Page

Total Tayangan Halaman

Jumat, 15 November 2013

Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

BAB I
PENDAHULUAN
1.1        Latar Belakang
Pendidikan anak berkebutuhan khusus merupakan keterampilan sang guru sebagai pendidik untuk membangkitkan rasa keingintahuan dan pengetahuan sang anak dengan tetap memperhatikan kekurangan anak. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Freed Roger,
Perhatikan sang anak terlebih dahulu. Jika kalian berurusan dengan hiburan, makanan, mainan, peraturan, perawatan baik waktu siang atau malam hari, kesehatan, dan pendidikan mereka – dengarkan mereka, belajar tentang mereka, dan belajar dari mereka[1]
Sebagai pendidik, kita harus memperhatikan anak murid berdasarkan keunikan masing – masing. Pendidikan anak berkebutuhan khusus menunjang kemampuan sang anak untuk bekal mereka di masa depan. Hal itu menyebabkan seorang guru memerlukan keterampilan untuk mempelajari hal – hal yang tidak hanya menunjang kemampuan mendidik, seperti komitmen, latihan, pengalaman, dan pengetahuan tentang perkembangan dan metode berkembang anak tetapi juga harus mempelajari cara beradaptasi serta menghadapi persoalan sang anak dengan keterbatasannya sekaligus bekerja sama dengan professi lainnya seperti ahli patologi.
Oleh karena itu semua, makalah ini disusun dengan tujuan membantu seseorang agar mampu membuat kondisi dan kurikulum yang berfokus pada anak berkebutuhan khusus. Pembahasan makalah ini tidak hanya berkutat pada persoalan metode praktis saja, tetapi juga akan menerangkan dasar teori serta dasar filosofis anak dengan kebutuhan khusus yang pada kali ini berfokus pada gangguan bahasa dan gangguan bicara.
Pada bab II penulis akan menjabarkan aspek historis tentang pendidikan anak dengan gangguan bahasa dan gangguan bicara, teori cara belajar, persoalan sosial dan cultural yang dihadapi guru, cara identifikasi, penggunaan teknologi tepat guna kepada anak, serta komunikasi terhadap orangtua sang anak dengan kebutuhan khusus.
Pada bab III penulis akan menuliskan kesimpulan persoalan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang bersifat konstruktif, dengan tujuan menambah pengetahuan.
Untuk pembahasan ini penulis akan menggunakan referensi buku Marilyn Friend, yang berjudul Special Education: Contemporary Perspectives For School Professionals. Terutama pada Chapter 9: Students With Speech And Language Disorders dan penulis juga menggunakan referensi lainnya terutama media elektronik, yaitu internet.

BAB II
GANGGUAN BICARA” DAN “GANGGUAN BAHASA”

2.1        Apakah Itu “Gangguan Bicara” Dan “Gangguan Bahasa”
 Kegiatan pendidikan yang memfokuskan diri pada gangguan anak pada kemampuan bicara dan gangguan bahasa sudah dimulai secara pesat sejak dua dekade ini. berdasarkan O’ Neill perkembangan studi tentang gangguan bicara dan gangguan bahasa dimulai sejak awal abad ke-19 di wilayah eropa. Pada masa itu difokuskan dengan permasalahan bagaimana mereka mampu berkomunikasi baik secara suara (metode oral) ataupun simbol (metode manual). Teks tertua yang membahas tentang penyakit ini diketahui ditulis oleh S.C.L. Potter pada tahun 1802, hal ini memberi pengaruh, terutama kepada Mrs. Leight, untuk menyusun suatu metode penyembuhan terhadap anak dengan gangguan bicara dan bahasa.[2]
Secara historis pada awalnya banyak orang yang memfokuskan diri untuk menyelesaikan persoalan ini dengan kemampuan profesi yang berbeda –beda seperti  dokter, apoteker dan guru, tetapi, menurut O’ Neill, pembahasan secara formal ini dimulai pada tahun 1930. Bahkan pada taun 1918, oleh para guru, dirancang suatu organisasi yang berfokus pada permasalahan ini yang disebut National Society For The Student And Correction Of Speech Disorder. Hingga pada akhirnya berkembang menjadi Amerika Speech Language Hearing Association (ASHA). Pada pasca perang dunia kedua kebutuhan tentang pendidikan ini juga semakin pesat dan berkembang. Bahkan telah diteliti oleh Duchan, bahwa pada era ini penelitian memasukkan unsur neurologi di dalamnya. Sedangkan pada era kontemporer ini pemahaman tentang gangguan anak lebih ditekankan kepada persoalan kemampuan komunikasi.
2.2              Pengertian “Gangguan Bicara” Dan “Gangguan Bahasa”
Penekanan pada era kontemporer yang lebih membahas masalah komunikasi merupakan persoalan terkini. Komunikasi didefinisikan oleh Lue sebagai pertukaran informasi dan pengetahuan dari partisipan. Komunikasi membutuhkan 5 unsur yaitu, pesan, pengirim, penerima, channel, dan timbal balik.
a.       Pesan adalah informasi atau pengetuhuan.
b.      Pengirim adalah orang mengirim pesan.
c.       Penerima adalah orang yang menerima pesan.
d.      Channel adalah rute yang harus ditempuh pesan atau medium.
e.       Timbal balik adalah proses membalas informasi atau pengetahuan yang diterima.
Sebelum membahas tentang gangguan bicara dan gangguan bahasa secara detail. Penulis akan menjabarkan tentang pengertian bahasa dan bicara terlebih dahulu pada subbab berikutnya.
2.2.1        Pengertian Bahasa Dan Bicara
Berdasarkan ASHA bahasa adalah system simbol, yang diatur dari peraturan yang kompleks dan digunakan individu untuk komunikasi serta tergantung dari budayanya. Bahasa itu sendiri memiliki tiga konten yaitu bentuk, isi, dan kegunaan. Dari tiga komponen tersebut  terdapat dimensi bahasanya masing masing. Pada bentuk terdapat phonologi, morphologi,dan sintaks. Pada isi terdapat semantik dan pada kegunaan terdapat pragmatis.
Komponen bahasa
Dimensi bahasa
keterangan
Bentuk
Phonologi
Kemampuan mendengar, membedakan jenis suara, dan penggunaan suara dari bahasa dengan tepat.
Morphologi
Kemampuan mengkombinasikan suara dari unit terkecil dalam bahasa seperti kata kentang ataupun bagian dari huruf seperti pre-, -er.
Sintaks
Peraturan bahasa.
Isi
Semantik
Kemampuan memahami dan menggunakan bahasa secara tepat.
Kegunaan
Pragmatis
Penggunaan bahasa  dalam kegunaan sosial.
Sedangkan pada bicara, yang difokuskan adalah bagaimana suara tersebut mampu keluar dan terdengar sesuai dengan kaidah bahasa. Berdasarkan Lue bicara memiliki 4 dimensi yang mampu diketahui yaitu:
Dimensi bicara
Keterangan
Suara
Terbagi menjadi 3 berdasarkan komponennya yaitu laras, intensitas, dan kualitas.
Resonansi
Adalah suara yang dipengaruhi dan berasal dari hidung.
Artikulasi
Kejelasan dalam pengularan suara.
Kemahiran (Fluently)
Kemampuan untuk berbicara secara tenang dan biasa.
2.2.2    Persoalan “Gangguan Bahasa” Dan “Ganguan Bicara”
Gangguan bahasa muncul ketika anak salah memahami kegunaan, kaidah, dan peraturan dalam bahasa. Jenis - jenis gangguan pada bahasa:
-          Spesific Language Disorder Phonologi, ketidakmampuan untuk memperoleh pengetahuan disebabkan kesulitan membedakan kata dengan pengucapan yang hampir serupa.
-          Keanehan sintaksis, ketidakmampuan menggunakan kaidah bahasa dengan benar.
-          Gangguan memahami ungkapan semantik. Ketidakmampuan memahami kegunaan kata, terutama pada ungkapan.
-          Gangguan pragmatis berkomunikasi dan mendominasi percakapan.
Terkadang permasalahan muncul tidak hanya dalam satu dimensi bisa sekaligus seperti, Language Delay (keterlambatan bahasa), Aphasia (kerusakan otak), dan Central Auditory Processing Disorder.
Gangguan pada bicara muncul ketika seorang anak menggunakan suaranya secara tidak tepat pada resonance, kualitas vokal, dan laras. Jenis gangguan pada bicara terbagi pada artikulasi dan kemahiran.
 Jenis gangguan pada gangguan artikulasi:
-Omissions, kekurangan huruf yang dibaca (Panas menjadi Anas)
-Subtitusion, perubahan huruf yang dibaca (Susu menjadi Yuyu)
-Addition, penambahan huruf yang dibaca (Kucing menjadi Kueciuunng)
Jenis gangguan pada kemahiran
-Sluttering, kemampuan bicara yang gagap dan aneh (a-a-ada, atau aaada)
-Cluttering, memberikan atau menghilangkan jeda pada suatu kalimat ( a…yam gore…ng, atau ayamgorengdannasiputih)
Terkadang permasalahan muncul tidak hanya dalam satu dimensi bisa sekaligus dan hal ini disebut dengan Childhood Apraxia Of Speech.
2.3              Penyebab Gangguan Bahasa Dan Gangguan Bicara
Biasanya gangguan ini dibagi dua secara umum, yaitu penyebab biologis dan penyebab lingkungan.
2.3.1        Penyebab Biologis
Pada umumnya hal ini disebabkan oleh kerusakan pada bagian otak. Hal ini bisa disebabkan oleh anoxia (kekurangn oksigen) saat mengandung, kesalahan asupan oleh sang ibu saat kandungan, atau berupa penyakit keturunan, selain itu bisa juga disebabkan oleh bibir sumbing.[3]
2.3.2        Penyebab Lingkungan
Lingkungan seperti kebersihan, dan asuhan juga bisa memberikan dampak kepada pengaruh kemampuan bahasa dan bicara. berdasarkan penelitian National Institute On Deafness And Other Communication Disorder, infeksi telinga yang dibiarkan secara terus menerus dan asuhan yang buruk, seperti membentak ketika sang anak sedang berusaha berkomunikasi juga menyebabkan gangguan bicara dan bahasa.[4] Tambahan lainnya adalah pengaruh lingkungan yang sifatnya sosial seperti masalah kemiskinan.
2.3.3        Persoalan Gangguan Bahasa
Walaupun perkembangan teknologi bisa membantu penyelidikan tentang penyebab suatu gangguan terkadang ada gangguan yang tetap tidak bisa diketahui. Penyebab yang bisa diketahui tersebut dinakan organic sedangkan yang tidak diketahui disebut sebagai functional.
2.4              Karakteristik Individu Yang Mengidap Gangguan Bahasa Dan Gangguan Bicara
2.4.1        Akademik Dan Kognitif
Secara umum tidak dapat diketahui apakah seseorang yang mengidap ini kemampuan berpikirnya kurang dibandingkan yang lain, tetapi, berdasarkan Lewis, Freebairn dan Taylor, jika seorang anak menunjukan gejala tersebut dan tidak diatasi akan menyebabkan keterlambatan dalam kemampuan belajar. Berdasarkan Cats, Gillispie, Leonard, Kail, dan Miller, gangguan yang akan dihadap anak adalah kemampuannya untuk membaca, memahami, mendengar, dan menyampaikan kembali suatu ilmu yang diketahuinya dari bacaan ataupun ucapan.
2.4.2        Karakteristik Sosial Dan Emosional
Hal yang akan dihadapi oleh anak yang mengidap gangguan adalah penilaiannya terhadap dirinya sendiri, karena merasa berbeda dan sulit untuk berkomunikasi dengan lainnya. Selain itu mereka juga rentan menjadi bahan ejekan temannya terutama yang kekurangan dalam fluenty. Berdasarkan Wood dan Valdez – Menchaca, masalah ini terkadang salah dipahami oleh orang dewasa dan malah menilai anak yang mengalami kekurang tersebut secara negatif.[5]
2.4.3    Perilaku Karakteristik
Anak - anak yang tidak bisa mengungkapkan kebutuhan mereka dalam kata-kata kadang-kadang relaksasi untuk perilaku yang tidak pantas, seperti balita yang menggigit teman bermainnya untuk mendapatkan mainan yang diinginkannya. Pola serupa juga bisa dilihat di kalangan siswa usia sekolah yang memiliki gangguan bicara dan bahasa. Siswa penyandang cacat tersebut berada pada risiko tinggi untuk masalah perilaku dan bahkan untuk yang diidentifikasi memiliki cacat emosional dan perilaku. Hooper, Roberts, Zeisel, dan Poe melihat apakah siswa TK reseptif dan ekspresif dalam kemampuan berbahasanya berhubungan dengan gurunya. Mereka menemukan bahwa masalah gangguan tersebut berpengaruh pada kemampuan mereka. Oleh karena itu semua dibutuhkan pendidik professional, ahli patologi bahasa dan orang tua untuk mencegah gangguan ini berkembang.[6]
2.4.4    Gangguan  Lainnya
Terkadang gangguan bahasa dan gangguan bicara bisa terjadi dan menyebabkan kerusakan pada kehidupannya, yang sering disebut dengan komorbiditas. Hal ini membutuhkan kita sebagai seorang pendidik harus mampu menjaga serta merawat anak yang memiliki gangguan bahasa dan bicara tidak hanya dari sudut pandang kemampuan komunikasinya jaga, tetapi juga “kehidupannya.”
2.5              Identifikasi Gangguan Bahasa Dan Bicara
Pada umumnya cara mengetahui gangguan ini diketahui melalui dua cara yaitu, assessment dan eligibility.
2.5.1        Assesment
Adalah proses pengumpulan data, biasanya menggunakan lembar tugas, bisa melalui percakapan secara langsung dan keterangan dari guru dan murid. Pada gangguan bicara biasanya sang guru mengetahuinya dengan memberikan tugas kepada anak seperti melanjutkan kalimat, bermain pengucapan bahasa, dan lain sebagainya. Harus tetap diingat bahwa keberhasilan anak menjawab bukan berarti menunjukan secara pasti kemampuan sang anak, karena harus dikehidupan kesehariannya bisa jadi berbeda. Sedangkan pada gangguan bahasa hal ini dapat diketahui dengan memberikan tugas yang berhubungan dengan kalimat, seperti penggunaan tanda baca, cara memahami makna, penggunaan grammar yang benar dan lain sebagainya. Sangat perlu diperhatikan, bahwa terkadang pendidik terhalang oleh kendala seperti penggunaan bahasa yang berbeda dan kultur yang berbeda dengan murid, seperti anak yang dalam kulturnya berbicara panjang lebar hanya diijinkan dengan orang yang dekat. Oleh karenanya latar belakang murid harus diperhatikan dan tidak bisa secara gampang menyamaratakan penilaian.
2.5.2        Eligibility
Adalah penilaian apakah seorang bisa dikatakan pantas untuk dianggap mengalami gangguan. Penilaian dianggap penting, agar tidak terjadi kesalahan penafsiran terhadap kondisi anak.
Kita bisa menyederhanakan menjadi 3 pertanyaan.
1.      Apakah kemampuan anak pada umur “x” tersebut bisa dianggap sebagai gangguan atau sekedar masalah bahasa?
2.      Apakah gangguan tersebut mempengaruhi perkembangan pendidikan anak?
3.      Apakah anak tersebut bisa memanfaatkan pendidikan spesial yang diberikan?
2.6       Bagaimana Anak Dengan Gangguan Mendapatkan Pendidikan?
Pembagian pendidikan anak yang mengalami gangguan pada umumnya dibagi menjadi 3 kriteria, yaitu saat awal kanak - kanak, dasar, dan masa transisi hingga dewasa.
2.6.1        Kriteria Kanak - Kanak
Walaupun sebagian besar tidak dilakukan penilaian terhadap masa usia kanak kanak yang terlalu dini, disebabkan kesulitan untuk menentukan target yang dianggap masuk akal, seringkali diberlakukan pelatihan sebagai bentuk tindakan preventif terhadap keadaan anak. Para peneliti menyarankan agar tindakan preventif dilakukan agar anak tidak mengalami gangguan pada masa selanjutnya. Biasanya hal yang dilakukan oleh pada ahli adalah langsung mendatangi anak dan memisahkannya dengan orang tua lalu mendidiknya secara langsung. Cara lain yang dilakukan adalah dengan menggabung anak dengan anak lainnya.
2.6.2    Kriteria Dasar
Pada tahap ini umumnya difokuskan dengan latihan yang bersifat inklusif. Latihan ini berbentuk kolaborasi tiap anak agar mampu membantu mereka yang mengalami gangguan. Seperti memisahkan anak menjadi tiga kelompok, kelompok pertama diberikan pemahaman dalam persoalan cerita, kelompok kedua, dimana anak mengalami gangguan, dibantu oleh sang ahli patologi agar mampu memahami cerita, dan kelompok terakhir diberikan kebebasan memberikan alternatif cerita.
2.6.3    Kriteria Transisi Dan Dewasa
Pada tahap ini anak harus didukung untuk menghargai dirinya sendiri secara jujur, dan harus dididik agar harga dirinya berkembang. Pada tahap ini dukungan sangat berharga dan membuat sang anak mampu mengontrol dirinya sendiri. Sebab pada tahap ini anak bisa melampiaskan kekesalan terhadap dirinya dengan kekurangnnya dengan cara yang bersifat agresif baik kepada diri sendiri atau orang lain.
2.7       Rekomendasi Latihan Edukasi Untuk Murid Dengan Gangguan
Pada umumnya edukasi dilakukan oleh kolaborasi antara guru dengan ahli patologi bahasa dan bicara. Mereka bisa mengembangkan kurikulum agar sang anak mampu memperoleh kemampuan yang layak dan juga berkualitas. Oleh karena itu sang guru harus bersifat proaktif dalam perkembangan sang anak dan melaporkan perkembangan kepada sang ahli patologi, serta ahli patologi harus selalu siap harus menyarankan metode apa yang tepat dan dapat dilakukan sang guru.
Berdasarkan keterangan Hill dan Romich, perkembangan teknologi sangat membantu pelatihan dan kemampuan komunikasi anak dengan kebutuhan khusus. Alat - alat edukasi baik itu hardware ataupun software, seperti papan petunjuk bergambar yang sederhana hingga aplikasi yang tersedia dalam komputer tablet, bisa digunakan oleh guru ataupun murid sebagai sarana melatih kemampuan komunikasi.
2.8       Perspektif Orangtua Dan Keluarga
Orang tua dan keluarga juga memiliki peran untuk mengembangkan dan mendidik kemampuan anak untuk kemampuan bahasa dan bicaranya. Warren menyarankan agar keluarga mampu menyediakan tiga hal: (1) Menyiapkan lingkungan awal yang  optimal agar anak mampu belajar bahasa dan bicara secara optimal; (2) Belajar menemukan dan mengetahui identifikasi keadaan anak yang mengalami gangguan bahasa dan bicara; (3) Menyadari bahwa tindakan awal untuk mencegah gangguan tersebut harus dilaksanakan dari awal, agar sang anak mampu berkembang secara optimal. Pendidik bisa mendorong orang tua untuk mengembangkan kemampuan anak mereka dengan menyarankan, agar orang tua sering berinteraksi dengan anak. Pada kasus tertentu dibutuhkan kerja ekstra dari guru untuk membantu sang anak dan juga orang tua, dikarenakan bahasa orang tua mereka sendiri bukanlah “bahasa ibu” yang diajarkan di wilayahnya.


2.9       Tantangan Pada Persoalan Gangguan Bahasa Dan Bicara
Tantangan utama yang harus dihadapi oleh para pendidik dan ahli pada era kontemporer ini ada 2, yaitu bagaimana mengidentifikasi gangguan ini dalam sudut pandang multikultural, dan persoalan Central Auditory Processing Disorder (CAPD).
Sebagaimana yang penulis jabarkan pada subbab sebelumnya, gangguan utama yang harus dihadapi pada era ini adalah keberagaman kultur. Merupakan tantangan yang sulit untuk mengidentifikasi secara objektif, apakah sang anak benar - benar mengalami gangguan atau hanya gangguan belajar dikarenakan perbedaan bahasa. Selain itu pengaruh kewilayahan juga berpengaruh terhadap aksen dan ungkapan yang dipahami sang anak. Hal tersebut juga akan mempersulit penilaian oleh guru ataupun sang ahli patologi.
Persoalan lainnya adalah persoalan CAPD. CAPD adalah gangguan seseorang untuk melaksanakan perintah yang diterima dari telinganya, walaupun secara fisik tidak terjadi kesalahan fungsi organ telinganya. Penyakit ini sering disebut juga sebagai dyslexia pada telinga. Walaupun banyak kalangan yang menyangsikan penyakit ini, banyak para ahli yang melakukan pencegahan terhadap anak. Anak yang mengalami penyakit ini memiliki gangguan untuk menerima dan mengerti pesan yang bersifat oral, dibandingkan visual. Kesulitan pada penilaian ini karena gejala penyakit yang dihasilkan hampir serupa dengan penyakit lain seperti autisme dan sejenisnya.

BAB III
KESIMPULAN
Sebagai pendidik, kita harus memperhatikan anak murid berdasarkan keunikan masing – masing. Pendidikan anak berkebutuhan khusus menunjang kemampuan sang anak untuk bekal mereka di masa depan. Hal itu menyebabkan seorang guru memerlukan keterampilan untuk mempelajari hal – hal yang tidak hanya menunjang kemampuan mendidik, seperti komitmen, latihan, pengalaman, dan pengetahuan tentang perkembangan dan metode berkembang anak tetapi juga harus mempelajari cara beradaptasi serta menghadapi persoalan sang anak dengan keterbatasannya sekaligus bekerja sama dengan professi lainnya seperti ahli patologi.
Setelah kita mengetahui bahwa gangguan bicara dan gangguan bahasa merupakan sebuah fakta yang hadir ditengah kita. Merupakan kewajiban seorang guru untuk membantu mengembangkan potensi mereka walaupun terkesan sulit. Penelitian juga banyak menunjukan bahwa gangguan ini bisa hadir tidak hanya sekedar masalah biologis, bisa juga terjadi karena pengaruh lingkungan. Untuk mengatasi pengaruh gangguan yang berasal dari lingkungan dibutuhkan kerjasama tak hanya guru dan ahli patologi, tetapi juga kontribusi orang tua serta keluarga. Sedangkan untuk mengatasi pengaruh gangguan yang bersifat biologis bisa digunakan teknologi yang mampu menunjang kemampuan komunikasi antara guru dan murid tersebut.
Sebagai penutup penutup menyatakan bahwa pendidikan anak berkebutuhan khusus merupakan keterampilan sang guru sebagai pendidik untuk membangkitkan rasa keingintahuan dan pengetahuan sang anak dengan tetap memperhatikan kekurangan anak untuk memaksimalkan kesempatan yang mampu diperolehnya dimasa depan. Sesuai dengan yang dikatakan oleh New, Palsha dan Ritchie,
Semua anak bisa dan mau belajar jika peralatan pengajaran tersedia untuk mereka … Hal ini membutuhkan komitmen dari pada pengajar professional untuk merepetisi dan mengolah kemampuan mereka untuk menciptakan kelas yang mampu memaksimalkan kemampuan anak didik[7]


DAFTAR PUSTAKA
·         Bowman, B., Donovan, M. S., & Burns, M. S. (Eds.). (2000). Eager to learn: Educating our preschoolers. Washington, DC: National Academy Press.
·         Child Care Resources. (2007). Childhood Community News, July–September, Volume 16, Number 3. Seatlle, WA: A Publication Of Child Care Resources.
·         Click, P. M., & Parker, J. (2009). Caring for school-age children (5th ed.). Clifton Park, NY: Wadsworth Cengage Learning.
·         Copple, C., & Bredekamp, S. (Eds.). (2009). Developmentally appropriate practice (3rd ed.). Washington, DC: NAEYC.
·         Erikson, E. (1963). Childhood and society (2nd ed.). New York: Norton.
·         Friend, M. (2007). Special Education Contemporary Perspectives for School Professionals (2nd Edition). Boston: Allyn & Bacon.
·         Gardner, H. (1993). Multiple intelligences: The theory in practice.New York: Basic Books.
·         Gardner, H. (2001). An education for the future. Online at: http://www.pz.harvard.edu/
·         Gestwicki, C. (2011). Developmentally appropriate practice: Curriculum and development in early education (4th ed.). Clifton Park, NY: Wadsworth Cengage Learning.
·         Greenberg, P. (2000, January). What wisdom should we take with us as we enter the new century?—An interview with Millie Almy. Young Children, 55(1), 6–10.
·         Jackman, H. L. (2012). Early Education Curriculum: A Child’s Connection to the World (5th ed.). Balmont, CA: Wadsworth.
·         Honig, A. S. (2002). Secure relationships: Nurturing infant/ toddler attachment in early care settings. Washington, DC: NAEYC.
·         Klein, A. S. (2002, Spring). Infant & toddler care that recognized their competence. Dimensions of Early Childhood,30(2), 11–17.
·         Miller, E., & Almon, J. (2009). Childhood: A time for play! Online at: National Kindergarten Alliance: http://www.nkateach.org
·         New, R., Palsha, S., & Ritchie. (2009). Issues in preK–3rd education: A FirstSchool framework for curriculum and instruction. (#7). Chapel Hill, NC: The University of North Carolina at Chapel Hill, FPG Child Development Institute, FirstSchool.
·         Piaget, J. (1926). The language and thought of the child. NewYork: Harcourt Brace.
·         Piaget, J. (1961). Play, dreams and imagination in childhood.New York: Norton.
·         Robinson, A., & Stark, D. R. (2002). Advocates in action. Washington, DC: NAEYC.
·         Rogers, F. (2003). The world according to Mister Rogers: Important things to remember. New York: Hyperion.
·         Seefeldt, C., & Barbour, N. (1998). Early childhood education (4th ed.). Upper Saddle River, NJ: Merrill Prentice Hall.
·         Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society. Cambridge, MA: Harvard University Press.




[1] “Please think of the children fi rst. If you ever have anything to do with their entertainment, their food, their toys, their custody, their day or night care, their health care, their education—listen to the children, learn about them, learn from them. Think of the children first.” Rogers, F. (2003). The world according to Mister Rogers: Important things to remember. New York: Hyperion.                                             

[2]Friend, M. (2007). Special Education Contemporary Perspectives for School Professionals (2nd Edition). Boston: Allyn & Bacon. hlm 327.
[3] Ibid, hlm 338
[4] Ibid, hlm 339.
[5] Ibid, 343
[6] Ibid
[7] “All children can and will learn when educational communities are ready for them. . . . This requires a commitment that makes explicit the responsibility of education professionals to broaden their repertoires and hone their skills to create classrooms in which all children maximize their potential” New, R., Palsha, S., & Ritchie. (2009). Issues in preK–3rd education: A FirstSchool framework for curriculum and instruction. (#7). Chapel Hill, NC: The University of North Carolina at Chapel Hill, FPG Child Development Institute, First School.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar