Menolong Dalam Pemikiran Etika Objectivism Milik Ayn Rand
Oleh : Adam Azano Satrio, 0906522861
Abstrak
Jurnal ini
bertujuan sebagai pembelaan etik terhadap orang - orang yang telah bersusah
payah untuk hidup dan merealisasikan mimpi – mimpinya, yang dipaksa untuk bertanggung
jawab dan berkorban untuk menolong orang lain yang tidak dia inginkan melalui
berbagai macam kemunafikan, untuk berkata tidak dan menolak secara tegas tiap
usaha yang menekan kebebasan manusia dari para “pencuri kehidupan” dengan menggunakan
pemikiran etika objectivism milik Ayn
Rand. Etika objectivism milik Ayn
Rand yang sering disebut sebagai etika objektifis yang beranggapan bahwa hal
yang baik bagi tiap orang adalah perbuatan yang menguntungkan keinginan pribadi
(self interest) bagi dirinya, dan
mampu meminimalisir segala hal yang mampu merugikan self interestnya, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang
merugikan self interest bagi dirinya.
Penulis ingin menarik masalah ini menjadi lebih praktis dengan mengaitkannya
dengan perbuatan menolong orang lain (helping).
Sebagaimana kita ketahui seringkali dalam permasalahan self interest Ayn Rand menekankan bahwa tiap manusia pastilah
mengejar keuntungan yaitu pemenuhan self
interest dan menjadi tidak rasional jika kita memikirkan self interest orang lain. Penulis ingin
menggunakan pemikiran Ayn Rand tentang etika objektifis untuk menganalisa
fenomena membantu orang lain. Perbuatan menolong merupakan hal yang sering kita
rasakan dan lakukan sehari – hari. Fenomena perbuatan menolong orang lain
tersebut yang seringkali dianggap mayoritas orang perbuatan remeh dan tidak
pantas dijadikan bahan kajian akademis, namun penulis berkeyakinan bahwa
perbuatan menolong orang tidak sesederhana itu dan bisa dikaji secara filosofis
untuk menunjukan konsekuensi dari perbuatan menolong orang lain.
Kata kunci:
etika morality, value, self interest, sacrifice, compromise goodwill
/generosity, non –
sacrifice, non – duty, reasonable, self esteem.
Pendahuluan
Etika sebagai cabang filsafat yang
membahas tentang baik dan buruk suatu perbuatan, selama ini selalu menjadi
bahan perbincangan yang tak akan pernah habisnya. Filsafat barat selalu mencoba
untuk membongkar pertanyaan,apakah sebenarnya perbuatan baik bagi manusia?
Dalam pembahasan etika, pada umumnya para filsuf selalu membuat dua kutub dalam
baik buruknya perbuatan manusia, yaitu duty
based disalah satu kutub dan pada kutub lainnya adalah consequentialism. Kedua teori ini menekankan dua hal berbeda
tentang perbuatan baik. Jika dalam duty
based yang menjadi landasan utama adalah pelaksanaan unsur kewajiban, maka
pada consequentialism yang menjadi
landasan utama adalah unsur hasil dari suatu perbuatan. Baik duty based dan consequentialism keduanya memiliki kelemahan yang selama ini kita
ketahui.[1]
Ayn Rand, seorang pemikir
Rusia yang bermigrasi ke Amerika, mencoba membangun landasan etika miliknya
sendiri, yang disebut dengan etika objectivism.
Pemikiran Ayn Rand tentang etika banyak disalahartikan sebagai bentuk etika
egoistis yang menghalalkan segala cara untuk kesenangan pribadi yang
berlandaskan hasrat saja. Ayn Rand sendiri menolak pernyataan tersebut dengan
mengatakan bahwa, etika tersebut bukanlah pemikiran etika objectivism miliknya karena menggunakan rasionalitas sebagai
parameter.[2] Dapat terlihat
bahwa Ayn Rand menekankan cara survivalitas manusia dalam kehidupan bukan
dengan landasan pada pemenuhan hasrat semata, namun dengan menggunakan kognisi
dari rasionalitas.
Sebelum melanjutkan secara
mendetail tentang etika dalam filsafat objectivism,
penulis akan menjabarkan pemikiran objectivism
milik Ayn Rand secara umum pada bagian pendahuluan ini. Objectivism Ayn Rand berpegang pada empat hal yaitu:
Pertama
tentang
realitas. Realitas, menurut Ayn Rand eksis sebagai sesuatu yang absolut
objektif. Dia mengatakan, fakta adalah fakta yang memiliki sifat independen
dari perasaan, harapan, keinginan, dan ketakutan manusia. Realitas sifatnya bisa diketahui dan hukum
alam bekerja secara pasti dan apa yang manusia bisa lakukan hanya menemukan dan
memodifikasi suatu formula di alam.
Kedua tentang Reason, sebagai alat kemampuan manusia mengintegrasikan dan
mengidentifikasi materi-materi yang terjaring melalui indera-indera kita. Reason adalah satu-satunya alat untuk
merasakan atau menangkap realitas, dan hanya itulah sumber pengetahuan, satu-satunya
penuntun tindakan atau aksi, dan merupakan alat dasar untuk survival.
Ketiga adalah bahwa setiap
orang adalah tujuan akhir dari dirinya, bukan merupakan alat bagi yang lainnya.
Dia harus eksis demi dirinya, bukan untuk mengorbankan diri bagi yang lain
ataupun mengorbankan yang lain bagi dirinya. Pencarian akan kepentingan diri rasionalnya
sendiri dan kebahagiaannya sendiri adalah tujuan moral yang tertinggi dari
hidupnya.
Keempat
adalah sistem
politik-ekonomi yang merupakan cara kerja kapitalisme. Ini adalah sebuah sistem
di mana orang berurusan satu sama lain tanpa ada yang menjadi korban atau yang
mengorbankan pihak lain. Kedua pihak harus sama-sama mendapatkan keuntungan (mutual
benefit). Mereka berhubungan dalam aktivitas perdagangan. Pemerintah dalam hal
ini hanya berfungsi sebagai semacam polisi untuk mengatur perilaku mereka yang
mulai menggunakan kekuatan fisiknya kepada pihak yang lain. Seharusnya –namun
ternyata tak pernah ada atau terjadi– yang ideal, yaitu ada pemisahan antara
politik dan ekonomi, serupa dengan pemisahan antara negara dan gereja.[3]
Setelah kita mengetahui secara
umum landasan pemikiran filsafat objectivism,
penulis ingin menggunakan pemikiran Ayn Rand tentang etika untuk
menganalisa fenomena membantu orang lain.
Perihal
etika objectivism
Dikarenakan penulis memfokuskan
diri pada permasalahan etika objectivism,
maka pada tulisan ini penulis hanya akan menjelaskan beberapa term dan definisi
dalam pemikiran Ayn Rand yang berhubungan dengan pemikiran etika miliknya,
yaitu morality, value, self interest, sacrifice, dan compromise.
Ayn Rand memulai pembahasan tentang
etika melalui pertanyaan tentang mengapa kita butuh moralitas (morality)?
Bagi Ayn Rand jawaban dari pertanyaan metaetik tersebut adalah moralitas dibutuhkan
karena itu adalah alat bertahan hidup manusia. Moralitas adalah kode yang
menjamin adanya survivalitas dari kehidupan yang dijalani manusia.
Ayn Rand menekankan bahwa perbedaan
utama yang dimiliki manusia dan binatang adalah kemampuan survivalitasnya. Jika
binatang telah terberi kemampuan untuk survivalitasnya dengan kemampuan
fisiknya terutama instingnya, maka manusia memiliki alat survivalitas yang
berbeda yaitu rasio. Rasio dikatakan sebagai alat penjamin bahwa manusia mampu
bertahan hidup untuk dirinya sendiri.[4]
Bentuk survivalitas yang bisa dihasilkan dari rasio adalah kemampuan untuk
berpikir dan memproduksi yang berujung pada kesadaran akan value.
Value merupakan
nilai yang berharga yang dikejar untuk didapatkan melalui suatu tindakan.
Keberadaan term value merupakan konsekuensi
dari term moralitas. Setelah moralitas dibutuhkan sebagai alat survivalitas
manusia, maka keadaan manusia dalam bertahan hidup pasti memiliki pilihan -
pilihan dalam menentukan tindakannya. Adanya alternatif pilihan tersebut pada
akhirnya menghasilkan pemikiran sesuatu hal lebih berharga dibandingkan hal
lainnya dan disinilah value menjadi
dapat dibicarakan.[5]
Value menjadi
parameter untuk melakukan tindakan karena hal tersebut masih berhubungan dengan
keselamatan dirinya sebagai mahluk yang hidup yang berusaha mempertahankan
kehidupannya. Value hadir karena tiap
pilihan yang dilakukan manusia merupakan bentuk dari usaha yang dilakukan, value tersebut merupakan parameter yang
bersifat penting karena jika seseorang salah melakukan penilaian bisa
menyebabkan gangguan dalam proses menjalani kehidupannya dan pada titik ekstrim
ujung dari hal tersebut adalah kematian bagi dirinya sendiri.[6]
Penjelasan konsep value ini mengijinkan kita untuk
membahas permasalahan tentang self
interest, karena konsep ini melanjutkan pernyataan bahwa tiap tiap orang
orang untuk bertahan hidup harus berhadapan value
agar kehidupan manusia mampu dipertahankan dan saat manusia memilih suatu hal
yang dianggap bervalue bagi dirinya
sendiri maka konsekuensinya adalah tiap orang punya kepentingan bagi dirinya
sendiri dan hal tersebut bersifat personal. Ayn Rand mengakui bahwa value memiliki penilaian hierarkis yang
berarti ada sebuah value utama yang
dikejar manusia yaitu “Ultimate Value”, yaitu kehidupannya sendiri.[7]
Setelah kita mengetahui bahwa value bagi Ayn Rand memiliki bisa kita
simpulkan bahwa tiap - tiap orang memiliki value
yang end in itself bagi dirinya
sendiri, karena hal tersebutlah kita bisa melanjutkan kepada persoalan self interest.
Self
interest dalam pemikiran Ayn Rand merupakan pemikiran paling mendasar dari
filsafatnya. Self interest
mengijinkan pemikiran etika objectivism
membangun argumentasi sehingga adalah hal rasional jika seseorang, sebagai agen
moral, hanya memfokuskan diri dalam proses pemenuhan interest dirinya sendiri dalam kehidupannya. Ayn Rand menegaskan
bahwa Self interest itu sendiri
bersifat mendasar dan subjektif sehingga tiap – tiap orang sebagai agen moral
memiliki dan memilih tujuan serta pandangan tentang interestnya masing – masing.[8]
Harus ditekankan bahwa self interest yang diangkat oleh Ayn Rand, dalam teori dan praktiknya,
harus bertindak secara rasional yang berarti menggunakan kognisi yang penuh
perhitungan serta pemikiran dan tidak bertindak hanya dengan berlandaskan
hasrat yang gegabah. Ayn Rand menyadari bahwa hasrat tidak memiliki kekuatan
validitas sebagai penentu bahwa yang dihasratkan oleh agen moral merupakan hal
baik bagi dirinya, ataupun yang didapatkan sesuai dengan interest jangka panjangnya. [9]
Seringkali banyak orang yang menganggap bahwa
etika objectivism mengijinkan
mengorbankan ataupun memanipulasi orang lain untuk pemenuhan self interestnya, atau dengan kata lain
menghalalkan segala cara untuk memenuhi self
interest sang agen moral. Ayn Rand menolak anggapaan itu dalam teksnya
dengan mengungkapkan bahwa etika objectivism
tidak mengijinkan adanya asumsi dalam bentuk relasi yang bersifat merugikan
salah satu pihak dan hanya mengijinkan sebuah relasi yang bersifat non sacrificial relationship, serta
semua hal tersebut hanya bisa terjadi dengan adanya kesadaran yang disebabkan
rasionalitas dari kedua belah pihak.[10]
Self
interest merupakan konsekuensi rasional yang dibahas dalam penalaran etika
objektivisme ini, namun pada kegiatan kehidupan manusia seringkali kita melihat
seseorang melakukan tindakan yang membuang self
interest atau pengorbanan dengan alasan kolektivitas ataupun dengan alasan
lainnya, dan juga kita sering melihat adanya salah penafsiran apakah seseorang
sebenarnya melakukan tindakan pengorbanan atau tidak. Karena hal tersebut maka
pada pembahasan selanjutnya penulis akan menjelaskan permasalahan sacrifice.
Sacrifice
atau pengorbanan menurut Ayn Rand bukan didefinisikan sebagai apa yang telah
kita lakukan untuk memperoleh sesuatu yang kita inginkan. Secara tegas Ayn Rand
membedakan sacrifice dengan non-sacrifice dalam teksnya kita dapat
melihat, bahwa suatu perbuatan dinamakan sebagai non-sacrifice jika perbuatan itu merupakan suatu tuntutan rasional
yang harus dilakukan untuk mencapai interest
pribadinya, term yang cocok untuk digunakan dalam definisi tersebut dalam
bahasa Indonesia adalah resiko.
Ayn Rand membongkar kenyataan dalam
sacrifice yaitu adanya hubungan
dengan sistem kuasa. Ketika dalam relasi manusia terjadi sacrifice, maka bagi Ayn Rand telah terjadi suatu bentuk kekuasaan
sepihak dimana pihak tersebut telah menjadikan pihak lainnya sebagai objek
pemuasan interest dirinya tanpa
hubungan timbal balik.[11]
Sacrifice
disebutkan oleh Ayn Rand (1961: 114) dalam For
The New Intellectual sebagai “a sacrifice is the surrender of a Value.
Full sacrifice is full surrender of all Values…” Oleh karena itu, jika
seseorang melakukan suatu perbuatan bukan karena interest pribadi, melainkan karena orang lain ataupun melakukan hal
yang secara rasional merugikan dirinya, karena membuat dirinya harus melepas interest besarnya dikatakan sacrifice. Definisi sacrifice atau pengorbanan ini mempermudah kita untuk melakukan
penilaian, apakah perbuatan yang kita dan lakukan benar secara moralitas dan
etika dari sudut pandang etika objectivism.
Seringkali ketika sang agen moral
memilih dan melakukan hal yang bertujuan untuk memenuhi self interestnya, terlihat bahwa dirinya masih membutuhkan orang
lain untuk membantunya. Ayn Rand menyadari bahwa hanya ada dua cara untuk
mendapatkannya, yaitu dengan menjadi seorang yang memperalat atau mengambil hak
orang lain dengan azas paksaan atau dengan menggunakan compromise terhadap orang lain dengan azas sukarela. Dikarenakan
Ayn Rand tidak mengijinkan adanya hubungan yang bersifat sacrifice disalah satu pihak, seperti yang diungkapkan pada paragraf
sebelumnya, sehingga kita hanya disisakan pada pilihan compromise.
Pemikiran bahwa harus ada yang
ditukarkan inilah yang membuat tiap – tiap orang menyadari bahwa dirinya tidak
mungkin bisa melakukan segalanya seorang diri, dan tetap membutuhkan orang lain
untuk mendapatkan self interestnya.
Term ini tidak dapat digunakan untuk menghalalkan perbuatan menindas orang lain
dan mendapat keuntungan dari orang tersebut, seperti pada kasus seorang preman
yang memaksa orang lain untuk memberikan uang padanya untuk keselamatan orang
lain tersebut, hal tersebut dikarenakan memang bukan hak orang lain tersebut
untuk disakiti.[12]
Dapat
disimpulkan bahwa compromise
merupakan hal penting dalam relasi manusia, selain menunjukan bahwa tiap orang
memiliki kemampuan dan spesialisasi yang berbeda – beda juga menghargai manusia
sebagai individu bebas yang berhak memperoleh penghargaan dari apa yang
diusahakannya.
Ayn
Rand sebagai seorang filsuf, menekankan pentingnya etika yang membuat manusia
berharga, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupannya. Bagi Ayn
Rand moralitas hadir bukan hanya sekedar kenapa manusia mampu dikatakan baik,
tetapi juga berhubungan dengan survivalitas kehidupannya dari kematian.
Kemampuan survivalitas manusia berbeda dengan kemampuan survivalitas binatang,
manusia tidak bisa hidup seperti binatang yang hanya bisa berdasarkan insting
dan kemampuan fisiknya saja, manusia telah terberi dengan rasio yang membuat
dirinya mampu bertahan hidup. Rasio yang digunakan manusia tersebut pada
akhirnya mampu membuat manusia mengetahui apa yang berharga bagi dirinya
sendiri atas alternatif pilihan yang tersedia dalam kehidupan untuk melanjutkan
survivalitasnya. Kesadaran akan pilihan tersebut pada akhirnya berlanjut dengan
menemukan term value. Value itu sendiri sangat erat keterkaitanannya dengan
hidup manusia dan Ayn Rand meyakini bahwa value itu sendiri bersifat end it self bagi tiap individu itu sendiri.
kenyataan bahwa value berhubungan dengan
kemampuan hidup manusia dan juga dianggap end it self dari tiap individu maka
Ayn Rand sama sekali tidak menyetujui bahwa self
interest seseorang harus dikorbankan untuk kebahagiaan yang lainnya,
ataupun bisa dipaksa untuk melakukan suatu kewajiban untuk mengorbankan self interest pribadi tanpa adanya
alasan rasional yang dapat dipertanggung jawabkan. Ayn Rand menyadari bahwa
manusia memiliki batasan kemampuannya masing – masing untuk memenuhi self interest masing masing, baik dari
segi keterbatasan tempat, waktu, modal, kemampuan pikir dan lain sebagainya,
yang pada akhirnya menyebabkan manusia mampu berfikir, bahwa ada cara melakukan
Compromise agar tiap individu mampu
menukarkan kemampuan demi terwujudnya masing masing individu tersebut.
Perihal
menolong
Terlihatlah akan muncul
permasalahan dalam persoalan menolong orang lain, karena perbuatan menolong,
baik secara teoritis ataupun aktual, tidak pernah ada jaminan bahwa orang yang
ditolong tersebut mampu membalas kebaikan sang agen moral karena tidak ada suatu
hal yang mampu ditukarkan dari orang yang ditolong.
Perbuatan menolong orang lain atau helping, merupakan term yang sering
dianggap tidak mungkin bisa dilakukan dalam etika objectivism. Sering kali perbuatan menolong orang lain seperti
beramal, mengikuti kerja sosial, menghibur orang lain dan lain sebagainya
merupakan hal yang dilarang karena anggapan perbuatan tersebut tidak
menguntungkan interest pribadi. Ayn
Rand memandang bahwa seringkali seseorang melakukan perbuatan menolong orang
lain, dan Ayn Rand memandang hal tersebut sebagai bentuk goodwill manusia dalam kehidupan sosialnya. Permasalahan utama yang
Ayn Rand ingin angkat dalam persoalan menolong orang lain adalah ada atau tidak
adanya kewajiban dan penting atau remehkah untuk menolong orang lain.[13]
Banyak tafsiran yang menganggap
bahwa tidak mungkin pertolongan bisa dilakukan dengan tidak adanya suatu
perbuatan timbal balik dengan adanya term compromise,
sedangkan Ayn Rand sendiri tidak melarang perbuatan menolong orang lain selama
tidak mengganggu self interest dan
mengandung sacrifice di dalamnya,
karena jika ada unsur sacrifice didalamnya
maka etika yang dilakukannya menjadi etika altruism.
Ayn Rand (1964: 41) menjelaskan dalam Virtue
Of Selfishness bahwa,“The proper
method of judging when or whether one should help another person is by
reference to one’s own rational self-interest and one’s own hierarchy of Values:
the time, money or effort one gives or the risk one takes should be
proportionate to the Value of the person in relation to one’s own happiness.” Oleh karena itu kita dapat melihat celah etika
objectivism masih mengijinkan sang
agen moral untuk menolong orang lain selama sang agen moral mampu meyakini,
memilih serta menanggung resiko yang akan diterima melalui perhitungan
rasionalnya.
Dalam kerangka pemikiran Ayn Rand,
perbuatan menolong harus berdasarkan pemikiran rasional agar tidak mengganggu interest pribadinya. Hal tersebutlah
yang membuat suatu perbuatan moral memiliki nilai dan arti keberhargaan bagi
kehidupan manusia, berbeda dengan etika altruis yang berarti tidak memiliki
penghargaan pada kehidupan manusia dengan menolong secara gegabah karena tidak
berlandaskan nilai tertentu.
Dapat kita ketahui perbuatan
menolong dalam pemikiran Ayn Rand tidaklah dilarang, sebab hal tersebut adalah
hak setiap agen moral untuk melakukannya selama perbuatan tersebut tidak
mengandung sacrifice di dalamnya, dan
bukan suatu bentuk kewajiban melainkan resiko dari pilihan sang agen moral
untuk melakukannya, karena adanya asumsi saat seseorang menolong pastilah orang
tersebut memiliki perhitungan dan skala prioritasnya yang masih berhubungan
dengan self interestnya.
Syarat
helping dalam etika Ayn Rand
Dikarenakan
dalam tulisan Ayn Rand tidak pernah dituliskan bagaimana metode seseorang
dikatakan etik dalam persoalan menolong orang lain, maka penulis akan
berspekulasi dengan menuliskan syarat apa saja yang harus dilakukan sang agen
moral ketika menolong orang lain dengan menggunakan referensi tulisan Ayn Rand. Penulis menyimpulkan bahwa perbuatan
helping bisa dikatakan etik jika term
disini terpenuhi. Term tersebut adalah goodwill
/generosity, non – sacrifice, non –
duty, reasonable, dan self esteem.
Goodwill / generosity diartikan sebagai
bentuk perbuatan yang berdasarkan compassion
dan bukan berdasarkan ada keinginan untuk dibalas dan melakukan perjanjian
bahwa ada balasan perbuatan baik tersebut, karena jika ada unsur timbal balik
didalamnya maka tidak bisa dibedakan apa perbuatan helping dengan compromise.
Goodwill / generosity di sini berupa
motif yang menyebabkan seseorang ingin menolong orang lain, hal ini merupakan
sifat emosional. Terlihatlah Ayn Rand tetap memaklumkan bahwa manusia tidak
hanya terbatas dengan rasio saja, masih ada unsur emosi di dalamnya. Perbuatan
menolong orang lain merupakan bentuk penyaluran dari emosi tersebut.
Tetap harus sangat diingatkan dalam
pemikiran etika Ayn Rand, perbuatan menolong harus berdasarkan pemikiran
rasional agar tidak mengganggu interest
pribadinya. Hal tersebutlah yang membuat suatu perbuatan moral memiliki nilai
dan arti keberhargaan bagi kehidupan manusia, berbeda dengan etika altruis yang
berarti tidak memiliki penghargaan pada
kehidupan manusia dengan menolong secara gegabah karena tidak dipertimbangkan
oleh rasionalitas.
Selanjutnya
persoalan non – sacrifice, sebagaimana
yang telah penulis jelaskan pada bagian sebelumnya bahwa Ayn Rand menolak etika
altruism yang menekankan pengorbanan
sang agen moral terhadap orang lain. Hal tersebut juga berlaku pada perbuatan helping, dimana saat menolong harus
ditekankan bahwa perbuatan menolong tidak boleh menyebabkan sang agen moral
sampai mengorbankan value dirinya sendiri
untuk membantu orang lain.
Contoh
sederhana adalah ketika seseorang yang memiliki maag melihat temannya sedang
kelaparan dan dirinya memiliki kelebihan uang untuk membelikan makan untuk
temannya, maka yang dilakukannya bukan perbuatan sacrifice dan merupakan perbuatan etika objectivism, tetapi jika orang tersebut hanya memiliki uang untuk
dirinya sendiri namun memaksakan diri kepada temannya tersebut maka yang
dilakukannya adalah tidak berlandaskan etika objectivism.
Syarat
selanjutnya adalah non - duty. Sebuah
perbuatan menolong haruslah berdasarkan suatu keinginan pribadi yang bersifat
individual, bukan berdasarkan suatu bentuk paksaan dari sesuatu atau orang
lain. Penulis menganggap bahwa non duty juga merupakan syarat suatu suatu
perbuatan menolong dikatakan perbuatan etik dalam pemikiran Ayn Rand, karena
prinsip ini menjamin manusia sebagai mahluk yang memiliki kebebasan untuk memilih
bagi dirinya sendiri. Ketiadaan unsur kewajiban dalam perbuatan menolong juga
menunjukan bahwa goodwill yang
dimiliki manusia juga memiliki andil dalam perbuatan menolong tersebut.
Jika
suatu perbuatan menolong berlandaskan pada unsur kewajiban saat menolong, maka
perbuatan yang dilakukannya itu tak ada bedanya dengan sebuah “mesin kebaikan”,
dan rasa keberhargaan akan kehidupan yang dimilikinya akan menjadi hilang.
Selain itu kewajiban mengeksplisitkan bahwa manusia di dalam kehidupannya tidak
memiliki pilihan, dan tindakan.
Syarat
selanjutnya adalah reasonable. Sebuah
perbuatan menolong haruslah berdasarkan pemikiran rasional yang bersifat
mempertimbangkan untung rugi dalam melihat resiko yang akan diterima. Disini
penulis menafsirkan reason sebagai
alat yang memprediksi dan memutuskan tentang sebab dan akibat suatu perbuatan
yang diambil sang agen moral. Walaupun ada motif seperti goodwill didalam suatu perbuatan menolong, tindakan yang dilakukan
sang agen moral tersebut harus dipertimbangkan dahulu dalam rasionya.
Contoh
penggunaan rasio sebagai alat pertimbangan dan memprediksi resiko adalah ketika
melihat seseorang yang sedang tenggelam di sungai. Jika sang agen moral pada
saat itu tidak memiliki kemampuan untuk berenang tapi memaksakan diri untuk
menyelamatkan orang tersebut dengan cara berenang maka yang dilakukannya tidak
rasional, karena selain resiko yang dialami agen moral tersebut seperti
tenggelam serta keberhasilan untuk menolong orang yang tenggelam tersebut juga
kecil.
Syarat selanjutnya adalah self esteem. Jika sang agen moral hanya
berhenti pada tahap reason saja tanpa
adanya self esteem maka agen moral
tersebut dalam mengambil keputusan akan lebih dekat pada sifat pesimistik dalam
kehidupan dan menyebabkan segala sesuatu di dunia menjadi suatu ketakutan. Sedangkan
jika hanya menggunakan self esteem
saja tanpa reason maka tindakan yang
dilakukan oleh sang agen moral adalah tindakan gegabah yang tanpa perhitungan,
dan sudah dapat dibayangkan bahwa dalam etika Ayn Rand perbuatan tanpa adanya
rasionalitas yang mengambil bagian di dalam pengambilan keputusannya merupakan
hal yang dilarang.
Kelima syarat tersebut yaitu goodwill / generosity, non – sacrifice, non – duty, reasonable, dan
self esteem, merupakan prinsip utama
yang penulis abstraksikan dari tulisan Ayn Rand, yang sifatnya rigid dan harus
dipenuhi agar suatu perbuatan menolong dapat dikatakan sebagai perbuatan etik
dalam pemikiran etika objectivism milik
Ayn Rand.
Perihal
“Life In The Boat Dillema”
Seringkali Ayn Rand dikritik karena
teori etikanya pasti menyebabkan adanya conflict
of interest ketika setiap individu ingin mengejar hal serupa. Konflik ini
sering terjadi dalam persoalan yang bisa dikatakan remeh sampai tahap ekstrim
yang berhubungan dengan nyawa seseorang. Thought
experiment yang sering digunakan untuk mengkritik penggunaan etika Ayn Rand
adalah persoalan “Life In The Boat
Dillema” ketika sebuah kapal yang dikendarai dua orang akan tenggelam dan harus
mengorbankan salah satu dari orang tersebut untuk dilemparkan ke laut jika
tidak maka keduanya tidak akan selamat.
Disini diuji, bagaimana etika objectivism mampu menjawab pertanyaan di
atas. Terlihat pada kondisi tersebut seseorang objektivis harus memilih prinsip
yang harus dilakukannya. Bagaimana mungkin agen moral bisa menolong orang lain
ketika ada prasyarat tersebut?
Thought
experiment diatas jika kita tidak secara hati - hati menanggapinya, akan
bertendensi untuk mengatakan bahwa jika seseorang yang menganut etika
objektifis Ayn Rand, dimana seseorang akan pasti akan berusaha semaksimal
mungkin agar dirinya selamat dengan cara mengorbankan selain dirinya sendiri,
pasti akan mengorbankan orang lain untuk keuntungan dirinya sendiri. Apakah
kesimpulan tersebut itu benar?
Menurut Ayn Rand persoalan dilematis
tersebut sebenarnya bukan pertanyaan yang tepat. Persoalan tentang kapal
tersebut muncul karena menganggap dunia adalah suatu hal yang tidak bisa
dikuasai, dan manusia adalah mahluk lemah yang menyerah dengan alam. Bahkan Ayn
Rand menyebutkan bahwa pertanyaannya yang salah, dan menyamakan keadan di dunia
dengan kehidupan diatas perahu adalah suatu kesalahan.
Terlihat sebenarnya Ayn Rand tidak bisa
menjawab persoalan tersebut, kelemahan teori ini ditutup oleh dirinya dengan
menyerang pertanyaannya dan sudah jelas bahwa ini merupakan kesalahan metode
berlogika yaitu Argumen ad Populum
(Menyerang Kelompoknya). Ayn Rand menyerang pemikiran Altruism yang menyerang
pemikiran tersebut namun tetap tidak menjelaskan jawaban. Penulis disini
mengambil posisi setuju dengan alasan Ayn Rand menyerang pemikiran altruisme
tersebut tetapi penulis tidak setuju dengan jawaban yang diberikan Ayn Rand.
Terlihat bahwa etika ini tidaklah bisa diterapkan pada keadaan bersifat kritis yang
berhubungan dengan nyawa dimana seseorang harus dikorbankan.
Kesimpulan
Dari semua hal tersebut dapat kita simpulkan, bahwa
Ayn Rand menekankan pentingnya etika yang membuat manusia berharga, mandiri,
dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupannya. Dirinya sama sekali tidak
menyetujui bahwa self intest
seseorang harus ataupun boleh dikorbankan untuk kebahagiaan yang lainnya,
ataupun bisa dipaksa untuk melakukan suatu kewajiban untuk mengorbankan self interest pribadi. Ayn Rand
menyadari bahwa manusia memiliki batasan kemampuannya masing – masing untuk
memenuhi self intest masing masing,
baik dari segi keterbatasan tempat, waktu, modal, kemampuan pikir dan lain
sebagainya, yang pada akhirnya menyebabkan manusia mampu berfikir, bahwa ada
cara melakukan Compromise agar tiap
individu mampu menukarkan kemampuan demi terwujudnya masing - masing individu
tersebut. Compromise ini sering
disalahgunakan sebagai alibi untuk tidak menolong orang lain. Pemikiran itu
muncul karenakan secara teoritis ataupun praktis seseorang yang ditolong, tidak
memiliki apapun untuk ditukarkan, namun kita dapat melihat bahwa perbuatan
menolong orang lain itu masih diijinkan dalam kerangka pikir etika Ayn Ran selama
menggunakan prinsip tertentu yaitu goodwill
/ generosity, non – sacrifice, non –
duty, reasonable, dan self esteem.
Secara sederhana kita dapat menganalogikan pemikiran etika objectivism milik Ayn Rand dengan meminjam bentuk relasi antar
spesies pada biologi, bahwa relasi yang manusia tidak boleh dilakukan secara
simbiosis parasitisme, dan mengijinkan jika didasarkan pada simbiosis
mutualisme, namun manusia tidak dilarang untuk melakukan simbiosis
komensalisme. Walaupun terlihat bahwa etika ini memberikan prinsip di mana tiap
orang tidak ditindas dan diperalat oleh orang lain dan mengijinkan memberikan
pertolongan sesuai keinginan dan kemampuan, pada saat kritis yang berhubungan
dengan nyawa, teori ini tidak bisa memberikan jawaban yang rigid.
Di balik kekurangan tersebut, etika ini
mengajarkan suatu prinsip utama bahwa kehidupan merupakan suatu perjuangan dan
usaha bagi diri sendiri, walaupun keadaan yang terpuruk seperti apapun manusia
sebagai mahluk yang memiliki rasio harus memikirkan bagaimana cara menggunakan
kemampuan kognisinya untuk memproduksi sesuatu untuk keberlangsungan hidup
dirinya. Keadaan kehidupan manusia bukanlah keadaan yang lemah sama sekali saat
terlahir di kehidupan ini, kita telah terberi akal untuk mampu memodifikasi dan
menguasai alam. Bukanlah seorang animal rationale
jika seseorang rela ataupun dipaksa untuk menjadi animal sacrifium bagi orang lain. Prinsip etika ini juga menjamin
bahwa jika seseorang menolong orang lain tidak boleh sampai memaksakan diri sehingga
sang penolong menjadi tumbal yang ditolong, atau dengan kata lain, tolonglah
dirimu sendiri baru kau bisa menolong orang lain.
Daftar
Pustaka
·
Fieser, James. Ethics, Internet Encyclopedia Of Philosophy. 2009. 10 Mar. 2013.
<http://www.iep.utm.edu/ethics>
·
Rand, Ayn. For The New Intellectual, New York: A Signet Book, 1961.
·
---. Introducing Objectivism. 1962. 10
Mei. 2013. <http://www.facetsofaynrand.com/ayn-rand-ideas/introducing-objectivism.html>
·
---.
Philosophy: Who Need it, New York: A Signet Book, 1982.
·
---. Virtue
of Selfishness. New York: A Signet Book, 1964.
·
Toffler, Alvin. “Playboy Interview: Ayn Rand – Candid Conversation With The Fountainhead
Of “Objectivism” ”. Playboy, Mar.
1964: 35 – 64.
[1] Lihat James Fieser. Ethics. 2009 (Internet Encyclopedia of Philosophy).
[2] Ayn Rand. Virtue of Selfishness. (New York: A Signet Book, 1964) hlm. 8.
[3] Lihat http://www.facetsofaynrand.com/ayn-rand-ideas/introducing-objectivism.html
[4] Rand. (1964). op.cit.,
hlm. 18.
[5] Ibid., hlm. 12
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm. 21.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hlm. 46.
[10] Ibid., hlm. 26.
[11] Ayn Rand. For The New Intellectual. (New York: A Signet Book, 1961) hlm. 58.
[12] Rand (1964). op.cit., hlm 64.
[13] Alvin Toffler. “Playboy
Interview: Ayn Rand – Candid Conversation With The Fountainhead Of
“Objectivism.” ” Playboy Maret, 1964. hlm. 40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar