Page

Total Tayangan Halaman

Selasa, 04 Juni 2013

Review Film Diary of a Nymphomaniac


Review Film Diary of a Nymphomaniac
Oleh Adam Azano Satrio, 0906522861


Pendahuluan
Keinginan seksual adalah keinginan yang lumrah dalam kehidupan manusia, namun beberapa orang memang mampu memiliki keinginan seksual yang berbeda satu dengan yang lain. Nymphomaniac adalah istilah yang diciptakan pada dunia psikiatri untuk melebeli seseorang yang memiliki penyakit hasrat seksual yang besar.[1] Di dalam film ini diceritakan bagaimana seseorang yang mengidap penyakit mental itu menjalani kehidupannya, dan pada kali ini penulis akan menjelaskan secara singkat sinopsi film tersebut dan pada akhirnya melakukan analisa pada bagian akhirnya.
Sinopsis singkat
Dalam film ini dikisahkan perjalanan kehidupan Valerie seorang perempuan kelas menengah, yang berpetualang dalam kehidupan seksnya yang menggebu - gebu. Awal mula dirinya menikmati kegiatan seks tersebut dimulai saat dirinya melakukannya pada umur 15 tahun. Pada awal perjalanan hidupnya dirinya bertanya – tanya, apakah sebenarnya dirinya hanya menginginkan pria tidak lebih dari alat pemuas seksnya, dan menginginkan menjadi perempuan pada umumnya dengan sehingga pada suatu hari dirinya menemukan seorang pebisnis yang menyukai dirinya yang pada akhirnya memilih menikah dengannya.
Terlihat hal yang unik dimana Valerie untuk pertama kalinya merasakan perasaan cinta yang tidak harus berdasarkan seks, namun ironisnya hal tersebut membuat dirinya merasa ada bagian dirinya yang tertinggal. Permasalahan pertama muncul ketika diketahui bahwa pria yang dinikahinya adalah seseorang yang mengidap ketidakstabilan emosi. Tergambarkan bahwa dalam pernikahan yang dipikir sebagai metode untuk mengakhiri keinginan seksual yang menggebu merupakan hal yang salah dan bukan solusi yang dirinya inginkan.
Setelah berpisah dengan suaminya tersebut Valerie mencari cara untuk mengobati keinginan tersebut, yaitu dengan bekerja pada rumah pelacuran. Pada awalnya dirinya memang seperti menikmati pekerjaan barunya tersebut namun pada akhirnya dia tersadarkan semenjak salah satu pelanggannya memaksa untuk memiliki dirinya. Dia akhirnya merasakan bahwa kegiatan pelacuran tersebut merupakan bentuk sama dari eksploitasi yang  dirinya rasakan saat menikah terdahulu.
Namun hal itu berubah ketika suatu saat dia menerima panggilan untuk pelanggan yang cacat, yang seluruh tubuhnya lumpuh kecuali bagian kepala dan tangan kirinya. Di sini Valerie tersadar bahwa dirinya bisa memilih dan bebas menjadi dirinya apa adanya. Hal tersebut menjadi klimaks akhir yang membuat dirinya mau menjalani lembar baru dari kehidupannya lagi dan merasakan kebebasan.
Analisa
Bagi penulis ada dua hal yang unik yang digambarkan dalam film ini, yaitu persoalan keinginan menjadi sama dengan dengan pandangan perempuan pada umumnya dan yang kedua adalah kesamaan antara eksploitasi seksual dalam institusi pernikahan dan pelacuran. Permasalahan pertama muncul dari alasan Valerie ingin menikah dengan pebisnis tersebut. Di sini tergambarkan bahwa terkadang perempuan menginginkan untuk menjadi normal bagi sosial. Keinginan dia untuk menikah tersebut yang sebenarnya membohongi dirinya sendiri sendiri dan pada akhirnya berujung pada penyesalan kehidupannya. Permasalahan kedua muncul dari penggambaran fenomena pernikahan dan pelacuran. Pada film digambarkan bahwa kedua hal tersebut memiliki kesaman, yaitu keduanya mengijinkan opresi terhadap perempuan. Jika dalam pernikahan bentuk opresi digambarkan dalam kejadian Valerie yang terpaksa harus selalu mengalah pada suaminya, maka pada pelacuran, Valerie harus mengalah pada laki – laki yang menganggap dirinya hanya sebagai objek pemuas saja.
Kedua kasus tersebut muncul, menurut penulis, dikarenakan adanya penekanan bahwa perempuan memiliki rumusan sosial tertentu seperti harus menikah dengan seseorang yang dicintai, ataupun bahwa perempuan pelacur adalah murahan dan sebagai pemuas saja dan menganggapnya bukan sebagai manusia. Bagi penulis, film ini menggambarkan manusia yang takut untuk menerima diri secara jujur dan apa ada, hal tersebut menyebabkan manusia sebenarnya menjadi tersiksa bagi dirinya sendiri, tidak hanya bagi perempuan namun juga bagi laki – laki.




[1] Walaupun begitu penulis juga merasa janggal untuk mengatakan hal tersebut adalah suatu penyakit, mengingat bahwa alat untuk mengukur apakah suatu perbuatan seksual dianggap melebihi batas tidak bisa dinilai secara objektif melalui metodologi sains, atau paling mungkin hanya bisa dijabarkan berdasarkan norma sosial tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar