Page

Total Tayangan Halaman

Selasa, 25 Desember 2012

Dominique Janicaud - On The Human Condition Review


Dominique Janicaud - On The Human Condition Review

Thesis Statement

Mempertanyakan kembali konsep humanity dalam fenomena overcoming yang dilakukan manusia melalui teknologi.

Metodologi

                Dominique Janicaud menggunakan metode fenomenologi, dengan berlandaskan dari kefaktaan bahwa manusia hidup pada era dimana teknologi berkembang pesat dengan berbagai posibilitas untuk merekayasa semua hal.

Proposal

Dominique Janicaud membuka kembali pertanyaan dari sebuah fakta perkembangan teknologi manusia yang semuanya bertujuan unutk aktualisasi keinginan manusia untuk melakukan overcoming, yaitu apakah itu humanity dan sampai sejauhmana limitasinya?

Dominique Janicaud membuka persoalan tentang bagaimana usaha manusia melakukan overcoming terhadap segalannya. Usaha manusia untuk melakukan overcoming dengan alibi mengupgrade nilai kemanusiaan dengan melampaui keterbatasan manusia ditunjukan oleh Dominique Janicaud jika ditarik penalarannya secara reductio ad absurdum akan menghasilkan nilai yang bertentangan dengan tujuannya sendiri, yaitu dehumanisasi.

Buku ini membuka pembicaraan filosofis manusia dengan menggunakan pola pikir Martin Heidegger saat membahas persoalan humanity yang salah diartikan oleh Jean Paul Sartre dan Friedrich Nietzsche tentang superhuman. Kedua pemikir tersebut menganggap bahwa usaha manusia adalah melakukan usahanya yang bersifatnya transenden. Semua kegiatan peradaban manusia baik ilmu pengetahuan, seni, dan lain sebagainya adalah usaha manusia untuk melampaui keterbatasannya, atau overcoming.

Dominique Janicaud memandang perkembangan teknologi yang memungkinkan dihasilkannya cloning, artificial intelligent, dan lain sebagainya seharusnya membuat manusia mulai mempertanyakan kembali, bagaimana humanity bisa dikembangkan kembali dengan melihat perkembangan kehidupan sekarang.

Dominique Janicaud mempergunakan kisah Frankenstein dan kisah tentang humanoid cyborg. Secara ringkas ketika kita membaca kisah Frankenstein kita dapat mengetahui bahwa ketika manusia menciptakan sesuatu being yang menyerupai manusia ada sebuah ketakutan dari dirinya bahwa yang diciptakan akan menyerang kemanusiaan dan merusak. Terciptanya Frankenstein merupakan kisah dimana manusia melakukan overcoming dengan menciptakan sesuatu hal yang dapat melakukan tugas yang tidak bisa dilakukan manusia biasa, namun yang Dominique janicaud ingin angkat dalam kisah tersebut adanya tragedi yang dirasakan frankenstein yang sebenarnya memiliki perasaan dan akal tidak mengetahui apa kesalahan dirinya sehingga harus diperlakukan tak lebih dari monster. Selanjutnya tentang kisah humanoid cyborg dimana seseorang dipasangkan peralatan teknologi yang membuat kekuatan berfikir dan fisik dirinya lebih kuat dari manusia biasa, sampai pada suatu waktu manusia tersebut mengalami kerusakan sistem didalamny, sehingga mempertanyakan bagaimana tentang kemanusiaan tersebut.

Apakah kedua kisah diparagraf sebelumnya adalah mitos belaka? Mungkin jika kita membicarakan hal tersebut 2000 tahun yang lalu itu hal yang tidak mungkin, tapi jika kita melihat potensi teknologi diera sekarang kita bisa memperbincangkan dan merefleksikan hal tersebut. Pengembangan teknologi cloning yang diciptakan manusia, yang selalu diusahakan untuk menghasilkan alternatif pengobatan. Pengembangan artificial intelligence yang dihasilkan dalam dunia komputer dan teknologi robotika yang dikembangkan para insinyur. Serta alat yang selalu dihasilkan untuk melakukan overcoming keterbatasannya dengan alasan kemanusiaan, memiliki  potensi yang bersifat pedang bermata dua.

Selain itu persoalan humanity itu sediri mengizinkan Dominique Janicaud untuk membahas permasalahan Inhuman dan superhuman.  Dominique Janicaud menggunakan sejarah nazi sebagai bahan refleksi, dimana pandangan tersebut membuat adanya advokasi pembenaran dalam pembantaian etnis yang dianggap rendah dari golongan manusia.

Telah terlihatlah bagaimana dalam kondisi manusia yang penuh dengan usaha untuk melakukan overcoming terhadap semesta dengan peralatan teknologi, berpotensi untuk merendahkan nilai kemanusiaan itu sendiri, namun apakah hal tersebut mengizinkan manusia menjadi technopobia, ataupun mengembalikan pemikiran humanisme yang konservatif? Dominique Janicaud mengatakan, kita tetap perlu teknolgi namun harus bersiap untuk memikirkan resiko usaha overcoming melalui sudut pandang humanism yang lebih baru, atau yang sering  dikatakan dengan Post-Humanism.

Selasa, 18 Desember 2012

Albert Camus, The Myths Of Sisyphus


Albert Camus, The Myths Of Sisyphus

Setelah dibuangnya Tuhan dalam perdebatan dalam eksistensialisme, manusia pada akhirnya terpaksa meminum anggur pahit kenyataan, yang diberi lebel absurdisme. Albert Camus memikirkan kehidupan manusia dalam perjuangannya tentang menjalani kehidupan. Albert Camus menjelaskan pemikirannya dalam teks The Myths Of Sisyphus, dimana sang tokoh utama yaitu Sisyphus digambarkan sebagai tokoh absurd yang menyadari ke absurdan kehidupan. Tokoh Sisyphus yang dikutuk untuk membawa batu keatas gunung dan menjatuhkannya lalu mengangkatnya kembali keatas gunung digambarkan sebagai kehidupan manusia.
            Usaha kita mencari makna dalam keabsurdan membuat kehidupan terlalu aneh untuk selalu diperjuangkan, atau dengan kata lain kenapa kita tidak memilih bunuh diri untuk menjawab ketidak bermaknaan dari kehidupan? Dikatakan bahwa absurdisme ini hadir karena adanya kesadaran dan disitulah kita menyadari bahwa kehidupan manusia begitu tragis. If this myth is tragic, that is because its hero is conscious. Where would his torture be, indeed, if at every step the hope of succeeding upheld him? The workman of today works every day in his life at the same tasks, and this fate is no less absurd. But it is tragic only at the rare moments when it becomes conscious.[1]
Kisah tragedi  ini akan menemukan kebahagiaan didalamnya jika disadari itu hadir saat hal absurd itu memunculkan kebahagiaan, Happiness and the absurd are two sons of the same earth. They are inseparable. It would be a mistake to say that happiness necessarily springs from the absurd discovery. It happens as well that the feeling of the absurd springs from happiness.[2]
Ketika kita membahasakan keabsurdan kehidupan ini, kita seharusnya menyadari bahwa absurdisme ini tidak sama dengan nihilisme, karena manusia adalah pelukis yang masih berperan dalam kehidupannya sendiri, yang tiap cat minyaknya menggambar kanvas kehidupan yang mungkin dilukiskannya, dan tiap spektrum dan gradasi warna yang dihasilkan merupakan keindahan yang tertuang dalam kanvas tersebut.
Mungkin kita akan terbersit untuk mengijinkan bunuh diri untuk menyelesaikan persoalan eksistensialisme kehidupan kita sendiri dalam ketidak adanya makna inherent dalam kehidupan, namun dengan kita mengijinkan hal tersebut, kita serupa dengan sang pelukis yang menyerah dalam keabsurdan dan menghentikan goresan kuas kreatif kita dalam kanvas tersebut, atau dengan kata lain, bukan kita berusaha menyelesaikan lukisan tersebut dengan berbagai kemungkinan campuran warna, kita memilih untuk membuang lukisan tersebut.
Semua kumpulan paragraf sebelumnya itu menunjukan, bahwa walaupun begitu absurdnya kehidupan yang kita rasakan sebagai manusia, kita memiliki potensi untuk melampaui keabsurdan yang dilemparkan dimuka kita, dengan tidak memasukkannya Tuhan, sebagai pemberi makna esensial yang secara inheren dalam Being yang disebut manusia, Albert Camus memberikan sebuah alternatif agar manusia dapat mengadvokasi alasan menjalani kehidupan bagi manusia dengan penuh makna. Adovakasi tersebut tidak dengan mencari makna dari luar dirinya, seperti Tuhan, tidak pula dengan menemukan makna dalam kehidupan, mengingat bahwa kehidupan dipandang sumber keabsurdan, tapi dengan hal yang sederhana namun sulit untuk dilakukan, yaitu menciptakan makna.



[1] Kaufmann, W. A. 1975. Existentialism from Dostoevsky to Sartre. (New York: New American Library) hlm. 314
[2]  Ibid. hlm 315                                                            


Minggu, 09 Desember 2012

Analisa Pertanyaan Metpen (Martin Heidegger)


Analisa Pertanyaan Dan Refleksi Atas Diam


Pertanyaan Untuk Dianalisa
1.      Apakah kalian mengerti tentang Heidegger?
2.      Kalau tidak mengerti, bagian mana yang tidak mengerti?
3.      Apakah relevan pertanyaan demikian?
4.      Masuk akal tidak pertanyaan-pertanyaan tersebut?

Analisa Keempat Pertanyaan

Jika di asumsikan pertanyaan ke 1 jawabannya adalah tidak, maka kita bisa melanjutkan ke pertanyaan ke 2, dengan menerangkan persoalan mana yang tidak diketahui peserta kuliah. Pertanyaan ke 3 dan ke 4 menjadi relevan dan masuk akal dengan menggunakan anggapan bahwa tugas peserta didik adalah mencari jawaban untuk perkembangan kemampuan intelegensinya, sedangkan tugas pendidik adalah berusaha memberikan jawaban yang terbaik untuk memancing intelegensi peserta didik dan menghasilkan diskusi.

Refleksi

Namun ketika jawaban pada soal ke 1 adalah iya, maka pertanyaan tersirat yang timbul dalam kasus ini adalah, mengapa yang ditanyakan diam saat pertanyaan ke 1 diajukam?

Fenomena “diam” tersebut menunjukan ketidakmungkinan keinginan, kemampuan, dan karakter suatu individu bisa diketahui yang lain jika tidak diaktualisasikan, dalam kasus ini tidak mungkin seseorang bisa mengetahui apakah peserta matakuliah ini mengerti tentang Heidegger, jika  usaha berkomunikasi yang dilakukan dibalas dengan “diam”, dan pada akhirnya hal tersebut bersifat 1 arah.

Tapi menurut penulis ada hal yang lebih dalam yang bisa diangkat dari timbulnya keempat pertanyaan tersebut. Penulis membayangkan adanya kemungkinan pengaruh budaya ataupun tradisi lokal yang menyebabkan bahwa, bertanya jika tidak tahu adalah aktualisasi kebodohan ataupun bisa juga dengan kebiasan sistem pendidikan yang bersifat pedagogi, bukan andragogi, yang membiasakan bahwa pendidik sudah pasti benar, secara hierarkis, sehingga peserta didik tidak perlu lagi mendiskusikan suatu masalah dan cukup menunggu pendidik untuk memberikan jawabannya. Sistem pendidikan yang bersifat interaktif, dua arah merupakan hal yang amat sangat asing dalam kebudayaan kita, belum lagi dengan sebuah imajinasi pemikiran, bahwa kesalahan berpendapat adalah hal yang tabu untuk untuk ditunjukan, oleh karena itu lebih baik diam dari pada menunjukan kesalahan diri sendiri.

Kebiasaan budaya ataupun tradisi tersebutlah yang menyebabkan kita membiasakan diri menggadaikan akal sehat kita dengan akal sekarat dengan alasan kesopanan, ataupun malu menunjukan kesalahan yang kesemuanya berakhir pada terciptanya manusia – manusia penghafal dan bukan menjadi pemikir progresif.