Page

Total Tayangan Halaman

Rabu, 12 Juni 2013

Tugas Fenomenologi


Tugas Fenomenologi
Oleh Adam Azano Satrio, 0906522861
Thesis statement
Kemungkinan persepsi total dalam fenomenologi Maurice Marleau Ponty melalui teknologi.
Introduksi fenomenologi Maurice Marleau Ponty
Sebagaimana kita ketahui bahwa Maurice Marleau Ponty sebagai filsuf memasukan tubuh sebagai pintu awal memahami kesadaran di dunia. Dalam filsafatnya tidak mungkin ada bentuk kesadaran mutlak yang bersifat tidak menubuh yang mampu memahami kesadaran di dunianya. Keberadaan manusia dengan tubuhnya merupakan satu - satunya cara untuk memahami dunianya, sehingga kita bisa menyadari bahwa kehidupan dunia merupakan satu hal yang unik bagi tiap - tiap individu bertubuh.
Pandangan tersebut mengijinkan kita untuk membahas sebuah kehidupan manusia yang menjalani kehidupannya di dunia dengan lebih sederhana dan membahas bagaimana kesadaran pra reflektif itu bisa terjadi. Pandangan Maurice Marleau Ponty juga memberikan alternatif jawaban dari konsekuensi yang dihadirkan oleh Rene Descartes dengan pemisahan mind dan bodynya, yang berujung pada aliran filsafat rasionalisme dan empirisme. Walaupun begitu penelitian fenomenologis ini tidak ingin menunjukan jawaban yang sama dengan Immanuel Kant dengan pemahaman epistemologinya namun lebih mendasar yaitu tentang kesadaran awal yang dibentuk dalam kehidupan manusia.
Secara sederhana untuk memahami persoalan tentang fenomenologi Maurice Marleau Ponty kita bisa menggunakan contoh dengan melihat cerahnya langit berwarna biru dipagi hari, ataupun saat menggunakan palu untuk memaku, kita melihat dan mengalami hal tersebut sebagai satu kesatuan yang hadir kepada kita secara sertamerta.[1] Melalui hal tersebut kita bisa membayangkan bahwa kehidupan, sebagai suatu aktifitas dan kegiatan, adalah hal yang pertama kali kita ketahui di dalam kesadaran kita, berbeda dengan pandagan Rene Descartes  yang meyakini bahwa aku berfikir maka aku ada, maka Maurice Marleau Ponty meyakini bahwa karena aku bertubuh maka aku ada. Hal tersebut merupakan penyebab bahwa kesadaran manusia akan suatu hal pastilah bersifat dari apa yang mampu dilakukan oleh dirinya. Pengalaman menubuh yang diterima melalui tubuh kita, merupakan awal dari kesadaran yang mampu diterima dalam kegiatan kita mendunia. Fenomena ketubuhan ini juga mengijinkan untuk membahas adanya pernyataan yang unik tentang kemampuan tubuh yang seperti memiliki pemikirannya sendiri, seperti contohnya tubuh kita dapat mengetahui kue sus mana yang enak tanpa perlu membandingkan kue sus yang satu dengan kue sus yang lainnya, ataupun tubuh kita dapat mengetahui apakah seseorang yang kita lihat disuatu ruangan itu cantik ataupun tampan tanpa perlu melakukan penelitian observatif yang berdasarkan rumusan teori tertentu.
Model ilmu pengetahuanpun, diklaim menurut Maurice Marleau Ponty, pada awalnya berdasarkan adanya kesadaran kita dengan tubuh kita. Seperti persoalan jarak, dimana ketika kita melihat suatu benda yang ingin kita raih berada diluar jangkauan tangan kita maka kita mengalami kesadaran bahwa benda tersebut jauh, ataupun persoalan seperti berat, dimana saat kita mencoba mengangkat suatu benda namun benda tersebut tidak mampu kita angkat, maka kesadaran kita mengenal bahwa benda tersebut itu berat yang melebihi beban berat kita sebagai manusia. Secara sederhana tubuh sebagai sesuatu yang erat bagi manusia memiliki kemampuannya sebagai penilai pertama dalam suatu pengetahuan, sehingga jika dibalik pernyataan tersebut secara negatif maka tidak mungkin ada pengetahuan tanpa adanya tubuh.[2]
Hal tersebut memang memberikan pernyataan masuk akal bahwa kesadaran manusia terkait dengan dengan keadaan dirinya sebagai mahluk yang menubuh dalam menjalani kehidupannya, namun penulis menemukan ada konsekuensi unik terlahirkan dari kemampuan manusia, yaitu teknologi, yang membawa fenomenologi Maurice Marleau Ponty dari bersifat kesadaran merupakan perspektif individu yang pada akhirnya unik dengan masing – masing menjadi kesadaran perspektif yang bersifat totalitas.
Dua konsekuensi awal
Kesadaran akan dunia tersebut yang diakses melalui tubuh menurut penulis memiliki dua konsekuensi, yang disebabkan keadaan manusia di dunia, yaitu keterbatasan waktu, ruang, dan kemampuan. Konsekuensi pertama adalah tiap orang menyadari suatu hal yang sama dengan kemampuan perspektifnya masing – masing yang berbeda dan yang kedua beberapa orang bisa tidak mengalami kesadaran sama sekali akan suatu hal dikarenakan perbedaan kemampuan tubuh yang dimilikinya.
Konsekuensi pertama membuka persoalan yang terkait dengan kesadaran manusia sebagai mahluk yang menubuh. Dimana perspektif mengandung keterkaitan dengan kemampuan memahami objek. Untuk mengetahuinya kita dapat menggunakan analogi bunyi yang didengarkan oleh dua orang dengan profesi yang berbeda, yaitu seseorang sebagai musisi dan seseorang sebagai sound engineer. Seorang musisi akan mendengarkan bunyi sebagai suatu yang khas yang berdasarkan aturan musik tertentu dan komposisi nada sebagai pembentuk kenikmatan estetik bagi dirinya yang jika nada tersebut diacak maka akan menyebabkan nada menjadi tidak nikmat di telinga, namun sound engineer hanya akan melihat suara sebagai bentuk amplitude yang memiliki range tertentu dalam frekuensi tertentu, yang jika suatu nada memiliki frekuensi dibawah standar kemampuan manusia tidak akan terdengar ataupun diatasnya akan merusak pendengaran. Kehadiran nada bagi kedua orang tersebut berbeda bukan dalam artian orang tersebut “mengkerangkeng” nada dengan persepsinya sendiri namun nada hadir kedalam dua telinga tersebut dan ditangkap secara berbeda berdasarkan perspektif dari kemampuan tubuhnya masing – masing. Sehingga jika ada seorang musisi yang merangkap sebagai sound engineer maka bentuk kesadaran yang diterimanya tentang nada adalah gabungan dari kedua model tersebut. Pada konsekuensi awal ini penulis ingin menunjukan bahwa suatu hal yang sama yang disadari manusia bisa hadir sebagai sesuatu yang berbeda dan kesadaran yang diterima masing - masing kedua orang tersebut adalah benar apa adanya.[3]
Konsekuensi kedua muncul ketika beberapa orang mampu melihat cerahnya pagi hari dengan matanya, ataupun harumnya mawar melalui hidungnya, beberapa orang yang lain tidak mampu melakukan hal tersebut dikarenakan keterbatasan kemampuan tubuhnya. Mengikuti pemikiran Maurice Marleau Ponty tentang pentingnya tubuh sebagai bentuk awal kesadaran akan fenomena, maka orang buta tidak mungkin mampu mengalami kesadaran tentang warna merah yang berasal dari sebuah patung dan hanya terbatas pada kemampuannya untuk meraba bentuk patung tersebut dari tanganya, orang tuli tidak akan mampu mengalami kesadaran tentang nada yang dikeluarkan dari gitar tetapi hanya terbatas dari melihat posisi jari yang membentuk akor yang dilakukan sang gitaris, dan lain sebagainya.[4] Contoh orang buta dan orang tuli itupun bersifat terbatas, sehingga ketika seseorang yang buta tiba - tiba dapat melihat dapat dipastikan dirinya tidak bisa mengetahui apa warna merah, dan orang tuli tiba – tiba dapat mendengar tidak bisa mengetahui nada yang dimainkan sang gitaris. Ketika hal tersebut adalah benar, dalam pemikiran fenomenologi Maurice Marleau Ponty, maka akan ada kemungkinan lainnya, bahwa ketika seseorang yang sebelumnya memiliki kelengkapan tubuh dan kemampuan persepsi yang utuh, kehilangan segala kemampuan persepsinya maka keadaannya pada saat itu tidaklah berkesadaran, jika ada kesadaranpun kesadaran yang dirasakannya bukanlah merupakan hal yang baru tetapi tak lebih dari memori yang diperoleh dari persepsi masa lalunya.
Persoalan kecacatan tersebut menurut penulis adalah hal menarik, mengingat Maurice Marleau Ponty juga menggunakan argumen kecacatan, dalam kasus ini phantom hand, sebagai bentuk anomali di mana seorang pasien yang memiliki ketidaklengkapan anggota tubuh tetap merasa memiliki pengindraan dengan anggota tubuhnya tersebut. Phantom hand tersebut membuka persoalan bahwa masih erat keterkaitan antara tubuh dan psikologi, yang di mana era modern lebih sering memisahkan kedua hal tersebut menjadi persoalan yang secara rigoris murni terpisah. Di sini kecacatan menurut penulis adalah penutup kemungkinan adanya pra -kesadaran yang baru.
Munculnya konsekuensi ketiga
            Jika pra - kesadaran dikatakan terbatas dari tubuhnya sendiri maka persoalan kecacatan menjadi perihal penutup kemungkinan adanya kesempatan kesadaran tersebut. Persoalan tubuh tersebut menurut penulis mampu dikembangkan lagi secara ekstrim jika melihat ada pernyataan tandingan bahwa ada teknologi yang mampu memberikan pengalaman baru bagi manusia. Perkembangan teknologi memungkinkan bahwa keterbatasan pra – kesadaran yang disebabkan tubuh dari kecacatan mampu dipatahkan. Jika kita mengambil kasus orang buta dengan tongkat, dimana perspektif orang buta tersebut dengan dunianya mampu dibentuk dengan ada tongkat sebagai bagian dari alat yang menubuh bersama dirinya dalam menjalani kehidupannya,[5] maka bagaimana jika ada alat yang mampu membantu orang buta tersebut untuk dapat kembali melihat? Memang orang buta tersebut tidak akan bisa mengetahui apakah warna tersebut merah kuning ataupun hijau secara serta merta, tetapi orang tersebut mampu mengakses pengalaman baru tentang warna yang pada saat dirinya buta tidak bisa diketahui. Jika melalui teknologi seseoranga mampu melampaui batasan dari kecacatan dirinya, bagaimana jika ada teknologi yang mampu melebur seluruh manusia menjadi tunggal? Seperti seseorang akan bisa mengetahui kubus tidak hanya terbatas dari suatu sisi yang mampu dilihat melalui matanya saja, tetapi dari seluruh persepsi mata manusia yang masing - masing melihat melalui matanya sendiri.
            Penulis melihat perkembangan manusia dalam teknologi yang mampu menciptakan sebuah teknologi seperti protesa (tubuh buatan), dan lain sebagainya, memunculkan adanya kemungkinan ketiga yaitu kemampuan teknologi yang ekstrim yang diciptakan untuk mempersepsi total pada kesadaran seluruh manusia, sehingga kesadaran yang unik dari keterbatasan perspektif tiap - tiap manusia sebagai individu yang hidup di dunia menjadi hilang karena mampu dilebur menjadi satu. Kemungkinan hadirnya teknologi telah diadaptasi dalam anime jepang sebagai Human Instrumentality Project.
Human Instrumentality Project merupakan teori yang dihadirkan dalam salah satu anime jepang yang berjudul Evangelion. Proses yang dilakukan manusia dalam anime ini adalah melebur seluruh umat manusia dibumi menjadi satu entitas cairan, yang bertujuan untuk mengisi kesadaran manusia satu dengan lainnya, yang berarti mampu menjadikan manusia menjadi “Tuhan”. Dalam anime ini dikatakan bahwa manusia berusaha memiliki persepektif utuh untuk mencapai tujuan utamanya yaitu mengisi celah primodial antara tiap manusia yang dikatakan tidak bisa dilewati jika tidak melalui hal tersebut dan berarti kesadaran yang mampu diterima dari hal yang unik bagi dirinya sendiri bisa menjadi bersifat utuh dan total.
Penulis melihat melalui kemungkinan ekstrim dari teknologi yang bisa menjadi penghilangan bentuk kesadaran yang berasal dari tubuh milik Ponty yang sifatnya unik bagi tiap - tiap orang dengan keterbatasan tubuhnya masing – masing. Di sini fenomenologi Maurice Marleau Ponty yang membahas kesadaran dengan melihat manusia sebagai individu – individu yang unik menjadi dapat dipertanyakan kembali. Ketika suatu kesadaran adalah dari tubuhnya sendiri dengan segala keunikan tubuh dirinya, maka jika ada teknologi yang memiliki kemampuan untuk melebur banyak tubuh, yang secara individual memiliki kesadaran yang berbeda yang disebabkan dari adanya kemampuan tubuh yang berbeda pula, maka hal tersebut mengijinkan adanya kemungkinan kesadaran total yang bisa dimiliki tiap individu tersebut. Hal yang menurut penurut sangat menarik dalam persoalan ini, walaupun terlihat Maurice Marleau Ponty ingin membuat fenomenologi yang membahas tentang kesadaran menjadi hal yang yang sifatnya individual dan unik dengan menggunakan landasan ontologi yang sama sekali berbeda dengan fenomenolog lainnya yaitu tubuh, tetap memiliki suatu celah dimana argumennya mampu ditembus yaitu teknnologi.
Daftar Bacaan
Adian, Donny Gahral, Pengantar Fenomenologi, Depok : Penerbit Koekosean, 2010.
Ponty, Maurice Marleau, Phenomenology Of Perceptio, London : Routledge, 2005.


[1] Berbeda dengan paham bermodel empirisme bahwa hal yang kita terima bersifat sensasi atomistik, disini hal yang kita terima melalui tubuh kita langsung bersifat utuh dan kesatuan, seperti rumah yang berwana hijau, kita tidak mempersepsi warna dahulu, lalu dimensi, lalu ukuran, tetapi langsung secara sekaligus.
[2] Lihat Donny Gahral Adian, Pengantar Fenomenologi, Depok : Penerbit Koekosean, 2010, hlm 115.
[3] Ibid, hlm 115.
[4]The blind man’s world differs from the normal person’s not only through the quantity of material at his disposal, but also through the structure of the whole.”  Maurice Marleau Ponty, Phenomenology Of Perceptio, London : Routledge, 2005, hlm 21.
[5] Maurice Marleau Ponty pada persoalan ini juga menggunakan analogi orang buta dengan togkatnya.

Rabu, 05 Juni 2013

Kemungkinan persepsi total dalam fenomenologi Maurice Ponty melalui teknologi


UAS Fenomenologi
Oleh Adam Azano Satrio, 0906522861
Thesis statement
Kemungkinan persepsi total dalam fenomenologi Maurice Ponty melalui teknologi
Pendahuluan
Sebagaimana kita ketahui bahwa Maurice Ponty sebagai filsuf memasukan tubuh sebagai pintu awal memahami kesadaran di dunia. Dalam filsafatnya tidak mungkin ada bentuk kesadaran mutlak yang bersifat tidak menubuh yang mampu memahami kesadaran di dunianya. Keberadaan manusia dengan tubuhnya merupakan satu - satunya cara untuk memahami dunianya, sehingga kita bisa menyadari bahwa kehidupan dunia merupakan satu hal yang unik bagi tiap - tiap individu bertubuh.
Ketika kita bisa melihat cerahnya langit berwarna biru dipagi hari, ataupun menggunakan palu untuk memaku, kita melihat dan mengalami hal tersebut sebagai satu kesatuan yang hadir kepada kita secara sertamerta. Hal tersebut merupakan penyebab bahwa kesadaran manusia akan suatu hal pastilah bersifat dari apa yang mampu dilakukan oleh dirinya. Pengalaman menubuh yang diterima melalui tubuh kita, merupakan awal dari kesadaran yang mampu diterima dalam kegiatan kita mendunia.
Hal tersebut memang memberikan pernyataan masuk akal bahwa kesadaran manusia terkait dengan dengan keadaan dirinya sebagai mahluk yang menubuh dalam menjalani kehidupannya, namun penulis menemukan ada konsekuensi unik terlahirkan dari kemampuan manusia, yaitu teknologi, yang membawa fenomenologi Maurice Ponty dari bersifat kesadaran merupakan perspektif individu yang pada akhirnya unik dengan masing – masing menjadi kesadaran perspektif yang bersifat totalitas.
Dua konsekuensi awal
Kesadaran akan dunia tersebut yang diakses melalui tubuh menurut penulis memiliki dua konsekuensi, yang disebabkan keadaan manusia di dunia, yaitu keterbatasan waktu, ruang, dan kemampuan. Konsekuensi pertama adalah tiap orang menyadari suatu hal yang sama dengan kemampuan perspektifnya masing – masing yang berbeda dan yang kedua beberapa orang bisa tidak mengalami kesadaran sama sekali akan suatu hal dikarenakan perbedaan kemampuan tubuh yang dimilikinya.
Ketika beberapa orang mampu melihat cerahnya pagi hari dengan matanya, ataupun harumnya mawar melalui hidungnya, beberapa orang yang lain tidak mampu melakukan hal tersebut dikarenakan keterbatasan kemampuan tubuhnya. Mengikuti pemikiran Maurice Ponty tentang pentingnya tubuh sebagai bentuk awal kesadaran akan fenomena, maka orang buta tidak mungkin mampu mengalami kesadaran tentang warna merah yang berasal dari sebuah patung dan hanya terbatas pada kemampuannya untuk meraba bentuk patung tersebut dari tanganya, orang tuli tidak akan mampu mengalami kesadaran tentang nada yang dikeluarkan dari gitar tetapi hanya terbatas dari melihat posisi jari yang membentuk akor yang dilakukan sang gitaris, dan lain sebagainya. Contoh orang buta dan orang tuli itupun bersifat terbatas, sehingga ketika seseorang yang buta tiba - tiba dapat melihat dapat dipastikan dirinya tidak bisa mengetahui apa warna merah, dan orang tuli tiba – tiba dapat mendengar tidak bisa mengetahui nada yang dimainkan sang gitaris. Ketika hal tersebut adalah benar, dalam pemikiran fenomenologi Maurice Ponty, maka akan ada kemungkinan lainnya, bahwa ketika seseorang yang sebelumnya memiliki kelengkapan tubuh dan kemampuan persepsi yang utuh, kehilangan segala kemampuan persepsinya maka keadaannya pada saat itu tidaklah berkesadaran, jika ada kesadaranpun kesadaran yang dirasakannya bukanlah merupakan hal yang baru tetapi tak lebih dari memori yang diperoleh dari persepsi masa lalunya.
Munculnya konsekuensi ketiga
            Penulis melihat perkembangan manusia dalam teknologi yang mampu menciptakan sebuah teknologi seperti protesa (tubuh buatan), dan lain sebagainya, memunculkan adanya kemungkinan ketiga yaitu kemampuan teknologi yang ekstrim yang diciptakan untuk mempersepsi total pada kesadaran seluruh manusia, sehingga kesadaran yang unik dari keterbatasan perspektif tiap - tiap manusia sebagai individu yang hidup di dunia menjadi hilang karena mampu dilebur menjadi satu. Kemungkinan hadirnya teknologi telah diadaptasi dalam anime jepang sebagai Human Instrumentality Project.
Human Instrumentality Project merupakan teori yang dihadirkan dalam salah satu anime jepang yang berjudul Evangelion. Proses yang dilakukan manusia dalam anime ini adalah melebur seluruh umat manusia dibumi menjadi satu entitas cairan, yang bertujuan untuk mengisi kesadaran manusia satu dengan lainnya, yang berarti mampu menjadikan manusia menjadi “Tuhan”. Dalam anime ini dikatakan bahwa manusia berusaha memiliki persepektif utuh untuk mencapai tujuan utamanya yaitu mengisi celah primodial antara tiap manusia yang dikatakan tidak bisa dilewati jika tidak melalui hal tersebut dan berarti kesadaran yang mampu diterima dari hal yang unik bagi dirinya sendiri bisa menjadi bersifat utuh dan total.
Penulis melihat melalui kemungkinan ekstrim dari teknologi yang bisa menjadi penghilangan bentuk kesadaran yang berasal dari tubuh milik Ponty yang sifatnya unik bagi tiap - tiap orang dengan keterbatasan tubuhnya masing – masing. Di sini fenomenologi Maurice Ponty yang membahas kesadaran dengan melihat manusia sebagai individu – individu yang unik menjadi dapat dipertanyakan kembali. Ketika suatu kesadaran adalah dari tubuhnya sendiri dengan segala keunikan tubuh dirinya, maka jika ada teknologi yang memiliki kemampuan untuk melebur banyak tubuh, yang secara individual memiliki kesadaran yang berbeda yang disebabkan dari adanya kemampuan tubuh yang berbeda pula, maka hal tersebut mengijinkan adanya kemungkinan kesadaran total yang bisa dimiliki tiap individu tersebut.

Selasa, 04 Juni 2013

Review Film Diary of a Nymphomaniac


Review Film Diary of a Nymphomaniac
Oleh Adam Azano Satrio, 0906522861


Pendahuluan
Keinginan seksual adalah keinginan yang lumrah dalam kehidupan manusia, namun beberapa orang memang mampu memiliki keinginan seksual yang berbeda satu dengan yang lain. Nymphomaniac adalah istilah yang diciptakan pada dunia psikiatri untuk melebeli seseorang yang memiliki penyakit hasrat seksual yang besar.[1] Di dalam film ini diceritakan bagaimana seseorang yang mengidap penyakit mental itu menjalani kehidupannya, dan pada kali ini penulis akan menjelaskan secara singkat sinopsi film tersebut dan pada akhirnya melakukan analisa pada bagian akhirnya.
Sinopsis singkat
Dalam film ini dikisahkan perjalanan kehidupan Valerie seorang perempuan kelas menengah, yang berpetualang dalam kehidupan seksnya yang menggebu - gebu. Awal mula dirinya menikmati kegiatan seks tersebut dimulai saat dirinya melakukannya pada umur 15 tahun. Pada awal perjalanan hidupnya dirinya bertanya – tanya, apakah sebenarnya dirinya hanya menginginkan pria tidak lebih dari alat pemuas seksnya, dan menginginkan menjadi perempuan pada umumnya dengan sehingga pada suatu hari dirinya menemukan seorang pebisnis yang menyukai dirinya yang pada akhirnya memilih menikah dengannya.
Terlihat hal yang unik dimana Valerie untuk pertama kalinya merasakan perasaan cinta yang tidak harus berdasarkan seks, namun ironisnya hal tersebut membuat dirinya merasa ada bagian dirinya yang tertinggal. Permasalahan pertama muncul ketika diketahui bahwa pria yang dinikahinya adalah seseorang yang mengidap ketidakstabilan emosi. Tergambarkan bahwa dalam pernikahan yang dipikir sebagai metode untuk mengakhiri keinginan seksual yang menggebu merupakan hal yang salah dan bukan solusi yang dirinya inginkan.
Setelah berpisah dengan suaminya tersebut Valerie mencari cara untuk mengobati keinginan tersebut, yaitu dengan bekerja pada rumah pelacuran. Pada awalnya dirinya memang seperti menikmati pekerjaan barunya tersebut namun pada akhirnya dia tersadarkan semenjak salah satu pelanggannya memaksa untuk memiliki dirinya. Dia akhirnya merasakan bahwa kegiatan pelacuran tersebut merupakan bentuk sama dari eksploitasi yang  dirinya rasakan saat menikah terdahulu.
Namun hal itu berubah ketika suatu saat dia menerima panggilan untuk pelanggan yang cacat, yang seluruh tubuhnya lumpuh kecuali bagian kepala dan tangan kirinya. Di sini Valerie tersadar bahwa dirinya bisa memilih dan bebas menjadi dirinya apa adanya. Hal tersebut menjadi klimaks akhir yang membuat dirinya mau menjalani lembar baru dari kehidupannya lagi dan merasakan kebebasan.
Analisa
Bagi penulis ada dua hal yang unik yang digambarkan dalam film ini, yaitu persoalan keinginan menjadi sama dengan dengan pandangan perempuan pada umumnya dan yang kedua adalah kesamaan antara eksploitasi seksual dalam institusi pernikahan dan pelacuran. Permasalahan pertama muncul dari alasan Valerie ingin menikah dengan pebisnis tersebut. Di sini tergambarkan bahwa terkadang perempuan menginginkan untuk menjadi normal bagi sosial. Keinginan dia untuk menikah tersebut yang sebenarnya membohongi dirinya sendiri sendiri dan pada akhirnya berujung pada penyesalan kehidupannya. Permasalahan kedua muncul dari penggambaran fenomena pernikahan dan pelacuran. Pada film digambarkan bahwa kedua hal tersebut memiliki kesaman, yaitu keduanya mengijinkan opresi terhadap perempuan. Jika dalam pernikahan bentuk opresi digambarkan dalam kejadian Valerie yang terpaksa harus selalu mengalah pada suaminya, maka pada pelacuran, Valerie harus mengalah pada laki – laki yang menganggap dirinya hanya sebagai objek pemuas saja.
Kedua kasus tersebut muncul, menurut penulis, dikarenakan adanya penekanan bahwa perempuan memiliki rumusan sosial tertentu seperti harus menikah dengan seseorang yang dicintai, ataupun bahwa perempuan pelacur adalah murahan dan sebagai pemuas saja dan menganggapnya bukan sebagai manusia. Bagi penulis, film ini menggambarkan manusia yang takut untuk menerima diri secara jujur dan apa ada, hal tersebut menyebabkan manusia sebenarnya menjadi tersiksa bagi dirinya sendiri, tidak hanya bagi perempuan namun juga bagi laki – laki.




[1] Walaupun begitu penulis juga merasa janggal untuk mengatakan hal tersebut adalah suatu penyakit, mengingat bahwa alat untuk mengukur apakah suatu perbuatan seksual dianggap melebihi batas tidak bisa dinilai secara objektif melalui metodologi sains, atau paling mungkin hanya bisa dijabarkan berdasarkan norma sosial tertentu.