Paradigma
Pendidikan Skolastik
Oleh :
A.A.Bagus
Pratama Putra, 0906631774
Adam
Azano Satrio, 0906522861
Pendahuluan
Dari
seluruh aliran filsafat pendidikan berujung pada kelahiran ragam paradigma.
Setiap paradigma akan menujukan karakter yang sesuai dengan karakter aliran - aliran
yang dianutnya. Paradigma - paradigma pendidikan yang berkembang selama ini
bisa dikategorikan dalam tiga kelompok
besar, yaitu paradigma pendidikan konservatif, liberal, dan kritis.
Kesemuanya itu memiliki akar filosofis yang
berbeda-beda. Pada kali ini kami memfokuskan untuk membahas pada paradigm
pendidikan skolastik dan perkembangannya, yang diakhiri dengan memberikan model
pendidikan skolastik yang ada di Indonesia, yaitu pesantren dan seminari.
Perihal paradigma pendidikan
skolastik
Akhir
abad 12 hingga awal abad 13 berkembang dan berdirinya universitas - universitas
pertama di Eropa seperti Bologna di Italia untuk studi hukum, Montpellier,
Oxford, Paris studi Teologi, Salerno (Italy), studi kedokteran. Bersamaan
dengan itu munculnya ordo-ordo Fransiskan dan Dominikan. Sejak itu, naskah
filsafat Yunani yang semula hanya ada dalam bahasa Yunani yang diwarisakann melalui
tradisi Byzantium, Eropa Timur dan terjemahan dalam bahasa Arab, diterjemahkan
kedalam bahasa Latin. Maka mulai berkembanglah filsafat Yunani di Eropa Barat
sebagai modal hadirnya pendidikan berparadigma skolastik.
Hampir
semua karya Aristoteles terutama buku-buku komentar karangan Ibnu Sina dan Ibnu
Rushd diterjemahkan kedalam bahasa Latin, dipelajari, dikritik dan diteliti
dengan cermat oleh Thomas Aquinas (1225-1274).[1]
Naskah tersebut telah menjadi bacaan menarik bagi pembaca berbahasa Latin. Sebelumnya
hingga abad 12, hanya sedikit sekali karya filsuf Yunani, termasuk karya
Aristoteles yang diterjemahkan menjadi bahasa Latin. Perkembangan ajaran
Aristoteles tersebut, yang aksesnya terbatas pada akademisi gereja, menyebabkan
kuatnya kekuasaan gereja dan menemukan argumen untuk membela agama secara
filosofis.
Paradigma
pendidikan konservatif yang berkembang menjadi paradigma skolastik di barat tersebut
bersifat perenialis sekaligus esensialis.
Ketika peradaban barat didominasi oleh otoritas gereja, pada saat itu
manusia tidak memiliki kuasa untuk merubah segala macam tatanan sosial yang ada. Otoritas sepenuhnya
menjadi milik gerja, sehingga para
pendeta seolah mewakili kehendak dan perwujudan Tuhan di dunia. Bahkan
bisa dikatakan melewati batas sehingga sangat fatal.
Paradigma
skolastik yang bernuansa fatalistik telah menempatkan objek manusia sebagai
objek pasif. Kehadiran manusia di dunia sebenarnya hanya sekedar menjalankan
sabda Tuhan yang telah termaktub dalam suratan takdir. Inilah karakter
perenialistik sehingga dia hanya menjadi pelaksana pasif dari ketentuan - ketentuan
Tuhan yang diyakininya benar. Manusia hanya menjalankan Sabda Tuhan itu tanpa
banyak melakukan banyak protes, kritik atau harus mengingkarinya.
Dengan
membaca karakter paradigma pendidikan skolastik klasik, amat kentara di
dalamnya yang bernuansa perenialistis dan esensialis. Akibatnya pendidikan
skolastik hanya sebatas perwujudan manusia dalam menjalani hidupnya. Manusia
cenderung berfikiran naif atau bahkan magis karena keyakinan untuk
mempertahankan norma-norma yang telah mapan sangat kuat. Bahkan pendidikan
skolastik yang berorientasi keakhiratan itu telah menenggelamkan eksistensi
manusia sebagai pelaku aktif
kehidupannya.[2]
Seiring
perkembangan jaman tuntutan untuk mengembangkan model pendidikan yang
mengedepankan hal spiritualitas saja dianggap tidak mencukupi, masih
dibutuhkannya ilmu pengetahuan yang sifatnya saintifik dan praktikal untuk
menjalani kehidupan sebagai manusia. Hal tersebut menyebabkan perkembangan
pendidikan skolastik berubah menjadi lebih moderen dengan memasukan ilmu – ilmu
non - agama ke dalam kurikulum pendidikannya. Untuk menjabarkan hal tersebut
kami akan menjelaskan dua model pendidikan berparadigma skolastik yaitu
pesantren dan seminari.
Sistem
pendidikan pesantren
Pesantren
adalah sebuah tempat pendidikan tradisional yang berbasiskan agama Islam,
dimana para murid (yang biasa disebut santri) mendapat pendidikan di bawah
bimbingan guru yang biasa di sebut sebagai kiai. Selama masa belajar para murid
akan di tempatkan pada sebuah asrama. Karena berbasiskan agama maka area dalam
pesantren dilengkapi dengan berbagai macam keperluan beribadah mereka. Dalam
perkembangannya, saat ini sistem pendidikan pesantren terbagi dua, sistem
pendidikan tradisional dan sistem pendidikan moderen.
Dalam
sistem pendidikan tradisional, lembaga pesantren tetap mempertahankan
pengajaran kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan.[3]
Praktek pendidikan dalam sistem ini masih kuat dalam pendalaman terhadap
pemikiran ulama, hadist, tafsir, tauhid, dan tasawuf. Dalam sistem ini terdapat
beberapa jenis pola pendidikan yang diterapkan, yaitu Sorogan, Bandongan, mentoring,
dan hafalan. Sorogan merupakan sistem
tradisional di mana pengajaran akan diberikan kepada santri yang sudah mampu
membaca Al – Qur’an. Kitab-kitab yang diberikan kepada para santri dibagi
berdasarkan kemampuan santri tersebut, dan santri akan diberikan pendidikan
bahasa Arab agar dapat membaca teks tersebut. Bandongan adalah suatu proses pembelajaran dimana santri akan
mendengarkan seorang kiai yang akan membacakan buku-buku Islam klasik. Disini
kiai tersebut yang akan menjelaskan dan santri hanya akan mendengarkan serta
mencatat untuk melengkapi keperluan mereka. Mentoring adalah kegiatan semacam
kelas tambahan yang diberikan secara sukarela oleh santri (biasanya yang lebih
senior) kepada santri (biasanya santri junior) untuk mengulang kembali
pelajaran yang telah diberikan kiai mereka. Hafalan adalah salah satu metode
yang sering diterapkan santri dalam menerima pelajaran yang diberikan kiai, ataupun
kegiatan menghafal surat-surat Al-qur’an.
“Tujuan
pendidikan tidak semata-mata memperkaya fikiran murid dengan
penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi
semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap
dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para murid untuk hidup
sederhana dan bersih hati. Setiap murid diajar agar menerima etika agama di
atas etik-etik lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan,
kekuasaan, uang, dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa
belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.”(Dhofir,
1994:21).
Hasil
penelitian Dhofir (1994:21) tersebut, memberikan gambaran bahwa tujuan
pendidikan dalam sistem tradisional akan sangat berpusat kepada permasalahan
kepribadian para santri agar menjadi sesuai dengan ajaran agama Islam. Pada
dasarnya pesantren juga merupakan tempat pembinaan individu, dimana pengajaran
akan berdasarkan pada pembinaan akhlak individu yang diberikan melalui praktek
keagamaan dan kegiatan edukatif beragama lainnya. Pada pesantren-pesantren
tradisional tujuan ini tidak dituangkan secara eksplisit tertulis, tetapi
secara implisit terekspresikan dari bahan pelajaran yang diberikan, proses dan
cara pengajaran, dan norma-norma yang berlaku dalam interaksi pendidikan yang
dikembangkan dalam pesantren tersebut.[4]
Sistem
Tradisional memang sangat menekankan pada pembinaan individu yang berdasarkan
pada ajaran Agama dan tidak terlalu mementingkan pendidikan umum. Sistem
pendidikan tradisional ini mengisolasikan diri terhadap perkembangan
pendidikan, tidak hanya pendidikan umum tetapi juga pendidikan mengenai agama
Islam. Pendidikan dalam sistem ini sangat berpusat kepada kiai, sehingga
memiliki banyak kiai dalam sebuah pesantren memberikan nilai lebih bagi
pesantren tersebut.
Pesantren
yang memiliki sistem pendidikan moderen, kemajuan pesantren tidak dinilai
berdasarkan jumlah kiai melainkan pada jumlah santri yang masuk dan keluar
serta kemajuan pendidikan dari para santri. Pesantren dengan sistem pendidikan moderen
ini memang lebih mirip kepada madrasah.
Kurikulum pendidikan yang diberikan tidak hanya pendidikan mengenai agama dan
moral beragam saja tetapi juga pendidikan umum seperti sekolah biasa lainnya,
sehingga beberapa institusi pesantren juga menyediakan pendidikan umum seperti
SMP, SMU, bahkan perguruan tinggi. Pelajaran tentang kitab-kitab klasik Islam
tetap menjadi prioritas utama dalam pesantren ini.
Daftar
pusaka :
Skripsi
:
Narisan.
Sistem Pendidikan Pesantren Menurut
Nurcholis Madjid.2008. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta
Jurnal :
Rizal, Ahmad S. Tranformasi Corak Edukasi dalam Sistem
Pendidikan Pesantren, Dari Pola Tradisi ke Pola Moderen.2011.Jurnal Pendidikan Agama Islam Ta’lim Vol.9
No.2.
Buku :
Wahyoetomo. Perguruan Tinggi Pesantren : Pendidikan Alternatif Masa Depan.1997.
Gema Insani Press.Jakarta.
Internet :
McInerny,
Ralph., O'Callaghan, John. Saint Thomas
Aquinas. 2010. The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Winter 2010 Edition,
Edward N. Zalta (ed.), di halaman web
<http://plato.stanford.edu/archives/win2010/entries/aquinas/> diakses
pada tanggal 24 Mei 2013, Pukul 19.00 WIB.
Artikel
:
Zuhdi,
Mohammad. Ideologi Pendidikan Kontemporer.
2010. Kementrian Agama BDK RI. Publikasi 7 Meil 2010. di halaman web <http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/
ideologiPendidikanKontemporer.pdf> diakses pada
tanggal 24 Mei 2013, Pukul 19.20 WIB.
[1] Lihat Ralph
McInerny dan John O'Callaghan, Saint
Thomas Aquinas. Di halaman web
http://plato.stanford.edu/archives/win2010/entries/aquinas/
[2]
Lihat artikel milik Drs. H.
Mohammad Zuhdi, M. Ag, Ideologi Pendidikan Kontemporer, di
halaman web http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/IdeologiPendidikanKontemporer.pdf
[3] Lihat Wahyoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren : Pendidikan Alternatif Masa Depan,(Jakarta,
: Gema Insani Press, 1997), hal 83.
[4] Lihat Rizal, Ahmad S. Tranformasi
Corak Edukasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren, Dari Pola Tradisi ke Pola Moderen.2011
Jurnal
Pendidikan Agama Islam Ta’lim Vol.9 No.2.
Artikel mas Adam di atas aku temukan dengan kata kunci searching digoogle "pendidikan scholastik adalah", bahasan yang sangat menarik untuk dibaca & untuk diketahui, and lebih mantap lagi bila "Sistem pendidikan Seminari" juga Anda paparkan...
BalasHapus