluk lainnya, dikarenakan kemampuan berkesadaran. Ketika anda melihat hewan yang kita pikir sedang kesakitan, maka sebenarnya mereka tidak sadar mereka itu kesakitan, semua respon yang dilakukannya hanya bersifat mekanis saja, berbeda dengan manusia yang menyadari bahwa ketika sedang kesakitan yang terjadi tidak hanya sifat mekanistik saja, sebab rasio manusia juga ikut bermain dalam proses tersebut. Inilah asal mula fondasi antroposentrisme mulai terbentuk, dimana manusia menjadi pusat dan landasan segala sesuatu terutama etika.

            Antroposentrisme sendiri merupakan teori yang menganggap manusia merupakan pusat dari universe. Teori ini ditentang secara mutlak oleh para pemikir etika environment, sebab apa yang dihasilkan pada pemikiran tersebut, tak lebih dari eksploitasi serta perusakan lingkungan secara besar. Walaupun begitu pemikir antroposentrisme seperti William Grey berpendapat, bahwa manusia sudah seharusnya menjaga lingkungannya karena hal tersebut memang menguntungkan manusia itu sendiri, sedangkan melakukan eksploitasi secara gegabah akan merugikan kehidupan manusia itu sendiri. Walaupun disini antroposentisme mulai berubah menjadi lebih bertanggung jawab, tetapi argumentasinya masih merupakan argumen yang bersifat untung rugi, ekonomistik, dan tidak tulus. Berbeda dengan para pembela Deep Ekologi yang berkeyakinan bahwa semua mahluk hidup memiliki haknya intrinsiknya tersendiri untuk hidup, dan manusia tidak pantas menggunakannya hanyak untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.

            Hal menarik yang kita bisa bahas selanjutnya adalah pemikiran tentang spesisiesme. Para ahli Deep Ekologi membuat hipotesis tentang perkembangan etika dibarat, yang menjadi fondasi argument menentang adanya spesiesme. Dikatakan bahwa pada tahap awalnya moral itu hanya dimiliki oleh orang yang memiliki rasionalitas, dan terutama pada kulit putih. Karena itulah maka terjadi perbudakan, apartheid, sexisme, serta rasisme. Setelah disadari bahwa tahapan awal tersebut salah secara moral maka etika berkembang menuju tahapan kedua, etika dimana semua orang tak terbataskan oleh status, warna kulit, sex, ras, dan lain sebagainya. Pada tahap ini kesadaran moral dimiliki secara universal bahkan tanpa dibatasi oleh keadaan rasionalitas manusia dan tidak hanya dimiliki oleh sebagian orang saja. Jika kita melihat pada keadaan lingkungan dimana terjadi antroposentrisme, maka kita bisa menemukan kesamaan dengan spesiesme. Spesiesme didefinisikan sebagai ajaran yang mengunggulkan spesies tertentu. Maka pemahaman spesiesisme itu haruslah diganti dengan sikap moral yang lebih luas, dimana semua spesies dapat merasakan kebaikan moral dan tidak digunakan untuk keuntungan semata mahluk lainnya. Tahapan kedua dalam etika ini berupa etika kesadaran bahwa kita ini dengan semua mahluk di alam memiliki tanggung jawab bersama dalam bumi ini, sebagai satu kesatuan yang disebut dengan earthlings.

            Pada akhirnya bisa disimpulkan, bahwa pemahaman kita tentang moral harus bisa dikembangkan secara radikal, tidak hanya perbuatan kita terhadap sesama manusia saja, tetapi juga dengan mahluk lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar