BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pendidikan anak dini
merupakan “seni” yang memerlukan keterampilan sang guru sebagai pendidik untuk
membangkitkan rasa keingintahuan dan pengetahuan sang anak. Sesuai dengan yang
dikatakan oleh Freed Roger,
“Perhatikan sang anak terlebih dahulu. Jika kalian berurusan dengan
hiburan, makanan, mainan, peraturan, perawatan baik waktu siang atau malam
hari, kesehatan, dan pendidikan mereka – dengarkan mereka, belajar tentang
mereka, dan belajar dari mereka”[1]
Sebagai pendidik, kita
harus memperhatikan anak murid berdasarkan keunikan masing – masing. Pendidikan
anak usia dini menunjang kemampuan sang anak untuk bekal mereka di masa depan.
Hal itu menyebabkan seorang guru memerlukan keterampilan untuk mempelajari hal
– hal yang menunjang kemampuan mendidik, seperti komitmen, latihan, pengalaman,
dan pengetahuan tentang perkembangan dan metode berkembang anak.
Penelitian terbaru
menunjukan bahwa lingkungan memberikan dampak terhadap perkembangan sang anak
terutama pada tahap dini dan dasar. New, Palsha dan Ritchie mengemukakan,
“Semua anak bisa dan mau belajar jika peralatan pengajaran tersedia
untuk mereka … Hal ini membutuhkan komitmen dari pada pengajar professional
untuk merepetisi dan mengolah kemampuan mereka untuk menciptakan kelas yang
mampu memaksimalkan kemampuan anak didik”[2]
Hal ini juga
berseseuaian dengan hasil penelitian, yang ditulis oleh Bowman, Donoval, dan
Burns,
“Anak lahir ke dunia dengan keinginan untuk belajar… Tidak bisa
dipungkiri bahwa lingkungan tempat anak berkembang memberikan dampak besar,
tentang bagaimana manusia berkembang dan belajar.”[3]
Oleh karena itu semua,
makalah ini disusun dengan tujuan membantu seseorang agar mampu membuat kondisi
dan kurikulum yang berfokus pada anak. Pembahasan makalah ini tidak hanya
berkutat pada persoalan metode praktis saja, tetapi juga akan menerangkan dasar
teori serta dasar filosofis perkembangan anak.
Pada bab II penulis
akan menjabarkan aspek historis tentang pendidikan anak, teori cara belajar dan
pengembangan anak., Development
Appropriate Practices, persoalan sosial dan kultural, pentingnnya bermain
untuk anak, perencanaan kurikulum, cara penjadwalan dan rutinitas yang
diterapkan kepada anak, serta komunikasi terhadap orangtua sang anak. Selain
itu akan diterangkan metode untuk mengembangkan kemampuan anak berdasarkan
empat landasan: pengembangan bahasa, kognisi, pengembangan fisik, serta sosial
dan emosional.
Pada bab III penulis
akan menuliskan kesimpulan persoalan pendidikan anak dini yang bersifat
konstruktif, dengan tujuan menambah pengetahuan.
Untuk pembahasan ini
penulis akan menggunakan referensi buku Hilda L. Jackman, yang berjudul Early Education Curriculum: A Child's Connection to
the World, Fifth Edition. Terutama
pada chapter I: Starting The Process dan penulis juga menggunakan referensi
lainnya terutama media elektronik, yaitu internet.
BAB II
PEMBAHASAN STARTING THE PROCES
2.1 Introduksi
Merupakan hal yang
penting dan harus diingat bahwa pendidik memiliki peran sentral untuk
mengembangkan kemampuan anak didiknya. Greenberg mengemukakan bahwa sejarah
pendidikan anak harus kita ketahui, sebab hal tersebut membantu kita untuk
mengembangkan kemampuan anak berdasarkan data pendidikan anak – anak terdahulu.[4]
Sejarah pendidikan anak menunjukan bahwa perkembangan pendidikan untuk anak
memiliki satu tujuan yang sama, yaitu usaha “advocacy.”
Robinson dan Stark
mengatakan bahwa “advocacy” tak hanya
harus diterapkan kepada pendidik, bahkan unsur keluarga, para professional, dan
para pemerhati anak bisa ikut bergabung untuk memberikan kontribusi pada tumbuh
kembang anak. Hal ini menunjukan, bahwa anak mampu untuk berkembang lebih baik
dan maju dengan adanya bantuan para orang dewasa.[5]
2.2 Teori belajar dan pengembangan pendidikan
anak usia dini
Basis yang sering
digunakan untuk membahas perkembangan anak, terutama pada usia dini pada umumnya
dibagi menjadi psychosocial theory,
cognitive development theory, sociocultural theory, serta multiple intelligence theory. Kelima
basis teori ini memiliki pemahaman dan penilaian tersendiri terhadap anak.
2.2.1
Psychosocial
theory
Psychosocial theory dikemukakan
oleh Erik Erikson (1902 – 1994). Pemahaman yang dipakainya adalah manusia
merupakan mahluk yang memiliki kesadaran individual yang harus menghadapi
keadaan sosial. Kesadaran individual tersebut memiliki delapan tahap, yang
dimulai saat individu lahir hingga tua dan akhirnya meninggal. Untuk pembahasan
kali ini penulis hanya akan menjabarkan empat tahap awal secara detail dan
sisanya secara singkat, dikarenakan memiliki relevansi dengan persoalan
perkembangan anak.
I.
Basic Trust vs Mistrust
(lahir sampai 1 tahun) tahap ini adalah tahap anak merasakan kepercayaan
terhadap seseorang. Kasih sayang dan penerimaan merupakan hal mutlak yang harus
dirasakan anak, agar merasa aman dengan lingkungannya.
II.
Autonomy vs Shame and Doubt
(2 tahun) tahap sang anak menunjukan potensi sifat kemandirian diri dengan
keinginannya melakukan hal seorang diri.
III.
Initiative vs Guilt
(3 – 5 tahun) tahap ini sang anak menunjukan kemampuannya untuk berani
melakukan hal yang baru, seperti berfantasi atau memainkan “peran.” Tahap ini
adalah awal seorang anak mampu menangkap suatu pelajaran.
IV.
Industry vs Inferiority
(6 – 11 tahun) tahap ini sang anak mampu menghadapi persoalan yang sifatnya
menantang, selama sang anak mampu diberikan arahan dan dukungan dari orang
dewasa.
Empat tahap selanjutnya beranjak dari masa remaja hingga
meninggal yaitu:
V.
Identity vs Role diffusion (12
– 18 tahun)
VI.
Intimacy vs Isolation
(awal kedewasaan)
VII.
Generative vs Stagnation
(dewasa akhir)
VIII.
Ego intergrity vs Despair
(Jompo)
2.2.2
Cognitive
development theory
Teori ini diperkenalkan oleh Jean
Piaget. Teori ini menunjukan bahwa perkembangan kemampuan belajar anak, secara
umum tanpa pengaruh dari sosialnya, bisa dilihat melalui empat aspek, yang berdasarkan
dari, bagaimana sang anak mampu menciptakan imaji mentalnya berkat keterlibatan
dengan lingkungan sekitar. Keempat aspek tersebut adalah: asimilasi, skema,
akomodasi, dan ekuilibrium.
Asimilasi adalah proses saat sang
anak melihat atau merasakan sesuatu. Setelah anak mengalami hal tersebut
selanjutnya proses skema yang bekerja. Skema adalah cara untuk menggabungkan
dan membentuk imaji mentalnya. Proses selanjutnya adalah proses akomodasi.
Proses ini hadir saat skema yang telah diterima sang anak telah dimodifikasi
kembali karena pengalaman yang dialami. Pada tahap akhir adalah tahap
ekuilibrium. Tahap ini adalah saat proses asimilasi dan akomodasi mengalami
titik temu. Proses ini pada akhirnya kembali berulang dari awal.
Proses yang telah penulis jelaskan
ini pada akhirnya menciptakan kriteria tahapan perkembangan anak sebanyak empat
tahap. Empat tahap tersebut adalah tahap sensormotorik, tahap preoperasional,
tahap operasi konkrit, dan tahap operasi formal.
1.
Tahap sensorik (0
– 2 tahun) adalah tahap dimana sang anak mempelajari lingkungannya melalui sistem
sensorik (tubuhnya) dan gerak reflek. Hal ini menyebabkan mereka mulai
membangun suatu kebiasaan, setelah mereka menemukan hal baru mereka akan
membangun kebiasaan yang baru. Pada tahap ini anak akan merasakan dan
mengembangkan object permanence. Object permanence adalah pengalaman yang
dirasakan selalu “membaru”, sehingga jika suatu objek yang sama muncul
dihadapannya, yang dirasakan anak tersebut adalah objek baru.
2.
Tahap
preoprasional (2 – 7 tahun) adalah tahap dimana anak merasa dunia hanya
berelasi pada diri mereka. Hal ini dikarenakan adanya kesadaran egosentrik,
pada tahap ini juga anak mulai mengenal dengan pemikiran simbolik. Hal tersebut
yang menyebabkan sang anak mulai bisa memikirkan suatu hal, seperti sebab
akibat, dalam bertindak. Pola pikir, ekspresi verbal, dan intelektual akan
berkembang secara terus menerus. Tahap ini sangat menekankan pada penggunaan
alat indra untuk memperoleh kemampuan maksimalnya.
3.
Tahap operasi
konkret (7 – 12 tahun) pada tahap ini anak mengembangkan kepemahamannya,
terutama pada angka, hubungan, dan proses. Tahap ini juga melatih pemikiran dan
pemecahan masalah secara mental. Pada tahap ini metode logika yang mereka
pahami harus berhubungan dengan benda materil yang nyata.
4.
Tahap operasi
formal (12 tahun – dewasa) adalah tahap dimana pemikiran yang abstrak mulai
bisa dipahami. Hal ini menyebabkan kemampuan untuk berpikir secara spekulatif.
2.2.3
Sosiocultural theory
Sosiocultural theory adalah teori yang diperkenalkan oleh Leo Vygotsky. Dalam teori ini
perkembangan sang anak sangat dipengaruhi oleh kultur lingkungan sosialnya,
seperti keluarga. Teori ini menyebabkan guru dan juga orang tua mampu memegang
kunci penting dalam usaha meningkatkan potensi anak didiknya. Vygotsky meyakini
bahwa tiap anak memiliki dua zona yaitu: kemampuan yang bisa dilakukannya
sendiri, dan kemampuan yang harus dibantu orang lain, hal ini disebut dengan zone of proximal development.
Menurut Berk dan Winsler, pada
tahap ini sang guru haruslah menciptakan kesempatan kepada sang anak untuk
berkembang dan meningkatkan kemampuannya. Karena sang guru adalah adalah sang
“penunjuk” agar anak selalu bisa mendapatkan keterampilan baru.
Secara praktikal teori ini
menekankan bahwa tiap guru harus menyadari kemampuan tiap anak itu berbeda, dan
memberi bantuan dengan tingkat yang berbeda pula, sesuai dengan tingkatan sang
anak. Selanjutnya sang guru harus menetapkan prinsip scaffolding, yaitu mengatur respon sang guru terhadap perkembangan
anak, dan selalu meningkatkan tantangan untuk sang anak.
2.2.4
Multiple
intelligence theory
Teori ini adalah hasil kritik
dari Howard Gardner, terhadap simplifikasi kepandaian hanya dengan kriteria IQ.
Gardner menawarkan paradigma baru dalam kepandaian dengan membagi menjadi 8
bagian yang terpisah, sehingga tiap anak memiliki kecendrungan kepandaian yang
berbeda. Guru pada tipe ini dituntut untuk tidak bisa menyamaratakan kepandaian
tiap muridnya, karena tiap murid memiliki “spesialisasi” tersendiri.
8 bagian kepandaian itu
adalah: verbal - linguistic, logika –
matematis, musical –ritmik, visual – spatial, bodly - kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan natural.
1.
Verbal – linguistic
adalah kepandaian dalam kemampuan bahasa dan bicara. Kepandaian ini menekankan
pada kepemahaman dalam makna bahasa atau maksud dari suatu ungkapan yang
dikatakan seseorang. Anak yang memiliki kemampuan ini terlihat dari
kesenangannya untuk menulis dan membaca.
2.
Logika –
matematis adalah kepandaian dalam kemampuan logis dan matematis. Kepandaian ini
menekankan pada kemampuan menyusun dan memecahkan suatu masalah dengan kerangka
pikir dan keteraturan. Anak yang memiliki kemampuan ini terlihat dari
kegemarannya untuk memecahkan masalah secara sistemik.
3.
Musical –
ritmik, merupakan kepandaian dalam nada dan ritmik dalam musik. Kepandaian ini
memperlihatkan kemampuan sang anak yang peka terhadap bunyi atau suara. Anak
yang kemampuan musical – ritmiknya
tinggi terlihat memiliki kemampuan yang berhubungan dengan music, seperti
kemampuan bersiul, ataupun memainkan alat music.
4.
Visual – spatioan,
merupakan kepandaian anak terhadap bentuk dan warna dalam suatu gambaran
visual. Kepandaian ini menunjukan, bahwa sang anak memiliki kemampuan untuk
mengkomposisi suatu bentuk dan warna seperti menggambungkan bentuk, ataupun
menggambungkan warna tertentu. Anak yang memiliki kemampuan ini pada umumnya
terlihat sangat suka menggambar dan melukis.
5.
Bodly – kinestetik,
adalah kemampuan anak untuk memahami segala hal dan menerangkannya dengan
tubuhnya. Kepandaian ini membuat sang anak lebih tertarik dan paham untuk
melakukan hal yang sifatnya praktikal dengan bantuan tubuhnya sendiri. Anak
dengan kemampuan ini lebih senang untuk memahami suatu hal secara langsung,
dengan pengalaman dari tubuhnya sendiri.
6.
Interpersonal,
adalah kepandaian sang anak untuk memahami orang lain dengan dirinya sendiri.
Kepandaian ini membuat sang anak menjadi peka dan mengetahui apa yang
diinginkan orang lain. Anak dengan kemampuan ini senang sekali mendengarkan,
bekerjasama dengan orang lain, dan bernegosiasi.
7.
Intrapersonal,
merupakan kemampuan anak untuk memahami dan sadar akan kemandirian dirinya
sendiri. Kepandaian ini membuat sang anak berani untuk mencoba segala sesuatu,
serta memiliki kemandirian yang tinggi. Anak dengan kepandaian ini akan lebih
senang untuk mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan dirinya
sendiri, seperti merencanakan suatu tujuan, dan hal yang berhubungan dengan
kemampuan dirinya sendiri.
8.
Natural,
merupakan kepandaian anak untuk menyadari alam disekitarnya. Kepandaian ini
membuat anak peka dan senang terhadap lingkungannya, seperti keadaan binatang,
pohon, dan keadaan alam. Anak dengan kepandaian ini lebih senang untuk
mengikuti kegiatan yang sifatnya di luar ruangan dan berhubungan langsung
dengan alam.
Pembagian ini membantu
pendidik agar mampu mengembangkan potensi anak secara maksimal dengan
meningkatan potensi kepandaian sang anak dan mengurangi kelemahan sang anak
dalam kepandaian lainnya.
2.3
Developmentally Appropriate Practice
Developmentally Appropriate Practice atau DAP, yang pertama kali diperkenalkan sekitar 20
tahun yang lalu oleh National Association For The Education Of Young Children (NAEYC),
adalah program pendidikan dengan tujuan melatih guru dan keluarga untuk
mendidik anak dengan umur delapan tahun kebawah. Copple dan Bredekamp menyatakan
“Berdasarkan perubahan dan kontinuitas
keadaan yang dialami anak anak … dap membutuhkan keterlibatan anak – yang
berarti membutuhkan guru yang memahami mereka- untuk mencapai apa yang mereka
bisa lakukan, yang menantang dan mampu diraih.”[6] DAP tetap
memperhatikan aspek sosial budaya, pembelajaran, dan keragaman budaya. Pada
pendidikan ini guru merupakan aspek sentral yang menjadi jembatan sang anak
untuk mencapai kemampuan maksimal.
DAP
memfokuskan pengembangan dan pan pembelajaran yang berbasiskan development.
Development didefinisikan sebagai
perubahan dalam tubuh serta pikiran yang bersifat sistemik dan adaptif
berdasarkan pola dan tahapan tertentu.[7]
Pendidikan ini dibagi menjadi infant,
toddler, tiga sampai empat tahun,
lima tahun, dan enam sampai tujuh tahun.
Pada
tahap infant sang anak sangat
mendalami kehidupan lingkungan secara aktif. Pada tahap ini anak mendalami
kehidupannya dengan menggunakan indra utama mereka, seperti pengelihatan,
perabaan, dan pengecapan. Infant
belajar dengan cara berinteraksi langsung dengan lingkungan dan orang lain,
oleh karena itu lingkungan harus diatur sedemikian mungkin agar tidak membatasi
sang anak. Selain itu keterlibatan sosial pada infant juga memberikan dampak kepercayaan yang membangun
kesejahteraan anak dengan pendidiknya, selama diasuh oleh pendidik yang
kompeten.[8]
Perkembangan
penting dalam tahap ini adalah pengembangan self
regulation. Self regulation adalah kemampuan untuk melatih kebutuhan
fisik dan mental anak untuk suatu keadaan. Seperti mengajarkan rutinitas kepada
anak sehingga anak tersebut terbiasa. Hal ini adalah penting karena pendidikan
anak dini bisa membentuk sifatnya saat dewasa, sehingga jika seorang anak bisa
mendapatkan masa depan yang cerah.
Pada
tahap toddler (16 – 36 bulan) anak
akan sangat cepat pertumbuhan dan juga pembelajarannya. Ini adalah awal dari
pengembangan dalam mobilitas, otonomi, dan self
– help skill. Self help skill
adalah kemampuan anak untuk melakukan hal untuk dirinya sendiri. Menurut Gestwicki
merupakan hal yang baik jika pengasuhan sang toddler tetap mengijinkan untuk belajar mandiri.[9]
Pada tahap ini anak mulai tertarik belajar menggunakan bahasa, serta sang anak
akan belajar dengan kemampuan imitasi dan observasi yang didampingi dengan
penjelasan bahasa.
Pada
tahap tiga sampai empat tahun, anak akan lebih senang untuk mencoba suatu
eksperimen dan hal yang baru, tetapi anak bisa cepat frustasi jika yang
dilakukannya gagal. Perkembangan bahasa pada tahap ini tergolong pesat dan
senang diajak berkomunikasi. Walaupun anak sudah bisa bermain dengan teman
sebayanya, mereka susah bekerjasama. Anak umur tiga tahun menyukai bermain
dengan fantasi dan imajinasi, walaupun mereka masih sulit membedakan apa yang
imajinasi dan riil. Secara umum ketertarikan yang dia sukai lebih dapat dikontrol,
namun harus sering diulang, agar sang anak menjadi terbiasa.
Sedangkan
pada umur empat tahun anak memiliki ketertarikan yang lebih luas dan beragam.
Anak akan memahami dan meresakan kegunaan dari studi wisata dan lingkungan.
Pada umur ini sang rasa ketertarikan sang anak menyebabkan dirinya untuk lebih
banyak bertanya. Kemampuan anak untuk melakukan secara mandiri menumbuhkan rasa
kepercayaan dirinya. Sebagai guru, harus sangat paham bahwa pada masa ini sang
anak akan sering bertanya dan tertarik dengan banyak hal, dan terkadang sang
anak ingin melakukan suatu hal yang sering dianggap tidak masuk akal.
Pada
tahap lima tahun anak akan lebih sosial, memiliki teman baik, serta mulai
senang bermain secara kelompok. Anak berumur lima tahun mampu mengontrol
dirinya sendiri, tapi orang tua dan guru akan mempengaruhi kararter dirinya.
Mereka mampu dan mengganggap tanggung jawab adalah hal yang serius, dan
menerima saran serta terkadang memberikan inisiatif.
Eksplorasi
merupakan hal yang penting pada anak dengan tahap ini, karena mereka
merekonstruksi sendiri pengalaman yang mereka terima. Setiap pengalaman yang
mereka terima adalah hal yang mereka anggap unik, dan dari situlah mereka
mempelajari hal seperti batasan, peraturan, serta sebab akibat.Pada tahap ini
sang guru harus menyiapkan kondisi memadai yang memancing rasa penasaran, dan
belajar bersama dengan anak.
Tujuh
sampai delapan tahun adalah tahap dimana perkembangan anak memulai masa
terbaiknya. Kemampuan tubuhnya menjadi lebih lambat, namun stabil. Kemampuan
mengkordinasikan tubuh dengan mata lebih baik, sehingga anak bisa bermain
dengan permainan yang membutuhkan kemampuan kedua hal tersebut, seperti
baseball. Kemampuan bahasa dan komunikasi pada umur ini sangat berkembang,
mereka mulai paham tentang penalaran logis serta keteraturan, walaupun mereka
lebih senang untuk mengekspresikan perasaan mereka dengan oral dibandingkan
dibandingkan dengan tulisan.
Hal
unik yang mereka rasakan adalah rasa membutuhkan teman, dan kemampuan untuk
“melihat” dari sudut pandang orang lain.[10]
Hal inilah yang menyebabkan anak lebih banyak teman, sebab mereka menjadi lebih
senang bertemu dengan orang baru dan berkenal dengan mereka. Menurut Seefeldt
dan Barbour, anak pada umur itu mulai bisa memahami empati dan mampu melihat
dari perspektif orang lain, hal ini pula yang menyebabkan mereka sangat
sentitif dan perasaan mereka mudah tersakiti.[11]
Karena itulah baik orang tua dan guru harus menjadi pendamping dan penunjuk agar
sang anak merasa disayangi, semangat, dan terlindungi.
2.3.1
Bakat
individual, minat, dan kebutuhan
Untuk
mengetahui bakat individu, minat, dan kebutuhan sang anak harus disediakan
dengan kesempatan, waktu,dan sumber daya yang memadai. Untuk menyediakan hal
tersebut secara sederhana kita bisa menanyakan diri kita sendiri dengan
pertanyaan sebagai berikut :
-
Apa yang membuat
sang anak merasa nyaman dengan lingkungannya?
-
Bantuan apa yang
tepat untuk diberikan kepada anak oleh orang dewasa?
-
Bagaimana rencana
untuk meningkatkan keterlibatan orang tua murid?
-
Apa yang harus
dilakukan untuk mengembangkan rasa keprcayaan, kedirian dan kontrol terhadap
lingkungannya?
-
Apa yang harus
terjadi jika ingin mengembangkangkan nilai diri yang positif?
-
Apa yang saya
lihat jika saya dalam posisi anak
-
Apa saja
aktivitas, peralatan dan materi yang harus dipersiapkan?
-
Bagaimana
mendukung rasa privasi anak?
Berdasarkan
Gestwicki, untuk mengembangkan hal tersebut guru butuhkan untuk mendengarkan
kebutuhan muridnya, sehingga tiap anak bisa berkembang secara maksimal
berdasarkan kemampuannya masing masing. Hal ini juga membutuhkan kontibusi dari
sang pendidik, sehingga sang anak mampu mendapatkan kualitas yang maksimal.[12]
2.3.2
Konteks
Sosial dan kultur
Seorang guru harus memahami
adanya unsur sosial dan kultur yang akan dihadapi oleh anak di kemudian hari.
Agar anak menjadi memaklumi adanya perbedaan dari satu unsur sosial dan kultur
dengan yang lainnya, maka pendidikan ini perlu untuk diajarkan. Hal seperti
suku agama ras dan kecacatan harus diajarkan dengan tujuan sang anak memiliki
pandangan multi etnik sehingga segala bentuk bias, prejudis, dan stereotyping[13]
Oleh karena itu, guru dan
orang dewasa lainnya harus mengapresiasi tiap anak dengan keunikannya
tersendiri. Guru dan orang dewasa harus “mengalami” keadaan yang dialami sang
anak dengan latar belakangn yang beragam.
2.4
Tentang
pentingnya bermain
Bermain
adalah pusat dalam DAP. Bermain didefinisikan sebagai kebiasaan bersifat
memotivasi diri sendiri, bebas untuk dipilih, berorientasi pada proses, dan
menyenangkan yang merupakan aktivitas alamiah untuk anak. Hal tersebut
mengijinkan adanya kesempatan untuk menciptakan, menemukan, dan belajar tentang
dunia, yang menyediakan kebahagiaan bagi anak dan pemahaman bagi anak itu
sendiri dan yang lain.
Erik Erikson menekankan pentingnya
bermain agar sang anak mampu mengembangkan kemampuan kerjasama dan belajar
memperoleh kepercayan. Anak juga mampu mengembangkan kemampuan egonya sendiri
dengan bermain, sebab bermain mengijinkan sang anak untuk berlatih kemampuan
fisik dan sosialnya yang berpengaruh terhadap penilaian harga dirinya.
Mildred Parten pada tahun 1932
mengidentifikasi ada enam tahap dalam permainan anak. Enam tahap itu adalah :
1.
Unoccupied behavior,
yaitu saat infant dan toddler awal, dimana sang anak bermain
dengan dirinya sendiri dengan melihat sesuatu yang menarik.
2.
Onlooker play,
yaitu saat toddler awal, dimana sang
anak diperkenalkan pada situasi baru. Permainan ini berfokus pada aktifitas
dibandingkan dengan keadaan lingkungannya.
3.
Solitary play,
pada tahap ini sang anak senang bermain dengan dirinya sendiri, dan sering
tidak memperdulikan orang.
4.
Parallel play,
tahap ini bisa diamati pada tahap toddler
akhir sampai umur sekitar tiga tahun. Sang anak pada tahap ini bermain karena
dia menyukainya, namun masih bisa bermain dengan teman sebayanya. Walaupun
mereka bisa berinteraksi dengan teman seumurnya, mereka lebih tertarik pada
objek yang dimainkannya, bukan dengan teman bermainnya.
5.
Associative play,
bisa diamati pada anak berumur tiga sampai empat tahun. Mereka lebih sering
bermain dengan teman sebaya mereka, namun masih memiliki kecendrungan untuk
lebih memfokuskan dirinya sendiri.
6. Cooperative play, sifat ini muncul pada
anak dimulai pada umur empat tahun. Jenis permainan ini membutuhkan yang
bersifat kelompok dan terorganisir. Permainan ini mengijinkan sang anak untuk
mengembangkan kemampuan berelasinya dan membutuhkan kemampuan untuk berbagi
ide. Pada tahap ini pengaruh orang dewasa mulai tergeser dan berganti dengan
peran teman sebayanya. Pada umur enam sampai delapan tahun perkembangan
terlihat pula pada permainan simbolik, seperterti pada perencanaan dan
pembuatan peraturan permainan. Karakter kepemimpinan juga terlihat saat permainan
berjalan mulai serius.
2.5 Tips
untuk guru dan proses perencanaan.
Sebagai
guru merupakan tanggung jawabnya untuk memasukan unsur bermain dalam kegiatan
pendidikannya. Berdasarkan penelitian neurologi, bermain mampu mengembangkan
kemampuan anak menjadi lebih baik.[14]
Guru dituntut untuk mengembangkan kreativtasnya sendiri untuk mengembangkan
jenis – jenis permainan yang berguna bagi anak, agar dapat mengembangkan
potensi maksimal anak tersebut dikemudian hari. Selain guru, orang tua murid
harus juga dilibatkan agar paham tentang pentingnya bermain untuk anak.
Proses perencanaan dan penjadwalan
adalah hal yang penting jika ingin mempermudah membantu murid mendapatkan
potensi terbaiknya. Beberapa guideline
yang dirancang untuk membangun perencanaan adalah :
- Rencana
jangka panjang yang memiliki tujuan dan objektif. Tujuan diartikan sebagai
sasaran umum yang ingin dituju sedangkan objektif adalah tujuan yang masih
memiliki hubungan secara langsung dengan hal teknis, seperti kurikulum, dan
penjadwalan.
- Tujuan
dan objektif harus berhubungan dengan pengembangan, individual, kultural, dan
pengaplikasian secara praktis.
- Tempat
mengajar yang mengijinkan rencana jangka panjang yang membantu sampai mana
perkembangan anak dan juga perkembangan pengajar.
2.5.1 Jadwal dan rutinitas
Aspek jadwal dan rutinitas dapat
membantu menciptakan keranga yang menyebabkan anak menjadi aman. Klein
mengatakan “Anak yang disediakan jadwal
yang dimengerti dan lingkungan yang aman lebih sering merasa percaya diri untuk
mengeksplorasi dunianya … dengan eksplorasi, anak dapat meningkatkan hubungan
mereka dengan orang dan lingkungan sekitar.”[15]
Rancangan program yang akan diberikan kepada anak harus memasukan jam,
pelajaran, dan aktifitas dengan basis jadwal harian. Kegiatan yang bisa
dimasukan dalam kerangka program ini disebut dengan rutinitas. Target
keberhasilan manajemen kelas ini dinilai dari bisa atau tidak bisa sang anak
mengikuti rutinitas tersebut.
2.6 Komunikasi
dengan orang tua murid
Walaupun telah diketahui tanggung
jawab guru adalah untuk berkomunikasi dengan orang tua murid, orang tua murid
juga memiliki tanggung jawabnya sendiri. Tanggung jawab orang tua adalah untuk
berpartisipasi dalam perkembangan anak dan berkomunikasi terhadap guru. Telah
banyak bukti yang menyatakan, bahwa keikutsertaan keluarga dalam pendidikan
anaknya mampu meningkatkan pengertian dalam kebudayaan yang berbeda, serta
meningkatkan sifat positif anak.
Berikut ini saran agar guru
mampu berkomunikasi dengan orang tua:
1. Kesuksesan
pendidikan anak harus dibangun atas kerjasama orangtua dan murid, dengan
berbagi pengalaman dan pengetahuan dari kedua belah pihak.
2. Harus diingat
bahwa keluarga adalah pendidik utama untuk anaknya, oleh karenanya guru tetap
harus menghargai peran orang tua dalam perkembangannya.
3. Pendidik
mampu mempelajari latar belakang lingkungan, keluarga, dan orang tua sang anak,
untuk menemukan metode yang tepat untuk mendidik. Pihak keluarga mampu
mempelajari pentingnya pendidikan pada usia dini.
4. Pentingnnya
evaluasi akan kebutuhan anak dan perkembangannya harus ditekankan pada kultur
serta lingkungannya.
5. Guru harus dipersiapkan untuk mendidik anak dengan kebutuhan
khusus.
6. Guru
bisa membantu anak dan keluarga sang sang anak untuk perkembangan pendidikannya
dengan mengajak untuk bersosialisasi dalam lingkungan untuk perkembangan
mereka.
BAB III
KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan
Telah kita ketahui sebelumnya, bahwa
pendidikan usia dini untuk anak merupakan pendidikan yang penting, karena bisa
membangun fondasi untuk masa depannya.
Berdasarkan aspek teoritis dalam
pendidikan dan pengembangan diri sang anak, telah dijelaskan bahwa anak mampu
memperoleh kemampuan maksimalnya, jika pendidik dan keluarga mampu untuk
menempatkan diri pada perspektif sang anak. Selanjutnya dijelaskan sistem dan
metode Developmentally Appropriate
Practice. Sistem ini memfokuskan pada perkembangan anak dengan keunikannya
sendiri agar potensi yang diperoleh maksimal. Selain pada potensi intelektual,
pendidikan ini juga memfokuskan tentang keberagaman sosial dan kultur yang
menjadi latar belakang kehidupan tiap anak.
Permainan dalam pendidikan
anak usia dini juga dianggap hal penting, karena membantu sang anak untuk
berinteraksi dan juga melatih dirinya agar lebih aktif serta meningkatkan
kepercayaan diri sang anak. Selain
itu masih pentingnya kegiatan dan aktivitas yang disusun secara terjadwal dan
rutinitas. Hal tersebut berguna agar sang anak mampu beradaptasi dan belajar
mengontrol dirinya sendiri serta memudahkan
guru untuk mengembangkan kemampuan anak murid secara optimal. Tanggung
jawab pendidikan anak, yang selama ini sering dipahami sebagai tugas guru saja,
harus mampu mengkolaborasikan orang tua anak dalam proses pendidikan.
Sehingga dapat disimpulkan dengan kalimat
sebagai berikut, semangat anak untuk mempelajari dunia dan lingkungannya harus
diasuh oleh lingkungan yang mendukung serta guru yang memahami perkembangannya.[16]
DAFTAR
PUSTAKA
·
Bowman, B.,
Donovan, M. S., & Burns, M. S. (Eds.). (2000). Eager to learn: Educating
our preschoolers. Washington, DC: National Academy Press.
·
Child Care
Resources. (2007). Childhood Community News, July–September, Volume 16, Number
3. Seatlle, WA: A Publication Of Child Care Resources.
·
Click, P. M.,
& Parker, J. (2009). Caring for school-age children (5th ed.). Clifton
Park, NY: Wadsworth Cengage Learning.
·
Copple, C., &
Bredekamp, S. (Eds.). (2009). Developmentally appropriate practice (3rd ed.).
Washington, DC: NAEYC.
·
Erikson, E.
(1963). Childhood and society (2nd ed.). New York: Norton.
·
Gardner, H.
(1993). Multiple intelligences: The theory in practice.New York: Basic Books.
·
Gardner, H.
(2001). An education for the future. Online at: http://www.pz.harvard.edu/
·
Gestwicki, C.
(2011). Developmentally appropriate practice: Curriculum and development in
early education (4th ed.). Clifton Park, NY: Wadsworth Cengage Learning.
·
Greenberg, P.
(2000, January). What wisdom should we take with us as we enter the new
century?—An interview with Millie Almy. Young Children, 55(1), 6–10.
·
Jackman, H. L.
(2012). Early Education Curriculum: A Child’s Connection to the World (5th
ed.). Balmont, CA: Wadsworth.
·
Honig, A. S.
(2002). Secure relationships: Nurturing infant/ toddler attachment in early
care settings. Washington, DC: NAEYC.
·
Klein, A. S.
(2002, Spring). Infant & toddler care that recognized their competence.
Dimensions of Early Childhood,30(2), 11–17.
·
Miller, E., &
Almon, J. (2009). Childhood: A time for play! Online at: National Kindergarten
Alliance: http://www.nkateach.org
·
New, R., Palsha,
S., & Ritchie. (2009). Issues in preK–3rd education: A FirstSchool
framework for curriculum and instruction. (#7). Chapel Hill, NC: The University
of North Carolina at Chapel Hill, FPG Child Development Institute, FirstSchool.
·
Piaget, J.
(1926). The language and thought of the child. NewYork: Harcourt Brace.
·
Piaget, J.
(1961). Play, dreams and imagination in childhood.New York: Norton.
·
Robinson, A.,
& Stark, D. R. (2002). Advocates in action. Washington, DC: NAEYC.
·
Rogers, F.
(2003). The world according to Mister Rogers: Important things to remember. New
York: Hyperion.
·
Seefeldt, C.,
& Barbour, N. (1998). Early childhood education (4th ed.). Upper Saddle
River, NJ: Merrill Prentice Hall.
·
Vygotsky, L. S.
(1978). Mind in society. Cambridge, MA: Harvard University Press.
[1]
“Please think of the children fi rst. If you ever have anything to do with
their entertainment, their food, their toys, their custody, their day or night
care, their health care, their education—listen to the children, learn about
them, learn from them. Think of the children first.” Rogers, F. (2003). The world according to Mister Rogers:
Important things to remember. New York: Hyperion.
[2]
“All children can and will learn when educational communities are ready for
them. . . . This requires a commitment that makes explicit the responsibility
of education professionals to broaden their repertoires and hone their skills
to create classrooms in which all children maximize their potential”
New, R., Palsha, S., &
Ritchie. (2009). Issues in preK–3rd
education: A FirstSchool framework for curriculum and instruction. (#7).
Chapel Hill, NC: The University of North Carolina at Chapel Hill, FPG Child Development
Institute, First School.
[3]
“Children come into the world eager to learn. . . . There can be no question
that the environment in which a child grows up has a powerful impact on how the
child develops and what the child learns.” Bowman, B., Donovan, M. S., & Burns, M. S. (Eds.).
(2000). Eager to learn: Educating our
preschoolers. Washington, DC: National Academy Press.
[4]
“It’s most important not to leave behind everything we already know about
children as we go on learning new things. . . . New knowledge should build on
prior knowledge, not erase and replace it.” Greenberg, P. (2000, January). What wisdom should we take with us as we enter the new century?—An
interview with Millie Almy. Young Children, 55(1), 6–10
[5]
“Advocacy takes place at many diff erent
levels—from families who approach their child’s teacher or program director to ask for an arts
program, to teachers who approach the school board to request additional funding for books to
help their students meet rigorous academic standards, to groups of business leaders who form
coalitions with early childhood caregivers, to professional associations who create opportunities
to educate policymakers about a particular problem that young children face. At all levels of
advocacy, caring adults take a stand on behalf of children.” Robinson, A., & Stark, D. R.
(2002). Advocates in action. Washington,
DC: NAEYC.
[6] “Reflects both continuity and
change in the early childhood field. . . . DAP requires both meeting children
where they are—which means that teachers must get to know them well—and
enabling them to reach goals that are both challenging and achievable.”
Copple, C., &
Bredekamp, S. (Eds.). (2009). Developmentally
appropriate practice (3rd ed.). Washington, DC: NAEYC.
[7] Lihat Jackman, H. L. (2012). Early Education Curriculum: A Child’s
Connection to the World (5th ed.). Balmont, CA: Wadsworth.
hlm. 13.
[8]“Research and clinical findings over the past decades
confirm the connection to later emotional well-being of a secure attachment
between each baby or young child and a warm, stable adult.” Honig,
A. S. (2002). Secure relationships:
Nurturing infant/ toddler attachment in early care settings. Washington,
DC: NAEYC.
[9]“Perhaps one of the best ways to nurture good feelings about
self is to encourage toddlers’ already strong interest in doing things for
themselves” Gestwicki, C. (2011). Developmentally appropriate practice: Curriculum and development in
early education (4th ed.). Clifton Park, NY: Wadsworth Cengage Learning.
[10]“In order to make friends, certain skills are necessary: the
ability to understand that others have different points of view, the ability to
recognize that others have separate identities, and the ability to understand
that each encounter is part of a relationship.” Click,
P. M., & Parker, J. (2009). Caring
for school-age children (5th ed.). Clifton Park, NY: Wadsworth Cengage
Learning.
[11] “They’re developing the ability to see things from another
perspective and are able to be more empathetic. At the same time, they’re very
sensitive and their feelings get hurt easily.” Seefeldt,
C., & Barbour, N. (1998). Early
childhood education (4th ed.). Upper Saddle River, NJ: Merrill Prentice
Hall.
[12]“Developmentally appropriate practice does not approach
children as if they were equal members of an age grouping, but as unique
individuals. . . . This knowledge [of specific uniqueness] primarily comes through
relating and interacting with children and also their parents, who are
important resources of knowledge about their children. Developmentally
appropriate practice is based on parents’ active involvement both as resources
of knowledge and as decision makers about what is developmentally appropriate
for their children.” Op.cit. Gestwicki, C.
[14] “Scientific studies of the brain have shown that essential
neurological pathways occur in an environment free of stress, fatigue, and
anxiety. . . . All of the processes involved in play, such as repeating
actions, making connections, extending skills, combining materials, and taking
risks, provide the essential electrical impulses to help make connections and interconnections
between neural networks, thus extending children’s capabilities as learners, thinkers,
and communicators.” Miller, E., & Almon, J. (2009). Childhood: A time for play! Online at:
National Kindergarten Alliance: http://www.nkateach.org
[15]
“Children who are provided with a
predictable schedule and secure environment are more likely to feel confident
about exploring their world. . . . Through these explorations, children
strengthen their connections to the people and environment around them.” Klein,
A. S. (2002, Spring). Infant &
toddler care that recognized their competence. Dimensions of Early Childhood,30(2),
11–17.
Makalah yang sangat menarik dan lengkap tentang pendidikan anak usia dini, terimakasih sudah disare, salam
BalasHapus