Page

Total Tayangan Halaman

Kamis, 13 Oktober 2011

Filsafat Sosial Individu dan Negara

Makalah Filsafat Sosial
Individu dan Negara





Oleh, Adam Azano Satrio

Bab I
Pendahuluan
          Sebagaimana kita telah ketahui, dalam kehidupan manusia, terutama pada saat ini, setiap individu manusia yang lahir pastilah memiliki status kewarganegaraan, yang dimana label tersebut secara disadari maupun tidak disadari telah mengikat individu dengan peraturan. Individu itupun memiliki hak yang harus diberikan oleh negara yang mengikatnya, karena jika hak tersebut tidak diberikan, maka dimungkinkan terjadinya para individu tersebut akan memberontak.
            Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik rasa intelektual kita berdasarkan pernyataan dalam paragraph di atas tersebut. kita selalu diingatkan dan diajarkan bahwa manusia secara hakikat memiliki kebebasan yang besar, tetapi kenapa sampai diperlukan suatu institusi yang memiliki kekuatan untuk membatasi kebebasan tersebut, sehingga wajarlah J.J. Rousseau mengatakan “MANUSIA TERLAHIR BEBAS, DAN KINI DI MANA-MANA IA TERBELENGGU”. Di sinilah sebuah pembahasan tentang kontrak sosial bisa dijadikan acuan untuk menjawab hal tersebut.
            Pada umumnya negara memiliki tujuan untuk memberikan keadilan terhadap para individu yang telah terikat olehnya. Namun apakah sebenarnya makna dari keadilan tersebut? Apakah hanya sebatas perasaan sama rata, sama rasa? Ataukah memberikan kebebasan seutuhnya pada individu untuk berkompetisi? Mengingat sesuai pernyataan Locke, bahwa ada tiga hak utama individu yang mau tidak mau wajib dijaga oleh negara yaitu hak hidup, hak kebebasan, serta hak properti. Di sini John Rawls mengusung pembahasan baru tentang kehidupan sosial, yaitu tentang masalah keadilan dalam bukunya Theory of Justice. Selain itu pada abad ini terjadi kesadaran keberagaman baik dalam hal nilai, budaya, kebiasaan, hingga agama. Karena perbedaan itulah diperlukan suatu pandangan yang menyadari dan menghormati adanya perbedaan di negeri ini. Pandangan ini diperlukan bagi siapa saja dengan tujuan menumbuhkan rasa hormat dan terhadap manusia lain yang berbeda secara kebudayaan dan mempertahankan keunikan kelompoknya, maka pembahasan selanjutnya yang hadir adalah tentang masalah multikulturalisme.
            Penulis berusaha merangkum persoalan-persoalan di atas secara ringkas dan padat ke dalam makalah ini.


Bab II
Tentang Individu Dan Negara
Kita semenjak lahir dan mati sebagai individu yang bebas pada akhirnya pasti tinggal dan terikat pada suatu negara ataupun kekuasaan tertentu. Lalu apakah kita pernah bertanya – tanya, bagaimana hubungan antara tiap – tiap individu dengan suatu negara dan sebaliknya? Sebelum melanjutkan pertanyaan tersebut penulis akan membahas definisi negara dan individu dengan maksud mempermudah menjelaskan hubungan dari keduanya. Negara adalah suatu organisasi masyarakat yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta menyelenggarakan suatu masyarakat. Sedangkan menurut Max Weber, negara adalah suatu struktur masyarakat yang mempunyai monopoli dalam menggunakan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. Sedangkan Individu, yang berasal dari bahasa latin individum, yang tak terbagi, diartikan lebih jauh lagi sebagai manusia yang ,hidup, bertindak, berfikir secara mandiri dan sendiri. Dengan dua definisi diatas, kita bisa menyadari, bahwa negara adalah otoritas legal yang memiliki kekuasaan untuk mengontrol masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri pastilah terdiri dari individu. Dari benang merah tersebut kita bisa melanjutkan dengan pertanyan–pertanyaan filosofis dalam ranah ontologi dan epistemologi dari bagaimana proses terjadinya negara? Lalu bagaimana individu bisa terikat dengan dengan negara? Apakah individu yang membutuhkan keberadaan negara untuk menjaga mereka? Jika iya maka akan ada pertanyaan selanjutnya, yang akan bersinggungan dengan nilai etika suatu negara. Apakah tugas suatu negara itu hanya mengamankan kestabilitas dan keamanan negaranya saja, dengan konsekuensi memiliki legitimasi untuk mengontrol penuh kehidupan individu dari ruang publik hingga ruang privat? Atau negara hanya bertugas sebagai “Pembantu Rakyat”? Yang kewenangannya terbatas pada kehendak rakyatnya dan cukup berurusan pada ruang publik. Jika kita setuju dengan pernyataan kedua maka akan ada persoalan yang lainnya. Dengan diakuinya bahwa negara harus mengikuti kehendak rakyat, maka kemungkinan besar setiap keputusan negara akan berpola pikir mayoritas, sehingga memungkinkan pendiskriminasian terhadap kaum minoritas. Maka terjadilah pembahasan tentang masalah keadilan, dalam segala aspek. Selain itu pada realitas sekarang ini terjadi keberagaman baik dalam hal nilai, budaya, kebiasaan, hingga agama. Karena perbedaan itulah diperlukan suatu pandangan yang menyadari dan menghormati adanya perbedaan di negeri ini. Pandangan ini diperlukan bagi siapa saja dengan tujuan menumbuhkan rasa hormat dan terhadap manusia lain yang berbeda secara kebudayaan dan mempertahankan keunikan kelompoknya.
Teori Kontrak Sosial
“Jika tiap individu menyadari bahwa negara pada hakikatnya menggadaikan sebagian kebebasan kita, apakah kita masih memerlukan negara?”
Saya akan mencoba menjawab tiga pertanyaan utama berkaitan dengan individu dangan negara, yaitu, mengapa individu membutuhkan negara? Bagaimana individu bisa terikat dengan sesuatu kekuasan yang disebut dengan negara? Bagaimana negara itu ada? Semua permasalahan tentang ini, telah dibahas oleh tiga filsuf besar, yang sering disebut filsuf social contractism. yaitu, Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau. Mereka bertiga setuju jika terjadinya suatu negara melewati tiga tahap yaitu keadaan alamiah, keadaan perang, dan yang terakhir adalah keadaan negara atau persemakmuran. Jika Hobbes berpendapat bahwa pada saat keadaan alamiah manusia itu bebas dan selalu berkompetisi. Karena manusia selalu mementingkan keegoisan dirinya sendiri dan menjadi musuh dengan orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan dirinya, dan kesadaran yang dimiliki manusia pada saat itu adalah hak manusia untuk hidup dan memenuhi kebutuhannya masing-masing, maka Locke dan Rousseau mengajukan teori berbeda. Locke berpendapat, pada keadaan alamiah manusia hidup secara independen dan damai dengan memiliki hak hakiki, yaitu hak hidup, hak kebebasan, hak properti, dan manusia saling menghargai dan tidak mengganggu hak individu lainnya. Rousseau memiliki paham yang sama dengan Locke tentang keadaan asali manusia yang bebas dan damai, karena keadaan alam pada saat itu berkelimpahan sumber daya, tapi perbedaannya adalah dia mengganggap manusia tidak memiliki hak properti secara mutlak, dan tidak bersifat indipenden tetapi bersifat komunal, dengan alasan agar bisa bertahan hidup di alam. Lalu keadaan alamiah berubah menjadi keadaan perang dimana keadaan tersebut, mulai terjadi aksi kebrutalan manusia yang bersifat luas, yang pada akhirnya akan menghasilkan keadaan negara atau civil society. Menurut Hobbes, keadaan perang adalah keadaan dimana manusia mulai melakukan kompetisi dengan cara yang apapun juga, bahkan dengan jalan kekerasan. Ini dikarenakan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan manusia sudah terbatas. Pada Locke dan Rousseu, keadaan perang dimulai ketika manusia sudah mulai menginginkan suatu hal lebih dari yang dibutuhkan oleh dirinya sendiri, sehingga manusia merampas hak orang lain, dan orang yang dirampas tersebut memiliki kesadaran untuk menjaga hak pribadinya dengan cara apapun juga, salah satunya adalah dengan cara menggunakan senjata. Lalu terjadilah persekutuan yang menghasilkan negara. Yang jika pada Hobbes lebih memilih bentuk pemerintahan absolut, sedangkan pada Locke dan Rousseau memilih demokrasi.
Dapat kita simpulkan dari paragraph di atas, bahwa individu walau terpaksa menggadaikan sebagian kebebasan milik mereka, seharusnya mereka mendapatkan keuntungan dengan mendapatkan proteksi dari negara.
Teori Keadilan dan Multikulturalisme
Pada suatu masa, dimana ada negri yang memiliki danau yang di dalamnya banyak ikan, terdapat suatu peraturan, negara menjamin kebebasan tiap-tiap warga negaranya untuk mengeruk hasil alam dalam danau tersebut tanpa terkecuali, negara hanya akan ikut campur, jika terjadi masalah pencurian terhadap property hasil usahanya sendiri atau terjadi konflik fisik dalam proses penangkapan ikan, dan pertanyaan selanjutnya, apakah Negara itu adil?”
Pembahasan kita selanjutnya adalah mengkaji hubungan antara individu dan negara dengan menyinggung masalah etika suatu negara. Jika kita membicarakan negara, pastilah kita akan bersinggungan dengan dua hal yaitu kekuasaan, dan keadilan. Hal tersebut akan tergambar dari peraturan dan kebijakan, yang diterapkan negara kepada rakyat yang terikat kepadanya. Setelah kita mengetahui bahwa negara bisa berkuasa atas individu, baik secara mutlak maupun terbatas, maka salah satu pertanyaan yang bisa muncul adalah, bagaimana kekuasaan yang diberikan kepada negara bisa menjamin keadilan rakyatnya? Jika kita mengikuti faham Hobbes dengan bentuk negara totaliter miliknya, maka kita tidak bisa memaksa negara untuk memperdulikan aspirasi rakyatnya. Karena pada negara tersebut kekuatan negara adalah keadilan, dan penguasa pemerintahan mau tidak mau lebih memikirkan bagaimana cara mempertahankan kekuasaanya. Lalu bagaimana dengan bentuk negara demokrasi, dimana tidak boleh ada kekuatan yang melebihi hukum? Maka persoalan dasar adalah, bagaimana kebijakan yang diciptakan negara harus memiliki keadilan yang menyeluruh terhadap setiap individu didalamnya, baik keadilan ekonomi, keadilan politik, keadilan sosial, keadilan ekonomi dan lain sebagainya. Salah satu jawabannya adalah dengan merefleksikan Theory of Justice karya John Rawls.
Secara singkat karya Rawls merupakan pandangan baru tentang liberalisme dan egaliterian, terutama tentang masalah hak kepemilikan. Kita telah mengetahui, bahwa dalam hak kepemilikan, semua orang berhak untuk memiliki hasil dari usaha dirinya sendiri. Lalu terjadi pertanyaan apakah semua orang terlahir sama dan setara dalam hal kesempatan untuk mendapat hasil jerih payahnya sendiri? Berdasarkan Rawls kita memang terlahir secara secara sama dalam hak yang hakiki, tetapi kita lahir memiliki perbedaan, dan konsep keadilan miliknya bukanlah keadilan yang bersifat sama rata tetapi keadilan yang berdasarkan kesadaran adanya perbedaan terutama kesempatan. Sebab pada kenyataannya, ada sebagian orang yang terlahir dari keluarga yang kaya bisa memperoleh akses yang lebih luas pada semua hal baik, pendidikan, kehidupan sosial, dan lainnya. Namun jika kita melihat orang lain yang terlahir pada keluarga miskin, memiliki cacat tubuh, apakah bisa memiliki akses seperti orang kaya? Maka John Rawls merancang suatu sistem keadilan, dimana bisa diciptakan suatu keadilan dalam payung liberalisme dan egalitarian yang memungkinkan semua orang, baik yang paling beruntung, hingga yang paling menderita, agar mendapat keadilan dalam hal kesempatan yang sepantasnya. Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai kepentingannya terlebih dahulu baru kemudian kepentingan umum. Hasrat ini adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan ukuran pencapaian keadilan. Maka harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan ini. Namun realitas masyarakat menunjukan bahwa kebebasan tidak dapat sepenuhnya terwujud karena adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat. Perbedaan ini menjadi dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka yang lemah. Apabila sudah ada persamaan derajat, maka semua harus memperoleh kesempatan yang sama untuk memenuhi kepentingannya. Walaupun nantinya memunculkan perbedaan, bukan suatu masalah, asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan dan titik berangkat yang sama. Dari teori keadilan miliknya, menyiratkan pemerintahan berhak untuk campur tangan dalam kehidupan warganegaranya agar terjadi adanya keadilan dalam hal kesempatan tersebut, sebab segala keuntungan yang dimiliki kita sekarang sebenarnya hanya keberuntungan saja dan kita memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan kesempatan pada orang yang kurang beruntung. Kemudian rekan sejawatnya, Robert Nozik memberikan kritik keras terhadap dirinya.
Secara garis besar kritik utamNozick terhadap Rawls adalah yaitu moral principles. Nozik menekankan pada self ownership, dimana segara sumber daya yang dimiliki individu adalah hak sepenuhnya bagi individu itu termasuk apa yang dihasilkan dari sumber daya yang ia miliki. Nozick mengatakan bahwa sesuatu perbuatan disebut adil jika memenuhi dalam arti akusisi atau individu dapat menggunakan sumber daya tanpa merugikan keuntungan orang lain, kemudian bagi Nozick sebuah distribusi adalah legal, jika beranjak dari klaim yang sah atas barang / talenta (bisa diserahkan, dipertukarkan, diperdagangkan). Lalu hadir seorang filsuf India yang mendobrak pemikiran keadilan terutama dalam bidang ekonomi yaitu Amartya Sen. Sebagai murid John Rawls, dia memiliki keyakinan bahwa kebebasan dan keadilan merupakan syarat penting untuk mencapai kebahagiaan. Gagasan Sen sesungguhnya ingin menyelesaikan tiga hal pada tiga problem dunia, kekerasan sebagai akibat dari kemiskinan, kemiskinan sebagai buah pembangunan ekonomi yang salah, dan ekonomi berkeadilan sebagai solusi dalam menyelesaikan kemiskinan dan kekerasan. di masa lalu para ekonom dan ahli-ahli politik beranggapan, “kelaparan adalah kondisi di mana tidak punya makanan (sebab manusia lebih banyak dari makanan).” Dengan melewati pikiran itu, Sen ingin mengatakan bahwa “kelaparan adalah kondisi di mana orang tidak memiliki akses pada makanan akibat adanya ketidaksetaraan dalam bangunan mekanisme distribusi makanan.” Atau ada yang salah dalam pengelolaan pangan. Dalam keadaan yang globalisasi ini individu yang hidup dalam kebiasaan dari masyaraktnya akan banyak terintervensi, dan terpengaruh oleh kebudayaan diluar mereka. Hal ini menimbulkan adanya keinginan untuk mempertahankan keunikan dari masyarakat tersebut. Maka paham yang masih berhubungan dengan hubungan sekelompok individu atau masyarakat dengan negara, yaitu multikulturalisme. Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Will Kymlicka membedakan dua kategori keragaman yaitu negara multi bangsa dan negara polietnis, yang kedua hal tersebut bertujuan untuk mempertahankan keunikan kebudayaannya.

Bab III
Kesimpulan
          Filsafat sosial berusaha membahas individu dan negara tentang relasi antara individu dan negara itu terjadi, dan tidak hanya berhenti sampai langkah itu saja. Filsafat sosial juga berusaha mencari konsekuensi serta berspekulasi apa saja yang akan terjadi dalam realitas kehidupan sosial manusia.
            Dalam paragraph di atas bisa disimpulkan bahwa negara terbentuk karena konflik yang dibuat oleh individu itu sendiri. Dimana sebagian individu berusaha mencari jalan tengah untuk membuat perdamaian dan rela untuk menggadaikan sebagaian kebebasannya. Selain itu mengingat bahwa salah satu tugas dari negara adalah memberikan keadilan terhadap warga negaranya, maka persoalan yang selama ini jarang dibahas secara filosofis akhirnya terangkat, yaitu persoalan keadilan. Keadilan ini tidak hanya terbatas persoalan kesamaan dalam hal penghidupan, tetapi bisa berujung dalam persoalan keadilan dalam hal pengakuan komunitas, dan kesadaran tentang keberagaman dalam multikulturalisme.

Daftar Pustaka

Hampton, Jean. 1999. "Social Contract". In Cambridge Dictionary of Philosophy. London: Cambridge University Press.
Rawls, John. 1995. A Theory of justice. Revised edition. Cambridge, Massachusetts: Macmillan Publishing Company.
Kymlicka,Will. 2002. Kewargaan Multikultural, Pustaka LP3ES Indonesia.
Sen, Amartya. 2000. Development as Freedom. New York: Achor Books.

Hardiman, Budi. 2007. Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar