Page

Total Tayangan Halaman

Rabu, 09 November 2011

Filsfat ketuhanan mid test

Mid Test Matakuliah Filsafat Ketuhanan
Oleh, Adam Azano Satrio
Ringkasan
            Penciptaan oleh Tuhan. merupakan salah satu permasalahan substansial dalam filsafat ketuhanan, sebab dalam alur pemikiran filsafat barat sendiri proses penciptaan oleh Tuhan itu sendiri mempunyai dampak sistemik yang tidak sedikit. Apakah bahan yang digunakan Tuhan menciptakan segala sesuatunya? Apakah Tuhan memiliki kemampuan untuk mengintervensi ciptaannya, yang berakibat pada pertanyaan apakah manusia memiliki kehendak bebas? jika Tuhan yang dikatakan Maha Sempurna dan Maha Baik tersebut menciptakan alam semesta ini, mengapa Sang Desainer ini membiarkan adanya Evil dalam dunia? Hingga pada akhirnya pertanyaan sederhana akan muncul mengapa Tuhan perlu mencipta? Beberapa pertanyaan di atas adalah pertanyan yang dapat kita hasilkan dari konsekuensi logis tentang penciptaan oleh Tuhan.
            Dalam pembahasan tentang Tuhan sendiri, ada dua macam corak pemikiran bagaimana Tuhan mencipta, pertama adalah kreasionisme dan kedua adalah panteisme. Kreasionisme sendiri merupakan teori yang mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, dimana alam semesta itu bersifat berbeda secara hierarkis dengan Tuhan, karena diciptakan secara creatio ex nihilo. Panteisme adalah teori yang mengatakan bahwa, alam semesta sebenarnnya juga merupakan bagian Tuhan itu sendiri. Pada kesempatan ini saya akan membahas tentang lebih banyak tentang kreasionisme.
            Dalam kreasionisme sendiri terdapat 5 landasan teori yang memungkinkan adanya suatu penciptaan oleh Tuhan; Pertama, kreasionisme berarti bahwa dunia fisik dan segala yang ada di dalamnya ada secara objektif dan secara nyata; dunia fisik itu bukan rupa saja dan bukan ilusi pula, dengan sesuatu eksistensi yang khas baginya. Ini merupakan permasalahan ontologi yang dalam, dimana ada keyakinan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta ini secara real, dan alam ini memiliki integrasi sendiri; Kedua, alam semesta fisik itu ada, tetapi bukan “ada” yang mutlak, bersifat kontingen dan tergantung pada Ada yang mutlak, yaitu Allah. Disini alam ada, tapi tak abadi karena diciptakan oleh Allah, disini hierarkis antara Tuhan dengan ciptaannya sangat terlihat. Doktrin ini sangat terlihat pada agama Abrahamik dimana semua hal di dunia ini disebabkan dan bergantung pada Tuhan, seperti pada kitab suci agama Abrahamik; Ketiga, dalam memberikan ke-ada-an Allah tidak berpangkal dari materi yang sudah ada ataupun dari suatu materi yang Chaos. Di sini Tuhan tidak menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada, sebab jika Tuhan menciptakan dari suatu yang ada menandakan bahwa Tuhan memiliki zat tandingan, sedangkan jika dari materi yang Chaos maka Tuhan hanya sebatas pengatur saja yang menyebabkan Tuhan bukan pencipta sesungguhnya.; Keempat, gagasan penciptaan berarti bahwa alam semesta bukan bagian zat ilahi. Penciptaan dunia dan pengada-pengada yang mendiami dunia tidak membawa perubahan dalam diri Allah, tidak mengubah Allah. Teori ini mengijinkan adanya creatio ex nihilo, selain itu landasan ini mengijinkan bahwa secara ontologi Tuhan itu bersifat absolut dan tidak mengalami perubahan secara metafisik. ;Yang terakhir, pengada-pengada yang merupakan isi dunia adalah anugerah cuma-cuma dari kebebasan ilahi. Tuhan dikatakan memiliki kebebasan yang absolut sehingga dirinya memiliki kemampuan dan kebebasan untuk menciptakan.
            Jika kita menilik dari sejarah filsafat barat, kita akan menemukan bahwa ada 2 pendapat “fungsi” Tuhan. Pertama merupakan suatu pengatur alam semesta saja, kedua merupakan pencipta sekaligus pengatur, walaupun tidak secara ekspilit dijelaskan. Aristotaleslah  yang memulai pendapat bahwa Tuhan hanya berfungsi sebagai pengatur alam semesta, dikarenakan diperlukan suatu penggerak yang absolut untuk menggerakan penggerak lainnya, karena itulah diperlukan adanya Tuhan. Sedangkan dalam pertanyaan siapakah yang menciptakan alam semesta? Aristotale percaya bahwa alam semesta ini tidak memiliki awal, dan mampu berdiri sendiri, sehingga tidak diperlukan adanya Tuhan untuk menciptakannya. Pemahaman adanya proses kreasionisme ini muncul dikarenakan oleh teori Plato yang menyatakan bahwa adanya dunia ideal yang dikatakan memiliki segalanya di dalamnya, yang ketika idea muncul di dalam dunia ini menjadi tidak sempurna karena terdistorsi, disinilah proses penciptaan itu dibahas secara implisit, dimana ada suatu sumber yang menciptakan sesuatu. Teori penciptaan ini dilanjutkan oleh Plotinos, dengan konsepnya “The One” dimana “The One” tersebut merupakan sumber segala sesuatu dan semua juga bergantung dengan “The One” karena penciptaan tersebut berdasarkan proses emanasi.
            Permasalahan penciptaan ini dilanjutkan kembali dalam era skolastik, dimana Agustinus berpendapat bahwa Tuhan haruslah menjadi pencipta segalanya, dan proses penciptaan tersebut bukanlah keharusan yang natural, melainkan sebuah aktus bebas dari kehendak-Nya. Dan semua ciptaannya selalu bergantung pada Tuhan dan dijaga oleh-Nya.
            Pada jaman Renaissance Descartes memberikan pebaharuan dalam hal penciptaan oleh Tuhan, yaitu dia percaya bahwa kebenaran –kebenaran dan hakekat – hakekat itu telah diciptakan oleh Tuhan dengan cara kausalitas efisien. Malebranche dan Leibniz memberikan teorinya tentang, sifat ciptaannya. Dimana Malebranche berpendapat bahwa Tuhan bisa menciptakan atau tidak menciptakan, tapi bila Tuhan menciptakan maka seharusnya dunia yang diciptakannya merupakan dunia yang sempurna, sebab jika tidak berarti Tuhan yang sempurna menjadi tidak sempurna, sebab dia tidak bias menciptakan dunia yang sempurna. Berbeda dengan Leibniz yang menghilangkan permasalahan kebebasan Tuhan untuk  menciptakan, dan lebih memfokuskan pada kesempurnaan hasil ciptaanNya. Kant menelurkan pahamnya tentang Tuhan, tapi hanya sebagai penyebab kenapa kebaikan itu ada dan moral itu wajib dijaga, karena Tuhan di perlukan dalam Practical Reason sebagai alasan kenapa kita harus melakukan perbuatan bermoral. Sedangkan dalam permikiran para filsuf idealisme jerman, penciptaan merupakan suatu hal yang wajib, agar Geist mampu mengenal diri-Nya sendiri dan merasakan kesempurnaan dalam diri-Nya, seperti dalam pemikiran Hegel.
            Pertanyaan pertama yang akan penulis angkat dalam karya ini adalah argumentasi jika Hipotesa tentang adanya permulaan dunia yang temporal. Ini menunjukan bahwa dunia ini tidak abadi dan menuntut adanya yang menciptakannya, sebab secara rasional ini merupakan satu - satunya jawaban yang mungkin mengingat penciptaan yang tak berakhir dalam pola pikir waktu yang linear, merupakan hal yang tidak masuk akal, maka dibutuhkan adanya pencipta yang tidak diciptakan dan bersifat integral serta memiliki sifat yang berbeda dengan ciptaannya. Dikatakan dalam buku ini bahwa ilmu pengetahuan membuktikan bahwa segala alam semesta memerlukan adanya awal.
            Jika kita melihat dalam hiptotesa lainnya, dimana alam semesta ini tidak mengalami awal, hanya pada Parminides dan Spinoza saja yang bisa kita ambil contoh argumennya. Parminides yang mengatakan bahwa kosmos ini bersifat tunggal, tetap dan absolut, sebab jika kita pikirkan secara rasional hal tersebut merupakan hal yang mungkin, sebab secara argument masih bisa dipertahankan. Selain itu Spinoza mengatakan bahwa dikarenakan Tuhan sama dengan alam, maka alam semesta ini seharusnya bersifat sempurna, mutlak, dan tidak bisa berubah. Dalam teori ini dikatakan bahwa pendapat mereka secara rasional mungkin, tetapi jika dibuktikan secara science itu merupakan sesuatu kekeliruan.
            Permasalahan selanjutnya yang bisa kita angkat adalah apakah penciptaan oleh Tuhan bersifat bebas atau keharusan? Jika kita menganggap bahwa penciptaan oleh Tuhan merupakan suatu keharusan berarti kita harus menyadari bahwa Tuhan tetap membutuhkan sesauatu serta memiliki hukum – hukum yang tidak bisa dilanggar oleh diriNya. Penciptaan tersebut merupakan penciptaan tanpa alasan sama sekali. Disinilah segala bentuk hal seperti mukzizat merupakan hal yang aneh, sebab hukum itu merupakan sesuatu yang bersifat sebab akibat, yang bisa dimengerti dan diulang – ulang, sedangkan mukzizat adalah suatu yang bekerja berlawanan sebab akibat pada umumnya.
            Jika kita melihat bahwa proses penciptaan itu bersifat bebas, maka kita harus memaklumkan bahwa Tuhan bersifat berdaulat, memiliki kebebasan yang luas, serta memiliki ketidaktentuan dalam penciptaannya. Di sini dapat kita simpulkan, bahwa penciptaan oleh Tuhan terhadap semesta ini bersifat bebas serta merupakan bukti “kemurahan hati”Nya. Disinilah mukzizat dapat diterima sebagai bentuk kekuasaan Tuhan yang mengizinkan ada campur tangan tuhan dalam ciptaannya.
            Pertanyaan selanjutnya dalam kreasionisme adalah apakah mungkin adanya kebebasan manusia? hal pertama yang harus kita sadari dan maklumkan adalah Tuhan sebagai pencipta juga memiliki sifat Maha Tahu yang mutlak. Hal itulah yang menyebabkan pertanyaan jika Tuhan mengetahui segala ciptaannya, jadi apakah manusia sebenarnnya memiliki kebebasan mutlak, karena sifat dari kebebasan adalah tidak diketahuinya apa yang dilakukan suatu individu? Ini merupakan salah satu permasalahan unik dalam teori ini, sebab jika kita menganggap bahwa kebebasan mutlak manusia itu ada, maka hanya ada dua kemungkinan tentang Tuhan, yaitu Tuhan tidak Maha Tahu atau Tuhan tidak ada. Satu satunya argumen yang diberikan dalam buku ini adalah tuhan memberikan kebebasan pada manusia, dikarenakan Tuhan memiliki rasa cintanya kepada manusia.
            Pertanyaan terakhir yang bisa diangkat pada teori kreasionisme adalah, apakah tujuan penciptaan? Dikatakan bahwa Tuhan menciptakan dikarenakan Dia ingin berbagi kebaikan, kebahagian dengan lainNya, serta memberikan kesempatan bagi mahluknya untuk ikut andil dalam merasakan kebaikannya. Sebab kebaikan ini dikatakan kebaikan yang tak sekedar kebaikan dalam diri-Nya tetapi juga kebaikan yang ingin dikomunikasikan, namun kebaikan tersebut hanya bisa dirasakan mahluknya jika mahluk tersebut menyesuaikan perbuatannya dengan kehendak Tuhan.
Refleksi
            Ada beberapa hal yang bisa saya kritisi dari karya sang pengarang. Hal pertama adalah pernyataan yang berasal dari hipotesa yang mengatakan bahwa ada awal mula dari alam semesta yang pasti berkorelasi dengan adanya Tuhan sebagai Sang Desainer, dan terakhir karakter penulisan sang pengarang.
            Pernyataan dimana bahwa ada awal mula alam semesta yang menunjukan dibutuhkannya Tuhan dalam proses penciptaan, bisa dipertanyakan secara unik. Sebab dalam paragraph tersebut pula penulis mengatakan bahwa science telah membuktikan bahwa adanya awal penciptaan, tapi jika kita telaah lagi teksnya tidak ada keterangan sains apa yang dipakai dalam mengetahui adanya awal alam semesta. Kemungkinan terbesar yang pengarang maksudkan adalah Teori big bang dimana diidentikan oleh adanya sosok Tuhan sebagai perancang itu semua. Proses adanya penciptaan tersebut telah dibongkar oleh teori sains itu sendiri yaitu teori dalam buku Grand Design milik Stephen Hawking, dimana Hawking tetap mnegakui adanya suatu awal, tetapi Hawking telah mengumpulkan bukti bukti sainstifik secara matematis, yang membuktikan bahwa gerakan proses penciptaan tersebut bersifat natural, mekanistik, serta Chaos yang dapat diketahui sitematikanya. Teori Hawking ini secara nyata membantah diperlukannya suatu “Grand Design”, atau Tuhan, untuk menciptakan dunia ini.
            Dikatakan bahwa Tuhan menciptakan dunia ini dikarenakan diriNya ingin membagi kasihnya pada mahluk lainnya. Menurut penulis, pendefinisian yang ditulis oleh pengarang buku ini bersifat antroposentris dan saya curigai berbau teologis. Bagi penulis, pengarang tidak bisa berspekulasi lebih lanjut lagi dengan kemungkinan kemungkinan yang terjadi selain menggunakan landasan Teologisnya untuk menjelaskan proses penciptaan. Di sinilah saya menganggap bahwa kemampuan penulisan sang pengarang kemungkinan didasari landasannya sebagai lulusan Jesuit. Aroma teologi ini tercium jelas pada beberapa paragraph terakhir dalam bab ini, terutama dalam pembahasan Kebaikan yang ingin dibagikan oleh Tuhan tersebut dengan cara mencipta.

Sabtu, 05 November 2011

Part kecil dari how to read lacan

                How to read lacan

Dalam salah satu film karya Marx Brother, Groucho, yang ketahuan berbohong mengatakan pernyataan ini “apa yang kau percaya ? ucapanku atau yang kau lihat?” ini adalah contoh bagaimana logika sosial yang absurd ini bekerja. Logika ini bekerja berdasarkan topeng sosial yang dikenakan pada seseorang dibandingkan pemahaman yang realistis terhadap individu tersebut. Inlah yang dikatakan oleh freud sebagai fethistest disvowal. Dimana kita mengetahui kalau yang dihadapan kita sekarang itu seorang individu yang buruk, tetapi kehidupan sosialkita memaksa kita untuk memperlakukannya secara hormat sebab orang lain itu merepresentasikan suatu simbol, sehingga yang dirinya katakan menjadi suatu “kebenaran.” Hal inilah yang menyebabkan kaum cynic percaya bahwa dari setiap suatu hal yang dikatakan terdapat sebuah fakta yang didalamnya yang lebih dalam dan terkesan ditutupi. Sehingga jika seseorang hanya fokus pada hal tersebut –dalam kasusini fakta-saja maka dia bisa kehilangan fakta lainnya. Inilah yang dikatakan oleh lacan sebagai les non dupes errent sebagai sesorang yang tidak langsung percaya saja dengan suatu labeling dari simbol tertentu. Pemikiran tersebutlah yang menyebabkan seorang pendeta korup yang mengajarkan oranglain untuk menjalankan kebenaran, dianggap suatu kebenaran karena pendeta tersebut menjadi simbol dari gereja yang dianggap memiliki kebenaran, walaupun kita menyadari secara individual pendeta tersebut munafik.
             Lacan pada akhirnya membagi menjadi 2 macam identity, yang pertama adalah symbolic identity dan yang kedua adalah psycologhical identity. Kedua hal tersebut dikatakan membuat jarak yang tak bias digabung. Seperti seorang yang diberikan status sebagai raja dan diberikan mahkotanya oleh lingkungan sosialnya, sehingga apa yang dikatakannya menjadi suatu sabda. Hal ini sebenarnya membuat seseorang memiliki jarak dengan psychology identity miliknya. Hal ini lah yang dikatakan sebagai symbolical castration, dimana saya telah “dikebiri” oleh symbol symbol yang diterapkan kepada diri saya.
            Jarak tersbutlah yang membuat seseorang tidak bias mengenal dirinya sendiri melalui topeng symbol tersebut. Proses mempertanyakan symbol yang melekat terhadap dirinya sendiri seperti pertanyaan kenapa saya dikatakan sebagai saya? Apakah itu semua hanya permasalahan title dan simbolik saja? Jika itu benar maka hal tersebut serupa dengan pernyataan Louis althausser tentang interpelasi idiologis. Maka saya terpanggil untuk menjadi sesuatu karena terpanggil terhadap ideology tertentu yang menyebabkan saya memiliki identitas melalui ideologi tersebut. Disini proses mempertanyakan permasalahan simbolik yang mengekang diri subjek disamakan seperti keadaan hysteria. Seperti pada kisah shakspear yang menceritakan Richard II dimana dia mempertanyakan lagi persoalan kenapa dia bias menjadi raja, apa yang membuat diri saya menjadi raja? Dan apa yang terjadi jika status raja saya dicabut?
            Permasalahan utama dalam hysteria adalah bagaimana kita bias memisahkan hasrat kita dengan hasrat orang lain terhadap diri kita. Maka pembahasan ini akan kita lanjutkan dengan rumusan lacan yang lainnya yaitu “hasrat seseorang merupakan hasrat terhadap hasrat orang lain”. Bagi Lacan kebuntuan utama dalam permasalahan hasrat manusia adalah adanya hasrat dari orang lain, baik secara subjektif maupun objektif, sperti hasrat terhadap yang lain, hasrat untuk menjadi hasrat bagi yang lain, dan yang paling utama memiliki hasrat yang sama dengan hasrat orang lain. Formula diatas tersebutlah yang menyebabkan jean piere dupuy mengkritik teori john rawls, yang mengijinkan terjadinya ketidakadilan selama yang berada “diatas” membantu yang berada “dibawah.” ,dikarenakan adanya inequality yang natural, dalam kehidupan social. Disini john rawls tidak melihat mengapa keadaan social menciptakan terjadinya kebencian, yang disebabkan karena ketidak adanya persamaan itu di maklumkan, sehingga saya berhak menyalahkan keadaan social terhadap keadaan saya. Teori yang dibawa rawls memberikan suatu keadaan palsu dimana ketika saya gagal dalam suatu persaingan dunia kapitalis, itu semua hanyalah masalah keberuntungan dan kesempatan saja, yang menyebabkan saya lebih mudah menerima segala sesuatu. Bahkan friedrich hayek menyatakan bahwa lebih mudah menerima perbedaan jika kita menganggap bahwa ada suatu kekuatan supranatural yang tak dapat kita prediksi. Ini adalah contoh dimana bagaimana symbol identity itu bekerja.