BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan anak berkebutuhan
khusus merupakan keterampilan sang guru sebagai pendidik untuk membangkitkan
rasa keingintahuan dan pengetahuan sang anak dengan tetap memperhatikan
kekurangan anak. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Freed Roger,
“Perhatikan sang anak terlebih dahulu. Jika kalian berurusan dengan
hiburan, makanan, mainan, peraturan, perawatan baik waktu siang atau malam
hari, kesehatan, dan pendidikan mereka – dengarkan mereka, belajar tentang
mereka, dan belajar dari mereka”[1]
Sebagai pendidik, kita
harus memperhatikan anak murid berdasarkan keunikan masing – masing. Pendidikan
anak berkebutuhan khusus menunjang kemampuan sang anak untuk bekal mereka di
masa depan. Hal itu menyebabkan seorang guru memerlukan keterampilan untuk
mempelajari hal – hal yang tidak hanya menunjang kemampuan mendidik, seperti
komitmen, latihan, pengalaman, dan pengetahuan tentang perkembangan dan metode
berkembang anak tetapi juga harus mempelajari cara beradaptasi serta menghadapi
persoalan sang anak dengan keterbatasannya sekaligus bekerja sama dengan
professi lainnya seperti ahli patologi.
Oleh karena itu semua,
makalah ini disusun dengan tujuan membantu seseorang agar mampu membuat kondisi
dan kurikulum yang berfokus pada anak berkebutuhan khusus. Pembahasan makalah
ini tidak hanya berkutat pada persoalan metode praktis saja, tetapi juga akan
menerangkan dasar teori serta dasar filosofis anak dengan kebutuhan khusus yang
pada kali ini berfokus pada gangguan bahasa dan gangguan bicara.
Pada bab II penulis
akan menjabarkan aspek historis tentang pendidikan anak dengan gangguan bahasa
dan gangguan bicara, teori cara belajar, persoalan sosial dan cultural yang
dihadapi guru, cara identifikasi, penggunaan teknologi tepat guna kepada anak, serta
komunikasi terhadap orangtua sang anak dengan kebutuhan khusus.
Pada bab III penulis
akan menuliskan kesimpulan persoalan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang
bersifat konstruktif, dengan tujuan menambah pengetahuan.
Untuk pembahasan ini
penulis akan menggunakan referensi buku Marilyn Friend, yang berjudul Special Education: Contemporary Perspectives For School Professionals. Terutama pada Chapter
9: Students With Speech And Language Disorders dan penulis juga
menggunakan referensi lainnya terutama media elektronik, yaitu internet.
BAB II
GANGGUAN BICARA” DAN “GANGGUAN BAHASA”
2.1 Apakah Itu “Gangguan Bicara” Dan
“Gangguan Bahasa”
Kegiatan pendidikan yang memfokuskan diri pada
gangguan anak pada kemampuan bicara dan gangguan bahasa sudah dimulai secara
pesat sejak dua dekade ini. berdasarkan O’ Neill perkembangan studi tentang gangguan
bicara dan gangguan bahasa dimulai sejak awal abad ke-19 di wilayah eropa. Pada
masa itu difokuskan dengan permasalahan bagaimana mereka mampu berkomunikasi
baik secara suara (metode oral) ataupun simbol (metode manual). Teks tertua
yang membahas tentang penyakit ini diketahui ditulis oleh S.C.L. Potter pada
tahun 1802, hal ini memberi pengaruh, terutama kepada Mrs. Leight, untuk
menyusun suatu metode penyembuhan terhadap anak dengan gangguan bicara dan
bahasa.[2]
Secara historis pada
awalnya banyak orang yang memfokuskan diri untuk menyelesaikan persoalan ini
dengan kemampuan profesi yang berbeda –beda seperti dokter, apoteker dan guru, tetapi, menurut O’
Neill, pembahasan secara formal ini dimulai pada tahun 1930. Bahkan pada taun
1918, oleh para guru, dirancang suatu organisasi yang berfokus pada
permasalahan ini yang disebut National Society
For The Student And Correction Of Speech Disorder. Hingga pada akhirnya
berkembang menjadi Amerika Speech
Language Hearing Association (ASHA). Pada pasca perang dunia kedua
kebutuhan tentang pendidikan ini juga semakin pesat dan berkembang. Bahkan
telah diteliti oleh Duchan, bahwa pada era ini penelitian memasukkan unsur neurologi
di dalamnya. Sedangkan pada era kontemporer ini pemahaman tentang gangguan anak
lebih ditekankan kepada persoalan kemampuan komunikasi.
2.2
Pengertian “Gangguan Bicara” Dan “Gangguan Bahasa”
Penekanan pada era
kontemporer yang lebih membahas masalah komunikasi merupakan persoalan terkini.
Komunikasi didefinisikan oleh Lue sebagai pertukaran informasi dan pengetahuan
dari partisipan. Komunikasi membutuhkan 5 unsur yaitu, pesan, pengirim, penerima,
channel, dan timbal balik.
a.
Pesan
adalah informasi atau pengetuhuan.
b.
Pengirim
adalah orang mengirim pesan.
c.
Penerima
adalah orang yang menerima pesan.
d.
Channel
adalah rute yang harus ditempuh pesan atau medium.
e.
Timbal
balik adalah proses membalas informasi atau pengetahuan yang diterima.
Sebelum membahas
tentang gangguan bicara dan gangguan bahasa secara detail. Penulis akan
menjabarkan tentang pengertian bahasa dan bicara terlebih dahulu pada subbab
berikutnya.
2.2.1
Pengertian Bahasa Dan Bicara
Berdasarkan ASHA
bahasa adalah system simbol, yang diatur dari peraturan yang kompleks dan
digunakan individu untuk komunikasi serta tergantung dari budayanya. Bahasa itu
sendiri memiliki tiga konten yaitu bentuk, isi, dan kegunaan. Dari tiga
komponen tersebut terdapat dimensi
bahasanya masing masing. Pada bentuk terdapat phonologi, morphologi,dan sintaks.
Pada isi terdapat semantik dan pada kegunaan terdapat pragmatis.
Komponen bahasa
|
Dimensi bahasa
|
keterangan
|
Bentuk
|
Phonologi
|
Kemampuan mendengar, membedakan jenis
suara, dan penggunaan suara dari bahasa dengan tepat.
|
Morphologi
|
Kemampuan mengkombinasikan suara dari unit terkecil dalam
bahasa seperti kata kentang ataupun bagian dari huruf seperti pre-, -er.
|
|
Sintaks
|
Peraturan bahasa.
|
|
Isi
|
Semantik
|
Kemampuan memahami dan menggunakan bahasa secara tepat.
|
Kegunaan
|
Pragmatis
|
Penggunaan bahasa dalam kegunaan sosial.
|
Sedangkan pada bicara,
yang difokuskan adalah bagaimana suara tersebut mampu keluar dan terdengar
sesuai dengan kaidah bahasa. Berdasarkan Lue bicara memiliki 4 dimensi yang
mampu diketahui yaitu:
Dimensi bicara
|
Keterangan
|
Suara
|
Terbagi menjadi 3 berdasarkan komponennya
yaitu laras, intensitas, dan kualitas.
|
Resonansi
|
Adalah suara yang dipengaruhi dan berasal dari hidung.
|
Artikulasi
|
Kejelasan dalam pengularan suara.
|
Kemahiran (Fluently)
|
Kemampuan untuk berbicara secara tenang dan biasa.
|
2.2.2 Persoalan “Gangguan Bahasa” Dan “Ganguan
Bicara”
Gangguan bahasa muncul
ketika anak salah memahami kegunaan, kaidah, dan peraturan dalam bahasa. Jenis -
jenis gangguan pada bahasa:
-
Spesific Language Disorder Phonologi, ketidakmampuan untuk memperoleh pengetahuan disebabkan
kesulitan membedakan kata dengan pengucapan yang hampir serupa.
-
Keanehan
sintaksis, ketidakmampuan menggunakan kaidah bahasa dengan benar.
-
Gangguan
memahami ungkapan semantik. Ketidakmampuan memahami kegunaan kata, terutama
pada ungkapan.
-
Gangguan
pragmatis berkomunikasi dan mendominasi percakapan.
Terkadang permasalahan
muncul tidak hanya dalam satu dimensi bisa sekaligus seperti, Language Delay (keterlambatan bahasa), Aphasia (kerusakan otak), dan Central Auditory Processing Disorder.
Gangguan pada bicara
muncul ketika seorang anak menggunakan suaranya secara tidak tepat pada resonance, kualitas vokal, dan laras. Jenis
gangguan pada bicara terbagi pada artikulasi dan kemahiran.
Jenis gangguan pada gangguan artikulasi:
-Omissions, kekurangan huruf yang dibaca (Panas menjadi Anas)
-Subtitusion, perubahan huruf yang dibaca (Susu menjadi Yuyu)
-Addition, penambahan huruf yang dibaca (Kucing menjadi Kueciuunng)
Jenis gangguan pada kemahiran
-Sluttering,
kemampuan bicara yang gagap dan aneh (a-a-ada, atau aaada)
-Cluttering, memberikan atau menghilangkan jeda pada suatu kalimat (
a…yam gore…ng, atau ayamgorengdannasiputih)
Terkadang permasalahan
muncul tidak hanya dalam satu dimensi bisa sekaligus dan hal ini disebut dengan
Childhood Apraxia Of Speech.
2.3
Penyebab Gangguan Bahasa Dan Gangguan Bicara
Biasanya gangguan ini
dibagi dua secara umum, yaitu penyebab biologis dan penyebab lingkungan.
2.3.1
Penyebab Biologis
Pada umumnya hal ini
disebabkan oleh kerusakan pada bagian otak. Hal ini bisa disebabkan oleh anoxia (kekurangn oksigen) saat
mengandung, kesalahan asupan oleh sang ibu saat kandungan, atau berupa penyakit
keturunan, selain itu bisa juga disebabkan oleh bibir sumbing.[3]
2.3.2
Penyebab Lingkungan
Lingkungan seperti
kebersihan, dan asuhan juga bisa memberikan dampak kepada pengaruh kemampuan
bahasa dan bicara. berdasarkan penelitian National
Institute On Deafness And Other Communication Disorder, infeksi telinga
yang dibiarkan secara terus menerus dan asuhan yang buruk, seperti membentak
ketika sang anak sedang berusaha berkomunikasi juga menyebabkan gangguan bicara
dan bahasa.[4]
Tambahan lainnya adalah pengaruh lingkungan yang sifatnya sosial seperti
masalah kemiskinan.
2.3.3
Persoalan Gangguan Bahasa
Walaupun perkembangan
teknologi bisa membantu penyelidikan tentang penyebab suatu gangguan terkadang
ada gangguan yang tetap tidak bisa diketahui. Penyebab yang bisa diketahui
tersebut dinakan organic sedangkan
yang tidak diketahui disebut sebagai functional.
2.4
Karakteristik Individu Yang Mengidap Gangguan Bahasa Dan
Gangguan Bicara
2.4.1
Akademik Dan Kognitif
Secara umum tidak
dapat diketahui apakah seseorang yang mengidap ini kemampuan berpikirnya kurang
dibandingkan yang lain, tetapi, berdasarkan Lewis, Freebairn dan Taylor, jika
seorang anak menunjukan gejala tersebut dan tidak diatasi akan menyebabkan
keterlambatan dalam kemampuan belajar. Berdasarkan Cats, Gillispie, Leonard,
Kail, dan Miller, gangguan yang akan dihadap anak adalah kemampuannya untuk
membaca, memahami, mendengar, dan menyampaikan kembali suatu ilmu yang
diketahuinya dari bacaan ataupun ucapan.
2.4.2
Karakteristik Sosial Dan Emosional
Hal yang akan dihadapi
oleh anak yang mengidap gangguan adalah penilaiannya terhadap dirinya sendiri,
karena merasa berbeda dan sulit untuk berkomunikasi dengan lainnya. Selain itu
mereka juga rentan menjadi bahan ejekan temannya terutama yang kekurangan dalam
fluenty. Berdasarkan Wood dan Valdez –
Menchaca, masalah ini terkadang salah dipahami oleh orang dewasa dan malah menilai
anak yang mengalami kekurang tersebut secara negatif.[5]
2.4.3 Perilaku
Karakteristik
Anak - anak yang tidak
bisa mengungkapkan kebutuhan mereka dalam kata-kata kadang-kadang relaksasi
untuk perilaku yang tidak pantas, seperti balita yang menggigit teman bermainnya
untuk mendapatkan mainan yang diinginkannya. Pola serupa juga bisa dilihat di
kalangan siswa usia sekolah yang memiliki gangguan bicara dan bahasa. Siswa
penyandang cacat tersebut berada pada risiko tinggi untuk masalah perilaku dan
bahkan untuk yang diidentifikasi memiliki cacat emosional dan perilaku. Hooper,
Roberts, Zeisel, dan Poe melihat apakah siswa TK reseptif dan ekspresif dalam
kemampuan berbahasanya berhubungan dengan gurunya. Mereka menemukan bahwa
masalah gangguan tersebut berpengaruh pada kemampuan mereka. Oleh karena itu
semua dibutuhkan pendidik professional, ahli patologi bahasa dan orang tua
untuk mencegah gangguan ini berkembang.[6]
2.4.4 Gangguan Lainnya
Terkadang gangguan
bahasa dan gangguan bicara bisa terjadi dan menyebabkan kerusakan pada
kehidupannya, yang sering disebut dengan komorbiditas. Hal ini membutuhkan kita
sebagai seorang pendidik harus mampu menjaga serta merawat anak yang memiliki
gangguan bahasa dan bicara tidak hanya dari sudut pandang kemampuan
komunikasinya jaga, tetapi juga “kehidupannya.”
2.5
Identifikasi Gangguan Bahasa Dan Bicara
Pada umumnya cara
mengetahui gangguan ini diketahui melalui dua cara yaitu, assessment dan eligibility.
2.5.1
Assesment
Adalah proses
pengumpulan data, biasanya menggunakan lembar tugas, bisa melalui percakapan
secara langsung dan keterangan dari guru dan murid. Pada gangguan bicara
biasanya sang guru mengetahuinya dengan memberikan tugas kepada anak seperti
melanjutkan kalimat, bermain pengucapan bahasa, dan lain sebagainya. Harus
tetap diingat bahwa keberhasilan anak menjawab bukan berarti menunjukan secara
pasti kemampuan sang anak, karena harus dikehidupan kesehariannya bisa jadi
berbeda. Sedangkan pada gangguan bahasa hal ini dapat diketahui dengan
memberikan tugas yang berhubungan dengan kalimat, seperti penggunaan tanda
baca, cara memahami makna, penggunaan grammar
yang benar dan lain sebagainya. Sangat perlu diperhatikan, bahwa terkadang
pendidik terhalang oleh kendala seperti penggunaan bahasa yang berbeda dan
kultur yang berbeda dengan murid, seperti anak yang dalam kulturnya berbicara
panjang lebar hanya diijinkan dengan orang yang dekat. Oleh karenanya latar
belakang murid harus diperhatikan dan tidak bisa secara gampang menyamaratakan
penilaian.
2.5.2
Eligibility
Adalah penilaian
apakah seorang bisa dikatakan pantas untuk dianggap mengalami gangguan.
Penilaian dianggap penting, agar tidak terjadi kesalahan penafsiran terhadap
kondisi anak.
Kita bisa
menyederhanakan menjadi 3 pertanyaan.
1.
Apakah
kemampuan anak pada umur “x” tersebut bisa dianggap sebagai gangguan atau
sekedar masalah bahasa?
2.
Apakah
gangguan tersebut mempengaruhi perkembangan pendidikan anak?
3.
Apakah
anak tersebut bisa memanfaatkan pendidikan spesial yang diberikan?
2.6 Bagaimana Anak
Dengan Gangguan Mendapatkan Pendidikan?
Pembagian pendidikan
anak yang mengalami gangguan pada umumnya dibagi menjadi 3 kriteria, yaitu saat
awal kanak - kanak, dasar, dan masa transisi hingga dewasa.
2.6.1
Kriteria Kanak - Kanak
Walaupun sebagian
besar tidak dilakukan penilaian terhadap masa usia kanak kanak yang terlalu
dini, disebabkan kesulitan untuk menentukan target yang dianggap masuk akal,
seringkali diberlakukan pelatihan sebagai bentuk tindakan preventif terhadap
keadaan anak. Para peneliti menyarankan agar tindakan preventif dilakukan agar
anak tidak mengalami gangguan pada masa selanjutnya. Biasanya hal yang
dilakukan oleh pada ahli adalah langsung mendatangi anak dan memisahkannya
dengan orang tua lalu mendidiknya secara langsung. Cara lain yang dilakukan
adalah dengan menggabung anak dengan anak lainnya.
2.6.2 Kriteria
Dasar
Pada tahap ini umumnya
difokuskan dengan latihan yang bersifat inklusif. Latihan ini berbentuk
kolaborasi tiap anak agar mampu membantu mereka yang mengalami gangguan.
Seperti memisahkan anak menjadi tiga kelompok, kelompok pertama diberikan
pemahaman dalam persoalan cerita, kelompok kedua, dimana anak mengalami
gangguan, dibantu oleh sang ahli patologi agar mampu memahami cerita, dan
kelompok terakhir diberikan kebebasan memberikan alternatif cerita.
2.6.3 Kriteria
Transisi Dan Dewasa
Pada tahap ini anak
harus didukung untuk menghargai dirinya sendiri secara jujur, dan harus dididik
agar harga dirinya berkembang. Pada tahap ini dukungan sangat berharga dan
membuat sang anak mampu mengontrol dirinya sendiri. Sebab pada tahap ini anak
bisa melampiaskan kekesalan terhadap dirinya dengan kekurangnnya dengan cara
yang bersifat agresif baik kepada diri sendiri atau orang lain.
2.7 Rekomendasi Latihan
Edukasi Untuk Murid Dengan Gangguan
Pada umumnya edukasi
dilakukan oleh kolaborasi antara guru dengan ahli patologi bahasa dan bicara.
Mereka bisa mengembangkan kurikulum agar sang anak mampu memperoleh kemampuan
yang layak dan juga berkualitas. Oleh karena itu sang guru harus bersifat
proaktif dalam perkembangan sang anak dan melaporkan perkembangan kepada sang
ahli patologi, serta ahli patologi harus selalu siap harus menyarankan metode
apa yang tepat dan dapat dilakukan sang guru.
Berdasarkan keterangan
Hill dan Romich, perkembangan teknologi sangat membantu pelatihan dan kemampuan
komunikasi anak dengan kebutuhan khusus. Alat - alat edukasi baik itu hardware ataupun software, seperti papan petunjuk bergambar yang sederhana hingga
aplikasi yang tersedia dalam komputer tablet, bisa digunakan oleh guru ataupun
murid sebagai sarana melatih kemampuan komunikasi.
2.8 Perspektif Orangtua
Dan Keluarga
Orang tua dan keluarga
juga memiliki peran untuk mengembangkan dan mendidik kemampuan anak untuk
kemampuan bahasa dan bicaranya. Warren menyarankan agar keluarga mampu
menyediakan tiga hal: (1) Menyiapkan lingkungan awal yang optimal agar anak mampu belajar bahasa dan
bicara secara optimal; (2) Belajar menemukan dan mengetahui identifikasi
keadaan anak yang mengalami gangguan bahasa dan bicara; (3) Menyadari bahwa
tindakan awal untuk mencegah gangguan tersebut harus dilaksanakan dari awal,
agar sang anak mampu berkembang secara optimal. Pendidik bisa mendorong orang
tua untuk mengembangkan kemampuan anak mereka dengan menyarankan, agar orang
tua sering berinteraksi dengan anak. Pada kasus tertentu dibutuhkan kerja
ekstra dari guru untuk membantu sang anak dan juga orang tua, dikarenakan
bahasa orang tua mereka sendiri bukanlah “bahasa ibu” yang diajarkan di
wilayahnya.
2.9 Tantangan Pada
Persoalan Gangguan Bahasa Dan Bicara
Tantangan utama yang
harus dihadapi oleh para pendidik dan ahli pada era kontemporer ini ada 2,
yaitu bagaimana mengidentifikasi gangguan ini dalam sudut pandang multikultural,
dan persoalan Central Auditory Processing
Disorder (CAPD).
Sebagaimana yang
penulis jabarkan pada subbab sebelumnya, gangguan utama yang harus dihadapi
pada era ini adalah keberagaman kultur. Merupakan tantangan yang sulit untuk
mengidentifikasi secara objektif, apakah sang anak benar - benar mengalami
gangguan atau hanya gangguan belajar dikarenakan perbedaan bahasa. Selain itu
pengaruh kewilayahan juga berpengaruh terhadap aksen dan ungkapan yang dipahami
sang anak. Hal tersebut juga akan mempersulit penilaian oleh guru ataupun sang
ahli patologi.
Persoalan lainnya
adalah persoalan CAPD. CAPD adalah gangguan seseorang untuk melaksanakan
perintah yang diterima dari telinganya, walaupun secara fisik tidak terjadi
kesalahan fungsi organ telinganya. Penyakit ini sering disebut juga sebagai dyslexia pada telinga. Walaupun banyak
kalangan yang menyangsikan penyakit ini, banyak para ahli yang melakukan
pencegahan terhadap anak. Anak yang mengalami penyakit ini memiliki gangguan
untuk menerima dan mengerti pesan yang bersifat oral, dibandingkan visual. Kesulitan
pada penilaian ini karena gejala penyakit yang dihasilkan hampir serupa dengan
penyakit lain seperti autisme dan sejenisnya.
BAB III
KESIMPULAN
Sebagai pendidik, kita
harus memperhatikan anak murid berdasarkan keunikan masing – masing. Pendidikan
anak berkebutuhan khusus menunjang kemampuan sang anak untuk bekal mereka di
masa depan. Hal itu menyebabkan seorang guru memerlukan keterampilan untuk
mempelajari hal – hal yang tidak hanya menunjang kemampuan mendidik, seperti
komitmen, latihan, pengalaman, dan pengetahuan tentang perkembangan dan metode
berkembang anak tetapi juga harus mempelajari cara beradaptasi serta menghadapi
persoalan sang anak dengan keterbatasannya sekaligus bekerja sama dengan
professi lainnya seperti ahli patologi.
Setelah kita mengetahui
bahwa gangguan bicara dan gangguan bahasa merupakan sebuah fakta yang hadir
ditengah kita. Merupakan kewajiban seorang guru untuk membantu mengembangkan
potensi mereka walaupun terkesan sulit. Penelitian juga banyak menunjukan bahwa
gangguan ini bisa hadir tidak hanya sekedar masalah biologis, bisa juga terjadi
karena pengaruh lingkungan. Untuk mengatasi pengaruh gangguan yang berasal dari
lingkungan dibutuhkan kerjasama tak hanya guru dan ahli patologi, tetapi juga
kontribusi orang tua serta keluarga. Sedangkan untuk mengatasi pengaruh
gangguan yang bersifat biologis bisa digunakan teknologi yang mampu menunjang
kemampuan komunikasi antara guru dan murid tersebut.
Sebagai penutup
penutup menyatakan bahwa pendidikan anak berkebutuhan khusus merupakan
keterampilan sang guru sebagai pendidik untuk membangkitkan rasa keingintahuan
dan pengetahuan sang anak dengan tetap memperhatikan kekurangan anak untuk
memaksimalkan kesempatan yang mampu diperolehnya dimasa depan. Sesuai dengan
yang dikatakan oleh New, Palsha dan Ritchie,
“Semua anak bisa dan mau belajar jika peralatan pengajaran tersedia
untuk mereka … Hal ini membutuhkan komitmen dari pada pengajar professional
untuk merepetisi dan mengolah kemampuan mereka untuk menciptakan kelas yang
mampu memaksimalkan kemampuan anak didik”[7]
DAFTAR
PUSTAKA
·
Bowman, B.,
Donovan, M. S., & Burns, M. S. (Eds.). (2000). Eager to learn: Educating
our preschoolers. Washington, DC: National Academy Press.
·
Child Care
Resources. (2007). Childhood Community News, July–September, Volume 16, Number
3. Seatlle, WA: A Publication Of Child Care Resources.
·
Click, P. M.,
& Parker, J. (2009). Caring for school-age children (5th ed.). Clifton
Park, NY: Wadsworth Cengage Learning.
·
Copple, C., &
Bredekamp, S. (Eds.). (2009). Developmentally appropriate practice (3rd ed.).
Washington, DC: NAEYC.
·
Erikson, E.
(1963). Childhood and society (2nd ed.). New York: Norton.
·
Friend, M. (2007).
Special Education Contemporary Perspectives for School Professionals (2nd
Edition). Boston: Allyn & Bacon.
·
Gardner, H.
(1993). Multiple intelligences: The theory in practice.New York: Basic Books.
·
Gardner, H.
(2001). An education for the future. Online at: http://www.pz.harvard.edu/
·
Gestwicki, C.
(2011). Developmentally appropriate practice: Curriculum and development in
early education (4th ed.). Clifton Park, NY: Wadsworth Cengage Learning.
·
Greenberg, P.
(2000, January). What wisdom should we take with us as we enter the new
century?—An interview with Millie Almy. Young Children, 55(1), 6–10.
·
Jackman, H. L.
(2012). Early Education Curriculum: A Child’s Connection to the World (5th
ed.). Balmont, CA: Wadsworth.
·
Honig, A. S.
(2002). Secure relationships: Nurturing infant/ toddler attachment in early
care settings. Washington, DC: NAEYC.
·
Klein, A. S.
(2002, Spring). Infant & toddler care that recognized their competence.
Dimensions of Early Childhood,30(2), 11–17.
·
Miller, E., &
Almon, J. (2009). Childhood: A time for play! Online at: National Kindergarten
Alliance: http://www.nkateach.org
·
New, R., Palsha,
S., & Ritchie. (2009). Issues in preK–3rd education: A FirstSchool
framework for curriculum and instruction. (#7). Chapel Hill, NC: The University
of North Carolina at Chapel Hill, FPG Child Development Institute, FirstSchool.
·
Piaget, J.
(1926). The language and thought of the child. NewYork: Harcourt Brace.
·
Piaget, J.
(1961). Play, dreams and imagination in childhood.New York: Norton.
·
Robinson, A.,
& Stark, D. R. (2002). Advocates in action. Washington, DC: NAEYC.
·
Rogers, F.
(2003). The world according to Mister Rogers: Important things to remember. New
York: Hyperion.
·
Seefeldt, C.,
& Barbour, N. (1998). Early childhood education (4th ed.). Upper Saddle
River, NJ: Merrill Prentice Hall.
·
Vygotsky, L. S.
(1978). Mind in society. Cambridge, MA: Harvard University Press.
[1]
“Please think of the children fi rst. If you ever have anything to do with
their entertainment, their food, their toys, their custody, their day or night
care, their health care, their education—listen to the children, learn about
them, learn from them. Think of the children first.” Rogers, F. (2003). The world according to Mister Rogers:
Important things to remember. New York: Hyperion.
[2]Friend, M. (2007). Special Education Contemporary
Perspectives for School Professionals (2nd Edition). Boston: Allyn & Bacon.
hlm 327.
[3]
Ibid, hlm 338
[4]
Ibid, hlm 339.
[5]
Ibid, 343
[6]
Ibid
[7]
“All children can and will learn when educational communities are ready for
them. . . . This requires a commitment that makes explicit the responsibility
of education professionals to broaden their repertoires and hone their skills
to create classrooms in which all children maximize their potential”
New, R., Palsha, S., &
Ritchie. (2009). Issues in preK–3rd
education: A FirstSchool framework for curriculum and instruction. (#7).
Chapel Hill, NC: The University of North Carolina at Chapel Hill, FPG Child Development
Institute, First School.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar