Page

Total Tayangan Halaman

Senin, 13 Desember 2010

Mari kita menyadari realitas disekitar

Filsafat Timur

Adam Azano Satrio

Dalam Samkhya, kehidupan alam semesta terjadi karena ada dua hal yang saling bersinggungan yaitu Prakiti (semesta materi) dan Purusha (semesta kesadaran yang menyadari semesta materi) yang menghasilkan kesengsaraan dan penderitaan, walaupun dalam Samkhya juga ada konsep mengenai kebahagian namun konsep kebahagiaan ini bercampur dengan kekecewaan yang merupakan dasar dari kesengsaraan. Hal yang seperti inilah yang menyebabkan pada akhirnya kebahagianpun menjadi sebuah kesengsaraan. Dari peristiwa yang terjadi inilah timbul rasa dari manusia untuk lepas dari kesengsaraan yang terjadi dalam Samkhya ini, maka dari itu untuk menghilangkan kesengsaraan tersebut haruslah semuanya itu dilewati melalui pengetahuan yang benar mengenai seluruh realitas yang terjadi tersebut. kesengsaraan atau penderitaan terjadi, karena purusa dan prakrti tidak dapat dihentikan, jika keduanya purusa dan prakrti dihentikan maka ini akan menghentikan dharma (kebaikan, keteraturan dan peraturan) dan adharma (kejahatan, ketidakteraturan dan ketidakpatuhan peraturan) yang dianggap sebagai kenyataan kehidupan. Dalam usaha manusia melepaskan kesengsaraan dan bisa mendapatkan pengetahuan lebih yang dihasilkan itu, maka ada cara lain yaitu dengan yoga, dalam hal ini yoga memiliki tahapan – tahapan untuk membuat kesengsaraan yang ditimbulkan dari kehidupan ini dapat lepas dari diri kita. Dalam kaitannya dengan hal ini terlihat jelas bahwa proses perkembangan terjadi dalam penalaran samkhya yang menghasilkan berbagai macam penderitaan dapat teratasi dengan melakukan yoga.

Yoga menjadi suatu pembebasan yang dialami oleh manusia karena penderitaan – penderitan atau kesengsaraan yang ditimbulkan dari kebersinggungan purusa dan prakrti. Yoga memiliki delapan tahap dalam caranya menuju keterbebasan dalam kesengsaraan dan harus dilewati secara bertahap. Berbeda dengan pemahaman umum yang menganggap bahwa yoga hanyalah melatih gerak dan pernafasan, yoga sebenarnya juga melatih proses mental dan kesadaran. Yoga ini memberikan kesadaran hidup dalam kehidupan ini. Pada akhirnya Yoga ini dianggap jalan yang tidak bertentangan dengan sistem Samkhya untuk melepaskan penderitaan dengan cara “menyatu” pada realitas kehidupan ini.

Kesimpulan yang saya peroleh adalah, filsafat Samkhya yang memikirkan realitas didunia dan menyadari bahwa realitas ini pasti menghasilkan kesengsaraan yang dihasilkan oleh kebersinggungan purusa dan prakrti, maka relitas yang di hasilkan oleh filsafat Samkhya terutama tentang kesengsaraan diatasi dengan cara melakukan yoga yang merupakan praktik untuk melepaskan kesengsaraan tersebut.

Bercengkrama Dengan Sang Liong

Nilai Utama Pemerintahan, Melalui Nasihat Confucius
Adam Azano Satrio



Jika saya memperhatikan keadaan tanah air saat ini, terutama dengan berbagai fenomena yang terjadi, seperti kasus penggelapan pajak, bencana alam, dan lain sebagainya. Saya melihat keadaan seperti ini bisa menyebabkan sikap kekecewaan rakyat yang pada akhirnya akan menimbulkan satu hal yang paling berbahaya untuk keutuhan suatu pemerintahan. Yaitu kehilangan kepercayaan pada pemerintahan. Walaupun rakyat pada saat itu memiliki harta yang melimpah, hal tersebut tidaklah menjamin adanya suatu persatuan dalam pemerintahan tersebut, malah bisa jadi menghasilkan pemberontakan dari rakyat yang merasa pemerintahannya tidak kompeten. Karena sesungguhnya nilai dari kepercayaan adalah nilai terbesar dan fondasi utama dalam pemerintahan. Confucius yang hidup dalam dunia politik pada zamannya, menyadari betapa besarnya dan bernilainya suatu kepercayaan. Hal tersebut dapat diketahui dari cerita dibawah ini.
Zi Gong, murid Confucius menanyakan bagaimana cara untuk memerintah. Sang Guru menjawab, “Perlu ada makanan yang cukup, senjata yang memadai, dan kepercayaan rakyat kepada pemerintahannya.” Sang murid bertanya, “Jika kita terpaksa menyerahkan salah satu dari ketiga hal tersebut, apa yang harus didahulukan?” “Serahkan senjatanya.” jawab Sang Guru, kembali murid itu bertanya, “Jika kita tak mempunyai pilihan selain menyerahkan salah satu dari kedua itu, mana yang harus didahulukan?” Confucius menjawab “Serahkan makanannya”, “Sejak dahulu kematian takbisa dihindarkan, namun bila rakyat tidak mempunyai kepercayaan pada pemerintahannya, tidak ada apa-apa lagi yang bisa mereka pegang.”
Confucius sangat percaya bahwa pemerintahan harus dilandasi pada kepercayaan rakyat pada pemerintahannya tersebut. Landasan inilah yang luntur didalam praktik pemerintahan negeri ini. Kita bisa menyadari dan sadar bahwa rasa kepercayaan masyarakat pada pemerintahan baik yang bergerak dalam bidang eksekutif, legislatif, maupun aparatur pemerintahan berada pada titik rendah. Kita bisa melihat banyak rakyat yang kecewa dengan kemampuan dan tanggapan beberapa pemerintahan eksekutif dalam menghadapi bencana kemarin, rasa emosi yang dipancing oleh kelakuan lembaga eksekutif pemerintahan untuk menghabiskan anggaran negara dengan tidak efisien, dan pandangan negatif terhadap aparat negara seperti polisi dan lainnya.
Saya membayangkan, jika Confucius hidup dan menjadi penasihat dalam negeri ini. Confucius akan memilih untuk membangun fondasi kepercayaan rakyat kepada pemerintahan, sehingga pemerintahan ini bisa berjalan harmonis dan tentram. Tetapi akan ada pertanyakan lagi, apakah bentuk pembentukan kepercayaan itu dibangun dalam kata – kata seperti janji dalam kampanye, dan kemampuan retorika saja? Saya beranggapan tidak. Kembali meminjam nasihat Confucius, bahwa :
Orang berbudi itu akan berhati - hati, karena tidak berbuat dengan kata – kata melainkan dengan perbuatan.
Maka orang yang diamanatkan untuk terjun dalam pemerintahan akan berusaha sebaik mungkin dalam tindakan serta memproduksi dari kemampuan dirinya untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Tidak seperti keadaan sekarang ini yang kekurangan tindakan dan produktifitas yang bisa dikatakana rendah.
Oleh karena itu, merupakan suatu keuntungan bagi kita merenungkan teori yang “sederhana” ini, dan yang paling penting, mempraktekan nasihat dari filsuf timur ini walaupun sulit. Dengan harapan kita yang bisa merubah keadaan di Tanah Air tercinta ini menjadi lebih baik.

"Berbicara" dengan Nietzsche

Refleksi Tentang Pemikiran Moral Nietzsche

Adam Azano Satrio

Jika kita mencari filsuf yang mempunyai pemikiran yang kontroversial, radikal, frontal, dan ateistik, maka kita akan menemukannya dalam Nietzsche.

Nietzsche sangat menentang nilai-nilai moral yang dikemukakan oleh Kant dan Hegel, Kant mengakui adanya nilai-nilai moral. Pandangannya ini dibangun atas dasar teori rasio praktis yang menunjukkan adanya imperatif kategoris dan atas dasar ketiga postulatnya: kebebasan kehendak, imoralitas jiwa dan adanya Allah. Walaupun ini dibantah oleh Hegel dengan teori dialektikanya dimana Hegel mengangkat seni kedalam Roh Absolut dan moralitas ke dalam roh Obyektif. Namun menurut Nietzche Hegel pun sama saja dengan Kant karena keduanya menyajikan filsafat yang bertujuan untuk membenarkan moralitas. Nietzsche juga menyerang moralitas yang berdasarkan pada nilai-nilai dan sangsi-sangsi ilahi. Moralitas ini berakar pada iman seperti yang diajarkan oleh agama wahyu. Nietzche mengkritik bahwa aliran ini gagal mempertanyakan premis dasarnya, melainkan juga menyerahkan filsafat pada Agama. Ia menyelidiki nilai-nilai moral dengan bertolak dari nilai-nilai seni.

Selain itu Nietzsche juga menggunakan dasar moral yang berbeda secara radikal dengan kebanyan filsuf lainnya yaitu dengan memasukkan kehendak untuk berkuasa. Melalui konsepsinya tentang kehendak untuk berkuasa ini tentu saja tak terbatas hanya pada diri dari manusia itu sendiri sebagai individu, melainkan juga di dalam seluruh realitas dunianya. Oleh karenanya, dalam tatanan ini Nietzsche kemudian menarik satu kesimpulan bahwasanya kehendak untuk berkuasa merupakan sebuah kegairahan global terhadap hidup yang paling dasar yakni tidak datang sebagai daya tunggal melainkan datang sebagai energi-energi vital yang demikian heterogen yang mencakup suasana psikis, gerak fisis (alam), dan seluruh proses ‘menjadi’ dari kosmos itu sendiri.

Dengan kehendak untuk berkuasa itulah menurut Nietzsche manusia tak boleh lagi memandang hidupnya sebagai semata pemberian dari yang Maha memberi jatah, melainkan juga harus dibarengi dengan berbagai tindakan-tindakan esensial yang membuat manusia menjadi sebuah gerak yang dinamis, penuh proses dan sama sekali tak boleh tunduk pada apapun (termasuk Tuhan) yang pada gilirannya akan mematikan daya hidupnya demi mencapai satu tujuan akan kegairahan hidup yang hakiki yakni menjadi manusia unggul. Kehendak untuk berkuasa pada diri manusia ini di mata Nietzsche bisa sedemikian pentingnya karena menurutnya, manusia tanpa memiliki daya kehendak untuk berkuasa cenderung berpotensi menjadi manusia yang lemah, terpinggirkan, serba takut, tanpa daya tending mumpuni dan sebagainya yang pada gilirannya akan memicu terciptanya sosok manusia yang pasrah pada nasib dan menyerahkan hajat hidupnya pada pedoman fiktif-eksternal. Dan inilah yang berbahaya, ketika seorang manusia menyerahkan segala persoalan hidupnya kepada sosok pedoman fiktif-eksternal itu akan dengan sendirinya melahirkan mental asketisme ideal.

Konsep kehendak berkuasa ini merupakan hal yang bersifat paradoksal dalam realitas kehidupan kita sendiri. Jika kita melihat binatang yang kuat memangsa binatang lain yang lemah? Maka kita menyebutnya itu hal yang alamiah dan wajar. Tapi apa yang terjadi jika kita melihat manusia yang kuat menindas manusia yang lemah? Maka kita akan menyebut orang itu manusia yang armoral, dan dianggap memiliki keanehan. Padahal menurut Nietzche, manusia itu hanya menyalurkan mentalitas alamiahnya. Berdasarkan pengamatnnya mental manusia terbagi menjadi dualisme , yang pertama bermental budak. Yaitu orang yang merasa dirinya kecil, baik dikarenakan agama, maupun merasakan tak berdaya jika tak ada orang lain, dan ini biasanya mental kebanyakan orang yang kedua adalah bermental Tuan, yaitu orang yang hebat, mampu menjadi dirinya sendiri tanpa ketakutan akan Otoritas yang ada diatasnya. Karena itu serangan terbesar Nietzsche adalah Tuhan dan Agama, yang dikatakan sebagai penyebab manusia takut menjadi Ubermansch tersebut.

Pada akhirnya Nietszche merubah moral yang kita ketahui seperti pada umumnya seperti kebaikan alturisme menjadi moral yang mementingkan harga diri dan kemampuan dirinya sendiri untuk menjadi Ubermansch, yang dikatakan manusia yang mampu menembus moral budak yang dianut kebanyakan orang dan menjadi manusia yang bermental tuan. Memang tidak salah jika kebanyakan orang menganggap bahwa Nietsczhe itu mengajarkan amoral. Karena jika berdasarkan faham alturisme hal itu tepat, tapi bagi penulis, Nietsczhe tetap memiliki nilai moralnya sendiri hanya berbeda landasan.

DUA PERTANYAAN


Soal

1. Lakukan penelusuran pemikiran tentang hubungan individu dengan negara, kemudian sajikan hasil penelusuran anda tersebut dalam 3 paragraph dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

2. Apakah masih relevan mempelajari sejarah filsafat Yunani pada situasi perkembangan indonesia masa kini

Jawab

Kita semenjak lahir dan mati sebagai individu yang bebas pada akhirnya pasti tinggal dan terikat pada suatu negara ataupun kekuasaan tertentu. Lalu apakah kita pernah bertanya – tanya, bagaimana hubungan antara tiap – tiap individu dengan suatu negara dan sebaliknya? Sebelum melanjutkan pertanyaan tersebut penulis akan membahas definisi Negara dan Individu dengan maksud mempermudah menjelaskan hubungan dari keduanya. Negara adalah suatu organisasi masyarakat yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta menyelenggarakan suatu masyarakat. Sedangkan menurut Max Weber, Negara adalah suatu struktur masyarakat yang mempunyai monopoli dalam menggunakan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. Sedangkan Individu, yang berasal dari bahasa latin individum, yang tak terbagi, diartikan lebih jauh lagi sebagai manusia yang ,hidup, bertindak, berfikir secara mandiri dan sendiri. Dengan dua definisi diatas, kita bisa menyadari, bahwa negara adalah otoritas legal yang memiliki kekuasaan untuk mengontrol masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri pastilah terdiri dari individu. Dari benang merah tersebut kita bisa melanjutkan dengan pertanyan – pertanyaan filosofis dalam ranah ontologi dan epistemologi dari bagaimana proses terjadinya negara? Lalu bagaimana individu bisa terikat dengan dengan negara? Apakah individu yang membutuhkan keberadaan negara untuk menjaga mereka? Jika iya maka akan ada pertanyaan selanjutnya, yang akan bersinggungan dengan nilai etika suatu negara. Apakah tugas suatu negara itu hanya mengamankan kestabilitas dan keamanan negaranya saja, dengan konsekuensi memiliki legitimasi untuk mengontrol penuh kehidupan individu dari ruang publik hingga ruang privat? Atau negara hanya bertugas sebagai “Pembantu Rakyat”? Yang kewenangannya terbatas pada kehendak rakyatnya dan cukup berurusan pada ruang publik. Jika kita setuju dengan pernyataan kedua maka akan ada persoalan yang lainnya. Dengan diakuinya bahwa negara harus mengikuti kehendak rakyat, maka kemungkinan besar setiap keputusan negara akan berpola pikir mayoritas, sehingga memungkinkan pendiskriminasian terhadap kaum minoritas. Maka terjadilah pembahasan tentang masalah keadilan, dalam segala aspek. Selain itu pada realitas sekarang ini terjadi keberagaman baik dalam hal nilai, budaya, kebiasaan, hingga agama. Karena perbedaan itulah diperlukan suatu pandangan yang menyadari dan menghormati adanya perbedaan di negeri ini. Pandangan ini diperlukan bagi siapa saja dengan tujuan menumbuhkan rasa hormat dan terhadap manusia lain yang berbeda secara kebudayaan dan mempertahankan keunikan kelompoknya.

Teori Kontrak Sosial

Saya akan mencoba menjawab tiga pertanyaan utama berkaitan dengan individu dangan negara,yaitu, mengapa individu membutuhkan negara? Bagaimana individu bisa terikat dengan sesuatu kekuasan yang disebut dengan negara? Bagaimana negara itu ada? Semua permasalahan tentang ini, telah dibahas oleh tiga filsuf besar ,yang sering disebut filsuf social contractism. yaitu, Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J Rousseau. Mereka bertiga setuju jika terjadinya suatu negara melewati tiga tahap yaitu keadaan alamiah, keadaan perang, dan yang terakhir adalah keadaan negara atau persemakmuran. Jika Hobbes berpendapat bahwa pada saat keadaan alamiah manusia itu bebas dan selalu berkompetisi. Karena manusia selalu mementingkan keegoisan dirinya sendiri dan menjadi musuh dengan orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan dirinya, dan kesadaran yang dimiliki manusia pada saat itu adalah hak manusia untuk hidup dan memenuhi kebutuhannya masing-masing, maka Locke dan Rousseau mengajukan teori berbeda. Locke berpendapat, pada keadaan alamiah manusia hidup secara independen dan damai dengan memiliki hak hakiki, yaitu hak hidup, hak kebebasan, hak properti, dan manusia saling menghargai dan tidak mengganggu hak individu lainnya. Rousseau memiliki paham yang sama dengan Locke tentang keadaan asali manusia yang bebas dan damai, karena keadaan alam pada saat itu berkelimpahan sumber daya, tapi perbedaannya adalah dia mengganggap manusia tidak memiliki hak properti secara mutlak, dan tidak bersifat indipenden tetapi bersifat komunal, dengan alasan agar bisa bertahan hidup di alam. Lalu keadaan alamiah berubah menjadi keadaan perang dimana keadaan tersebut, mulai terjadi aksi kebrutalan manusia yang bersifat luas, yang pada akhirnya akan menghasilkan keadaan negara atau civil society. Menurut Hobbes, keadaan perang adalah keadaan dimana manusia mulai melakukan kompetisi dengan cara yang apapun juga, bahkan cara kekerasan. Ini dikarenakan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan manusia sudah terbatas. Pada Locke dan Rousseu, keadaan perang dimulai ketika manusia sudah mulai menginginkan suatu hal lebih dari yang dibutuhkan oleh dirinya sendiri, sehingga manusia merampas hak orang lain, dan orang yang dirampas tersebut memiliki kesadaran untuk menjaga hak pribadinya dengan cara apapun juga, salah satunya adalah dengan cara menggunakan senjata. Lalu terjadilah persekutuan yang menghasilkan negara. Yang jika pada Hobbes lebih memilih bentuk pemerintahan absolut, sedangkan pada Locke dan Rousseau memilih demokrasi.

Teori Keadilan dan Multikulturalisme

Pembahasan kita selanjutnya adalah mengkaji hubungan antara individu dan negara dengan menyinggung masalah etika suatu negara. Jika kita membicarakan negara, pastilah kita akan bersinggungan dengan dua hal yaitu kekuasaan, dan keadilan. Hal tersebut akan tergambar dari peraturan dan kebijakan, yang diterapkan negara kepada rakyat yang terikat kepadanya. Setelah kita mengetahui bahwa negara bisa berkuasa atas individu, baik secara mutlak maupun terbatas, maka salah satu pertanyaan yang bisa muncul adalah, bagaimana kekuasaan yang diberikan kepada negara bisa menjamin keadilan rakyatnya? Jika kita mengikuti faham Hobbes dengan bentuk negara totaliter miliknya, maka kita tidak bisa memaksa negara untuk memperdulikan aspirasi rakyatnya. Karena pada negara tersebut kekuatan negara adalah keadilan, dan penguasa pemerintahan mau tidak mau lebih memikirkan bagaimana cara mempertahankan kekuasaanya. Lalu bagaimana dengan bentuk negara demokrasi, dimana tidak boleh ada kekuatan yang melebihi hukum? Maka persoalan dasar adalah, bagaimana kebijakan yang diciptakan negara harus memiliki keadilan yang menyeluruh terhadap setiap individu didalamnya, baik keadilan ekonomi, keadilan politik, keadilan sosial, keadilan ekonomi dan lain sebagainya. Salah satu jawabannya adalah dengan merefleksikan theory of justice karya John Rawls. Secara singkat karya Rawls merupakan pandangan baru tentang liberalisme dan egaliterian, terutama tentang masalah hak kepemilikan. Kita telah mengetahui, bahwa dalam hak kepemilikan, semua orang berhak untuk memiliki hasil dari usaha dirinya sendiri. Lalu terjadi pertanyaan apakah semua orang terlahir sama dan setara dalam hal kesempatan untuk mendapat hasil jerih payahnya sendiri? Berdasarkan Rawls kita memang terlahir secara secara sama dalam hak yang hakiki, tetapi kita lahir memiliki perbedaan, dan konsep keadilan miliknya bukanlah keadilan yang bersifat sama rata tetapi keadilan yang berdasarkan kesadaran adanya perbedaan terutama kesempatan. Sebab pada kenyataannya, ada sebagian orang yang terlahir dari keluarga yang kaya bisa memperoleh akses yang lebih luas pada semua hal baik, pendidikan, kehidupan sosial, dan lainnya. Namun jika kita melihat orang lain yang terlahir pada keluarga miskin, memiliki cacat tubuh, apakah bisa memiliki akses seperti orang kaya? Maka John Rawls merancang suatu sistem keadilan, dimana bisa diciptakan suatu keadilan dalam payung liberalisme dan egalitarian yang memungkinkan semua orang, baik yang paling beruntung, hingga yang paling menderita, agar mendapat keadilan dalam hal kesempatan yang sepantasnya. Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai kepentingannya terlebih dahulu baru kemudian kepentingan umum. Hasrat ini adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan ukuran pencapaian keadilan. Maka harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan ini. Namun realitas masyarakat menunjukan bahwa kebebasan tidak dapat sepenuhnya terwujud karena adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat. Perbedaan ini menjadi dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka yang lemah. Apabila sudah ada persamaan derajat, maka semua harus memperoleh kesempatan yang sama untuk memenuhi kepentingannya. Walaupun nantinya memunculkan perbedaan, bukan suatu masalah, asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan dan titik berangkat yang sama. Dari teori keadilan miliknya, menyiratkan pemerintahan berhak untuk campur tangan dalam kehidupan warganegaranya agar terjadi adanya keadilan dalam hal kesempatan tersebut, sebab segala keuntungan yang dimiliki kita sekarang sebenarnya hanya keberuntungan saja dan kita memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan kesempatan pada orang yang kurang beruntung. Kemudian rekan sejawatnya, Robert Nozik memberikan kritik keras terhadap dirinya. Secara garis besar kritik utmana Nozick terhadap Rawls adalah yaitu moral principles. Nozik menekankan pada self ownership, dimana segara sumber daya yang dimiliki individu adalah hak sepenuhnya bagi individu itu termasuk apa yang dihasilkan dari sumber daya yang ia miliki. Nozick mengatakan bahwa sesuatu perbuatan disebut adil jika memenuhi dalam arti akusisi atau individu dapat menggunakan sumber daya tanpa merugikan keuntungan orang lain, kemudian bagi Nozick sebuah distribusi adalah legal, jika beranjak dari klaim yang sah atas barang/ talenta (bisa diserahkan, dipertukarkan, diperdagangkan). Lalu hadir seorang filsuf India yang mendobrak pemikiran keadilan terutama dalam bidang ekonomi yaitu Amartya Sen. Sebagai murid John Rawls, dia memiliki keyakinan bahwa kebebasan dan keadilan merupakan syarat penting untuk mencapai kebahagiaan. Gagasan Sen sesungguhnya ingin menyelesaikan tiga hal pada tiga problem dunia, kekerasan sebagai akibat dari kemiskinan, kemiskinan sebagai buah pembangunan ekonomi yang salah, dan ekonomi berkeadilan sebagai solusi dalam menyelesaikan kemiskinan dan kekerasan. di masa lalu para ekonom dan ahli-ahli politik beranggapan, “kelaparan adalah kondisi di mana tidak punya makanan (sebab manusia lebih banyak dari makanan).” Dengan melewati pikiran itu, Sen ingin mengatakan bahwa “kelaparan adalah kondisi di mana orang tidak memiliki akses pada makanan akibat adanya ketidaksetaraan dalam bangunan mekanisme distribusi makanan.” Atau ada yang salah dalam pengelolaan pangan. Dalam keadaan yang globalisasi ini individu yang hidup dalam kebiasaan dari masyaraktnya akan banyak terintervensi, dan terpengaruh oleh kebudayaan diluar mereka. Hal ini menimbulkan adanya keinginan untuk mempertahankan keunikan dari masyarakat tersebut. Maka paham yang masih berhubungan dengan hubungan sekelompok individu atau masyarakat dengan negara, yaitu multikulturalisme. Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Will Kymlicka membedakan dua kategori keragaman yaitu negara multi bangsa dan negara polietnis, yang kedua hal tersebut bertujuan untuk mempertahankan keunikan kebudayaannya.

2. sebelum menjawab pertanyaan apakah masih relevan mempelajari sejarah filsafat yunani dengan kehidupan di Indonesia. Mari kita bandingkan terlebih dahulu keadaan di yunani pada saat itu dengan kehidupan di indonesia pada saat ini. Keadaan yunani pada awalnya adalah kehidupan yang dipenuhi dengan pemikiran mitos yang selalu mengandaikan adanya dewa dewi sebagai alasan dari suatu kejadian. Lalu lahirlah pemikir pertama yang bersifat anti dogmatik dalam pemikirannya yaitu thales yang mengatakan bahwa realitas didunia ini sebenarnya berdasarkan air, disinilah pemikiran tentang alam mulai berubah dan banyak filsuf sejamannya mulai membahas hal serupa. selanjutn Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. -- Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai "sophis" ("yang bijaksana dan berapengetahuan"), Plato menyumbangkan ajaran tentang "idea". Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, nun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, bisa berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung, kekal adanya. Itulah sebabnya yang Satu dapat menjadi yang Banyak. Plato berpendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.

Aristoteles menganggap Plato telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa realitas tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada realitas didunia ini yang kekal selamanya. Tetapi idea - idea adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat banyak realitas didunia ini. Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea inheren. Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan cara berfikir. Logika dibentuk dari kata logikoz, dan logoz berarti sesuatu yang diutarakan. Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal. Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih "hylemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari bentuk ("morphe") yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi dalam individu yang bersangkutan. Materi memberi potensi untuk aktualitas bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Kedua hal ini disebabkan Pertentangan Herakleitos dan Parmendides dan diatasi oleh Aristotales dan Plato dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap" dan yang "berubah".

Dalam sejarah yunani tersebugt, kita bisa mengambil suatu kesimpulan bahwa pada masa itu telah melahirkan peningkatan tingkat rasional manusia, dan menyebabkan barat telah sampai pada masa Renaissance, dan maju dalam hal sains dan penmuan teknologi. Namun jika melihat di Indonesia , masih terdapat kebiasaan untuk mempertahankan tradisi sebagai landasan rasional, bukan mentradisikan rasional manusia. Banyak contoh yang bisa kita lihat, seperti pernyataan seorang penjabat negara pada saat kejadian bencana alam, yang mengatakan bahwa bencana alam tersebut dikarenakan keadaan moral kita yang bobrok. Sedangkan kita telah mengetahui secara sains bahwa kejadian gunung meletus, banjir, gempa, dan lain sebagainya adalah siklus alam yang lumrah dan wajar, serta tidak ada urusannya dengan keadaan moral manusia. Lalu sering kita temukan dalam kehidupan kita terdapat hal yang rasional lainnya, seperti dalam pergelaran wayang, yang mengadakan ritual “penyucian” wilayah agar kegiatan berjalan dengan lancar. Jika kita menggunakan alasan untuk menjaga tradisi itu adalah hal yang wajar, tetapi jika menjadi kebiasaan hal tersebut akan membuat pemikiran bangsa kita tidak akan maju, dan tidak bisa bersaing dalam era global ini. Keunikan lain di Indonesia adalah pengaburan permasalahan moral yang sebenarnya cukup bersandaran pada nilai kebaikan dan keburukan digabungkan dengan pemikiran sopan santun. Hal ini menyebabkan penilaian kita dalam hal etika lebih kepada lahan sopan santun, dan menjadikan paradigma, bahwa orang yang baik adalah orang yang santun, padahal berapa banyak penipu yang memiliki sifat santun, yang baik dalam hal pakaian tapi buruk dalam moralitas.

Karena itulah saya mengatakan bahwa mempelajari sejarah filsafat yunani sebagai tonggak pemikiran rasional yang berusaha meninggalkan mitos, masih relevan untuk dipelajari saat ini di Indonesia. Karena tidak bisa dipungkiri lagi bahwa negeri ini masih di cengkram oleh mitos yang tidak disadari dengan menggunakan banyak penyesatan akal sehat, dan mengakibatkan esensi etika dan moralitas sebenarnya telah berubah jadi alat pendukung para penipu untuk membodohi orang lainnya.