Page

Total Tayangan Halaman

Kamis, 30 Mei 2013

Lilith Dan Kepemilikan Tubuh


Lilith Dan Kepemilikan Tubuh
Oleh Adam Azano Satrio, 0906522861

Pendahuluan
Agama, diakui ataupun tidak merupakan metode pembentuk kesadaran manusia dalam proses kebudayaannya. Perkembangan doktrin agama itu sering dilandaskan pada kisah – kisah yang belum tentu benar secara historis ataupun benar secara saintis, namun doktrin tersebut bisa sangat melekat secara sadar ataupun tidak sadar dalam kesadaran manusia. Agama pulalah yang membangun fondasi kesadaran tentang kebudayaan patriakal dalam kehidupan manusia.
            Lilith, salah satu tema yang bisa diambil dan berpengaruh dalam kebudayaan patriakal dalam model agama “langit”. Sebagai sebuah mitos yang terbungkus dalam budaya judaisme yang bisa dianggap sebagai bentuk alternatif mengapa perempuan menjadi legal untuk di subordinasi oleh laki – laki karena mengandung kekuatan agama di dalamnya. Bentuk subordinasi ini merupakan bentuk yang unik dari sudut pandang agama samawi dimana perempuan yang menuntut kesetaraan adalah bentuk penyelewengan terhadap perintah “langit”.
            Pada kali ini penulis akan mengangkat tema Lilith dalam agama yahudi, yang penulis yakini secara tak sadar juga mempengaruhi agama samawi selanjutnya, dan membahasnya dengan menggunakan epistemology milik Kate Millet untuk membongkar persoalan feminisme.
Perihal Lilith
Permasalahan ada atau tidaknya pasangan adam sebelum Eva, yaitu Lilith dimulai dari pernyataan dalam kitab genesis dibawah ini
And God said, Let us make man in our image, after our likeness: and let them have dominion over the fish of the sea, and over the fowl of the air, and over the cattle, and over all the earth, and over every creeping thing that creepeth upon the earth. So God created man in his own image, in the image of God created he him; male and female created he them. Genesis 1: 26-27
Di dalam teks tersebut masih dapat ditafsirkan bahwa ada kemungkinan bahwa Tuhan menciptakan perempuan dengan citra yang serupa dengan dirinya, yang berarti memungkinkan bahwa perempuan pertama yang diciptakan bisa jadi memiliki keserupaan dengan pria.
Menurut kaum Yahudi dari tulisan Rabbi Ben Sira sebelum Eva muncul, Adam sudah memiliki pasangan bernama Lilith yang juga tercipta dari tanah. Permasalahan muncul ketika Adam dan Lilith ingin berhubungan seks, Lilith menolak untuk berbaring di bawah Adam dengan argumen bahwa mereka terbuat dari zat yg sama, yaitu tanah, sehingga memiliki derajat yang sejajar sehingga tidak pantas Adam memerintahkan dirinya. [1]Lilith kemudian kabur ke dekat laut merah, Adam kemudian melaporkan hal ini pada Tuhan yang akhirnya menugaskan tiga malaikat, yaitu Sanvi, Sansanvi, & Semangelaf utk menjemput Lilith untuk kembali ke surge, tapi Lilith menolak dijemput tiga malaikat tersebut.
Dikatakan karena Lilith membangkang maka Tuhan menciptakan kembali pasangan untuk Adam dari tulang rusuknya supaya lebih patuh, dan Adam tidak akan mengalami kejadian yang sama kedua kalinya, dan pasangan tersebut seperti yang kita kenal selama ini bernama, Eva. [2]
Analisa
            Menjadi hal yang menarik bahwa dalam mitos agama inipun perempuan sudah memiliki tugas essensial menjadi pembantu dan memiliki posisi di bawah laki – laki, dan bentuk protes terhadap hal tersebut dianggap oleh agama merupakan hal yang sudah lumrah. Bentuk penolakan opresi untuk mendapatkan kesetaraan yang dilakukan Lilith terhadap Adam untuk berada dibawah, secara literal ataupun metaphor, merupakan bentuk kesesatan dan perlawanan terhadap agama.
Kate Millet, seorang pemikir yang berasal dari Amerika. Kate Millet merupakan pemikir feminist radikal yang terkenal melalui karya disertasinya yang berjudul Sexual Politics. Kate Miller secara tegas melaui karyanya tersebut menentang bentuk kekuasaan politik yang telah dibangun oleh laki – laki. Menurutnya semua yang dirasakan perempuan pada masanya, merupakan dampak sistemik dari hasil karya sistem perpolitikan patriakal yang dibangun selama.

Kate Millet menganalisa dengan dasar epistemologi kecurigaan dalam literatur – literatur yang diciptakan laki - laki dan mengatakan bahwa anggapan dan stereotyping tentang perempuan terjadi di dalam literatur tersebut. Dengan menggunakan konsep epistemologinya penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam literatur tentang agama dalam kasus ini mitos Lilith memiliki hubungan dengan agama[3], terutama agama “langit”, telah terpatri bentuk stereotyping tentang tugas perempuan, yang telah terjadi semenjak dahulu. Yaitu tugas perempuan adalah menjadi pembantu laki – laki. Walaupun ada teks yang menunjukan kesalahan laki – laki dalam ketidakmauan mengakui bahwa ada kesetaraan perempuan dengan laki laki yang sah secara akal sehat, seperti argumen yang  dilakukan Lilith kepada Adam bahwa keduanya berasal dari sumber zat yang sama, yaitu tanah dan citra Tuhan, tetapi hal tersebut dibungkus dengan pernyataan bahwa tetap saja perempuan salah dan pada akhirnya dihukum oleh Tuhan. Selain itu pernyataan bahwa Lilith yang sebenarnya memiliki tubuhnya sendiri menjadi “berdosa” karena tidak mau menuruti kemauan Adam. Terlihat bahwa kepemilikan tubuh perempuan atas tubuhnya sendiri akan menjadi suatu permasalahan yang akan ditentang dan dipermasalahkan dalam pola pikir pemikiran patriakal, yang tidak ingin keadan suproritasnya terganggu[4].
Teks dan keterangan tentang Lilith ini menurut penulis menjadi penting karena tidak adanya alternatif teks yang berbasis agama “langit” yang mampu memberikan penilaian dasar tentang kesalahan pola pikir patriakal yang kuat.[5] Selain itu adanya teks ini bisa menjadi pintu masuk, yang selama ini sebenarnya tidak tertutup, terhadap posisi perempuan dalam ajaran agama “langit”.
           



[1] Adam and Lilith immediately began to fight. She said, ‘I will not lie below,’ and he said, ‘I will not lie beneath you, but only on top. For you are fit only to be in the bottom position, while I am to be the superior one.’ Lilith responded, ‘We are equal to each other inasmuch as we were both created from the earth.’ But they would not listen to one another. Alphabet Ben Sira http://jewishchristianlit.com/Topics/Lilith/alphabet.html
[2]And the Lord God caused a deep sleep to fall upon Adam, and he slept: and he took one of his ribs, and closed up the flesh instead thereof; And the rib, which the Lord God had taken from man, made he a woman, and brought her unto the man. -Genesis 2:21-22

[3] Penulis mengambil langkah teks suci harus mampu didesakralisi, dengan tujuan mampu memberikan alternatif penilaian dalam kasus ini.
[4] Penulis berspekulasi bahwa hal inilah yang menyebabkan teks suci tersebut kemudian mengangkat Eva menjadi contoh perempuan yang lebih baik dibandingkan Lilith, selain kepimilikan tubuhnya berasal dari laki – laki juga digambarkan bahwa perempuan seperti Eva adalah sosok yang penurut terhadap Adam
[5] Mengingat bahwa yahudi dalam sejarah agama “langit” merupakan permulaan sistemik yang pada akhirnya berujung pada ajaran Kristiani dan Islam.

Minggu, 26 Mei 2013

Paradigma Pendidikan Skolastik


Paradigma Pendidikan Skolastik
Oleh :
A.A.Bagus Pratama Putra, 0906631774
Adam Azano Satrio, 0906522861

Pendahuluan
Dari seluruh aliran filsafat pendidikan berujung pada kelahiran ragam paradigma. Setiap paradigma akan menujukan karakter yang sesuai dengan karakter aliran - aliran yang dianutnya. Paradigma - paradigma pendidikan yang berkembang selama ini bisa dikategorikan dalam tiga kelompok  besar, yaitu paradigma pendidikan konservatif, liberal, dan kritis. Kesemuanya itu memiliki akar filosofis  yang berbeda-beda. Pada kali ini kami memfokuskan untuk membahas pada paradigm pendidikan skolastik dan perkembangannya, yang diakhiri dengan memberikan model pendidikan skolastik yang ada di Indonesia, yaitu pesantren dan seminari.
Perihal paradigma pendidikan skolastik
Akhir abad 12 hingga awal abad 13 berkembang dan berdirinya universitas - universitas pertama di Eropa seperti Bologna di Italia untuk studi hukum, Montpellier, Oxford, Paris studi Teologi, Salerno (Italy), studi kedokteran. Bersamaan dengan itu munculnya ordo-ordo Fransiskan dan Dominikan. Sejak itu, naskah filsafat Yunani yang semula hanya ada dalam bahasa Yunani yang diwarisakann melalui tradisi Byzantium, Eropa Timur dan terjemahan dalam bahasa Arab, diterjemahkan kedalam bahasa Latin. Maka mulai berkembanglah filsafat Yunani di Eropa Barat sebagai modal hadirnya pendidikan berparadigma skolastik.
Hampir semua karya Aristoteles terutama buku-buku komentar karangan Ibnu Sina dan Ibnu Rushd diterjemahkan kedalam bahasa Latin, dipelajari, dikritik dan diteliti dengan cermat oleh Thomas Aquinas (1225-1274).[1] Naskah tersebut telah menjadi bacaan menarik bagi pembaca berbahasa Latin. Sebelumnya hingga abad 12, hanya sedikit sekali karya filsuf Yunani, termasuk karya Aristoteles yang diterjemahkan menjadi bahasa Latin. Perkembangan ajaran Aristoteles tersebut, yang aksesnya terbatas pada akademisi gereja, menyebabkan kuatnya kekuasaan gereja dan menemukan argumen untuk membela agama secara filosofis.
Paradigma pendidikan konservatif yang berkembang menjadi paradigma skolastik di barat tersebut bersifat perenialis sekaligus esensialis.  Ketika peradaban barat didominasi oleh otoritas gereja, pada saat itu manusia tidak memiliki kuasa untuk merubah segala macam  tatanan sosial yang ada. Otoritas sepenuhnya menjadi milik gerja, sehingga para  pendeta seolah mewakili kehendak dan perwujudan Tuhan di dunia. Bahkan bisa dikatakan melewati batas sehingga sangat fatal.
Paradigma skolastik yang bernuansa fatalistik telah menempatkan objek manusia sebagai objek pasif. Kehadiran manusia di dunia sebenarnya hanya sekedar menjalankan sabda Tuhan yang telah termaktub dalam suratan takdir. Inilah karakter perenialistik sehingga dia hanya menjadi pelaksana pasif dari ketentuan - ketentuan Tuhan yang diyakininya benar. Manusia hanya menjalankan Sabda Tuhan itu tanpa banyak melakukan banyak protes, kritik atau harus mengingkarinya.
Dengan membaca karakter paradigma pendidikan skolastik klasik, amat kentara di dalamnya yang bernuansa perenialistis dan esensialis. Akibatnya pendidikan skolastik hanya sebatas perwujudan manusia dalam menjalani hidupnya. Manusia cenderung berfikiran naif atau bahkan magis karena keyakinan untuk mempertahankan norma-norma yang telah mapan sangat kuat. Bahkan pendidikan skolastik yang berorientasi keakhiratan itu telah menenggelamkan eksistensi manusia sebagai pelaku aktif  kehidupannya.[2]
Seiring perkembangan jaman tuntutan untuk mengembangkan model pendidikan yang mengedepankan hal spiritualitas saja dianggap tidak mencukupi, masih dibutuhkannya ilmu pengetahuan yang sifatnya saintifik dan praktikal untuk menjalani kehidupan sebagai manusia. Hal tersebut menyebabkan perkembangan pendidikan skolastik berubah menjadi lebih moderen dengan memasukan ilmu – ilmu non - agama ke dalam kurikulum pendidikannya. Untuk menjabarkan hal tersebut kami akan menjelaskan dua model pendidikan berparadigma skolastik yaitu pesantren dan seminari.
Sistem pendidikan pesantren
Pesantren adalah sebuah tempat pendidikan tradisional yang berbasiskan agama Islam, dimana para murid (yang biasa disebut santri) mendapat pendidikan di bawah bimbingan guru yang biasa di sebut sebagai kiai. Selama masa belajar para murid akan di tempatkan pada sebuah asrama. Karena berbasiskan agama maka area dalam pesantren dilengkapi dengan berbagai macam keperluan beribadah mereka. Dalam perkembangannya, saat ini sistem pendidikan pesantren terbagi dua, sistem pendidikan tradisional dan sistem pendidikan moderen.
Dalam sistem pendidikan tradisional, lembaga pesantren tetap mempertahankan pengajaran kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan.[3] Praktek pendidikan dalam sistem ini masih kuat dalam pendalaman terhadap pemikiran ulama, hadist, tafsir, tauhid, dan tasawuf. Dalam sistem ini terdapat beberapa jenis pola pendidikan yang diterapkan, yaitu Sorogan, Bandongan, mentoring, dan hafalan. Sorogan merupakan sistem tradisional di mana pengajaran akan diberikan kepada santri yang sudah mampu membaca Al – Qur’an. Kitab-kitab yang diberikan kepada para santri dibagi berdasarkan kemampuan santri tersebut, dan santri akan diberikan pendidikan bahasa Arab agar dapat membaca teks tersebut. Bandongan adalah suatu proses pembelajaran dimana santri akan mendengarkan seorang kiai yang akan membacakan buku-buku Islam klasik. Disini kiai tersebut yang akan menjelaskan dan santri hanya akan mendengarkan serta mencatat untuk melengkapi keperluan mereka. Mentoring adalah kegiatan semacam kelas tambahan yang diberikan secara sukarela oleh santri (biasanya yang lebih senior) kepada santri (biasanya santri junior) untuk mengulang kembali pelajaran yang telah diberikan kiai mereka. Hafalan adalah salah satu metode yang sering diterapkan santri dalam menerima pelajaran yang diberikan kiai, ataupun kegiatan menghafal surat-surat Al-qur’an.
“Tujuan pendidikan tidak semata-mata memperkaya fikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap murid diajar agar menerima etika agama di atas etik-etik lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan, kekuasaan, uang, dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.”(Dhofir, 1994:21).
Hasil penelitian Dhofir (1994:21) tersebut, memberikan gambaran bahwa tujuan pendidikan dalam sistem tradisional akan sangat berpusat kepada permasalahan kepribadian para santri agar menjadi sesuai dengan ajaran agama Islam. Pada dasarnya pesantren juga merupakan tempat pembinaan individu, dimana pengajaran akan berdasarkan pada pembinaan akhlak individu yang diberikan melalui praktek keagamaan dan kegiatan edukatif beragama lainnya. Pada pesantren-pesantren tradisional tujuan ini tidak dituangkan secara eksplisit tertulis, tetapi secara implisit terekspresikan dari bahan pelajaran yang diberikan, proses dan cara pengajaran, dan norma-norma yang berlaku dalam interaksi pendidikan yang dikembangkan dalam pesantren tersebut.[4]
Sistem Tradisional memang sangat menekankan pada pembinaan individu yang berdasarkan pada ajaran Agama dan tidak terlalu mementingkan pendidikan umum. Sistem pendidikan tradisional ini mengisolasikan diri terhadap perkembangan pendidikan, tidak hanya pendidikan umum tetapi juga pendidikan mengenai agama Islam. Pendidikan dalam sistem ini sangat berpusat kepada kiai, sehingga memiliki banyak kiai dalam sebuah pesantren memberikan nilai lebih bagi pesantren tersebut.
Pesantren yang memiliki sistem pendidikan moderen, kemajuan pesantren tidak dinilai berdasarkan jumlah kiai melainkan pada jumlah santri yang masuk dan keluar serta kemajuan pendidikan dari para santri. Pesantren dengan sistem pendidikan moderen ini memang lebih mirip kepada madrasah. Kurikulum pendidikan yang diberikan tidak hanya pendidikan mengenai agama dan moral beragam saja tetapi juga pendidikan umum seperti sekolah biasa lainnya, sehingga beberapa institusi pesantren juga menyediakan pendidikan umum seperti SMP, SMU, bahkan perguruan tinggi. Pelajaran tentang kitab-kitab klasik Islam tetap menjadi prioritas utama dalam pesantren ini.


Daftar pusaka :
Skripsi :
Narisan. Sistem Pendidikan Pesantren Menurut Nurcholis Madjid.2008. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta
Jurnal :
Rizal, Ahmad S. Tranformasi Corak Edukasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren, Dari Pola Tradisi ke Pola Moderen.2011.Jurnal Pendidikan Agama Islam Ta’lim Vol.9 No.2.
Buku :
Wahyoetomo. Perguruan Tinggi Pesantren : Pendidikan Alternatif Masa Depan.1997. Gema Insani Press.Jakarta.
Internet :
McInerny, Ralph., O'Callaghan, John. Saint Thomas Aquinas. 2010. The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Winter 2010 Edition, Edward N. Zalta (ed.), di halaman web <http://plato.stanford.edu/archives/win2010/entries/aquinas/> diakses pada tanggal 24 Mei 2013, Pukul 19.00 WIB.
Artikel :
Zuhdi, Mohammad. Ideologi Pendidikan Kontemporer. 2010. Kementrian Agama BDK RI. Publikasi 7 Meil 2010. di halaman web <http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/ ideologiPendidikanKontemporer.pdf> diakses pada tanggal 24 Mei 2013, Pukul 19.20 WIB.


[1] Lihat Ralph McInerny dan John O'Callaghan, Saint Thomas Aquinas. Di halaman web  http://plato.stanford.edu/archives/win2010/entries/aquinas/

[2]  Lihat artikel  milik Drs. H. Mohammad Zuhdi, M. Ag,  Ideologi Pendidikan Kontemporer, di halaman web http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/IdeologiPendidikanKontemporer.pdf
[3]  Lihat Wahyoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren : Pendidikan Alternatif Masa Depan,(Jakarta, : Gema Insani Press, 1997), hal 83.
[4]  Lihat Rizal, Ahmad S. Tranformasi Corak Edukasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren, Dari Pola Tradisi ke Pola Moderen.2011
Jurnal Pendidikan Agama Islam Ta’lim Vol.9 No.2.

Rabu, 22 Mei 2013

Menolong Dalam Pemikiran Etika Objectivism Milik Ayn Rand


Menolong Dalam Pemikiran Etika Objectivism Milik Ayn Rand
Oleh : Adam Azano Satrio, 0906522861


Abstrak
Jurnal ini bertujuan sebagai pembelaan etik terhadap orang - orang yang telah bersusah payah untuk hidup dan merealisasikan mimpi – mimpinya, yang dipaksa untuk bertanggung jawab dan berkorban untuk menolong orang lain yang tidak dia inginkan melalui berbagai macam kemunafikan, untuk berkata tidak dan menolak secara tegas tiap usaha yang menekan kebebasan manusia dari para “pencuri kehidupan” dengan menggunakan pemikiran etika objectivism milik Ayn Rand. Etika objectivism milik Ayn Rand yang sering disebut sebagai etika objektifis yang beranggapan bahwa hal yang baik bagi tiap orang adalah perbuatan yang menguntungkan keinginan pribadi (self interest) bagi dirinya, dan mampu meminimalisir segala hal yang mampu merugikan self interestnya, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang merugikan self interest bagi dirinya. Penulis ingin menarik masalah ini menjadi lebih praktis dengan mengaitkannya dengan perbuatan menolong orang lain (helping). Sebagaimana kita ketahui seringkali dalam permasalahan self interest Ayn Rand menekankan bahwa tiap manusia pastilah mengejar keuntungan yaitu pemenuhan self interest dan menjadi tidak rasional jika kita memikirkan self interest orang lain. Penulis ingin menggunakan pemikiran Ayn Rand tentang etika objektifis untuk menganalisa fenomena membantu orang lain. Perbuatan menolong merupakan hal yang sering kita rasakan dan lakukan sehari – hari. Fenomena perbuatan menolong orang lain tersebut yang seringkali dianggap mayoritas orang perbuatan remeh dan tidak pantas dijadikan bahan kajian akademis, namun penulis berkeyakinan bahwa perbuatan menolong orang tidak sesederhana itu dan bisa dikaji secara filosofis untuk menunjukan konsekuensi dari perbuatan menolong orang lain.
Kata kunci: etika morality, value, self interest, sacrifice, compromise goodwill /generosity, non – sacrifice, non – duty, reasonable, self esteem.
Pendahuluan
            Etika sebagai cabang filsafat yang membahas tentang baik dan buruk suatu perbuatan, selama ini selalu menjadi bahan perbincangan yang tak akan pernah habisnya. Filsafat barat selalu mencoba untuk membongkar pertanyaan,apakah sebenarnya perbuatan baik bagi manusia? Dalam pembahasan etika, pada umumnya para filsuf selalu membuat dua kutub dalam baik buruknya perbuatan manusia, yaitu duty based disalah satu kutub dan pada kutub lainnya adalah consequentialism. Kedua teori ini menekankan dua hal berbeda tentang perbuatan baik. Jika dalam duty based yang menjadi landasan utama adalah pelaksanaan unsur kewajiban, maka pada consequentialism yang menjadi landasan utama adalah unsur hasil dari suatu perbuatan. Baik duty based dan consequentialism keduanya memiliki kelemahan yang selama ini kita ketahui.[1]
            Ayn Rand, seorang pemikir Rusia yang bermigrasi ke Amerika, mencoba membangun landasan etika miliknya sendiri, yang disebut dengan etika objectivism. Pemikiran Ayn Rand tentang etika banyak disalahartikan sebagai bentuk etika egoistis yang menghalalkan segala cara untuk kesenangan pribadi yang berlandaskan hasrat saja. Ayn Rand sendiri menolak pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa, etika tersebut bukanlah pemikiran etika objectivism miliknya karena menggunakan rasionalitas sebagai parameter.[2] Dapat terlihat bahwa Ayn Rand menekankan cara survivalitas manusia dalam kehidupan bukan dengan landasan pada pemenuhan hasrat semata, namun dengan menggunakan kognisi dari rasionalitas.
Sebelum melanjutkan secara mendetail tentang etika dalam filsafat objectivism, penulis akan menjabarkan pemikiran objectivism milik Ayn Rand secara umum pada bagian pendahuluan ini. Objectivism Ayn Rand berpegang pada empat hal yaitu:
Pertama tentang realitas. Realitas, menurut Ayn Rand eksis sebagai sesuatu yang absolut objektif. Dia mengatakan, fakta adalah fakta yang memiliki sifat independen dari perasaan, harapan, keinginan, dan ketakutan manusia.  Realitas sifatnya bisa diketahui dan hukum alam bekerja secara pasti dan apa yang manusia bisa lakukan hanya menemukan dan memodifikasi suatu formula di alam.
Kedua tentang Reason, sebagai alat kemampuan manusia mengintegrasikan dan mengidentifikasi materi-materi yang terjaring melalui indera-indera kita. Reason adalah satu-satunya alat untuk merasakan atau menangkap realitas, dan hanya itulah sumber pengetahuan, satu-satunya penuntun tindakan atau aksi, dan merupakan alat dasar untuk survival.  
            Ketiga adalah bahwa setiap orang adalah tujuan akhir dari dirinya, bukan merupakan alat bagi yang lainnya. Dia harus eksis demi dirinya, bukan untuk mengorbankan diri bagi yang lain ataupun mengorbankan yang lain bagi dirinya. Pencarian akan kepentingan diri rasionalnya sendiri dan kebahagiaannya sendiri adalah tujuan moral yang tertinggi dari hidupnya.
Keempat adalah sistem politik-ekonomi yang merupakan cara kerja kapitalisme. Ini adalah sebuah sistem di mana orang berurusan satu sama lain tanpa ada yang menjadi korban atau yang mengorbankan pihak lain. Kedua pihak harus sama-sama mendapatkan keuntungan (mutual benefit). Mereka berhubungan dalam aktivitas perdagangan. Pemerintah dalam hal ini hanya berfungsi sebagai semacam polisi untuk mengatur perilaku mereka yang mulai menggunakan kekuatan fisiknya kepada pihak yang lain. Seharusnya –namun ternyata tak pernah ada atau terjadi– yang ideal, yaitu ada pemisahan antara politik dan ekonomi, serupa dengan pemisahan antara negara dan gereja.[3]
Setelah kita mengetahui secara umum landasan pemikiran filsafat objectivism, penulis ingin menggunakan pemikiran Ayn Rand tentang etika untuk menganalisa fenomena membantu orang lain.
Perihal etika objectivism
Dikarenakan penulis memfokuskan diri pada permasalahan etika objectivism, maka pada tulisan ini penulis hanya akan menjelaskan beberapa term dan definisi dalam pemikiran Ayn Rand yang berhubungan dengan pemikiran etika miliknya, yaitu morality, value, self interest,  sacrifice, dan compromise.
Ayn Rand memulai pembahasan tentang etika melalui pertanyaan tentang mengapa kita butuh moralitas (morality)? Bagi Ayn Rand jawaban dari pertanyaan metaetik tersebut adalah moralitas dibutuhkan karena itu adalah alat bertahan hidup manusia. Moralitas adalah kode yang menjamin adanya survivalitas dari kehidupan yang dijalani manusia.
Ayn Rand menekankan bahwa perbedaan utama yang dimiliki manusia dan binatang adalah kemampuan survivalitasnya. Jika binatang telah terberi kemampuan untuk survivalitasnya dengan kemampuan fisiknya terutama instingnya, maka manusia memiliki alat survivalitas yang berbeda yaitu rasio. Rasio dikatakan sebagai alat penjamin bahwa manusia mampu bertahan hidup untuk dirinya sendiri.[4] Bentuk survivalitas yang bisa dihasilkan dari rasio adalah kemampuan untuk berpikir dan memproduksi yang berujung pada kesadaran akan value.
Value merupakan nilai yang berharga yang dikejar untuk didapatkan melalui suatu tindakan. Keberadaan term value merupakan konsekuensi dari term moralitas. Setelah moralitas dibutuhkan sebagai alat survivalitas manusia, maka keadaan manusia dalam bertahan hidup pasti memiliki pilihan - pilihan dalam menentukan tindakannya. Adanya alternatif pilihan tersebut pada akhirnya menghasilkan pemikiran sesuatu hal lebih berharga dibandingkan hal lainnya dan disinilah value menjadi dapat dibicarakan.[5]
Value menjadi parameter untuk melakukan tindakan karena hal tersebut masih berhubungan dengan keselamatan dirinya sebagai mahluk yang hidup yang berusaha mempertahankan kehidupannya. Value hadir karena tiap pilihan yang dilakukan manusia merupakan bentuk dari usaha yang dilakukan, value tersebut merupakan parameter yang bersifat penting karena jika seseorang salah melakukan penilaian bisa menyebabkan gangguan dalam proses menjalani kehidupannya dan pada titik ekstrim ujung dari hal tersebut adalah kematian bagi dirinya sendiri.[6]
            Penjelasan konsep value ini mengijinkan kita untuk membahas permasalahan tentang self interest, karena konsep ini melanjutkan pernyataan bahwa tiap tiap orang orang untuk bertahan hidup harus berhadapan value agar kehidupan manusia mampu dipertahankan dan saat manusia memilih suatu hal yang dianggap bervalue bagi dirinya sendiri maka konsekuensinya adalah tiap orang punya kepentingan bagi dirinya sendiri dan hal tersebut bersifat personal. Ayn Rand mengakui bahwa value memiliki penilaian hierarkis yang berarti ada sebuah value utama yang dikejar manusia yaitu “Ultimate Value”, yaitu kehidupannya sendiri.[7]
Setelah kita mengetahui bahwa value bagi Ayn Rand memiliki bisa kita simpulkan bahwa tiap - tiap orang memiliki value yang end in itself bagi dirinya sendiri, karena hal tersebutlah kita bisa melanjutkan kepada persoalan self interest.
Self interest dalam pemikiran Ayn Rand merupakan pemikiran paling mendasar dari filsafatnya. Self interest mengijinkan pemikiran etika objectivism membangun argumentasi sehingga adalah hal rasional jika seseorang, sebagai agen moral, hanya memfokuskan diri dalam proses pemenuhan interest dirinya sendiri dalam kehidupannya. Ayn Rand menegaskan bahwa Self interest itu sendiri bersifat mendasar dan subjektif sehingga tiap – tiap orang sebagai agen moral memiliki dan memilih tujuan serta pandangan tentang interestnya masing – masing.[8]
Harus ditekankan bahwa self interest yang diangkat oleh Ayn Rand, dalam teori dan praktiknya, harus bertindak secara rasional yang berarti menggunakan kognisi yang penuh perhitungan serta pemikiran dan tidak bertindak hanya dengan berlandaskan hasrat yang gegabah. Ayn Rand menyadari bahwa hasrat tidak memiliki kekuatan validitas sebagai penentu bahwa yang dihasratkan oleh agen moral merupakan hal baik bagi dirinya, ataupun yang didapatkan sesuai dengan interest jangka panjangnya. [9]
Seringkali banyak orang yang menganggap bahwa etika objectivism mengijinkan mengorbankan ataupun memanipulasi orang lain untuk pemenuhan self interestnya, atau dengan kata lain menghalalkan segala cara untuk memenuhi self interest sang agen moral. Ayn Rand menolak anggapaan itu dalam teksnya dengan mengungkapkan bahwa etika objectivism tidak mengijinkan adanya asumsi dalam bentuk relasi yang bersifat merugikan salah satu pihak dan hanya mengijinkan sebuah relasi yang bersifat non sacrificial relationship, serta semua hal tersebut hanya bisa terjadi dengan adanya kesadaran yang disebabkan rasionalitas dari kedua belah pihak.[10]
Self interest merupakan konsekuensi rasional yang dibahas dalam penalaran etika objektivisme ini, namun pada kegiatan kehidupan manusia seringkali kita melihat seseorang melakukan tindakan yang membuang self interest atau pengorbanan dengan alasan kolektivitas ataupun dengan alasan lainnya, dan juga kita sering melihat adanya salah penafsiran apakah seseorang sebenarnya melakukan tindakan pengorbanan atau tidak. Karena hal tersebut maka pada pembahasan selanjutnya penulis akan menjelaskan permasalahan sacrifice.
Sacrifice atau pengorbanan menurut Ayn Rand bukan didefinisikan sebagai apa yang telah kita lakukan untuk memperoleh sesuatu yang kita inginkan. Secara tegas Ayn Rand membedakan sacrifice dengan non-sacrifice dalam teksnya kita dapat melihat, bahwa suatu perbuatan dinamakan sebagai non-sacrifice jika perbuatan itu merupakan suatu tuntutan rasional yang harus dilakukan untuk mencapai interest pribadinya, term yang cocok untuk digunakan dalam definisi tersebut dalam bahasa Indonesia adalah resiko.
Ayn Rand membongkar kenyataan dalam sacrifice yaitu adanya hubungan dengan sistem kuasa. Ketika dalam relasi manusia terjadi sacrifice, maka bagi Ayn Rand telah terjadi suatu bentuk kekuasaan sepihak dimana pihak tersebut telah menjadikan pihak lainnya sebagai objek pemuasan interest dirinya tanpa hubungan timbal balik.[11]
Sacrifice disebutkan oleh Ayn Rand (1961: 114) dalam For The New Intellectual  sebagai “a sacrifice is the surrender of a Value. Full sacrifice is full surrender of all Values…” Oleh karena itu, jika seseorang melakukan suatu perbuatan bukan karena interest pribadi, melainkan karena orang lain ataupun melakukan hal yang secara rasional merugikan dirinya, karena membuat dirinya harus melepas interest besarnya dikatakan sacrifice. Definisi sacrifice atau pengorbanan ini mempermudah kita untuk melakukan penilaian, apakah perbuatan yang kita dan lakukan benar secara moralitas dan etika dari sudut pandang etika objectivism.
Seringkali ketika sang agen moral memilih dan melakukan hal yang bertujuan untuk memenuhi self interestnya, terlihat bahwa dirinya masih membutuhkan orang lain untuk membantunya. Ayn Rand menyadari bahwa hanya ada dua cara untuk mendapatkannya, yaitu dengan menjadi seorang yang memperalat atau mengambil hak orang lain dengan azas paksaan atau dengan menggunakan compromise terhadap orang lain dengan azas sukarela. Dikarenakan Ayn Rand tidak mengijinkan adanya hubungan yang bersifat sacrifice disalah satu pihak, seperti yang diungkapkan pada paragraf sebelumnya, sehingga kita hanya disisakan pada pilihan compromise.
Pemikiran bahwa harus ada yang ditukarkan inilah yang membuat tiap – tiap orang menyadari bahwa dirinya tidak mungkin bisa melakukan segalanya seorang diri, dan tetap membutuhkan orang lain untuk mendapatkan self interestnya. Term ini tidak dapat digunakan untuk menghalalkan perbuatan menindas orang lain dan mendapat keuntungan dari orang tersebut, seperti pada kasus seorang preman yang memaksa orang lain untuk memberikan uang padanya untuk keselamatan orang lain tersebut, hal tersebut dikarenakan memang bukan hak orang lain tersebut untuk disakiti.[12]
            Dapat disimpulkan bahwa compromise merupakan hal penting dalam relasi manusia, selain menunjukan bahwa tiap orang memiliki kemampuan dan spesialisasi yang berbeda – beda juga menghargai manusia sebagai individu bebas yang berhak memperoleh penghargaan dari apa yang diusahakannya.
Ayn Rand sebagai seorang filsuf, menekankan pentingnya etika yang membuat manusia berharga, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupannya. Bagi Ayn Rand moralitas hadir bukan hanya sekedar kenapa manusia mampu dikatakan baik, tetapi juga berhubungan dengan survivalitas kehidupannya dari kematian. Kemampuan survivalitas manusia berbeda dengan kemampuan survivalitas binatang, manusia tidak bisa hidup seperti binatang yang hanya bisa berdasarkan insting dan kemampuan fisiknya saja, manusia telah terberi dengan rasio yang membuat dirinya mampu bertahan hidup. Rasio yang digunakan manusia tersebut pada akhirnya mampu membuat manusia mengetahui apa yang berharga bagi dirinya sendiri atas alternatif pilihan yang tersedia dalam kehidupan untuk melanjutkan survivalitasnya. Kesadaran akan pilihan tersebut pada akhirnya berlanjut dengan menemukan term value. Value itu sendiri sangat erat keterkaitanannya dengan hidup manusia dan Ayn Rand meyakini bahwa value itu sendiri bersifat end it self bagi tiap individu itu sendiri. kenyataan bahwa  value berhubungan dengan kemampuan hidup manusia dan juga dianggap end it self dari tiap individu maka Ayn Rand sama sekali tidak menyetujui bahwa self interest seseorang harus dikorbankan untuk kebahagiaan yang lainnya, ataupun bisa dipaksa untuk melakukan suatu kewajiban untuk mengorbankan self interest pribadi tanpa adanya alasan rasional yang dapat dipertanggung jawabkan. Ayn Rand menyadari bahwa manusia memiliki batasan kemampuannya masing – masing untuk memenuhi self interest masing masing, baik dari segi keterbatasan tempat, waktu, modal, kemampuan pikir dan lain sebagainya, yang pada akhirnya menyebabkan manusia mampu berfikir, bahwa ada cara melakukan Compromise agar tiap individu mampu menukarkan kemampuan demi terwujudnya masing masing individu tersebut.
Perihal menolong
Terlihatlah akan muncul permasalahan dalam persoalan menolong orang lain, karena perbuatan menolong, baik secara teoritis ataupun aktual, tidak pernah ada jaminan bahwa orang yang ditolong tersebut mampu membalas kebaikan sang agen moral karena tidak ada suatu hal yang mampu ditukarkan dari orang yang ditolong.
Perbuatan menolong orang lain atau helping, merupakan term yang sering dianggap tidak mungkin bisa dilakukan dalam etika objectivism. Sering kali perbuatan menolong orang lain seperti beramal, mengikuti kerja sosial, menghibur orang lain dan lain sebagainya merupakan hal yang dilarang karena anggapan perbuatan tersebut tidak menguntungkan interest pribadi. Ayn Rand memandang bahwa seringkali seseorang melakukan perbuatan menolong orang lain, dan Ayn Rand memandang hal tersebut sebagai bentuk goodwill manusia dalam kehidupan sosialnya. Permasalahan utama yang Ayn Rand ingin angkat dalam persoalan menolong orang lain adalah ada atau tidak adanya kewajiban dan penting atau remehkah untuk menolong orang lain.[13] 
Banyak tafsiran yang menganggap bahwa tidak mungkin pertolongan bisa dilakukan dengan tidak adanya suatu perbuatan timbal balik dengan adanya term compromise, sedangkan Ayn Rand sendiri tidak melarang perbuatan menolong orang lain selama tidak mengganggu self interest dan mengandung sacrifice di dalamnya, karena jika ada unsur sacrifice didalamnya maka etika yang dilakukannya menjadi etika altruism. Ayn Rand (1964: 41) menjelaskan dalam Virtue Of Selfishness bahwa,“The proper method of judging when or whether one should help another person is by reference to one’s own rational self-interest and one’s own hierarchy of Values: the time, money or effort one gives or the risk one takes should be proportionate to the Value of the person in relation to one’s own happiness.”  Oleh karena itu kita dapat melihat celah etika objectivism masih mengijinkan sang agen moral untuk menolong orang lain selama sang agen moral mampu meyakini, memilih serta menanggung resiko yang akan diterima melalui perhitungan rasionalnya.
Dalam kerangka pemikiran Ayn Rand, perbuatan menolong harus berdasarkan pemikiran rasional agar tidak mengganggu interest pribadinya. Hal tersebutlah yang membuat suatu perbuatan moral memiliki nilai dan arti keberhargaan bagi kehidupan manusia, berbeda dengan etika altruis yang berarti tidak memiliki penghargaan pada kehidupan manusia dengan menolong secara gegabah karena tidak berlandaskan nilai tertentu.
Dapat kita ketahui perbuatan menolong dalam pemikiran Ayn Rand tidaklah dilarang, sebab hal tersebut adalah hak setiap agen moral untuk melakukannya selama perbuatan tersebut tidak mengandung sacrifice di dalamnya, dan bukan suatu bentuk kewajiban melainkan resiko dari pilihan sang agen moral untuk melakukannya, karena adanya asumsi saat seseorang menolong pastilah orang tersebut memiliki perhitungan dan skala prioritasnya yang masih berhubungan dengan self interestnya.
Syarat helping dalam etika Ayn Rand
            Dikarenakan dalam tulisan Ayn Rand tidak pernah dituliskan bagaimana metode seseorang dikatakan etik dalam persoalan menolong orang lain, maka penulis akan berspekulasi dengan menuliskan syarat apa saja yang harus dilakukan sang agen moral ketika menolong orang lain dengan menggunakan referensi tulisan Ayn Rand.            Penulis menyimpulkan bahwa perbuatan helping bisa dikatakan etik jika term disini terpenuhi. Term tersebut adalah goodwill /generosity, non – sacrifice, non – duty, reasonable, dan self esteem.  
            Goodwill / generosity diartikan sebagai bentuk perbuatan yang berdasarkan compassion dan bukan berdasarkan ada keinginan untuk dibalas dan melakukan perjanjian bahwa ada balasan perbuatan baik tersebut, karena jika ada unsur timbal balik didalamnya maka tidak bisa dibedakan apa perbuatan helping dengan compromise.
            Goodwill / generosity di sini berupa motif yang menyebabkan seseorang ingin menolong orang lain, hal ini merupakan sifat emosional. Terlihatlah Ayn Rand tetap memaklumkan bahwa manusia tidak hanya terbatas dengan rasio saja, masih ada unsur emosi di dalamnya. Perbuatan menolong orang lain merupakan bentuk penyaluran dari emosi tersebut.
Tetap harus sangat diingatkan dalam pemikiran etika Ayn Rand, perbuatan menolong harus berdasarkan pemikiran rasional agar tidak mengganggu interest pribadinya. Hal tersebutlah yang membuat suatu perbuatan moral memiliki nilai dan arti keberhargaan bagi kehidupan manusia, berbeda dengan etika altruis yang  berarti tidak memiliki penghargaan pada kehidupan manusia dengan menolong secara gegabah karena tidak dipertimbangkan oleh rasionalitas.
            Selanjutnya persoalan non – sacrifice, sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bagian sebelumnya bahwa Ayn Rand menolak etika altruism yang menekankan pengorbanan sang agen moral terhadap orang lain. Hal tersebut juga berlaku pada perbuatan helping, dimana saat menolong harus ditekankan bahwa perbuatan menolong tidak boleh menyebabkan sang agen moral sampai mengorbankan value dirinya sendiri untuk membantu orang lain.
            Contoh sederhana adalah ketika seseorang yang memiliki maag melihat temannya sedang kelaparan dan dirinya memiliki kelebihan uang untuk membelikan makan untuk temannya, maka yang dilakukannya bukan perbuatan sacrifice dan merupakan perbuatan etika objectivism, tetapi jika orang tersebut hanya memiliki uang untuk dirinya sendiri namun memaksakan diri kepada temannya tersebut maka yang dilakukannya adalah tidak berlandaskan etika objectivism.
            Syarat selanjutnya adalah non - duty. Sebuah perbuatan menolong haruslah berdasarkan suatu keinginan pribadi yang bersifat individual, bukan berdasarkan suatu bentuk paksaan dari sesuatu atau orang lain. Penulis menganggap bahwa non duty juga merupakan syarat suatu suatu perbuatan menolong dikatakan perbuatan etik dalam pemikiran Ayn Rand, karena prinsip ini menjamin manusia sebagai mahluk yang memiliki kebebasan untuk memilih bagi dirinya sendiri. Ketiadaan unsur kewajiban dalam perbuatan menolong juga menunjukan bahwa goodwill yang dimiliki manusia juga memiliki andil dalam perbuatan menolong tersebut.
            Jika suatu perbuatan menolong berlandaskan pada unsur kewajiban saat menolong, maka perbuatan yang dilakukannya itu tak ada bedanya dengan sebuah “mesin kebaikan”, dan rasa keberhargaan akan kehidupan yang dimilikinya akan menjadi hilang. Selain itu kewajiban mengeksplisitkan bahwa manusia di dalam kehidupannya tidak memiliki pilihan, dan tindakan.
            Syarat selanjutnya adalah reasonable. Sebuah perbuatan menolong haruslah berdasarkan pemikiran rasional yang bersifat mempertimbangkan untung rugi dalam melihat resiko yang akan diterima. Disini penulis menafsirkan reason sebagai alat yang memprediksi dan memutuskan tentang sebab dan akibat suatu perbuatan yang diambil sang agen moral. Walaupun ada motif seperti goodwill didalam suatu perbuatan menolong, tindakan yang dilakukan sang agen moral tersebut harus dipertimbangkan dahulu dalam rasionya.
            Contoh penggunaan rasio sebagai alat pertimbangan dan memprediksi resiko adalah ketika melihat seseorang yang sedang tenggelam di sungai. Jika sang agen moral pada saat itu tidak memiliki kemampuan untuk berenang tapi memaksakan diri untuk menyelamatkan orang tersebut dengan cara berenang maka yang dilakukannya tidak rasional, karena selain resiko yang dialami agen moral tersebut seperti tenggelam serta keberhasilan untuk menolong orang yang tenggelam tersebut juga kecil.
Syarat selanjutnya adalah self esteem. Jika sang agen moral hanya berhenti pada tahap reason saja tanpa adanya self esteem maka agen moral tersebut dalam mengambil keputusan akan lebih dekat pada sifat pesimistik dalam kehidupan dan menyebabkan segala sesuatu di dunia menjadi suatu ketakutan. Sedangkan jika hanya menggunakan self esteem saja tanpa reason maka tindakan yang dilakukan oleh sang agen moral adalah tindakan gegabah yang tanpa perhitungan, dan sudah dapat dibayangkan bahwa dalam etika Ayn Rand perbuatan tanpa adanya rasionalitas yang mengambil bagian di dalam pengambilan keputusannya merupakan hal yang dilarang.
Kelima syarat tersebut yaitu goodwill / generosity, non – sacrifice, non – duty, reasonable, dan self esteem, merupakan prinsip utama yang penulis abstraksikan dari tulisan Ayn Rand, yang sifatnya rigid dan harus dipenuhi agar suatu perbuatan menolong dapat dikatakan sebagai perbuatan etik dalam pemikiran etika objectivism milik Ayn Rand.

Perihal Life In The Boat Dillema
            Seringkali Ayn Rand dikritik karena teori etikanya pasti menyebabkan adanya conflict of interest ketika setiap individu ingin mengejar hal serupa. Konflik ini sering terjadi dalam persoalan yang bisa dikatakan remeh sampai tahap ekstrim yang berhubungan dengan nyawa seseorang. Thought experiment yang sering digunakan untuk mengkritik penggunaan etika Ayn Rand adalah persoalan “Life In The Boat Dillema” ketika sebuah kapal yang dikendarai dua orang akan tenggelam dan harus mengorbankan salah satu dari orang tersebut untuk dilemparkan ke laut jika tidak maka keduanya tidak akan selamat.
            Disini diuji, bagaimana etika objectivism mampu menjawab pertanyaan di atas. Terlihat pada kondisi tersebut seseorang objektivis harus memilih prinsip yang harus dilakukannya. Bagaimana mungkin agen moral bisa menolong orang lain ketika ada prasyarat tersebut?
            Thought experiment diatas jika kita tidak secara hati - hati menanggapinya, akan bertendensi untuk mengatakan bahwa jika seseorang yang menganut etika objektifis Ayn Rand, dimana seseorang akan pasti akan berusaha semaksimal mungkin agar dirinya selamat dengan cara mengorbankan selain dirinya sendiri, pasti akan mengorbankan orang lain untuk keuntungan dirinya sendiri. Apakah kesimpulan tersebut itu benar?
            Menurut Ayn Rand persoalan dilematis tersebut sebenarnya bukan pertanyaan yang tepat. Persoalan tentang kapal tersebut muncul karena menganggap dunia adalah suatu hal yang tidak bisa dikuasai, dan manusia adalah mahluk lemah yang menyerah dengan alam. Bahkan Ayn Rand menyebutkan bahwa pertanyaannya yang salah, dan menyamakan keadan di dunia dengan kehidupan diatas perahu adalah suatu kesalahan.
Terlihat sebenarnya Ayn Rand tidak bisa menjawab persoalan tersebut, kelemahan teori ini ditutup oleh dirinya dengan menyerang pertanyaannya dan sudah jelas bahwa ini merupakan kesalahan metode berlogika yaitu Argumen ad Populum (Menyerang Kelompoknya). Ayn Rand menyerang pemikiran Altruism yang menyerang pemikiran tersebut namun tetap tidak menjelaskan jawaban. Penulis disini mengambil posisi setuju dengan alasan Ayn Rand menyerang pemikiran altruisme tersebut tetapi penulis tidak setuju dengan jawaban yang diberikan Ayn Rand. Terlihat bahwa etika ini tidaklah bisa diterapkan pada keadaan bersifat kritis yang berhubungan dengan nyawa dimana seseorang harus dikorbankan.
Kesimpulan
Dari semua hal tersebut dapat kita simpulkan, bahwa Ayn Rand menekankan pentingnya etika yang membuat manusia berharga, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupannya. Dirinya sama sekali tidak menyetujui bahwa self intest seseorang harus ataupun boleh dikorbankan untuk kebahagiaan yang lainnya, ataupun bisa dipaksa untuk melakukan suatu kewajiban untuk mengorbankan self interest pribadi. Ayn Rand menyadari bahwa manusia memiliki batasan kemampuannya masing – masing untuk memenuhi self intest masing masing, baik dari segi keterbatasan tempat, waktu, modal, kemampuan pikir dan lain sebagainya, yang pada akhirnya menyebabkan manusia mampu berfikir, bahwa ada cara melakukan Compromise agar tiap individu mampu menukarkan kemampuan demi terwujudnya masing - masing individu tersebut. Compromise ini sering disalahgunakan sebagai alibi untuk tidak menolong orang lain. Pemikiran itu muncul karenakan secara teoritis ataupun praktis seseorang yang ditolong, tidak memiliki apapun untuk ditukarkan, namun kita dapat melihat bahwa perbuatan menolong orang lain itu masih diijinkan dalam kerangka pikir etika Ayn Ran selama menggunakan prinsip tertentu yaitu goodwill / generosity, non – sacrifice, non – duty, reasonable, dan self esteem. Secara sederhana kita dapat menganalogikan pemikiran etika objectivism milik Ayn Rand dengan meminjam bentuk relasi antar spesies pada biologi, bahwa relasi yang manusia tidak boleh dilakukan secara simbiosis parasitisme, dan mengijinkan jika didasarkan pada simbiosis mutualisme, namun manusia tidak dilarang untuk melakukan simbiosis komensalisme. Walaupun terlihat bahwa etika ini memberikan prinsip di mana tiap orang tidak ditindas dan diperalat oleh orang lain dan mengijinkan memberikan pertolongan sesuai keinginan dan kemampuan, pada saat kritis yang berhubungan dengan nyawa, teori ini tidak bisa memberikan jawaban yang rigid.
Di balik kekurangan tersebut, etika ini mengajarkan suatu prinsip utama bahwa kehidupan merupakan suatu perjuangan dan usaha bagi diri sendiri, walaupun keadaan yang terpuruk seperti apapun manusia sebagai mahluk yang memiliki rasio harus memikirkan bagaimana cara menggunakan kemampuan kognisinya untuk memproduksi sesuatu untuk keberlangsungan hidup dirinya. Keadaan kehidupan manusia bukanlah keadaan yang lemah sama sekali saat terlahir di kehidupan ini, kita telah terberi akal untuk mampu memodifikasi dan menguasai alam. Bukanlah seorang animal rationale jika seseorang rela ataupun dipaksa untuk menjadi animal sacrifium bagi orang lain. Prinsip etika ini juga menjamin bahwa jika seseorang menolong orang lain tidak boleh sampai memaksakan diri sehingga sang penolong menjadi tumbal yang ditolong, atau dengan kata lain, tolonglah dirimu sendiri baru kau bisa menolong orang lain.

Daftar Pustaka
·         Fieser, James. Ethics, Internet Encyclopedia Of Philosophy.  2009. 10 Mar. 2013. <http://www.iep.utm.edu/ethics>
·         Rand, Ayn. For The New Intellectual, New York: A Signet Book, 1961.
·         ---. Introducing Objectivism. 1962. 10 Mei. 2013. <http://www.facetsofaynrand.com/ayn-rand-ideas/introducing-objectivism.html>
·         ---. Philosophy: Who Need it, New York: A Signet Book, 1982.
·         ---. Virtue of Selfishness. New York: A Signet Book, 1964.
·         Toffler, Alvin. “Playboy Interview: Ayn Rand – Candid Conversation With The Fountainhead Of “Objectivism” ”. Playboy, Mar. 1964: 35 – 64.



[1] Lihat James Fieser. Ethics. 2009 (Internet Encyclopedia of Philosophy).
[2] Ayn Rand. Virtue of Selfishness. (New York: A Signet Book, 1964) hlm. 8.
[3] Lihat http://www.facetsofaynrand.com/ayn-rand-ideas/introducing-objectivism.html    
[4] Rand. (1964). op.cit.,  hlm. 18.
[5] Ibid., hlm. 12                                                                            
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm. 21.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hlm. 46.
[10] Ibid., hlm. 26.
[11] Ayn Rand. For The New Intellectual. (New York: A Signet Book, 1961) hlm. 58.
[12] Rand (1964). op.cit., hlm 64.
[13] Alvin Toffler. “Playboy Interview: Ayn Rand – Candid Conversation With The Fountainhead Of “Objectivism.” ” Playboy Maret, 1964. hlm. 40.