Page

Total Tayangan Halaman

Selasa, 12 November 2013

Pendidikan Anak Usia Dini

BAB I
PENDAHULUAN
1.1        Latar belakang
Pendidikan anak dini merupakan “seni” yang memerlukan keterampilan sang guru sebagai pendidik untuk membangkitkan rasa keingintahuan dan pengetahuan sang anak. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Freed Roger,
Perhatikan sang anak terlebih dahulu. Jika kalian berurusan dengan hiburan, makanan, mainan, peraturan, perawatan baik waktu siang atau malam hari, kesehatan, dan pendidikan mereka – dengarkan mereka, belajar tentang mereka, dan belajar dari mereka[1]
Sebagai pendidik, kita harus memperhatikan anak murid berdasarkan keunikan masing – masing. Pendidikan anak usia dini menunjang kemampuan sang anak untuk bekal mereka di masa depan. Hal itu menyebabkan seorang guru memerlukan keterampilan untuk mempelajari hal – hal yang menunjang kemampuan mendidik, seperti komitmen, latihan, pengalaman, dan pengetahuan tentang perkembangan dan metode berkembang anak.
Penelitian terbaru menunjukan bahwa lingkungan memberikan dampak terhadap perkembangan sang anak terutama pada tahap dini dan dasar. New, Palsha dan Ritchie mengemukakan,
Semua anak bisa dan mau belajar jika peralatan pengajaran tersedia untuk mereka … Hal ini membutuhkan komitmen dari pada pengajar professional untuk merepetisi dan mengolah kemampuan mereka untuk menciptakan kelas yang mampu memaksimalkan kemampuan anak didik[2]
Hal ini juga berseseuaian dengan hasil penelitian, yang ditulis oleh Bowman, Donoval, dan Burns,
Anak lahir ke dunia dengan keinginan untuk belajar… Tidak bisa dipungkiri bahwa lingkungan tempat anak berkembang memberikan dampak besar, tentang bagaimana manusia berkembang dan belajar.”[3]
Oleh karena itu semua, makalah ini disusun dengan tujuan membantu seseorang agar mampu membuat kondisi dan kurikulum yang berfokus pada anak. Pembahasan makalah ini tidak hanya berkutat pada persoalan metode praktis saja, tetapi juga akan menerangkan dasar teori serta dasar filosofis perkembangan anak.
Pada bab II penulis akan menjabarkan aspek historis tentang pendidikan anak, teori cara belajar dan pengembangan anak., Development Appropriate Practices, persoalan sosial dan kultural, pentingnnya bermain untuk anak, perencanaan kurikulum, cara penjadwalan dan rutinitas yang diterapkan kepada anak, serta komunikasi terhadap orangtua sang anak. Selain itu akan diterangkan metode untuk mengembangkan kemampuan anak berdasarkan empat landasan: pengembangan bahasa, kognisi, pengembangan fisik, serta sosial dan emosional.
Pada bab III penulis akan menuliskan kesimpulan persoalan pendidikan anak dini yang bersifat konstruktif, dengan tujuan menambah pengetahuan.
Untuk pembahasan ini penulis akan menggunakan referensi buku Hilda L. Jackman, yang berjudul Early Education Curriculum: A Child's Connection to the World, Fifth Edition. Terutama pada chapter I: Starting The Process dan penulis juga menggunakan referensi lainnya terutama media elektronik, yaitu internet.

BAB II
PEMBAHASAN STARTING THE PROCES
2.1        Introduksi
Merupakan hal yang penting dan harus diingat bahwa pendidik memiliki peran sentral untuk mengembangkan kemampuan anak didiknya. Greenberg mengemukakan bahwa sejarah pendidikan anak harus kita ketahui, sebab hal tersebut membantu kita untuk mengembangkan kemampuan anak berdasarkan data pendidikan anak – anak terdahulu.[4] Sejarah pendidikan anak menunjukan bahwa perkembangan pendidikan untuk anak memiliki satu tujuan yang sama, yaitu usaha “advocacy.
Robinson dan Stark mengatakan bahwa “advocacy” tak hanya harus diterapkan kepada pendidik, bahkan unsur keluarga, para professional, dan para pemerhati anak bisa ikut bergabung untuk memberikan kontribusi pada tumbuh kembang anak. Hal ini menunjukan, bahwa anak mampu untuk berkembang lebih baik dan maju dengan adanya bantuan para orang dewasa.[5]

2.2        Teori belajar dan pengembangan pendidikan anak usia dini
Basis yang sering digunakan untuk membahas perkembangan anak, terutama pada usia dini pada umumnya dibagi menjadi psychosocial theory, cognitive development theory, sociocultural theory, serta multiple intelligence theory. Kelima basis teori ini memiliki pemahaman dan penilaian tersendiri terhadap anak.

2.2.1        Psychosocial theory
Psychosocial theory dikemukakan oleh Erik Erikson (1902 – 1994). Pemahaman yang dipakainya adalah manusia merupakan mahluk yang memiliki kesadaran individual yang harus menghadapi keadaan sosial. Kesadaran individual tersebut memiliki delapan tahap, yang dimulai saat individu lahir hingga tua dan akhirnya meninggal. Untuk pembahasan kali ini penulis hanya akan menjabarkan empat tahap awal secara detail dan sisanya secara singkat, dikarenakan memiliki relevansi dengan persoalan perkembangan anak.
I.                   Basic Trust vs Mistrust (lahir sampai 1 tahun) tahap ini adalah tahap anak merasakan kepercayaan terhadap seseorang. Kasih sayang dan penerimaan merupakan hal mutlak yang harus dirasakan anak, agar merasa aman dengan lingkungannya.
II.                Autonomy vs Shame and Doubt (2 tahun) tahap sang anak menunjukan potensi sifat kemandirian diri dengan keinginannya melakukan hal seorang diri.
III.             Initiative vs Guilt (3 – 5 tahun) tahap ini sang anak menunjukan kemampuannya untuk berani melakukan hal yang baru, seperti berfantasi atau memainkan “peran.” Tahap ini adalah awal seorang anak mampu menangkap suatu pelajaran.
IV.             Industry vs Inferiority (6 – 11 tahun) tahap ini sang anak mampu menghadapi persoalan yang sifatnya menantang, selama sang anak mampu diberikan arahan dan dukungan dari orang dewasa.
Empat tahap selanjutnya beranjak dari masa remaja hingga meninggal yaitu:
V.                Identity vs Role diffusion (12 – 18 tahun)
VI.             Intimacy vs Isolation (awal kedewasaan)
VII.          Generative vs Stagnation (dewasa akhir)
VIII.       Ego intergrity vs Despair (Jompo)

2.2.2        Cognitive development theory
            Teori ini diperkenalkan oleh Jean Piaget. Teori ini menunjukan bahwa perkembangan kemampuan belajar anak, secara umum tanpa pengaruh dari sosialnya, bisa dilihat melalui empat aspek, yang berdasarkan dari, bagaimana sang anak mampu menciptakan imaji mentalnya berkat keterlibatan dengan lingkungan sekitar. Keempat aspek tersebut adalah: asimilasi, skema, akomodasi, dan ekuilibrium.
            Asimilasi adalah proses saat sang anak melihat atau merasakan sesuatu. Setelah anak mengalami hal tersebut selanjutnya proses skema yang bekerja. Skema adalah cara untuk menggabungkan dan membentuk imaji mentalnya. Proses selanjutnya adalah proses akomodasi. Proses ini hadir saat skema yang telah diterima sang anak telah dimodifikasi kembali karena pengalaman yang dialami. Pada tahap akhir adalah tahap ekuilibrium. Tahap ini adalah saat proses asimilasi dan akomodasi mengalami titik temu. Proses ini pada akhirnya kembali berulang dari awal.
            Proses yang telah penulis jelaskan ini pada akhirnya menciptakan kriteria tahapan perkembangan anak sebanyak empat tahap. Empat tahap tersebut adalah tahap sensormotorik, tahap preoperasional, tahap operasi konkrit, dan tahap operasi formal.
1.      Tahap sensorik (0 – 2 tahun) adalah tahap dimana sang anak mempelajari lingkungannya melalui sistem sensorik (tubuhnya) dan gerak reflek. Hal ini menyebabkan mereka mulai membangun suatu kebiasaan, setelah mereka menemukan hal baru mereka akan membangun kebiasaan yang baru. Pada tahap ini anak akan merasakan dan mengembangkan object permanence. Object permanence adalah pengalaman yang dirasakan selalu “membaru”, sehingga jika suatu objek yang sama muncul dihadapannya, yang dirasakan anak tersebut adalah objek baru. 
2.      Tahap preoprasional (2 – 7 tahun) adalah tahap dimana anak merasa dunia hanya berelasi pada diri mereka. Hal ini dikarenakan adanya kesadaran egosentrik, pada tahap ini juga anak mulai mengenal dengan pemikiran simbolik. Hal tersebut yang menyebabkan sang anak mulai bisa memikirkan suatu hal, seperti sebab akibat, dalam bertindak. Pola pikir, ekspresi verbal, dan intelektual akan berkembang secara terus menerus. Tahap ini sangat menekankan pada penggunaan alat indra untuk memperoleh kemampuan maksimalnya.
3.      Tahap operasi konkret (7 – 12 tahun) pada tahap ini anak mengembangkan kepemahamannya, terutama pada angka, hubungan, dan proses. Tahap ini juga melatih pemikiran dan pemecahan masalah secara mental. Pada tahap ini metode logika yang mereka pahami harus berhubungan dengan benda materil yang nyata.
4.      Tahap operasi formal (12 tahun – dewasa) adalah tahap dimana pemikiran yang abstrak mulai bisa dipahami. Hal ini menyebabkan kemampuan untuk berpikir secara spekulatif.

2.2.3         Sosiocultural theory
Sosiocultural theory adalah teori yang diperkenalkan oleh Leo Vygotsky. Dalam teori ini perkembangan sang anak sangat dipengaruhi oleh kultur lingkungan sosialnya, seperti keluarga. Teori ini menyebabkan guru dan juga orang tua mampu memegang kunci penting dalam usaha meningkatkan potensi anak didiknya. Vygotsky meyakini bahwa tiap anak memiliki dua zona yaitu: kemampuan yang bisa dilakukannya sendiri, dan kemampuan yang harus dibantu orang lain, hal ini disebut dengan zone of proximal development.
Menurut Berk dan Winsler, pada tahap ini sang guru haruslah menciptakan kesempatan kepada sang anak untuk berkembang dan meningkatkan kemampuannya. Karena sang guru adalah adalah sang “penunjuk” agar anak selalu bisa mendapatkan keterampilan baru.
Secara praktikal teori ini menekankan bahwa tiap guru harus menyadari kemampuan tiap anak itu berbeda, dan memberi bantuan dengan tingkat yang berbeda pula, sesuai dengan tingkatan sang anak. Selanjutnya sang guru harus menetapkan prinsip scaffolding, yaitu mengatur respon sang guru terhadap perkembangan anak, dan selalu meningkatkan tantangan untuk sang anak.

2.2.4        Multiple intelligence theory
Teori ini adalah hasil kritik dari Howard Gardner, terhadap simplifikasi kepandaian hanya dengan kriteria IQ. Gardner menawarkan paradigma baru dalam kepandaian dengan membagi menjadi 8 bagian yang terpisah, sehingga tiap anak memiliki kecendrungan kepandaian yang berbeda. Guru pada tipe ini dituntut untuk tidak bisa menyamaratakan kepandaian tiap muridnya, karena tiap murid memiliki “spesialisasi” tersendiri.
8 bagian kepandaian itu adalah: verbal - linguistic, logika – matematis, musical –ritmik, visual – spatial, bodly - kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan natural.
1.      Verbal – linguistic adalah kepandaian dalam kemampuan bahasa dan bicara. Kepandaian ini menekankan pada kepemahaman dalam makna bahasa atau maksud dari suatu ungkapan yang dikatakan seseorang. Anak yang memiliki kemampuan ini terlihat dari kesenangannya untuk menulis dan membaca.
2.      Logika – matematis adalah kepandaian dalam kemampuan logis dan matematis. Kepandaian ini menekankan pada kemampuan menyusun dan memecahkan suatu masalah dengan kerangka pikir dan keteraturan. Anak yang memiliki kemampuan ini terlihat dari kegemarannya untuk memecahkan masalah secara sistemik.
3.      Musical – ritmik, merupakan kepandaian dalam nada dan ritmik dalam musik. Kepandaian ini memperlihatkan kemampuan sang anak yang peka terhadap bunyi atau suara. Anak yang kemampuan musical – ritmiknya tinggi terlihat memiliki kemampuan yang berhubungan dengan music, seperti kemampuan bersiul, ataupun memainkan alat music.
4.      Visual – spatioan, merupakan kepandaian anak terhadap bentuk dan warna dalam suatu gambaran visual. Kepandaian ini menunjukan, bahwa sang anak memiliki kemampuan untuk mengkomposisi suatu bentuk dan warna seperti menggambungkan bentuk, ataupun menggambungkan warna tertentu. Anak yang memiliki kemampuan ini pada umumnya terlihat sangat suka menggambar dan melukis.
5.      Bodly – kinestetik, adalah kemampuan anak untuk memahami segala hal dan menerangkannya dengan tubuhnya. Kepandaian ini membuat sang anak lebih tertarik dan paham untuk melakukan hal yang sifatnya praktikal dengan bantuan tubuhnya sendiri. Anak dengan kemampuan ini lebih senang untuk memahami suatu hal secara langsung, dengan pengalaman dari tubuhnya sendiri.
6.      Interpersonal, adalah kepandaian sang anak untuk memahami orang lain dengan dirinya sendiri. Kepandaian ini membuat sang anak menjadi peka dan mengetahui apa yang diinginkan orang lain. Anak dengan kemampuan ini senang sekali mendengarkan, bekerjasama dengan orang lain, dan bernegosiasi.
7.      Intrapersonal, merupakan kemampuan anak untuk memahami dan sadar akan kemandirian dirinya sendiri. Kepandaian ini membuat sang anak berani untuk mencoba segala sesuatu, serta memiliki kemandirian yang tinggi. Anak dengan kepandaian ini akan lebih senang untuk mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan dirinya sendiri, seperti merencanakan suatu tujuan, dan hal yang berhubungan dengan kemampuan dirinya sendiri.
8.      Natural, merupakan kepandaian anak untuk menyadari alam disekitarnya. Kepandaian ini membuat anak peka dan senang terhadap lingkungannya, seperti keadaan binatang, pohon, dan keadaan alam. Anak dengan kepandaian ini lebih senang untuk mengikuti kegiatan yang sifatnya di luar ruangan dan berhubungan langsung dengan alam.
Pembagian ini membantu pendidik agar mampu mengembangkan potensi anak secara maksimal dengan meningkatan potensi kepandaian sang anak dan mengurangi kelemahan sang anak dalam kepandaian lainnya.

2.3        Developmentally Appropriate Practice
Developmentally Appropriate Practice atau DAP, yang pertama kali diperkenalkan sekitar 20 tahun yang lalu oleh National Association For The Education Of Young Children (NAEYC), adalah program pendidikan dengan tujuan melatih guru dan keluarga untuk mendidik anak dengan umur delapan tahun kebawah. Copple dan Bredekamp menyatakan “Berdasarkan perubahan dan kontinuitas keadaan yang dialami anak anak … dap membutuhkan keterlibatan anak – yang berarti membutuhkan guru yang memahami mereka- untuk mencapai apa yang mereka bisa lakukan, yang menantang dan mampu diraih.”[6] DAP tetap memperhatikan aspek sosial budaya, pembelajaran, dan keragaman budaya. Pada pendidikan ini guru merupakan aspek sentral yang menjadi jembatan sang anak untuk mencapai kemampuan maksimal.
DAP memfokuskan pengembangan dan pan pembelajaran yang berbasiskan development. Development didefinisikan sebagai perubahan dalam tubuh serta pikiran yang bersifat sistemik dan adaptif berdasarkan pola dan tahapan tertentu.[7] Pendidikan ini dibagi menjadi infant, toddler, tiga sampai empat tahun, lima tahun, dan enam sampai tujuh tahun.
Pada tahap infant sang anak sangat mendalami kehidupan lingkungan secara aktif. Pada tahap ini anak mendalami kehidupannya dengan menggunakan indra utama mereka, seperti pengelihatan, perabaan, dan pengecapan. Infant belajar dengan cara berinteraksi langsung dengan lingkungan dan orang lain, oleh karena itu lingkungan harus diatur sedemikian mungkin agar tidak membatasi sang anak. Selain itu keterlibatan sosial pada infant juga memberikan dampak kepercayaan yang membangun kesejahteraan anak dengan pendidiknya, selama diasuh oleh pendidik yang kompeten.[8]
Perkembangan penting dalam tahap ini adalah pengembangan self regulation. Self regulation  adalah kemampuan untuk melatih kebutuhan fisik dan mental anak untuk suatu keadaan. Seperti mengajarkan rutinitas kepada anak sehingga anak tersebut terbiasa. Hal ini adalah penting karena pendidikan anak dini bisa membentuk sifatnya saat dewasa, sehingga jika seorang anak bisa mendapatkan masa depan yang cerah.
Pada tahap toddler (16 – 36 bulan) anak akan sangat cepat pertumbuhan dan juga pembelajarannya. Ini adalah awal dari pengembangan dalam mobilitas, otonomi, dan self – help skill. Self help skill adalah kemampuan anak untuk melakukan hal untuk dirinya sendiri. Menurut Gestwicki merupakan hal yang baik jika pengasuhan sang toddler tetap mengijinkan untuk belajar mandiri.[9] Pada tahap ini anak mulai tertarik belajar menggunakan bahasa, serta sang anak akan belajar dengan kemampuan imitasi dan observasi yang didampingi dengan penjelasan bahasa.
Pada tahap tiga sampai empat tahun, anak akan lebih senang untuk mencoba suatu eksperimen dan hal yang baru, tetapi anak bisa cepat frustasi jika yang dilakukannya gagal. Perkembangan bahasa pada tahap ini tergolong pesat dan senang diajak berkomunikasi. Walaupun anak sudah bisa bermain dengan teman sebayanya, mereka susah bekerjasama. Anak umur tiga tahun menyukai bermain dengan fantasi dan imajinasi, walaupun mereka masih sulit membedakan apa yang imajinasi dan riil. Secara umum ketertarikan yang dia sukai lebih dapat dikontrol, namun harus sering diulang, agar sang anak menjadi terbiasa.
Sedangkan pada umur empat tahun anak memiliki ketertarikan yang lebih luas dan beragam. Anak akan memahami dan meresakan kegunaan dari studi wisata dan lingkungan. Pada umur ini sang rasa ketertarikan sang anak menyebabkan dirinya untuk lebih banyak bertanya. Kemampuan anak untuk melakukan secara mandiri menumbuhkan rasa kepercayaan dirinya. Sebagai guru, harus sangat paham bahwa pada masa ini sang anak akan sering bertanya dan tertarik dengan banyak hal, dan terkadang sang anak ingin melakukan suatu hal yang sering dianggap tidak masuk akal.
Pada tahap lima tahun anak akan lebih sosial, memiliki teman baik, serta mulai senang bermain secara kelompok. Anak berumur lima tahun mampu mengontrol dirinya sendiri, tapi orang tua dan guru akan mempengaruhi kararter dirinya. Mereka mampu dan mengganggap tanggung jawab adalah hal yang serius, dan menerima saran serta terkadang memberikan inisiatif.
Eksplorasi merupakan hal yang penting pada anak dengan tahap ini, karena mereka merekonstruksi sendiri pengalaman yang mereka terima. Setiap pengalaman yang mereka terima adalah hal yang mereka anggap unik, dan dari situlah mereka mempelajari hal seperti batasan, peraturan, serta sebab akibat.Pada tahap ini sang guru harus menyiapkan kondisi memadai yang memancing rasa penasaran, dan belajar bersama dengan anak.
Tujuh sampai delapan tahun adalah tahap dimana perkembangan anak memulai masa terbaiknya. Kemampuan tubuhnya menjadi lebih lambat, namun stabil. Kemampuan mengkordinasikan tubuh dengan mata lebih baik, sehingga anak bisa bermain dengan permainan yang membutuhkan kemampuan kedua hal tersebut, seperti baseball. Kemampuan bahasa dan komunikasi pada umur ini sangat berkembang, mereka mulai paham tentang penalaran logis serta keteraturan, walaupun mereka lebih senang untuk mengekspresikan perasaan mereka dengan oral dibandingkan dibandingkan dengan tulisan.
Hal unik yang mereka rasakan adalah rasa membutuhkan teman, dan kemampuan untuk “melihat” dari sudut pandang orang lain.[10] Hal inilah yang menyebabkan anak lebih banyak teman, sebab mereka menjadi lebih senang bertemu dengan orang baru dan berkenal dengan mereka. Menurut Seefeldt dan Barbour, anak pada umur itu mulai bisa memahami empati dan mampu melihat dari perspektif orang lain, hal ini pula yang menyebabkan mereka sangat sentitif dan perasaan mereka mudah tersakiti.[11] Karena itulah baik orang tua dan guru harus menjadi pendamping dan penunjuk agar sang anak merasa disayangi, semangat, dan terlindungi.

2.3.1        Bakat individual, minat, dan kebutuhan
Untuk mengetahui bakat individu, minat, dan kebutuhan sang anak harus disediakan dengan kesempatan, waktu,dan sumber daya yang memadai. Untuk menyediakan hal tersebut secara sederhana kita bisa menanyakan diri kita sendiri dengan pertanyaan sebagai berikut :
-          Apa yang membuat sang anak merasa nyaman dengan lingkungannya?
-          Bantuan apa yang tepat untuk diberikan kepada anak oleh orang dewasa?
-          Bagaimana rencana untuk meningkatkan keterlibatan orang tua murid?
-          Apa yang harus dilakukan untuk mengembangkan rasa keprcayaan, kedirian dan kontrol terhadap lingkungannya?
-          Apa yang harus terjadi jika ingin mengembangkangkan nilai diri yang positif?
-          Apa yang saya lihat jika saya dalam posisi anak
-          Apa saja aktivitas, peralatan dan materi yang harus dipersiapkan?
-          Bagaimana mendukung rasa privasi anak?
Berdasarkan Gestwicki, untuk mengembangkan hal tersebut guru butuhkan untuk mendengarkan kebutuhan muridnya, sehingga tiap anak bisa berkembang secara maksimal berdasarkan kemampuannya masing masing. Hal ini juga membutuhkan kontibusi dari sang pendidik, sehingga sang anak mampu mendapatkan kualitas yang maksimal.[12]

2.3.2        Konteks Sosial dan kultur
Seorang guru harus memahami adanya unsur sosial dan kultur yang akan dihadapi oleh anak di kemudian hari. Agar anak menjadi memaklumi adanya perbedaan dari satu unsur sosial dan kultur dengan yang lainnya, maka pendidikan ini perlu untuk diajarkan. Hal seperti suku agama ras dan kecacatan harus diajarkan dengan tujuan sang anak memiliki pandangan multi etnik sehingga segala bentuk bias, prejudis, dan stereotyping[13]
Oleh karena itu, guru dan orang dewasa lainnya harus mengapresiasi tiap anak dengan keunikannya tersendiri. Guru dan orang dewasa harus “mengalami” keadaan yang dialami sang anak dengan latar belakangn yang beragam.

2.4              Tentang pentingnya bermain
            Bermain adalah pusat dalam DAP. Bermain didefinisikan sebagai kebiasaan bersifat memotivasi diri sendiri, bebas untuk dipilih, berorientasi pada proses, dan menyenangkan yang merupakan aktivitas alamiah untuk anak. Hal tersebut mengijinkan adanya kesempatan untuk menciptakan, menemukan, dan belajar tentang dunia, yang menyediakan kebahagiaan bagi anak dan pemahaman bagi anak itu sendiri dan yang lain.
            Erik Erikson menekankan pentingnya bermain agar sang anak mampu mengembangkan kemampuan kerjasama dan belajar memperoleh kepercayan. Anak juga mampu mengembangkan kemampuan egonya sendiri dengan bermain, sebab bermain mengijinkan sang anak untuk berlatih kemampuan fisik dan sosialnya yang berpengaruh terhadap penilaian harga dirinya.
            Mildred Parten pada tahun 1932 mengidentifikasi ada enam tahap dalam permainan anak. Enam tahap itu adalah :
1.      Unoccupied behavior, yaitu saat infant dan toddler awal, dimana sang anak bermain dengan dirinya sendiri dengan melihat sesuatu yang menarik.
2.      Onlooker play, yaitu saat toddler awal, dimana sang anak diperkenalkan pada situasi baru. Permainan ini berfokus pada aktifitas dibandingkan dengan keadaan lingkungannya.
3.      Solitary play, pada tahap ini sang anak senang bermain dengan dirinya sendiri, dan sering tidak memperdulikan orang.
4.      Parallel play, tahap ini bisa diamati pada tahap toddler akhir sampai umur sekitar tiga tahun. Sang anak pada tahap ini bermain karena dia menyukainya, namun masih bisa bermain dengan teman sebayanya. Walaupun mereka bisa berinteraksi dengan teman seumurnya, mereka lebih tertarik pada objek yang dimainkannya, bukan dengan teman bermainnya.
5.      Associative play, bisa diamati pada anak berumur tiga sampai empat tahun. Mereka lebih sering bermain dengan teman sebaya mereka, namun masih memiliki kecendrungan untuk lebih memfokuskan dirinya sendiri.
6.         Cooperative play, sifat ini muncul pada anak dimulai pada umur empat tahun. Jenis permainan ini membutuhkan yang bersifat kelompok dan terorganisir. Permainan ini mengijinkan sang anak untuk mengembangkan kemampuan berelasinya dan membutuhkan kemampuan untuk berbagi ide. Pada tahap ini pengaruh orang dewasa mulai tergeser dan berganti dengan peran teman sebayanya. Pada umur enam sampai delapan tahun perkembangan terlihat pula pada permainan simbolik, seperterti pada perencanaan dan pembuatan peraturan permainan. Karakter kepemimpinan juga terlihat saat permainan berjalan mulai serius.

            2.5       Tips untuk guru dan proses perencanaan.
            Sebagai guru merupakan tanggung jawabnya untuk memasukan unsur bermain dalam kegiatan pendidikannya. Berdasarkan penelitian neurologi, bermain mampu mengembangkan kemampuan anak menjadi lebih baik.[14] Guru dituntut untuk mengembangkan kreativtasnya sendiri untuk mengembangkan jenis – jenis permainan yang berguna bagi anak, agar dapat mengembangkan potensi maksimal anak tersebut dikemudian hari. Selain guru, orang tua murid harus juga dilibatkan agar paham tentang pentingnya bermain untuk anak.
            Proses perencanaan dan penjadwalan adalah hal yang penting jika ingin mempermudah membantu murid mendapatkan potensi terbaiknya. Beberapa guideline yang dirancang untuk membangun perencanaan adalah :
-           Rencana jangka panjang yang memiliki tujuan dan objektif. Tujuan diartikan sebagai sasaran umum yang ingin dituju sedangkan objektif adalah tujuan yang masih memiliki hubungan secara langsung dengan hal teknis, seperti kurikulum, dan penjadwalan.
-           Tujuan dan objektif harus berhubungan dengan pengembangan, individual, kultural, dan pengaplikasian secara praktis.
-           Tempat mengajar yang mengijinkan rencana jangka panjang yang membantu sampai mana perkembangan anak dan juga perkembangan pengajar.

2.5.1    Jadwal dan rutinitas
            Aspek jadwal dan rutinitas dapat membantu menciptakan keranga yang menyebabkan anak menjadi aman. Klein mengatakan “Anak yang disediakan jadwal yang dimengerti dan lingkungan yang aman lebih sering merasa percaya diri untuk mengeksplorasi dunianya … dengan eksplorasi, anak dapat meningkatkan hubungan mereka dengan orang dan lingkungan sekitar.[15] Rancangan program yang akan diberikan kepada anak harus memasukan jam, pelajaran, dan aktifitas dengan basis jadwal harian. Kegiatan yang bisa dimasukan dalam kerangka program ini disebut dengan rutinitas. Target keberhasilan manajemen kelas ini dinilai dari bisa atau tidak bisa sang anak mengikuti rutinitas tersebut.

            2.6       Komunikasi dengan orang tua murid
            Walaupun telah diketahui tanggung jawab guru adalah untuk berkomunikasi dengan orang tua murid, orang tua murid juga memiliki tanggung jawabnya sendiri. Tanggung jawab orang tua adalah untuk berpartisipasi dalam perkembangan anak dan berkomunikasi terhadap guru. Telah banyak bukti yang menyatakan, bahwa keikutsertaan keluarga dalam pendidikan anaknya mampu meningkatkan pengertian dalam kebudayaan yang berbeda, serta meningkatkan sifat positif anak.
Berikut ini saran agar guru mampu berkomunikasi dengan orang tua:
1.         Kesuksesan pendidikan anak harus dibangun atas kerjasama orangtua dan murid, dengan berbagi pengalaman dan pengetahuan dari kedua belah pihak.
2.         Harus diingat bahwa keluarga adalah pendidik utama untuk anaknya, oleh karenanya guru tetap harus menghargai peran orang tua dalam perkembangannya.
3.         Pendidik mampu mempelajari latar belakang lingkungan, keluarga, dan orang tua sang anak, untuk menemukan metode yang tepat untuk mendidik. Pihak keluarga mampu mempelajari pentingnya pendidikan pada usia dini.
4.         Pentingnnya evaluasi akan kebutuhan anak dan perkembangannya harus ditekankan pada kultur serta lingkungannya.
            5.         Guru harus dipersiapkan untuk mendidik anak dengan kebutuhan khusus.
6.         Guru bisa membantu anak dan keluarga sang sang anak untuk perkembangan pendidikannya dengan mengajak untuk bersosialisasi dalam lingkungan untuk perkembangan mereka.


BAB III
KESIMPULAN
3.1       Kesimpulan
            Telah kita ketahui sebelumnya, bahwa pendidikan usia dini untuk anak merupakan pendidikan yang penting, karena bisa membangun fondasi untuk masa depannya.
            Berdasarkan aspek teoritis dalam pendidikan dan pengembangan diri sang anak, telah dijelaskan bahwa anak mampu memperoleh kemampuan maksimalnya, jika pendidik dan keluarga mampu untuk menempatkan diri pada perspektif sang anak. Selanjutnya dijelaskan sistem dan metode Developmentally Appropriate Practice. Sistem ini memfokuskan pada perkembangan anak dengan keunikannya sendiri agar potensi yang diperoleh maksimal. Selain pada potensi intelektual, pendidikan ini juga memfokuskan tentang keberagaman sosial dan kultur yang menjadi latar belakang kehidupan tiap anak.           
Permainan dalam pendidikan anak usia dini juga dianggap hal penting, karena membantu sang anak untuk berinteraksi dan juga melatih dirinya agar lebih aktif serta meningkatkan kepercayaan diri sang anak.        Selain itu masih pentingnya kegiatan dan aktivitas yang disusun secara terjadwal dan rutinitas. Hal tersebut berguna agar sang anak mampu beradaptasi dan belajar mengontrol dirinya sendiri serta memudahkan  guru untuk mengembangkan kemampuan anak murid secara optimal. Tanggung jawab pendidikan anak, yang selama ini sering dipahami sebagai tugas guru saja, harus mampu mengkolaborasikan orang tua anak dalam proses pendidikan.
            Sehingga dapat disimpulkan dengan kalimat sebagai berikut, semangat anak untuk mempelajari dunia dan lingkungannya harus diasuh oleh lingkungan yang mendukung serta guru yang memahami perkembangannya.[16]











DAFTAR PUSTAKA
·         Bowman, B., Donovan, M. S., & Burns, M. S. (Eds.). (2000). Eager to learn: Educating our preschoolers. Washington, DC: National Academy Press.
·         Child Care Resources. (2007). Childhood Community News, July–September, Volume 16, Number 3. Seatlle, WA: A Publication Of Child Care Resources.
·         Click, P. M., & Parker, J. (2009). Caring for school-age children (5th ed.). Clifton Park, NY: Wadsworth Cengage Learning.
·         Copple, C., & Bredekamp, S. (Eds.). (2009). Developmentally appropriate practice (3rd ed.). Washington, DC: NAEYC.
·         Erikson, E. (1963). Childhood and society (2nd ed.). New York: Norton.
·         Gardner, H. (1993). Multiple intelligences: The theory in practice.New York: Basic Books.
·         Gardner, H. (2001). An education for the future. Online at: http://www.pz.harvard.edu/
·         Gestwicki, C. (2011). Developmentally appropriate practice: Curriculum and development in early education (4th ed.). Clifton Park, NY: Wadsworth Cengage Learning.
·         Greenberg, P. (2000, January). What wisdom should we take with us as we enter the new century?—An interview with Millie Almy. Young Children, 55(1), 6–10.
·         Jackman, H. L. (2012). Early Education Curriculum: A Child’s Connection to the World (5th ed.). Balmont, CA: Wadsworth.
·         Honig, A. S. (2002). Secure relationships: Nurturing infant/ toddler attachment in early care settings. Washington, DC: NAEYC.
·         Klein, A. S. (2002, Spring). Infant & toddler care that recognized their competence. Dimensions of Early Childhood,30(2), 11–17.
·         Miller, E., & Almon, J. (2009). Childhood: A time for play! Online at: National Kindergarten Alliance: http://www.nkateach.org
·         New, R., Palsha, S., & Ritchie. (2009). Issues in preK–3rd education: A FirstSchool framework for curriculum and instruction. (#7). Chapel Hill, NC: The University of North Carolina at Chapel Hill, FPG Child Development Institute, FirstSchool.
·         Piaget, J. (1926). The language and thought of the child. NewYork: Harcourt Brace.
·         Piaget, J. (1961). Play, dreams and imagination in childhood.New York: Norton.
·         Robinson, A., & Stark, D. R. (2002). Advocates in action. Washington, DC: NAEYC.
·         Rogers, F. (2003). The world according to Mister Rogers: Important things to remember. New York: Hyperion.
·         Seefeldt, C., & Barbour, N. (1998). Early childhood education (4th ed.). Upper Saddle River, NJ: Merrill Prentice Hall.
·         Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society. Cambridge, MA: Harvard University Press.






[1] “Please think of the children fi rst. If you ever have anything to do with their entertainment, their food, their toys, their custody, their day or night care, their health care, their education—listen to the children, learn about them, learn from them. Think of the children first.” Rogers, F. (2003). The world according to Mister Rogers: Important things to remember. New York: Hyperion.                                             

[2] “All children can and will learn when educational communities are ready for them. . . . This requires a commitment that makes explicit the responsibility of education professionals to broaden their repertoires and hone their skills to create classrooms in which all children maximize their potential” New, R., Palsha, S., & Ritchie. (2009). Issues in preK–3rd education: A FirstSchool framework for curriculum and instruction. (#7). Chapel Hill, NC: The University of North Carolina at Chapel Hill, FPG Child Development Institute, First School.   

[3] “Children come into the world eager to learn. . . . There can be no question that the environment in which a child grows up has a powerful impact on how the child develops and what the child learns.” Bowman, B., Donovan, M. S., & Burns, M. S. (Eds.). (2000). Eager to learn: Educating our preschoolers. Washington, DC: National Academy Press.                         


[4] “It’s most important not to leave behind everything we already know about children as we go on learning new things. . . . New knowledge should build on prior knowledge, not erase and replace it.” Greenberg, P. (2000, January). What wisdom should we take with us as we enter the new century?—An interview with Millie Almy. Young Children, 55(1), 6–10
                                                 
[5]Advocacy takes place at many diff erent levels—from families who approach their child’s teacher or program director to ask for an arts program, to teachers who approach the school board to request additional funding for books to help their students meet rigorous academic standards, to groups of business leaders who form coalitions with early childhood caregivers, to professional associations who create opportunities to educate policymakers about a particular problem that young children face. At all levels of advocacy, caring adults take a stand on behalf of children. Robinson, A., & Stark, D. R. (2002). Advocates in action. Washington, DC: NAEYC.   


[6] “Reflects both continuity and change in the early childhood field. . . . DAP requires both meeting children where they are—which means that teachers must get to know them well—and enabling them to reach goals that are both challenging and achievable.” Copple, C., & Bredekamp, S. (Eds.). (2009). Developmentally appropriate practice (3rd ed.). Washington, DC: NAEYC.
[7] Lihat Jackman, H. L. (2012). Early Education Curriculum: A Child’s Connection to the World (5th ed.). Balmont, CA: Wadsworth. hlm. 13.

[8]“Research and clinical findings over the past decades confirm the connection to later emotional well-being of a secure attachment between each baby or young child and a warm, stable adult.” Honig, A. S. (2002). Secure relationships: Nurturing infant/ toddler attachment in early care settings. Washington, DC: NAEYC.

[9]“Perhaps one of the best ways to nurture good feelings about self is to encourage toddlers’ already strong interest in doing things for themselves” Gestwicki, C. (2011). Developmentally appropriate practice: Curriculum and development in early education (4th ed.). Clifton Park, NY: Wadsworth Cengage Learning.

[10]“In order to make friends, certain skills are necessary: the ability to understand that others have different points of view, the ability to recognize that others have separate identities, and the ability to understand that each encounter is part of a relationship.” Click, P. M., & Parker, J. (2009). Caring for school-age children (5th ed.). Clifton Park, NY: Wadsworth Cengage Learning.
[11] “They’re developing the ability to see things from another perspective and are able to be more empathetic. At the same time, they’re very sensitive and their feelings get hurt easily.” Seefeldt, C., & Barbour, N. (1998). Early childhood education (4th ed.). Upper Saddle River, NJ: Merrill Prentice Hall.
[12]“Developmentally appropriate practice does not approach children as if they were equal members of an age grouping, but as unique individuals. . . . This knowledge [of specific uniqueness] primarily comes through relating and interacting with children and also their parents, who are important resources of knowledge about their children. Developmentally appropriate practice is based on parents’ active involvement both as resources of knowledge and as decision makers about what is developmentally appropriate for their children.” Op.cit. Gestwicki, C.
[13] Op.cit, Jackman, H. L. hlm. 19.
[14] “Scientific studies of the brain have shown that essential neurological pathways occur in an environment free of stress, fatigue, and anxiety. . . . All of the processes involved in play, such as repeating actions, making connections, extending skills, combining materials, and taking risks, provide the essential electrical impulses to help make connections and interconnections between neural networks, thus extending children’s capabilities as learners, thinkers, and communicators.” Miller, E., & Almon, J. (2009). Childhood: A time for play! Online at: National Kindergarten Alliance: http://www.nkateach.org
[15] “Children who are provided with a predictable schedule and secure environment are more likely to feel confident about exploring their world. . . . Through these explorations, children strengthen their connections to the people and environment around them.” Klein, A. S. (2002, Spring). Infant & toddler care that recognized their competence. Dimensions of Early Childhood,30(2), 11–17.
[16]  Op.cit, Jackman, H. L. hlm. 3.

1 komentar:

  1. Makalah yang sangat menarik dan lengkap tentang pendidikan anak usia dini, terimakasih sudah disare, salam

    BalasHapus