Page

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 30 November 2013

Konfusianisme Serta Keterkaitannya Dengan Keteraturan Masyarakat pada Dinasti Zhou Timur

Konfusianisme Serta Keterkaitannya Dengan Keteraturan Masyarakat pada Dinasti Zhou Timur
Oleh: Adam Azano Satrio, 0906522861
1.      Introduksi
Cina pada zaman Dinasti Zhou Timur merupakan sebuah negara yang maju, kuat, dan modern. Dinasti ini merupakan dinasti dengan era terpanjang dalam sejarah Cina. Dinasti ini seringkali dianggap sebagai peletak dasar peradaban Cina.
Pada zaman Dinasti Zhou Timur, terutama pada periode akhir Dinasti, tatanan masyarakat sudah sangat maju dan teratur, bahkan sampai kepada tatanan ekonomi, politik, sosial, dan pemerintahan. Hal ini disebabkan doktrin konfusianisme yang membawa persatuan, perdamaian, dan keadilan bagi Cina.[1] Ajaran - ajaran konfusianisme yang kemudian diangkat menjadi ideologi negara, yang muncul pada masa menjelang akhir Dinasti Zhou, menjadi sangat mengakar pada berbagai aspek kehidupan orang Cina. Konfusianisme telah menjadi norma kebiasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, keteraturan pada masa Dinasti Zhou Timur terjadi karena setiap orang mengamalkan ajaran Konfusianisme. Hubungan antara keteraturan masyarakat dalam hal politik, ekonomi, sosial, dan pemerintahan dengan ajaran Konfusianisme dapat kita lihat dari ajaran-ajaran Konfusianisme, yang bahkan telah mengatur, feodalisme positif yang menghasilkan sistem Jing Tian, harmonisme yang tertuang dalam lima hubungan atau Wu Lun, familisme yang mengatur hubungan dalam keluarga, materialisme dan pembagian kerja yang membawa pada teraturnya perekonomian, humanisme yang mengatur hubungan antar sesama, pendidikan, dan juga moral yang menjadikan dasar hukum Zhou Timur.
Bernama asli Khung Qiu/Zhong Ni yang lahir pada zaman Dinasti Zhou 551 SM di desa Chang Ping di negara bagian Lu. Berlatar belakang yatim saat berumur 3 tahun. Hidup miskin dan sangat tertarik dengan ilmu pengetahuan.
Pemikiran filsafat Konfusius begitu besar pengaruhnya pada negara Korea, Jepang, Vietnam, Singapura, Taiwan bahkan sampai benua Eropa. Jika pengaruh Konfusius begitu besar sampai mewarnai sejarah ideologi berbagai negara, pastilah banyak kemajuan yang telah dicapai pada masa ia masih hidup, terutama pada saat Dinasti Zhou Timur (770-221 SM).
Untuk mengetahui apa saja pemikiran konfusianisme dan keadaan serta efek dari pemikirannya pada kebudayaan dimasa Zhou Timur penulis akan membagi menjadi beberapa bagian, yaitu pendidikan, sosial, dan ketatanegaraan,
2.      Pendidikan    
 Bisa dikatakan pendidikan adalah dasar dari segala kemajuan pada Dinasti Zhou Timur. Separuh dari murid-murid Konfusius menjabat sebagai pegawai pemerintahan. Karena memang posisi pegawai pemerintah adalah status yang dapat menaikan martabat dan juga menjadi impian setiap orang pada saat itu.
 Pada masa itu, pendidikan hanya diperuntukan bagi kaum bangsawan. Diskriminasi kesempatan belajar ini dihancurkan oleh ajaran Konfusius dan memberikan fondasi dalam dunia pendidikan dimana tidak ada perbedaan kelas. Setiap orang, apapun latar belakangnya, berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan.[2] Sehingga dalam waktu singkat Konfusius dapat merangkul berbagai kalangan menjadi satu untuk dijadikan murid. Dan munculah istilah A Hundred School of the Warring States Period (ratusan sekolah pada zaman negara berperang) yang juga dilengkapi oleh ajaran Mohisme.  
            Murid-murid Konfusius yang berlatar belakang miskin dan bukan bangsawan pada akhirnya dapat menaikan status mereka dengan menduduki staff pemerintahan. Untuk itu, sebelum murid-muridnya terjun pada masyarakat, Konfusius telah memberi bekal agar ketika murid-muridnya yang kelak mendapat jabatan, dapat mengelola pemerintahan yang adil dan berpihak pada kebutuhan rakyat sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka anut.
Terdapat 8 prinsip belajar, yaitu:
1.      Menyelidiki hakikat segala sesuatu.
2.      Bersikap jujur.
3.      Mengubah pikiran.
4.      Membina diri sendiri.
5.      Mengatur keluarga sendiri.
6.      Mengelola negara.
7.      Membawa perdamaian dunia.
Konfusius tidak hanya mengajari pengetahuan dan keahlian, tapi juga cara mengasah pikiran dan memperoleh integritas yang akhirnya mengembangkan watak dan kecerdasan mereka. Metode pembelajarannya adalah dalam bentuk diskusi panel. Murid-muridnya didorong untuk bertanya dan mengemukakan pendapat secara bebas dan mandiri. Sehingga murid-muridnya menjadi kritis dan sangat berguna dalam mempertahankan prinsip yang dianut.
Dalam proses pengajarannya, Konfusius membaginya dalam 4 tahapan, yaitu:
1.      Mengarahkan pikiran dengan cara.
2.      Mendasarkan diri pada kebajikan.
3.      Mengandalkan kebajikan untuk dapat dukungan.
4.      Mencari rekreasi dalam seni.
Konfusius mempercayai bahwa semua orang dapat menarik manfaat dari hasil pengolahan diri dalam belajar. Ia juga memperkenalkan suatu program ajaran moralitas atau kebajikan untuk calon pimpinan negara. Konfusius membuat suatu daftar prioritas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, yaitu:
1.      Kelakuan adalah syarat utama.
2.      Berbicara adalah prioritas kedua.
3.      Memahami soal-soal pemerintah adalah prioritas ketiga.
4.      Kesusasteraan adalah prioritas keempat.

Perilaku dan watak menjadi alasan utama karena menurutnya, seseorang akan menjadi Chun Tzu (orang yang berbudi) bukan atas dasar keturunan. Setiap orang bisa menjadi Chun Tzu. Maka dari itu ia menerima murid dari berbagai kalangan tanpa memandang status.
Konfusisus mendidik muridnya untuk menguasai 6 keterampilan, yaitu:
1.      Tata krama (Li).           
2.      Musik (Yue).
3.      Memanah.
4.      Menunggang kuda.
5.      Kaligrafi.
6.      Aritmatika.
Li merupakan elemen yang sangat penting untuk murid-muridnya. Tanpa sopan santun, orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian tidak ada gunanya. Murid-murid Konfusius yang berasal dari golongan miskin pun diajari tata krama istana agar ketika menduduki jabatan kelak dapat bersikap sejajar dan pantas.
Ide lain dalam bidang pendidikan adalah adanya sistem ujian negara. pendekatan Konfusianisme dalam mengajar sangat efektif karena bukan hanya membentuk banyak individu sangat unggul, tapi juga memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas masyarakat dan mendorong kemajuan ekonomi dan budaya. Banyak orang berpendidikan dengan latar belakang sederhana memperoleh jabatan-jabatan tinggi di pemerintahan. Meskipun orang-orang yang di atas merupakan minoritas, tapi mereka yang dididik di bawah ideologi yang kesemuanya  memegang peranan penting dalam masyarakat. Secara keseluruhan, yang berpendidikan sangat dihormati dan merupakan pilar utama dalam masyarakat Zhou Timur. Beberapa dari mereka mulai membuka sekolah-sekolah, memberikan saran-saran strategis bagi para penguasa, mempraktekkan pengobatan, menjadi seniman. Strata pendidikan masyarakat mempunyai dampak besar pada masyarakat melalui pemikiran dan perbuatan mereka. Nilai sistem mereka berperan penting dalam menjaga stabilitas.
33.      Sosial
Konfusius berpendirian bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Dalam sebuah batas-batas tertentu, manusia dibentuk seperti keadaannya, oleh masyarakat. Dan masyarakat dibentuk seperti keadaannya, oleh seorang yang menyusunnya. Hati nurani seseorang tentu menolak untuk menarik diri dari masyarakat, tetapi juga melarangnya untuk menyerahkan pertimbangan moralnya kepada masyarakat.
Terdapat asas timbal balik jika setiap orang bekerja untuk kebahagiaan bersama, maka sudah pasti akan didapatkan suatu keadaan yang menciptakan kebahagian karena kebahagiaan merupakan kebaikan dan tujuan utama hidup manusia.
Konfusius menekankan cara menjalani kehidupan terbaik adalah yang harmonis, dengan mengutamakan moralitas dan kebajikan. Seseorang dilahirkan untuk menjalani hubungan tertentu. Dalam kitab Wu Lun (lima hubungan utama), ajaran ini mengajarkan manusia untuk menjaga lima hubungan utama yaitu antara raja-menteri, bapak-anak, suami-istri, kakak-adik (laki-laki) dan antar teman. Kehidupan akan selaras jika setiap manusia menyadari akan hubungan atasan dengan bawahan. Sehingga pada masa itu terbentuklah masyarakat Shen Si (bangsawan) dan Xiao Ren (orang kecil), dimana mereka dapat berlaku sesuai dengan peran masing-masing dan kelasnya sehingga Dinasti Zhou menjadi maju. 
Lima hubungan utama ini mengajarkan manusia untuk menjaga lima relasi utama yaitu:
1.         Hubungan raja dan menteri. ( yang masih mempengaruhi hubungan sosial politik di Cina hingga saat ini)
2.         Hubungan ayah dengan anak. (Laki-laki)
3.         Hubungan suami dengan istri.
4.         Hubungan antara kakak (laki-laki) dengan adik. (laki-laki)
5          Hubungan teman dengan teman.

Dalam setiap hubungan, orang yang superior mempunyai kewajiban mengasihi dan menjaga terhadap orang-orang yang inferior. Pada ruang lingkup berikutnya pola relasi dalam konteks keluarga itu diterapkan juga dalam konteks sosial. Sang bawahan harus taat kepada atasannya. Kekecualiannya adalah untuk hubungan antar-teman. Itupun jika salah satu lebih tua, hubungannya menjadi seperti kakak-adik. Kewajiban untuk taat itu bukannya tanpa syarat. Karena kewajiban taat Konfusian itu adalah untuk menjalankan perintah yang baik, perintah yang tidak baik harus dibantah. Membantah kaisar memang bisa membawa risiko mati. Tetapi dalam Konfusius juga mengajarka tentang Tiānmìng, seorang kaisar yang tidak lagi berkebajikan juga bisa digulingkan.[3] Sesuai tradisi feodal Cina, para penguasa Zhou mengklaim diri mereka sebagai mandat langit, dimana para penguasa memerintah atas mandat dari langit. Bila mandat dari langit dicabut, rakyat berhak menggulingkan penguasa tadi.
Lima hubungan ini mengatur manusia untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan posisi dan fungsinya. Ditambah dengan masing-masing manusia menempati kedudukan sesuai dengan keahliannya demi ketertiban alam maka akan tercipta harmonisme kehidupan masyarakat. Sehingga dalam dinasti Zhou Timur tatanan masyarakatnya menjadi harmonis dan teratur, karena kelima hubungan tersebut selalu dijaga bukan hanya dalam konteks keluarga itu diterapkan juga dalam konteks sosial. Oleh karena itu, masyarakat menempatkan diri pada posisi seharusnya dan bekerja dengan sungguh-sungguh, sehingga terciptalah masyarakat yang maju dalam bidang ekonomi maupun sosial politik.
Selain itu ajaran sosial lainnya adalah mengenai keluarga, Keluarga bagi Cina adalah pusat worldview. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat Cina. Menurut ajaran Konfusianisme, keluarga adalah miniatur dari negera, dan negara adalah keluarga yang besar.[4] Dalam Konfusius, orangtua dalam sistem keluarga Cina berkewajiban mengajari anggota keluarganya tentang mekanisme negara agar mereka bisa menerima ororitas negara. Kultur politik Cina menekankan interdependensi antara pemerintah dan keluarga. Keluarga berperan untuk mengurangi kekacauan dalam institusi - institusi publik, orangtua selalu menekankan keteraturan sosial dan kesejahteraan setiap anggota keluarga.
Hal lain yang dirumuskan oleh Konfusius adalah pembagian kerja, menurut Konfusius, pembagian pekerjaan di dalam masyarakat harus jelas, tidak boleh ada orang yang mempunyai pekerjaan atau jabatan rangkap. Orang mengerjakan satu pekerjaan saja sudah sulit, bagaimana bisa mengerjakan dua pekerjaan atau lebih dengan hasil baik. Pekerjaan masyarakat disesuaikan dengan sumber daya alam yang ada di daerahnya. Misalnya daerah yang cocok untuk pertanian penduduknya menjadi petani. Daerah yang cocok untuk peternakan, penduduknya berternak. Daerah yang memiliki sumber untuk membuat keramik penduduknya bekerja membuat keramik, dan seterusnya. Distribusi barang dan jasa yang diperlukan masyarakat harus lancar agar harga di produsen tidak terlalu mahal pada konsumen. Oleh karena itu terciptalah kegiatan ekonomi yang teratur, sehingga mengkondisikan sektor lainnya untuk teratur juga, seperti di bidang politik pemerintahan, dan lainnya.
Selanjutnya adalah tentang materialisme timur yang diajarkan oleh Konfusius. Materialisme ini tercermin dari ajaran Konfusius yang menyebutkan bahwa Orang yang mulia adalah orang yang kaya, sehingga semua orang ingin dan berusaha menjadi kaya. Ditambah lagi dengan ajaran Konfusius yang tidak terlalu memikirkan “hidup setelah mati” karena menghindari berbagai macam spekulasi (merujuk pada pernyataan Konfusius, belum tahu tentang hidupmu mengapa bertanya tentang kematian). Ajaran ini membuat masyarakat Zhou Timur menjadi sangat bekerja keras untuk menjadi kaya, dengan orientasi yang bersifaf duniawi. Semua orang berusaha bekerja sesuai dengan posisinya, walau nilai konfusius menciptakan suatu lapisan (yaitu lapisan masyarakat yang terdiri dari (Shen Shi) cendikiawan, yang jumlahnya hanya 5% dan (Xiao Ren) rakyat jelata, yang jumlahnya 95% yang hanya bisa direduksi / dinetralisir oleh konfusianisme, yang menyebutkan bahwa hanya ada dua pekerjaan, yaitu orang bekerja dengan otaknya dan orang yang bekerja dengan ototnya. Yang bekerja dengan otaknya yang seharusnya dilayani dan yang bekerja dengan ototnya yang melayani, itulah prinsip yang berlaku di kolong langit. Sehingga tingkat perekonomian rakyat sangat mumpuni, sehingga negara pun menjadi maju dan teratur karena pajak yang dibayar oleh rakyat lancar.
Humanisme praktis. Ajaran Konfusius mengenai humanisme adalah tentang konsep Rén (cinta kasih). Konsep Rén adalah konsep yang juga teramat penting dalam ajaran Konfusius, karena pada dasarnya Konfusius menghendaki bahwa Rén itu pada akhirnya menjadi cita-cita dari setiap orang.[5] Rén merupakan dasar dalam etika maupun teori politik Konfusian. Rén merupakan kebajikan dalam memenuhi kewajiban seseorang terhadap sesamanya dan sering diterjemahkan sebagai kebaikan atau kemanusiaan. Karena itu konsep Rén ini sebenarnya merupakan pangkal dari keseluruhan ajaran Konfusius yang menjadikan pendidikan moral individu sebagai awal untuk mendirikan keluarga yang baik, kemudian berlanjut kepada penegakan ketertiban negara dan akhirnya membangun tertib dunia. Konsep Rén ini diterapkan pada dinasti Zhou Timur, setiap tidakan politik, dan kenegaraan, serta kehidupan masyarakat didasari oleh Rén, sehingga seluruh keteraturan dan ketertiban didasari oleh kemanusiaan. Menurut Konfusius, dasar membangun negara adalah cinta kasih (Rén) dan menjunjung tinggi kebenaran (Yi), sebagai realisasi dari mengabdi kepada rakyat. Tujuan melayani masyarakat adalah menyediakan semua kebutuhan hidup masyarakat seluas-luasnya.
44.      Ketatanegaraan
Pada awal dinasti Zhou, seorang raja sangat berkuasa dan negaranya menikmati kedamaian dan kemakmuran. Tetapi pada masa Konfusius, Cina terbagi menjadi beberapa negara bagian untuk merebut kekuasaan. Di dalam satu negarapun selalu terjadi pertegkaran dan perselisihan antara penguasa dan kaum bangsawan sehingga kesejahteraan rakyat biasa sangat terabaikan.
Dalam ajaran Konfusius, sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem paternalistik (kebapakan), dimana terjalin sikap saling menghormati dan menghargai antara pemerintahan dan rakyat. Pemimpin negara harus menciptakan kesempurnaan moral dengan cara memberi contoh yang benar pada rakyat. Konfusius mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pegawai pemerintahan dengan prinsip moral yang tinggi untuk selalu berpihak pada rakyat. 
Konfusius pernah berkata, bila seorang penguasa benar-benar bersungguh-sungguh dalam menyajikan korban kepada leluhur mereka, mengapa mereka tidak harus berbuat yang sama juga dalam memperhatikan pemerintahan kemaharajaan. Bila para menteri memperlakukan menteri lain secara hormat, mengapa tidak untuk harus memperhatikan kepentingan rakyat jelata yang menjadi tulang puggung negara.
Ia mengharapkan agar murid-muridnya bersedia mengorbankan jiwanya demi prinsip-prinsip yang diajarkannya dalam membela sesuatu yang disebut Jalan (Tao). Jalan artinya jalan diatas segenap jalan lain yang seharusnya diikuti manusia. Tujuan yag hendak dicapai ialah kebahagiaan, dalam hidup ini, disini dan kini, untuk segenap umat manusia. Dalam berabad-abad para Konfunsianis tercatat sebagai kaum pemberontak atau dihukum mati karena menentang pemerintahan yag dianggap tidak sesuai dengan Jalan.
Salah seorang murid Konfusius, Zigong pernah bertanya tentang pemerintah; Konfusius menjawab: “Cukup makan, cukup perlindungan dan kepercayaan rakyat adalah hal yang terpentig dari pemerintahan”.
Konfusius pernah menjabat sebagai walikota di kota Zhongdu. Dalam waktu satu tahun, Zhongdu menjadi kota teladan tanpa kriminalitas. Dalam menangani kasus hukum, Konfusius bertujuan untuk mengakhirinya.
Ia juga mengatakan: “Jika orang hendak memimpin rakyat dengan menggunakan aturan-aturan, dan hendak mempertahankan ketertiban dengan menggunkan hukuman-hukuman, maka rakyat pasti hanya berusaha untuk menghindari hukuman tanpa mempunyai rasa wajib moral. Tetapi jika orang yang memimpin mereka dengan kebajikan dan mendasarkan diri pada li dalam mempertahankan ketertiban, maka rakyat akan mempunyai rasa wajib moral untuk memperbaiki diri sendiri”.
Setelah menjadi walikota Zhongdu, ia dipromosikan sebagai Menteri Kehakiman dan kemudian Perdana Menteri di negara Lu. Perekonomian negara Lu menjadi sangat maju dibawah pimpinannya. Konsep pemerintahan Konfusius adalah mempertahankan kejujuran, kerajinan, kemakmuran, pembagian ketenagakerjaan yang adil dan kasih pada sesama di suatu negara yang memiliki ribuan kereta perang.
Ia juga sukses dalam urusan diplomatik ketika dia meneman bangsawan negara Lu di konferensi perdamaian dengan negara Qi dan menegosiasikan pengembalian tiga kota yang diambil dari negara Lu. Dalam urusan diplomatik, Konfusius jarang melakukan kekerasan (perang).
Adipati Lu juga sangat sering berkonsultasi dengan Konfusius sehingga banyak pemikirannya yang terpakai. Dalam strategi perang, Konfusius juga cakap dalam memimpin. Ia sebagai pembuat konsep serangan ketika negara Lu ingin merobohkan tembok 3 negara yang dominan berkuasa pada saat itu. Ia lebih memikirkan strategi yang efektif dibandingkan dengan jumlah tentara dan kereta kuda yang banyak.
Tapi ada sebuah kelemahan dalam sistem politik yang diajarkan oleh Konfusius. Para penguasa memiliki kekuasaan penuh untuk memilih menteri-menteri mereka untuk mengendalikan pemerintahan. Dan trik dari penguasa dalam mengendalikan pemerintahan adalah merekrut murid-murid Konfusius yang cakap dan mengerti urusan pemerintahan, lalu mengendalikannya sehingga prinsip moral yang diajarkan Sang Guru menjadi kabur oleh kesenangan duniawi.
5.      Kesimpulan
Pandangan Konfusius tentang pemerintahan dan manusia merupakan elemen terpenting dalam ajarannya. Dia percaya bahwa tujuan pemerintahan yang sebenarnya adalah mensejahterakan rakyat. Cara terbaik dalam memerintah adalah dengan nilai moral dan contoh kehidupan yang baik dari pemimpinnya, bukan dengan cara negatif dari undang-undag dan penghukuman. Pemerintah yang baik adalah mereka yag memiliki bekal akan kualitas kemanusiaan dan pengetahuan yang mendalam.
Ajaran konfusius berpusat pada sekitar sopan santun, toleransi, iman, kerajinan, kebaikan, moderat, keberanian, kesetiaan dan bakti. Elemen-elemen tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan dan pengembangan diri. Yang terpenting adalah pembelajaran.
Tanpa pendidikan, cinta akan kebaikan akan menjadi kebodohan; cinta akan keberanian dapat menjadi kecerobohan; tanpa pembelajaran, cinta akan kejujuran dapat mengarah menjadi mudah ditipu, cinta akan kebenaran mengarah pada kecerobohan; cinta akan kebijaksanaan dapat menjurus kepada generlisasi yang dangkal, dan cinta akan kesetiaan dapat menyebabkan seseorang menyakiti orang lain.
Konfusius yakin bahwa kualitas moral yan sejati lebih penting dibandingkan dengan penampilan lua seseorang. Tetapi kebajikan batiniah harus dibuktikan dengan tingkah laku yag baik. Dia juga percaya bahwa kesopanan yang membentuk manusia. Kesopanan, baik didepan umum atau tidak, mempunyai pengaruhtidak langsung pada karakter seseorang yang akan mendorongnya menuju kebaikan dan mencegahnya melakukan kesalahan.
Penekanannya akan pentingnya pendidikan, pengajarannya tentang prinsip oral, penghormatannya kepada para cendekiawan dan profesi guru, keyakinannya pada peran keluarga, dan pentingnya pelayanan masyarakat, memberi pengaruh yang sangat besar selama berabad-abad.

Daftar Pustaka
Buku
Bauer, Susan Wise. (2010). Sejarah Dunia Kuno-Dari Cerita-Cerita Tertua Sampai Jatuhnya Roma, Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Creel, H. G. (1989). Alam Pikiran Cina sejak Confusius sampai Mao Zedong, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya (anggota IKAPI).
Lu, Hou Wai. (1959). A Short History of Chinese Philosophy, Peking: Foreign Languanges Press.
Tang, Michael C. (2000). Kisah-Kisah Kebijaksanaan China Klasik-Refleksi bagi Para Pemimpin, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI.
Weber, Max. (1968) The Religion of China, United States of America: The MacMillan Company.
Yulan, Fung. (1948) A Short History of Chine Philosophy, USA: MacMillan.
Internet         
http://bodhiisvarasuyami.blogspot.com/2012/04/hubungan-antara-konfusianisme-dan.html
http://wihara.com/forum/kong-hu-cu821-ajaran-konfusius.html
http://rujakcingurpedas.blogspot.com/2012/04/konstribusi-ajaran-konfusius-pada.html



[1] H. G. Creel, Confusius: The Man and The Myth, (London: Routledge &kegan Paul Ltd, 1951), hal. 15.
[2]  Bandingkan dengan eropa pada masa itu. Walaupun begitu, kesetaraan pendidikan bagi Konfusius terbatas pada laki – laki saja.
[3] Budiono Kusumohamidjojo, Konfusianisme dan Zaman Kita, (Jakarta, 2009), hal. 8. Yang merujuk pada: Ross, Journey to the West, Volume II, [Foreign Languages Press, Beijing, 1993, 1007, p.711].
[4] Max Weber, The Religion of China, (United States of America: The MacMillan Company, 1968), hal. 34-35
[5] Fung Yulan, A Short History of Chine Philosophy, (USA: MacMillan, 1948), hal. 69.

Jumat, 15 November 2013

Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

BAB I
PENDAHULUAN
1.1        Latar Belakang
Pendidikan anak berkebutuhan khusus merupakan keterampilan sang guru sebagai pendidik untuk membangkitkan rasa keingintahuan dan pengetahuan sang anak dengan tetap memperhatikan kekurangan anak. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Freed Roger,
Perhatikan sang anak terlebih dahulu. Jika kalian berurusan dengan hiburan, makanan, mainan, peraturan, perawatan baik waktu siang atau malam hari, kesehatan, dan pendidikan mereka – dengarkan mereka, belajar tentang mereka, dan belajar dari mereka[1]
Sebagai pendidik, kita harus memperhatikan anak murid berdasarkan keunikan masing – masing. Pendidikan anak berkebutuhan khusus menunjang kemampuan sang anak untuk bekal mereka di masa depan. Hal itu menyebabkan seorang guru memerlukan keterampilan untuk mempelajari hal – hal yang tidak hanya menunjang kemampuan mendidik, seperti komitmen, latihan, pengalaman, dan pengetahuan tentang perkembangan dan metode berkembang anak tetapi juga harus mempelajari cara beradaptasi serta menghadapi persoalan sang anak dengan keterbatasannya sekaligus bekerja sama dengan professi lainnya seperti ahli patologi.
Oleh karena itu semua, makalah ini disusun dengan tujuan membantu seseorang agar mampu membuat kondisi dan kurikulum yang berfokus pada anak berkebutuhan khusus. Pembahasan makalah ini tidak hanya berkutat pada persoalan metode praktis saja, tetapi juga akan menerangkan dasar teori serta dasar filosofis anak dengan kebutuhan khusus yang pada kali ini berfokus pada gangguan bahasa dan gangguan bicara.
Pada bab II penulis akan menjabarkan aspek historis tentang pendidikan anak dengan gangguan bahasa dan gangguan bicara, teori cara belajar, persoalan sosial dan cultural yang dihadapi guru, cara identifikasi, penggunaan teknologi tepat guna kepada anak, serta komunikasi terhadap orangtua sang anak dengan kebutuhan khusus.
Pada bab III penulis akan menuliskan kesimpulan persoalan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang bersifat konstruktif, dengan tujuan menambah pengetahuan.
Untuk pembahasan ini penulis akan menggunakan referensi buku Marilyn Friend, yang berjudul Special Education: Contemporary Perspectives For School Professionals. Terutama pada Chapter 9: Students With Speech And Language Disorders dan penulis juga menggunakan referensi lainnya terutama media elektronik, yaitu internet.

BAB II
GANGGUAN BICARA” DAN “GANGGUAN BAHASA”

2.1        Apakah Itu “Gangguan Bicara” Dan “Gangguan Bahasa”
 Kegiatan pendidikan yang memfokuskan diri pada gangguan anak pada kemampuan bicara dan gangguan bahasa sudah dimulai secara pesat sejak dua dekade ini. berdasarkan O’ Neill perkembangan studi tentang gangguan bicara dan gangguan bahasa dimulai sejak awal abad ke-19 di wilayah eropa. Pada masa itu difokuskan dengan permasalahan bagaimana mereka mampu berkomunikasi baik secara suara (metode oral) ataupun simbol (metode manual). Teks tertua yang membahas tentang penyakit ini diketahui ditulis oleh S.C.L. Potter pada tahun 1802, hal ini memberi pengaruh, terutama kepada Mrs. Leight, untuk menyusun suatu metode penyembuhan terhadap anak dengan gangguan bicara dan bahasa.[2]
Secara historis pada awalnya banyak orang yang memfokuskan diri untuk menyelesaikan persoalan ini dengan kemampuan profesi yang berbeda –beda seperti  dokter, apoteker dan guru, tetapi, menurut O’ Neill, pembahasan secara formal ini dimulai pada tahun 1930. Bahkan pada taun 1918, oleh para guru, dirancang suatu organisasi yang berfokus pada permasalahan ini yang disebut National Society For The Student And Correction Of Speech Disorder. Hingga pada akhirnya berkembang menjadi Amerika Speech Language Hearing Association (ASHA). Pada pasca perang dunia kedua kebutuhan tentang pendidikan ini juga semakin pesat dan berkembang. Bahkan telah diteliti oleh Duchan, bahwa pada era ini penelitian memasukkan unsur neurologi di dalamnya. Sedangkan pada era kontemporer ini pemahaman tentang gangguan anak lebih ditekankan kepada persoalan kemampuan komunikasi.
2.2              Pengertian “Gangguan Bicara” Dan “Gangguan Bahasa”
Penekanan pada era kontemporer yang lebih membahas masalah komunikasi merupakan persoalan terkini. Komunikasi didefinisikan oleh Lue sebagai pertukaran informasi dan pengetahuan dari partisipan. Komunikasi membutuhkan 5 unsur yaitu, pesan, pengirim, penerima, channel, dan timbal balik.
a.       Pesan adalah informasi atau pengetuhuan.
b.      Pengirim adalah orang mengirim pesan.
c.       Penerima adalah orang yang menerima pesan.
d.      Channel adalah rute yang harus ditempuh pesan atau medium.
e.       Timbal balik adalah proses membalas informasi atau pengetahuan yang diterima.
Sebelum membahas tentang gangguan bicara dan gangguan bahasa secara detail. Penulis akan menjabarkan tentang pengertian bahasa dan bicara terlebih dahulu pada subbab berikutnya.
2.2.1        Pengertian Bahasa Dan Bicara
Berdasarkan ASHA bahasa adalah system simbol, yang diatur dari peraturan yang kompleks dan digunakan individu untuk komunikasi serta tergantung dari budayanya. Bahasa itu sendiri memiliki tiga konten yaitu bentuk, isi, dan kegunaan. Dari tiga komponen tersebut  terdapat dimensi bahasanya masing masing. Pada bentuk terdapat phonologi, morphologi,dan sintaks. Pada isi terdapat semantik dan pada kegunaan terdapat pragmatis.
Komponen bahasa
Dimensi bahasa
keterangan
Bentuk
Phonologi
Kemampuan mendengar, membedakan jenis suara, dan penggunaan suara dari bahasa dengan tepat.
Morphologi
Kemampuan mengkombinasikan suara dari unit terkecil dalam bahasa seperti kata kentang ataupun bagian dari huruf seperti pre-, -er.
Sintaks
Peraturan bahasa.
Isi
Semantik
Kemampuan memahami dan menggunakan bahasa secara tepat.
Kegunaan
Pragmatis
Penggunaan bahasa  dalam kegunaan sosial.
Sedangkan pada bicara, yang difokuskan adalah bagaimana suara tersebut mampu keluar dan terdengar sesuai dengan kaidah bahasa. Berdasarkan Lue bicara memiliki 4 dimensi yang mampu diketahui yaitu:
Dimensi bicara
Keterangan
Suara
Terbagi menjadi 3 berdasarkan komponennya yaitu laras, intensitas, dan kualitas.
Resonansi
Adalah suara yang dipengaruhi dan berasal dari hidung.
Artikulasi
Kejelasan dalam pengularan suara.
Kemahiran (Fluently)
Kemampuan untuk berbicara secara tenang dan biasa.
2.2.2    Persoalan “Gangguan Bahasa” Dan “Ganguan Bicara”
Gangguan bahasa muncul ketika anak salah memahami kegunaan, kaidah, dan peraturan dalam bahasa. Jenis - jenis gangguan pada bahasa:
-          Spesific Language Disorder Phonologi, ketidakmampuan untuk memperoleh pengetahuan disebabkan kesulitan membedakan kata dengan pengucapan yang hampir serupa.
-          Keanehan sintaksis, ketidakmampuan menggunakan kaidah bahasa dengan benar.
-          Gangguan memahami ungkapan semantik. Ketidakmampuan memahami kegunaan kata, terutama pada ungkapan.
-          Gangguan pragmatis berkomunikasi dan mendominasi percakapan.
Terkadang permasalahan muncul tidak hanya dalam satu dimensi bisa sekaligus seperti, Language Delay (keterlambatan bahasa), Aphasia (kerusakan otak), dan Central Auditory Processing Disorder.
Gangguan pada bicara muncul ketika seorang anak menggunakan suaranya secara tidak tepat pada resonance, kualitas vokal, dan laras. Jenis gangguan pada bicara terbagi pada artikulasi dan kemahiran.
 Jenis gangguan pada gangguan artikulasi:
-Omissions, kekurangan huruf yang dibaca (Panas menjadi Anas)
-Subtitusion, perubahan huruf yang dibaca (Susu menjadi Yuyu)
-Addition, penambahan huruf yang dibaca (Kucing menjadi Kueciuunng)
Jenis gangguan pada kemahiran
-Sluttering, kemampuan bicara yang gagap dan aneh (a-a-ada, atau aaada)
-Cluttering, memberikan atau menghilangkan jeda pada suatu kalimat ( a…yam gore…ng, atau ayamgorengdannasiputih)
Terkadang permasalahan muncul tidak hanya dalam satu dimensi bisa sekaligus dan hal ini disebut dengan Childhood Apraxia Of Speech.
2.3              Penyebab Gangguan Bahasa Dan Gangguan Bicara
Biasanya gangguan ini dibagi dua secara umum, yaitu penyebab biologis dan penyebab lingkungan.
2.3.1        Penyebab Biologis
Pada umumnya hal ini disebabkan oleh kerusakan pada bagian otak. Hal ini bisa disebabkan oleh anoxia (kekurangn oksigen) saat mengandung, kesalahan asupan oleh sang ibu saat kandungan, atau berupa penyakit keturunan, selain itu bisa juga disebabkan oleh bibir sumbing.[3]
2.3.2        Penyebab Lingkungan
Lingkungan seperti kebersihan, dan asuhan juga bisa memberikan dampak kepada pengaruh kemampuan bahasa dan bicara. berdasarkan penelitian National Institute On Deafness And Other Communication Disorder, infeksi telinga yang dibiarkan secara terus menerus dan asuhan yang buruk, seperti membentak ketika sang anak sedang berusaha berkomunikasi juga menyebabkan gangguan bicara dan bahasa.[4] Tambahan lainnya adalah pengaruh lingkungan yang sifatnya sosial seperti masalah kemiskinan.
2.3.3        Persoalan Gangguan Bahasa
Walaupun perkembangan teknologi bisa membantu penyelidikan tentang penyebab suatu gangguan terkadang ada gangguan yang tetap tidak bisa diketahui. Penyebab yang bisa diketahui tersebut dinakan organic sedangkan yang tidak diketahui disebut sebagai functional.
2.4              Karakteristik Individu Yang Mengidap Gangguan Bahasa Dan Gangguan Bicara
2.4.1        Akademik Dan Kognitif
Secara umum tidak dapat diketahui apakah seseorang yang mengidap ini kemampuan berpikirnya kurang dibandingkan yang lain, tetapi, berdasarkan Lewis, Freebairn dan Taylor, jika seorang anak menunjukan gejala tersebut dan tidak diatasi akan menyebabkan keterlambatan dalam kemampuan belajar. Berdasarkan Cats, Gillispie, Leonard, Kail, dan Miller, gangguan yang akan dihadap anak adalah kemampuannya untuk membaca, memahami, mendengar, dan menyampaikan kembali suatu ilmu yang diketahuinya dari bacaan ataupun ucapan.
2.4.2        Karakteristik Sosial Dan Emosional
Hal yang akan dihadapi oleh anak yang mengidap gangguan adalah penilaiannya terhadap dirinya sendiri, karena merasa berbeda dan sulit untuk berkomunikasi dengan lainnya. Selain itu mereka juga rentan menjadi bahan ejekan temannya terutama yang kekurangan dalam fluenty. Berdasarkan Wood dan Valdez – Menchaca, masalah ini terkadang salah dipahami oleh orang dewasa dan malah menilai anak yang mengalami kekurang tersebut secara negatif.[5]
2.4.3    Perilaku Karakteristik
Anak - anak yang tidak bisa mengungkapkan kebutuhan mereka dalam kata-kata kadang-kadang relaksasi untuk perilaku yang tidak pantas, seperti balita yang menggigit teman bermainnya untuk mendapatkan mainan yang diinginkannya. Pola serupa juga bisa dilihat di kalangan siswa usia sekolah yang memiliki gangguan bicara dan bahasa. Siswa penyandang cacat tersebut berada pada risiko tinggi untuk masalah perilaku dan bahkan untuk yang diidentifikasi memiliki cacat emosional dan perilaku. Hooper, Roberts, Zeisel, dan Poe melihat apakah siswa TK reseptif dan ekspresif dalam kemampuan berbahasanya berhubungan dengan gurunya. Mereka menemukan bahwa masalah gangguan tersebut berpengaruh pada kemampuan mereka. Oleh karena itu semua dibutuhkan pendidik professional, ahli patologi bahasa dan orang tua untuk mencegah gangguan ini berkembang.[6]
2.4.4    Gangguan  Lainnya
Terkadang gangguan bahasa dan gangguan bicara bisa terjadi dan menyebabkan kerusakan pada kehidupannya, yang sering disebut dengan komorbiditas. Hal ini membutuhkan kita sebagai seorang pendidik harus mampu menjaga serta merawat anak yang memiliki gangguan bahasa dan bicara tidak hanya dari sudut pandang kemampuan komunikasinya jaga, tetapi juga “kehidupannya.”
2.5              Identifikasi Gangguan Bahasa Dan Bicara
Pada umumnya cara mengetahui gangguan ini diketahui melalui dua cara yaitu, assessment dan eligibility.
2.5.1        Assesment
Adalah proses pengumpulan data, biasanya menggunakan lembar tugas, bisa melalui percakapan secara langsung dan keterangan dari guru dan murid. Pada gangguan bicara biasanya sang guru mengetahuinya dengan memberikan tugas kepada anak seperti melanjutkan kalimat, bermain pengucapan bahasa, dan lain sebagainya. Harus tetap diingat bahwa keberhasilan anak menjawab bukan berarti menunjukan secara pasti kemampuan sang anak, karena harus dikehidupan kesehariannya bisa jadi berbeda. Sedangkan pada gangguan bahasa hal ini dapat diketahui dengan memberikan tugas yang berhubungan dengan kalimat, seperti penggunaan tanda baca, cara memahami makna, penggunaan grammar yang benar dan lain sebagainya. Sangat perlu diperhatikan, bahwa terkadang pendidik terhalang oleh kendala seperti penggunaan bahasa yang berbeda dan kultur yang berbeda dengan murid, seperti anak yang dalam kulturnya berbicara panjang lebar hanya diijinkan dengan orang yang dekat. Oleh karenanya latar belakang murid harus diperhatikan dan tidak bisa secara gampang menyamaratakan penilaian.
2.5.2        Eligibility
Adalah penilaian apakah seorang bisa dikatakan pantas untuk dianggap mengalami gangguan. Penilaian dianggap penting, agar tidak terjadi kesalahan penafsiran terhadap kondisi anak.
Kita bisa menyederhanakan menjadi 3 pertanyaan.
1.      Apakah kemampuan anak pada umur “x” tersebut bisa dianggap sebagai gangguan atau sekedar masalah bahasa?
2.      Apakah gangguan tersebut mempengaruhi perkembangan pendidikan anak?
3.      Apakah anak tersebut bisa memanfaatkan pendidikan spesial yang diberikan?
2.6       Bagaimana Anak Dengan Gangguan Mendapatkan Pendidikan?
Pembagian pendidikan anak yang mengalami gangguan pada umumnya dibagi menjadi 3 kriteria, yaitu saat awal kanak - kanak, dasar, dan masa transisi hingga dewasa.
2.6.1        Kriteria Kanak - Kanak
Walaupun sebagian besar tidak dilakukan penilaian terhadap masa usia kanak kanak yang terlalu dini, disebabkan kesulitan untuk menentukan target yang dianggap masuk akal, seringkali diberlakukan pelatihan sebagai bentuk tindakan preventif terhadap keadaan anak. Para peneliti menyarankan agar tindakan preventif dilakukan agar anak tidak mengalami gangguan pada masa selanjutnya. Biasanya hal yang dilakukan oleh pada ahli adalah langsung mendatangi anak dan memisahkannya dengan orang tua lalu mendidiknya secara langsung. Cara lain yang dilakukan adalah dengan menggabung anak dengan anak lainnya.
2.6.2    Kriteria Dasar
Pada tahap ini umumnya difokuskan dengan latihan yang bersifat inklusif. Latihan ini berbentuk kolaborasi tiap anak agar mampu membantu mereka yang mengalami gangguan. Seperti memisahkan anak menjadi tiga kelompok, kelompok pertama diberikan pemahaman dalam persoalan cerita, kelompok kedua, dimana anak mengalami gangguan, dibantu oleh sang ahli patologi agar mampu memahami cerita, dan kelompok terakhir diberikan kebebasan memberikan alternatif cerita.
2.6.3    Kriteria Transisi Dan Dewasa
Pada tahap ini anak harus didukung untuk menghargai dirinya sendiri secara jujur, dan harus dididik agar harga dirinya berkembang. Pada tahap ini dukungan sangat berharga dan membuat sang anak mampu mengontrol dirinya sendiri. Sebab pada tahap ini anak bisa melampiaskan kekesalan terhadap dirinya dengan kekurangnnya dengan cara yang bersifat agresif baik kepada diri sendiri atau orang lain.
2.7       Rekomendasi Latihan Edukasi Untuk Murid Dengan Gangguan
Pada umumnya edukasi dilakukan oleh kolaborasi antara guru dengan ahli patologi bahasa dan bicara. Mereka bisa mengembangkan kurikulum agar sang anak mampu memperoleh kemampuan yang layak dan juga berkualitas. Oleh karena itu sang guru harus bersifat proaktif dalam perkembangan sang anak dan melaporkan perkembangan kepada sang ahli patologi, serta ahli patologi harus selalu siap harus menyarankan metode apa yang tepat dan dapat dilakukan sang guru.
Berdasarkan keterangan Hill dan Romich, perkembangan teknologi sangat membantu pelatihan dan kemampuan komunikasi anak dengan kebutuhan khusus. Alat - alat edukasi baik itu hardware ataupun software, seperti papan petunjuk bergambar yang sederhana hingga aplikasi yang tersedia dalam komputer tablet, bisa digunakan oleh guru ataupun murid sebagai sarana melatih kemampuan komunikasi.
2.8       Perspektif Orangtua Dan Keluarga
Orang tua dan keluarga juga memiliki peran untuk mengembangkan dan mendidik kemampuan anak untuk kemampuan bahasa dan bicaranya. Warren menyarankan agar keluarga mampu menyediakan tiga hal: (1) Menyiapkan lingkungan awal yang  optimal agar anak mampu belajar bahasa dan bicara secara optimal; (2) Belajar menemukan dan mengetahui identifikasi keadaan anak yang mengalami gangguan bahasa dan bicara; (3) Menyadari bahwa tindakan awal untuk mencegah gangguan tersebut harus dilaksanakan dari awal, agar sang anak mampu berkembang secara optimal. Pendidik bisa mendorong orang tua untuk mengembangkan kemampuan anak mereka dengan menyarankan, agar orang tua sering berinteraksi dengan anak. Pada kasus tertentu dibutuhkan kerja ekstra dari guru untuk membantu sang anak dan juga orang tua, dikarenakan bahasa orang tua mereka sendiri bukanlah “bahasa ibu” yang diajarkan di wilayahnya.


2.9       Tantangan Pada Persoalan Gangguan Bahasa Dan Bicara
Tantangan utama yang harus dihadapi oleh para pendidik dan ahli pada era kontemporer ini ada 2, yaitu bagaimana mengidentifikasi gangguan ini dalam sudut pandang multikultural, dan persoalan Central Auditory Processing Disorder (CAPD).
Sebagaimana yang penulis jabarkan pada subbab sebelumnya, gangguan utama yang harus dihadapi pada era ini adalah keberagaman kultur. Merupakan tantangan yang sulit untuk mengidentifikasi secara objektif, apakah sang anak benar - benar mengalami gangguan atau hanya gangguan belajar dikarenakan perbedaan bahasa. Selain itu pengaruh kewilayahan juga berpengaruh terhadap aksen dan ungkapan yang dipahami sang anak. Hal tersebut juga akan mempersulit penilaian oleh guru ataupun sang ahli patologi.
Persoalan lainnya adalah persoalan CAPD. CAPD adalah gangguan seseorang untuk melaksanakan perintah yang diterima dari telinganya, walaupun secara fisik tidak terjadi kesalahan fungsi organ telinganya. Penyakit ini sering disebut juga sebagai dyslexia pada telinga. Walaupun banyak kalangan yang menyangsikan penyakit ini, banyak para ahli yang melakukan pencegahan terhadap anak. Anak yang mengalami penyakit ini memiliki gangguan untuk menerima dan mengerti pesan yang bersifat oral, dibandingkan visual. Kesulitan pada penilaian ini karena gejala penyakit yang dihasilkan hampir serupa dengan penyakit lain seperti autisme dan sejenisnya.

BAB III
KESIMPULAN
Sebagai pendidik, kita harus memperhatikan anak murid berdasarkan keunikan masing – masing. Pendidikan anak berkebutuhan khusus menunjang kemampuan sang anak untuk bekal mereka di masa depan. Hal itu menyebabkan seorang guru memerlukan keterampilan untuk mempelajari hal – hal yang tidak hanya menunjang kemampuan mendidik, seperti komitmen, latihan, pengalaman, dan pengetahuan tentang perkembangan dan metode berkembang anak tetapi juga harus mempelajari cara beradaptasi serta menghadapi persoalan sang anak dengan keterbatasannya sekaligus bekerja sama dengan professi lainnya seperti ahli patologi.
Setelah kita mengetahui bahwa gangguan bicara dan gangguan bahasa merupakan sebuah fakta yang hadir ditengah kita. Merupakan kewajiban seorang guru untuk membantu mengembangkan potensi mereka walaupun terkesan sulit. Penelitian juga banyak menunjukan bahwa gangguan ini bisa hadir tidak hanya sekedar masalah biologis, bisa juga terjadi karena pengaruh lingkungan. Untuk mengatasi pengaruh gangguan yang berasal dari lingkungan dibutuhkan kerjasama tak hanya guru dan ahli patologi, tetapi juga kontribusi orang tua serta keluarga. Sedangkan untuk mengatasi pengaruh gangguan yang bersifat biologis bisa digunakan teknologi yang mampu menunjang kemampuan komunikasi antara guru dan murid tersebut.
Sebagai penutup penutup menyatakan bahwa pendidikan anak berkebutuhan khusus merupakan keterampilan sang guru sebagai pendidik untuk membangkitkan rasa keingintahuan dan pengetahuan sang anak dengan tetap memperhatikan kekurangan anak untuk memaksimalkan kesempatan yang mampu diperolehnya dimasa depan. Sesuai dengan yang dikatakan oleh New, Palsha dan Ritchie,
Semua anak bisa dan mau belajar jika peralatan pengajaran tersedia untuk mereka … Hal ini membutuhkan komitmen dari pada pengajar professional untuk merepetisi dan mengolah kemampuan mereka untuk menciptakan kelas yang mampu memaksimalkan kemampuan anak didik[7]


DAFTAR PUSTAKA
·         Bowman, B., Donovan, M. S., & Burns, M. S. (Eds.). (2000). Eager to learn: Educating our preschoolers. Washington, DC: National Academy Press.
·         Child Care Resources. (2007). Childhood Community News, July–September, Volume 16, Number 3. Seatlle, WA: A Publication Of Child Care Resources.
·         Click, P. M., & Parker, J. (2009). Caring for school-age children (5th ed.). Clifton Park, NY: Wadsworth Cengage Learning.
·         Copple, C., & Bredekamp, S. (Eds.). (2009). Developmentally appropriate practice (3rd ed.). Washington, DC: NAEYC.
·         Erikson, E. (1963). Childhood and society (2nd ed.). New York: Norton.
·         Friend, M. (2007). Special Education Contemporary Perspectives for School Professionals (2nd Edition). Boston: Allyn & Bacon.
·         Gardner, H. (1993). Multiple intelligences: The theory in practice.New York: Basic Books.
·         Gardner, H. (2001). An education for the future. Online at: http://www.pz.harvard.edu/
·         Gestwicki, C. (2011). Developmentally appropriate practice: Curriculum and development in early education (4th ed.). Clifton Park, NY: Wadsworth Cengage Learning.
·         Greenberg, P. (2000, January). What wisdom should we take with us as we enter the new century?—An interview with Millie Almy. Young Children, 55(1), 6–10.
·         Jackman, H. L. (2012). Early Education Curriculum: A Child’s Connection to the World (5th ed.). Balmont, CA: Wadsworth.
·         Honig, A. S. (2002). Secure relationships: Nurturing infant/ toddler attachment in early care settings. Washington, DC: NAEYC.
·         Klein, A. S. (2002, Spring). Infant & toddler care that recognized their competence. Dimensions of Early Childhood,30(2), 11–17.
·         Miller, E., & Almon, J. (2009). Childhood: A time for play! Online at: National Kindergarten Alliance: http://www.nkateach.org
·         New, R., Palsha, S., & Ritchie. (2009). Issues in preK–3rd education: A FirstSchool framework for curriculum and instruction. (#7). Chapel Hill, NC: The University of North Carolina at Chapel Hill, FPG Child Development Institute, FirstSchool.
·         Piaget, J. (1926). The language and thought of the child. NewYork: Harcourt Brace.
·         Piaget, J. (1961). Play, dreams and imagination in childhood.New York: Norton.
·         Robinson, A., & Stark, D. R. (2002). Advocates in action. Washington, DC: NAEYC.
·         Rogers, F. (2003). The world according to Mister Rogers: Important things to remember. New York: Hyperion.
·         Seefeldt, C., & Barbour, N. (1998). Early childhood education (4th ed.). Upper Saddle River, NJ: Merrill Prentice Hall.
·         Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society. Cambridge, MA: Harvard University Press.




[1] “Please think of the children fi rst. If you ever have anything to do with their entertainment, their food, their toys, their custody, their day or night care, their health care, their education—listen to the children, learn about them, learn from them. Think of the children first.” Rogers, F. (2003). The world according to Mister Rogers: Important things to remember. New York: Hyperion.                                             

[2]Friend, M. (2007). Special Education Contemporary Perspectives for School Professionals (2nd Edition). Boston: Allyn & Bacon. hlm 327.
[3] Ibid, hlm 338
[4] Ibid, hlm 339.
[5] Ibid, 343
[6] Ibid
[7] “All children can and will learn when educational communities are ready for them. . . . This requires a commitment that makes explicit the responsibility of education professionals to broaden their repertoires and hone their skills to create classrooms in which all children maximize their potential” New, R., Palsha, S., & Ritchie. (2009). Issues in preK–3rd education: A FirstSchool framework for curriculum and instruction. (#7). Chapel Hill, NC: The University of North Carolina at Chapel Hill, FPG Child Development Institute, First School.