Review Film Diary of a Nymphomaniac
Oleh
Adam Azano Satrio, 0906522861
Pendahuluan
Keinginan
seksual adalah keinginan yang lumrah dalam kehidupan manusia, namun beberapa
orang memang mampu memiliki keinginan seksual yang berbeda satu dengan yang lain.
Nymphomaniac adalah istilah yang diciptakan pada dunia psikiatri untuk melebeli
seseorang yang memiliki penyakit hasrat seksual yang besar.[1] Di
dalam film ini diceritakan bagaimana seseorang yang mengidap penyakit mental
itu menjalani kehidupannya, dan pada kali ini penulis akan menjelaskan secara
singkat sinopsi film tersebut dan pada akhirnya melakukan analisa pada bagian
akhirnya.
Sinopsis singkat
Dalam
film ini dikisahkan perjalanan kehidupan Valerie seorang perempuan kelas
menengah, yang berpetualang dalam kehidupan seksnya yang menggebu - gebu. Awal mula
dirinya menikmati kegiatan seks tersebut dimulai saat dirinya melakukannya pada
umur 15 tahun. Pada awal perjalanan hidupnya dirinya bertanya – tanya, apakah
sebenarnya dirinya hanya menginginkan pria tidak lebih dari alat pemuas seksnya,
dan menginginkan menjadi perempuan pada umumnya dengan sehingga pada suatu hari
dirinya menemukan seorang pebisnis yang menyukai dirinya yang pada akhirnya
memilih menikah dengannya.
Terlihat
hal yang unik dimana Valerie untuk pertama kalinya merasakan perasaan cinta
yang tidak harus berdasarkan seks, namun ironisnya hal tersebut membuat dirinya
merasa ada bagian dirinya yang tertinggal. Permasalahan pertama muncul ketika
diketahui bahwa pria yang dinikahinya adalah seseorang yang mengidap
ketidakstabilan emosi. Tergambarkan bahwa dalam pernikahan yang dipikir sebagai
metode untuk mengakhiri keinginan seksual yang menggebu merupakan hal yang
salah dan bukan solusi yang dirinya inginkan.
Setelah
berpisah dengan suaminya tersebut Valerie mencari cara untuk mengobati keinginan
tersebut, yaitu dengan bekerja pada rumah pelacuran. Pada awalnya dirinya
memang seperti menikmati pekerjaan barunya tersebut namun pada akhirnya dia
tersadarkan semenjak salah satu pelanggannya memaksa untuk memiliki dirinya. Dia
akhirnya merasakan bahwa kegiatan pelacuran tersebut merupakan bentuk sama dari
eksploitasi yang dirinya rasakan saat
menikah terdahulu.
Namun
hal itu berubah ketika suatu saat dia menerima panggilan untuk pelanggan yang
cacat, yang seluruh tubuhnya lumpuh kecuali bagian kepala dan tangan kirinya. Di
sini Valerie tersadar bahwa dirinya bisa memilih dan bebas menjadi dirinya apa
adanya. Hal tersebut menjadi klimaks akhir yang membuat dirinya mau menjalani lembar
baru dari kehidupannya lagi dan merasakan kebebasan.
Analisa
Bagi
penulis ada dua hal yang unik yang digambarkan dalam film ini, yaitu persoalan keinginan
menjadi sama dengan dengan pandangan perempuan pada umumnya dan yang kedua
adalah kesamaan antara eksploitasi seksual dalam institusi pernikahan dan
pelacuran. Permasalahan pertama muncul dari alasan Valerie ingin menikah dengan
pebisnis tersebut. Di sini tergambarkan bahwa terkadang perempuan menginginkan
untuk menjadi normal bagi sosial. Keinginan dia untuk menikah tersebut yang
sebenarnya membohongi dirinya sendiri sendiri dan pada akhirnya berujung pada
penyesalan kehidupannya. Permasalahan kedua muncul dari penggambaran fenomena
pernikahan dan pelacuran. Pada film digambarkan bahwa kedua hal tersebut
memiliki kesaman, yaitu keduanya mengijinkan opresi terhadap perempuan. Jika dalam
pernikahan bentuk opresi digambarkan dalam kejadian Valerie yang terpaksa harus
selalu mengalah pada suaminya, maka pada pelacuran, Valerie harus mengalah pada
laki – laki yang menganggap dirinya hanya sebagai objek pemuas saja.
Kedua
kasus tersebut muncul, menurut penulis, dikarenakan adanya penekanan bahwa
perempuan memiliki rumusan sosial tertentu seperti harus menikah dengan
seseorang yang dicintai, ataupun bahwa perempuan pelacur adalah murahan dan
sebagai pemuas saja dan menganggapnya bukan sebagai manusia. Bagi penulis, film
ini menggambarkan manusia yang takut untuk menerima diri secara jujur dan apa
ada, hal tersebut menyebabkan manusia sebenarnya menjadi tersiksa bagi dirinya
sendiri, tidak hanya bagi perempuan namun juga bagi laki – laki.
[1] Walaupun begitu penulis juga
merasa janggal untuk mengatakan hal tersebut adalah suatu penyakit, mengingat
bahwa alat untuk mengukur apakah suatu perbuatan seksual dianggap melebihi
batas tidak bisa dinilai secara objektif melalui metodologi sains, atau paling
mungkin hanya bisa dijabarkan berdasarkan norma sosial tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar