Page

Total Tayangan Halaman

Selasa, 25 Desember 2012

Dominique Janicaud - On The Human Condition Review


Dominique Janicaud - On The Human Condition Review

Thesis Statement

Mempertanyakan kembali konsep humanity dalam fenomena overcoming yang dilakukan manusia melalui teknologi.

Metodologi

                Dominique Janicaud menggunakan metode fenomenologi, dengan berlandaskan dari kefaktaan bahwa manusia hidup pada era dimana teknologi berkembang pesat dengan berbagai posibilitas untuk merekayasa semua hal.

Proposal

Dominique Janicaud membuka kembali pertanyaan dari sebuah fakta perkembangan teknologi manusia yang semuanya bertujuan unutk aktualisasi keinginan manusia untuk melakukan overcoming, yaitu apakah itu humanity dan sampai sejauhmana limitasinya?

Dominique Janicaud membuka persoalan tentang bagaimana usaha manusia melakukan overcoming terhadap segalannya. Usaha manusia untuk melakukan overcoming dengan alibi mengupgrade nilai kemanusiaan dengan melampaui keterbatasan manusia ditunjukan oleh Dominique Janicaud jika ditarik penalarannya secara reductio ad absurdum akan menghasilkan nilai yang bertentangan dengan tujuannya sendiri, yaitu dehumanisasi.

Buku ini membuka pembicaraan filosofis manusia dengan menggunakan pola pikir Martin Heidegger saat membahas persoalan humanity yang salah diartikan oleh Jean Paul Sartre dan Friedrich Nietzsche tentang superhuman. Kedua pemikir tersebut menganggap bahwa usaha manusia adalah melakukan usahanya yang bersifatnya transenden. Semua kegiatan peradaban manusia baik ilmu pengetahuan, seni, dan lain sebagainya adalah usaha manusia untuk melampaui keterbatasannya, atau overcoming.

Dominique Janicaud memandang perkembangan teknologi yang memungkinkan dihasilkannya cloning, artificial intelligent, dan lain sebagainya seharusnya membuat manusia mulai mempertanyakan kembali, bagaimana humanity bisa dikembangkan kembali dengan melihat perkembangan kehidupan sekarang.

Dominique Janicaud mempergunakan kisah Frankenstein dan kisah tentang humanoid cyborg. Secara ringkas ketika kita membaca kisah Frankenstein kita dapat mengetahui bahwa ketika manusia menciptakan sesuatu being yang menyerupai manusia ada sebuah ketakutan dari dirinya bahwa yang diciptakan akan menyerang kemanusiaan dan merusak. Terciptanya Frankenstein merupakan kisah dimana manusia melakukan overcoming dengan menciptakan sesuatu hal yang dapat melakukan tugas yang tidak bisa dilakukan manusia biasa, namun yang Dominique janicaud ingin angkat dalam kisah tersebut adanya tragedi yang dirasakan frankenstein yang sebenarnya memiliki perasaan dan akal tidak mengetahui apa kesalahan dirinya sehingga harus diperlakukan tak lebih dari monster. Selanjutnya tentang kisah humanoid cyborg dimana seseorang dipasangkan peralatan teknologi yang membuat kekuatan berfikir dan fisik dirinya lebih kuat dari manusia biasa, sampai pada suatu waktu manusia tersebut mengalami kerusakan sistem didalamny, sehingga mempertanyakan bagaimana tentang kemanusiaan tersebut.

Apakah kedua kisah diparagraf sebelumnya adalah mitos belaka? Mungkin jika kita membicarakan hal tersebut 2000 tahun yang lalu itu hal yang tidak mungkin, tapi jika kita melihat potensi teknologi diera sekarang kita bisa memperbincangkan dan merefleksikan hal tersebut. Pengembangan teknologi cloning yang diciptakan manusia, yang selalu diusahakan untuk menghasilkan alternatif pengobatan. Pengembangan artificial intelligence yang dihasilkan dalam dunia komputer dan teknologi robotika yang dikembangkan para insinyur. Serta alat yang selalu dihasilkan untuk melakukan overcoming keterbatasannya dengan alasan kemanusiaan, memiliki  potensi yang bersifat pedang bermata dua.

Selain itu persoalan humanity itu sediri mengizinkan Dominique Janicaud untuk membahas permasalahan Inhuman dan superhuman.  Dominique Janicaud menggunakan sejarah nazi sebagai bahan refleksi, dimana pandangan tersebut membuat adanya advokasi pembenaran dalam pembantaian etnis yang dianggap rendah dari golongan manusia.

Telah terlihatlah bagaimana dalam kondisi manusia yang penuh dengan usaha untuk melakukan overcoming terhadap semesta dengan peralatan teknologi, berpotensi untuk merendahkan nilai kemanusiaan itu sendiri, namun apakah hal tersebut mengizinkan manusia menjadi technopobia, ataupun mengembalikan pemikiran humanisme yang konservatif? Dominique Janicaud mengatakan, kita tetap perlu teknolgi namun harus bersiap untuk memikirkan resiko usaha overcoming melalui sudut pandang humanism yang lebih baru, atau yang sering  dikatakan dengan Post-Humanism.

Selasa, 18 Desember 2012

Albert Camus, The Myths Of Sisyphus


Albert Camus, The Myths Of Sisyphus

Setelah dibuangnya Tuhan dalam perdebatan dalam eksistensialisme, manusia pada akhirnya terpaksa meminum anggur pahit kenyataan, yang diberi lebel absurdisme. Albert Camus memikirkan kehidupan manusia dalam perjuangannya tentang menjalani kehidupan. Albert Camus menjelaskan pemikirannya dalam teks The Myths Of Sisyphus, dimana sang tokoh utama yaitu Sisyphus digambarkan sebagai tokoh absurd yang menyadari ke absurdan kehidupan. Tokoh Sisyphus yang dikutuk untuk membawa batu keatas gunung dan menjatuhkannya lalu mengangkatnya kembali keatas gunung digambarkan sebagai kehidupan manusia.
            Usaha kita mencari makna dalam keabsurdan membuat kehidupan terlalu aneh untuk selalu diperjuangkan, atau dengan kata lain kenapa kita tidak memilih bunuh diri untuk menjawab ketidak bermaknaan dari kehidupan? Dikatakan bahwa absurdisme ini hadir karena adanya kesadaran dan disitulah kita menyadari bahwa kehidupan manusia begitu tragis. If this myth is tragic, that is because its hero is conscious. Where would his torture be, indeed, if at every step the hope of succeeding upheld him? The workman of today works every day in his life at the same tasks, and this fate is no less absurd. But it is tragic only at the rare moments when it becomes conscious.[1]
Kisah tragedi  ini akan menemukan kebahagiaan didalamnya jika disadari itu hadir saat hal absurd itu memunculkan kebahagiaan, Happiness and the absurd are two sons of the same earth. They are inseparable. It would be a mistake to say that happiness necessarily springs from the absurd discovery. It happens as well that the feeling of the absurd springs from happiness.[2]
Ketika kita membahasakan keabsurdan kehidupan ini, kita seharusnya menyadari bahwa absurdisme ini tidak sama dengan nihilisme, karena manusia adalah pelukis yang masih berperan dalam kehidupannya sendiri, yang tiap cat minyaknya menggambar kanvas kehidupan yang mungkin dilukiskannya, dan tiap spektrum dan gradasi warna yang dihasilkan merupakan keindahan yang tertuang dalam kanvas tersebut.
Mungkin kita akan terbersit untuk mengijinkan bunuh diri untuk menyelesaikan persoalan eksistensialisme kehidupan kita sendiri dalam ketidak adanya makna inherent dalam kehidupan, namun dengan kita mengijinkan hal tersebut, kita serupa dengan sang pelukis yang menyerah dalam keabsurdan dan menghentikan goresan kuas kreatif kita dalam kanvas tersebut, atau dengan kata lain, bukan kita berusaha menyelesaikan lukisan tersebut dengan berbagai kemungkinan campuran warna, kita memilih untuk membuang lukisan tersebut.
Semua kumpulan paragraf sebelumnya itu menunjukan, bahwa walaupun begitu absurdnya kehidupan yang kita rasakan sebagai manusia, kita memiliki potensi untuk melampaui keabsurdan yang dilemparkan dimuka kita, dengan tidak memasukkannya Tuhan, sebagai pemberi makna esensial yang secara inheren dalam Being yang disebut manusia, Albert Camus memberikan sebuah alternatif agar manusia dapat mengadvokasi alasan menjalani kehidupan bagi manusia dengan penuh makna. Adovakasi tersebut tidak dengan mencari makna dari luar dirinya, seperti Tuhan, tidak pula dengan menemukan makna dalam kehidupan, mengingat bahwa kehidupan dipandang sumber keabsurdan, tapi dengan hal yang sederhana namun sulit untuk dilakukan, yaitu menciptakan makna.



[1] Kaufmann, W. A. 1975. Existentialism from Dostoevsky to Sartre. (New York: New American Library) hlm. 314
[2]  Ibid. hlm 315                                                            


Minggu, 09 Desember 2012

Analisa Pertanyaan Metpen (Martin Heidegger)


Analisa Pertanyaan Dan Refleksi Atas Diam


Pertanyaan Untuk Dianalisa
1.      Apakah kalian mengerti tentang Heidegger?
2.      Kalau tidak mengerti, bagian mana yang tidak mengerti?
3.      Apakah relevan pertanyaan demikian?
4.      Masuk akal tidak pertanyaan-pertanyaan tersebut?

Analisa Keempat Pertanyaan

Jika di asumsikan pertanyaan ke 1 jawabannya adalah tidak, maka kita bisa melanjutkan ke pertanyaan ke 2, dengan menerangkan persoalan mana yang tidak diketahui peserta kuliah. Pertanyaan ke 3 dan ke 4 menjadi relevan dan masuk akal dengan menggunakan anggapan bahwa tugas peserta didik adalah mencari jawaban untuk perkembangan kemampuan intelegensinya, sedangkan tugas pendidik adalah berusaha memberikan jawaban yang terbaik untuk memancing intelegensi peserta didik dan menghasilkan diskusi.

Refleksi

Namun ketika jawaban pada soal ke 1 adalah iya, maka pertanyaan tersirat yang timbul dalam kasus ini adalah, mengapa yang ditanyakan diam saat pertanyaan ke 1 diajukam?

Fenomena “diam” tersebut menunjukan ketidakmungkinan keinginan, kemampuan, dan karakter suatu individu bisa diketahui yang lain jika tidak diaktualisasikan, dalam kasus ini tidak mungkin seseorang bisa mengetahui apakah peserta matakuliah ini mengerti tentang Heidegger, jika  usaha berkomunikasi yang dilakukan dibalas dengan “diam”, dan pada akhirnya hal tersebut bersifat 1 arah.

Tapi menurut penulis ada hal yang lebih dalam yang bisa diangkat dari timbulnya keempat pertanyaan tersebut. Penulis membayangkan adanya kemungkinan pengaruh budaya ataupun tradisi lokal yang menyebabkan bahwa, bertanya jika tidak tahu adalah aktualisasi kebodohan ataupun bisa juga dengan kebiasan sistem pendidikan yang bersifat pedagogi, bukan andragogi, yang membiasakan bahwa pendidik sudah pasti benar, secara hierarkis, sehingga peserta didik tidak perlu lagi mendiskusikan suatu masalah dan cukup menunggu pendidik untuk memberikan jawabannya. Sistem pendidikan yang bersifat interaktif, dua arah merupakan hal yang amat sangat asing dalam kebudayaan kita, belum lagi dengan sebuah imajinasi pemikiran, bahwa kesalahan berpendapat adalah hal yang tabu untuk untuk ditunjukan, oleh karena itu lebih baik diam dari pada menunjukan kesalahan diri sendiri.

Kebiasaan budaya ataupun tradisi tersebutlah yang menyebabkan kita membiasakan diri menggadaikan akal sehat kita dengan akal sekarat dengan alasan kesopanan, ataupun malu menunjukan kesalahan yang kesemuanya berakhir pada terciptanya manusia – manusia penghafal dan bukan menjadi pemikir progresif.

Selasa, 30 Oktober 2012

BOP-B UI, dan Kesetaraan Kesempatan


BOP-B UI, dan Kesetaraan Kesempatan

Salah satu permasalahan dalam ekonomi adalah tentang permasalahan tentang keadilan, aktualisasi dari keadilan dalam ekonomi dapat kita ketahui dengan adanya uang sebagai alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan suatu komoditas. Perbedaan dalam hal modal awal dan kemampuan tiap individu adalah hal yang tidak diperhatikan dalam kasus praktik ekonomi, karenanya hal tentang keadilan tentang kesetaraan hanya bisa dikatakan ada, jika ada yang membangun suatu landasan tentang bagaimana membuat starter point yang setara bagi tiap individu. Landasan berfikir yang penulis angkat dalam kasus ini adalah pola pikir milik John Rawls, yang meyakini bahwa insentif merupakan suatu kewajiban moral yang harus diberikan kepada orang yang dianggap memiliki kesempatan kecil untuk melakukan kompetisi didunia ini. 

Pada kasus ini penulis ingin mengangkat kasus BOP-B UI, memandang melalui kacamata teori keadilan John Rawls, dan diakhiri dengan komentar dari penulis.

UI Paparkan Skema Biaya Kuliah
Variasi kemampuan keuangan keluarga mahasiswa sangat beragam, mulai dari rentang yang sangat mampu hingga yang tidak mampu. Untuk itu, pihak Universitas Indonesia (UI) menyatakan telah memberlakukan sistem Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan (BOP Berkeadilan) khusus untuk untuk mahasiswa S-1 reguler.
Demikian diungkapkan Kepala Kantor Komunikasi UI Vishnu Juwono di Depok, Senin (10/1/2011), setelah mengirimkan surat balasan UI kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait penetapan biaya pendidikan di UI. Vishnu menuturkan, melalui sistem BOP Berkeadilan, mahasiswa bisa membayar BOP antara Rp 100.000 – Rp 7.500.000 untuk bidang studi eksakta dan menetapkan Rp 100.000 – Rp 5.000.000 untuk noneksakta, sesuai kemampuan masing-masing, melalui mekanisme penetapan BOP Berkeadilan.
“Mekanisme ini bertumpu pada kejujuran mahasiswa atau orang tua dalam mengisi data kemampuan keuangan mereka. Data tersebut diolah dan dianalisa oleh tim UI sehingga menjadi dasar menetapkan BOP masing-masing mahasiswa setiap tahun,” papar Vishnu.
Ia mengatakan, tim Penetapan BOP Berkeadilan tersebut selalu melibatkan unsur mahasiswa yang dilibatkan secara aktif, terutama dalam melakukan verifikasi data, bahkan melakukan survei ke lapangan jika ada data-data yang kurang lengkap atau meragukan.
“Sebagaimana kami sadari, dalam implementasinya hanya sedikit mahasiswa program S-1 reguler yang mampu membayar sebesar besaran maksimal BOP Berkeadilan,” katanya.
“Bahkan, selama tiga tahun terakhir sebanyak lebih dari 8.000 mahasiswa S-1 reguler atau 59 persennya membayar di bawah besaran maksimal BOP berkeadilan ini,” tambah Vishnu.
Ia menuturkan, hampir sebanyak 5.000 mahasiswa S-1 reguler selama 3 tahun terakhir hanya membayar BOP berkeadilan di bawah Rp 2.000.000. Sehingga dengan penerapan sistem BOP berkeadilan itu, lanjut dia, pembayaran biaya pendidikan per semester dari mahasiswa/siswi Program S-1 Reguler rata-rata hanya sebesar Rp 3.000.000 per semester.
“Jika dibandingkan dengan Student Unit Cost (SUC), maka nilai tersebut hanya sebesar 11 sampai 16 persen dari SUC,” tambahnya.
Selain itu, dalam menetapkan BP Program Sarjana (S-1), UI membagi dalam dua kategori, yaitu S-1 Reguler dan Nonreguler, yang terdiri dari Paralel, Ekstensi, Kerjasama Daerah dan Industri (KSDI), Kelas Khusus Internasional (KKI). Adapun program sarjana nonreguler seperti program kelas pararel, Kelas Internasional, dan Ekstensi yang diterima melalui jaluk Seleksi Masuk (Simak UI) akan dikenakan biaya pendidikan yang range nominalnya berkisar dari Rp 7.500.000- Rp 8.500.000 (khusus program sarjana pararel dan ekstensi).
“Ini juga berlaku untuk untuk mahasiswa yang diterima pada program KSDI, sedangkan biaya pendidikan untuk kelas internasional akan dikenakan biaya yang lebih tinggi dan disesuaikan dengan masing-masing jurusan karena menggunakan kurikulum dan infrastruktur perkuliahan berstandar internasional,” jelas Vishnu.
Ia menambahkan, seluruh beban biaya pendidikan untuk program sarjana nonreguler tersebut tidak memperoleh skema BOP Berkeadilan. Oleh karena itu, kata Vishnu, dapat diasumsikan bahwa calon mahasiswa yang memilih kuliah di program sarjana nonreguler, sadar dan mengetahui bahwa mereka harus membayar biaya pendidikan yang tidak murah.
“Selain itu dapat diasumsikan bahwa calon mahasiswa yang memutuskan mengambil studi di program sarjana non reguler juga memiliki kemampuan finansial yang baik,” imbuhnya.
Diberitakan sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendatangi Rektorat Universitas Indonesia (UI), Kamis (16/12/2010), untuk mengetahui transparansi perhitungan, penetapan, dan pengelolaan dana mahasiswa dan dana kampus. Kedatangan ICW dipicu oleh aduan mahasiswa yang merasa UI tidak transparan dalam penetapan standar unit cost (SUC) untuk mahasiswa UI. | kompas 

Kesetaraan Kesempatan

Secara singkat karya John Rawls merupakan pandangan baru tentang liberalisme dan egaliterian, terutama tentang masalah hak kepemilikan. Kita telah mengetahui, bahwa dalam hak kepemilikan, semua orang berhak untuk memiliki hasil dari usaha dirinya sendiri. Lalu terjadi pertanyaan apakah semua orang terlahir sama dan setara dalam hal kesempatan untuk mendapat hasil jerih payahnya sendiri? 

Berdasarkan Teori Keadilan John Rawls kita memang terlahir secara secara sama dalam hak yang hakiki, tetapi kita lahir memiliki perbedaan, dan konsep keadilan miliknya bukanlah keadilan yang bersifat sama rata, tetapi keadilan yang berdasarkan kesadaran adanya perbedaan terutama kesempatan. Sebab pada kenyataannya, ada sebagian orang yang terlahir dari keluarga yang kaya bisa memperoleh akses yang lebih luas pada semua hal baik, pendidikan, kehidupan sosial, dan lainnya, namun jika kita melihat orang lain yang terlahir pada keluarga miskin, memiliki cacat tubuh, apakah bisa memiliki akses seperti orang kaya? 

Maka John Rawls merancang suatu sistem keadilan, dimana bisa diciptakan suatu keadilan dalam payung liberalisme dan egalitarian yang memungkinkan semua orang, baik yang paling beruntung, hingga yang paling menderita, agar mendapat keadilan dalam hal kesempatan yang sepantasnya. 

Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai kepentingannya terlebih dahulu baru kemudian kepentingan umum. Hasrat ini adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan ukuran pencapaian keadilan. Maka harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan ini, namun secara empiris masyarakat menunjukan bahwa kebebasan tidak dapat sepenuhnya terwujud karena adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat. Perbedaan ini menjadi dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka yang lemah. Apabila sudah ada persamaan derajat, maka semua harus memperoleh kesempatan yang sama untuk memenuhi kepentingannya. 

Walaupun nantinya memunculkan perbedaan, bukan suatu masalah, asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan dan titik berangkat yang sama. Melalui teori keadilan miliknya, menyiratkan pemerintahan berhak untuk campur tangan dalam kehidupan warganegaranya agar terjadi adanya keadilan dalam hal kesempatan tersebut, sebab segala keuntungan yang dimiliki kita sekarang sebenarnya hanya keberuntungan saja dan kita memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan kesempatan pada orang yang kurang beruntung. 

Komentar

Pada kasus ini, teori keadilan milik John Rawl mampu diaktualisasikan melalui BOP-B, dimana individu yang tidak memiliki kesempatan yang sama, dalam hal ini kemampuan finansial, untuk memiliki kesempatan yang sama. Disini mampu diperlihatkan bahwa ekonomi tetap memiliki unsur – unsur moral yang tak bisa begitu saja dipinggirkan, terutama dalam persoalan distribusi kekayaan. 

Namun penulis tidak berhenti disini saja, yang menjadi pertanyaan lanjutan dalam kasus ini adalah, apakah sesederhana itu saja alasan untuk memberikan insentif kepada orang yang secara kesempatan berbeda dengan kita? Bukankah dengan kita memberikan insentif kepada seseorang itu sama saja kita tidak membiarkan orang tersebut berusaha sampai batas kemampuannya untuk berkarya dengan keunikannya masing – masing sebagai aktualisasi eksistensinya sebagai individu? Bagaimana jika sebenarnya ketidakluasan kesempatan orang yang diberikan insentif tersebut terjadi karena hasil perbuataannya sendiri, seperti karena malas bekerja ataupun karena dirinya gemar menghambur – hamburkan uang? Atau dalam kasus ini, Bagaimana jika orang yang mendapat insentif adalah orang yang keluarganya ataupun dirinya malas untuk bekerja keras untuk mendapakan penghasilan lebih ataupun tidak melakukan management resiko keuangan yang baik? Yang menjadi keanehan lanjutan dalam kasus BOP-B ini, jika adalah benar mereka yang menerima insentif BOP-B adalah orang telah kita bantu karena telah mengalami kekurangan kesempatan, mengapa akses dan kesempatan akan beasiswa lebih dipermudah lagi bagi mereka? 

Yang penulis ingin tunjukan adalah teori keadilan milik John Rawls, memiliki kelemahan tentang penyamarataan tentang ketidaksamaan kesempatan, bagi penulis bukan merupakan kesalahan moral jika seseorang mendistribusikan sebagian keuntungan finansial pribadinya jika dipergunakan untuk insentif sebagai alat membuka kesempatan bagi mereka yang mengalami ketidakadilan, jika hal tersebut bukan disebabkan oleh dirinya, dan insentif finansial tersebut berefek pada orang tersebut sehingga mau maju dan bergerak untuk mengaktualisasi kemampuan dirinya secara individual,  namun merupakan hal yang salah jika insentif tersebut diberikan kepada orang ketidakluasan kesempatannya disebabkan oleh dirinya sendiri, insentif tersebutlah yang pada akhirnya, menyebabkan efek orang tersebut menjadi malas dan tidak berefek pada orang tersebut, sehingga tidak mau maju dan tidak bergerak untuk mengaktualisasi kemampuan dirinya secara individual.

Minggu, 14 Oktober 2012

Analisa Proposal Skripsi “WAHANA TANDA MEMPENGARUHI REPRESENTASI SUARA DALAM PEMILIHAN UMUM”


Analisa Proposal Skripsi
“WAHANA TANDA MEMPENGARUHI REPRESENTASI SUARA DALAM PEMILIHAN UMUM”
Penggunaan tema yang dilakukan oleh Abdul Rahman, sebagai penulis proposal skripsi ini, merupakan hal yang menarik, dimana wahana tanda dalam masa kampanye bisa mempengaruhi para pemilih dalam pemilihan umun, untuk digiring memilih salah satu kandidat dalam pemilihan umum tersebut. Dengan menggunakan teori semiotika milik Umberto Eco, dimana tanda, dalam hal ini public art, yang bersifat denotatis, diyakini memiliki suatu makna konotatif yang di dalamnya terdapat unsur tafsir yang bersifat tepat atau interpretan, yang dihasilkan produsen tanda, dan diyakini bahwa interpreter, dalam hal ini para pemilih, mampu menemukan makna tersebut. Proses interpretasi yang menggunakan pemikiran secara logika tersebut menghasilkan suatu katarsis bersifat emosional, dan berujung pada keyakinan bahwa interpretant tersebut adalah sebuah kebenaran, dan dalam kasus ini, pengaktualisasi kebenaran tersebut berupa keputusan memilih salah satu kandidat dalam pemilihan umum. Namun ada beberapa hal yang menurut penulis bisa menggagalkan pernyataan tesis dalam proposal ini.

            Persoalan pertama adalah, kurang sempitnya penggunaan metode penelitian yang digunakan dalam proposal ini, terutama pada penggunaan metode fenomenologi. Mengingat bahwa proposal ini mengangkat public art, yang bisa diketahui melalui persepsi indrawi, sebagai wahana tanda. Metode penelitian bisa dipersempit dengan menggunakan fenomenologi milik Maurice Merleau Ponty, sebagai alat yang efisiensi untuk menganalisa fenomena ini.

Selain itu dengan digunakannya fenomenologi milik Maurice Merleau Ponty, fenomena yang bersifat partikular dapat dibahas, seperti jika ada contoh kasus yang bersifat hipotetik seperti ini:

“Jika public art disuatu daerah pemilihan umum bersifat visual saja, apakah mungkin seorang yang buta mampu dipengaruhi oleh public art yang sifatnya sebagai wahana tanda pada daerah tersebut?”

Pada akhirnya penggunaan fenomenologi tersebut dalam proposal ini akan mampu menjelaskan, seperti apa saja wahana tanda itu? Apakah wahana tanda tersebut memiliki kelemahan dan keterbatasan sehingga tidak bisa dirasakan subjek? Dan lain sebagainya.

Persoalan kedua adalah permasalahan penggunaan term katarsis. Tidak dijelaskannya term tersebut akan digunakan berdasarkan definisi milik siapa. Jika penggunaan term katarsis tersebut merujuk pada Aristotales dalam poetic, yang menjelaskan bahwa katarsis merupakan bentuk emosi bersifat purification atau penyucian yang berasal dari efek rasa fear atau takut dan pity atau kasihan, yang dirasakan penonton saat menonton drama yang bersifat tragedi. Usaha menggunakan term tersebut, menurut penulis berkonsekuensi terhadap dua hal, yaitu terbatasnya jenis wahana tanda yang bisa digunakan, serta efek yang dirasakan saat seseorang mencari interpretan tersebut adalah bersifat tragedi dan saat seorang pemilih melakukan keputusan pemilihan harus dianggap suatu purification.

Wahana tanda tersebut terpaksa terbatas pada hal yang bersifat drama dan mengalami alur cerita, yang pada kasus ini penggunaan public art sebagai wahana tanda, hanya bisa menggunakan media berupa novel cerita, komik, teater, dan film yang bersifat tragedi sajalah yang bisa digunakan, karena hal tersebut menghasilkan katarsis. Penggunaan iklan yang dicontohkan dalam sub bab latar belakang pada proposal ini, yaitu kasus pencitraan dalam partai Gerindra, yang bersifat militeristik dan tegas, penulis anggap tidak memenuhi unsur tragedi dalam drama Aristotales, tetapi lebih tepat sebagai bentuk unsur drama heroik. Penulis pada akhirnya hanya bisa mengatakan penggunaan term katarsis dalam proposal ini, selama tidak dipertegas menggunakan landasan filosofis milik siapa, akan memberikan kebingungan dalam pencapaian kesimpulannya.

Persoalan ketiga ada dalam pernyataan tesis itu sendiri. Penulis mengasumsikan proposal ini bertujuan untuk membuktikan simbol dan pesan kampanye adalah wahana tanda yang dapat mempengaruhi subjek untuk memberikan dukungan suaranya saat pemilihan umum. Kita dapat melihat, proposal ini ingin memfokuskan diri tentang semiotika yang mampu mempengaruhi interpreter, dikarenakan adanya makna konotatif yang interpretan yang dianggap mampu diketahui oleh interpreter dalam tanda, yang awalnya hanya berupa denotasi, namun dengan cara ditambahnya term katarsis sebagai penguat keputusan untuk memberikan hak suaranya, memberikan sebuah anggapan, bahwa yang menjadi penyebab bagaimana sang subjek sebagai interpreter pada akhirnya memilih memberikan keputusannya adalah katarsis, bukan hanya permasalahan semiotika semata.

Tesis awal proposal ini memungkinkan pernyataan, bahwa subjek sebagai interpreter tidak akan terpengaruh dalam pemilihan keputusannya untuk memberikan suaranya dalam pemilihan umum, walau telah mendapatkan interpretant produsen tanda, selama dalam proses pencapaian tersebut tidak menghasilkan katarsis. Walaupun dalam proposal ini secara tegas mengatakan bahwa hanya akan membahas fenomena itu dalam ranah semiotika saja, tidak digunakannya term katarsis dalam pernyataan tesislah yang membuat adanya kerancuan dalam proposal ini. Mengingat dalam proposal ini secara tersurat mengatakan, katarsis adalah hasil akhir yang terjadi ketika interpreter mampu mengetahui interpretan yang diproduksi oleh produsen tanda. Pada kasus ini, katarsis yang berubah menjadi suatu keyakinanlah yang menyebabkan pemilih melilih untuk memberikan suaranya pada kandidat tertentu, seperti pada sub bab latar belakang paragraf ketujuh proposal ini. Hal tersebutlah yang penulis anggap bahwa term katarsis harus dimasukan dalam pernyataan tesis proposal ini.

Hal diataslah yang penulis kritik dalam proposal skripsi ini, walaupun begitu proposal skripsi ini merupakan hal yang menarik. Mengingat tanda merupakan alat yang digunakan dalam perpolitikan, terutama dalam fenomena pemilihan umum penggunaan wahana tanda dalam public art seperti iklan pada televisi, baliho dan lain sejenisnya, untuk politik pencitraan adalah hal yang lumrah. Pembongkaran hal denotatis, dalam kasus ini public art, yang sebenarnya memiliki makna konotatif, yang kita interpretasi dan dalam proses tersebut, jika kita merasakan katarsis maka kita akan mengikuti keinginan sang produsen tanda dengan interpretan miliknya. Proposal ini jika dikembangkan akan mampu menjelaskan secara lebih luas lagi, bagaimana manusia melakukan suatu keputusan, serta secara praktis bisa digunakan untuk menggiring keputusan suatu massa dalam perpolitikan, terutama dalam pemilihan umum.

Rabu, 10 Oktober 2012

Martin Buber (I - Thou)


Martin Buber

I – It dan I - Thou
Martin Buber, filsuf eksistensialisme yang menerangkan bahwa nilai eksistensi manusia bukanlah persoalan murni individualis semata. Martin Buber menggunakan tolak ukur yang berbeda dengan filsuf eksistensialisme sebelumnya, seperti Soren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche, dalam pemahaman kita mengenai nilai eksistensi manusia yaitu relasi.

Latar belakang Martin Buber sebagai seorang keturunan yahudi, yang harus melewati masa perang dunia kedua, mempengaruhi pemikiran filosofisnya terhadap bagaimana hubungan relasi yang dialami manusia terjadi. Pembantaian keturunan yahudi oleh Nazi dianggap Martin Buber sebagai kurangnya kedalaman relasi manusia.

Relasi dalam kehidupan manusia diartikan oleh Martin Buber menjadi dua realm, yang bisa digambarkan dengan kata I – It dan I – Thou. Dua hubungan relasi tersebut merupakan hubungan yang berbeda secara radikal. Relasi pada I – It merupakan relasi dimana subjek atau I mengobjektifikasi yang lain menjadi It, dengan cara I menggunakan persepsi, pengalaman, dan pendefinisian terhadap It yang memiliki suatu tujuan atau means tertentu terhadap yang lain, dan secara tersirat kita telah memiliki konsep pandangan dan tendensi terhadap objek tersebut, sehingga relasi tersebut sudah dapat dipastikan tidak seutuhnya, karena I menyadari yang berelasi dengannya dengan batasan - batasan tersebut, dan mengetahui whole being yang lain adalah suatu yang tak dimungkinkan dalam relasi ini. Relasi selanjutnya berupa relasi I –Thou, di sini relasi berhasil menghilangkan batasan dalam I - It yang terbatas, dan memberikan ruang pada bentuk relasi baru yang bersifat openness, direct, dan present. Martin Buber meyakini, bahwa hal ini mengijinkan sang I untuk berelasi dengan yang lain secara whole being, dan berakhir pada sang I menyadari eksistensinya dikarenakan relasi yang dalam tersebut.

Perubahan bentuk relasi dari I - It menjadi I - Thou dikatakan memiliki persyaratan, yaitu dengan adanya will dan grace. Will dan grace tersebut bersifat tiba – tiba dalam suatu meeting yang sifatnya tidak melalui perencanaan dan akhirnya tercipta relasi yang bersifat mutual, karena dianggap dalam I – Thou hubungan relasinya telah bersifat mutual dan dialog yang seutuhnya, berbeda dengan sifat relasi I – It yang bersifat mengobjektifkan yang lain dengan satu arah atau monolog dari sudut pandang Subjek.

Dalam hubungan relasional tersebut, baik I - It dan I - Thou, tidak dibatasi dengan hubungan dimana subjek harus setara dengan yang berelasi dengannya, dalam hal ini manusia, tetapi bisa juga dengan yang lain, seperti hubungan relasional dengan alam, Tuhan, hewan, dan lain sebagainya. Pada kali ini penulis akan membahas bagaimana hubungan relasional terjadi dengan being yang berbeda, yaitu membahas relasi antara pohon dan manusia, dengan menggunakan konsep I - It dengan I - Thou seperti yang dicontohkan Martin Buber.

Relasi I dengan Pohon
“I can look on as a picture: stiff column in a shock of light, or splash of green shot with the delicate blue and silver of the background.
I can perceive it as movement: flowing veins on clinging, pressing pith, suck of the roots, breathing of the leaves, ceaseless commerce with earth and air - and the obscure growth itself.
I can classify it in a species and study it as a type in its structure and mode of life.
I can subdue its actual presence and form so sternly that I recognize it only as an expression of law...
I can dissipate it and perpetuate it in number...
In all this the tree remains my object, occupies space and time, and has its nature and constitution.
It can, however, also come about, if I have both will and grace, that in considering the tree I become bound up in relation to it. The tree is no longer It. I have been seized by the power of exclusiveness.”[1]
Paragraf diatas menjelaskan bagaimana kita berelasi dengan pohon secara I - It, secara langsung kita mengetahui pohon tersebut dengan hal seperti berikut:

Saya bisa mengetahui pohon tersebut seperti sebuah gambaran, yaitu batang kayu yang keras atau warna hijau dalam pohon tersebut, dan pemandangan latar belakangnya yang memiliki warna biru dan perak.

Saya bisa mengetahui pohon tersebut dengan mempersepsikan pohon tersebut dengan mengetahui adanya ranting - ranting yang mengitari pohon tersebut, akar yang menyerap makanan dari tanah, proses aktifitas sang pohon terhadap tanah dan udara untuk bertahan hidup, dan daunnya yang bernafas.

Saya bisa mengetahui pohon tersebut dengan mengklasifikasikannya dan mempelajarinya dengan menaruhnya dalam spesies tertentu dengan mempelajari bagaimana struktur dan cara hidup pohon tersebut.

Saya bisa mengetahui pohon tersebut dengan menyederhanakannya sebagai suatu hukum, dengan menyederhanakan sebagai kerja suatu hukum, seperti reaksi dalam komponen - komponen dalam pohon itu sendiri.

Saya bisa mengetahui pohon tersebut dengan menyederhanakannya dengan suatu kuantitas numerik yang bisa dihitung.

Semua hal di atas saya sadari dalam pengetahuan saya terhadap pohon tersebut sebagai yang lain yang berada dalam ruang dan waktu tertentu, sifat tertentu, dan struktur tertentu. Hal - hal yang dilakukan diatas menunjukan bahwa saya mengobjektifikasi yang lain, dengan kata lain relasi yang dilakukan bersifat I – It.

Apa yang terjadi jika saya mendapatkan relasi I – Thou terhadap pohon tersebut?  
Martin Buber percaya bahwa akan terjadi sebuah hubungan yang eksklusif terhadap pohon tersebut. Semua kesadaran yang awalnya dibangun dari I – It menjadi utuh tercampur, dan tak hanya berhenti disitu, ada kesadaran yang baru, bahwa pohon tersebut ada di depan kita dan kita memahami secara sadar berelasi dengannya yang seutuhnya dan pohon tersebut memiliki “sesuatu” dalam relasinya terhadap kita, pohon tersebut yang kita hadapi dapat kita pahami secara otentik dan whole being, hal tersebut tak terlepas dari adanya will dan grace.

Pada akhirnya relasi yang terbentuk adalah relasi yang bersifat mutual. Inilah relasi terdalam yang mampu dipahami manusia dalam bentuk relasi terhadap yang lain. Relasi yang tak mengobjektifkan yang lain, dan mampu melampaui batasan pemahaman awal yang bersifat terbatas. Kita menyadari bahwa relasi tersebut akan bersifat eksklusif terhadap  hubungan tersebut, dimana relasi tersebut didapatkan dari berbaginya I – Thou dalam ruang dan waktu yang sama, I masuk untuk menjalani relasinya terhadap Thou dan hanya ada I – Thou dalam relasi ini, tidak ada yang lain. I menerima relasinya terhadap Thou, relasi inilah yang mengijinkan manusia mencapai tahap eksistensinya dengan memahami yang lain secara whole being.

Kritik Sederhana
            Martin Buber mempercayai, bahwa relasi I – Thou merupakan relasi yang mutual dan merupakan puncak relasi yang harus ditempuh manusia untuk mencapai eksistensinya. I – Thou mengijinkan tak hanya kita secara satu arah memandang yang lain tetapi juga menerima yang lain untuk menunjukan beingnya terhadap kita.

            Dalam contoh pohon yang sebelumnya, kita bisa melihat cara kerja sistem persepsi kita saat berhadapan untuk berelasi dengan yang lain telah membentuk tendensi tertentu, dengan memberikan atribut - atribut terhadap yang lain. Hal ini yang penulis anggap sebagai hal yang menarik, sebab Martin Buber menggunakan pemahaman tentang yang lain tersebut dengan menggunakan konsep kategori milik Immanuel Kant saat memandang objek sebagai sebuah fenomena saja, dan mencoba menunjukan konsekuensi yang terjadi dalam relasi tersebut, yaitu objektifikasi terhadap yang lain. Pernyataan Immanuel Kant yang mengatakan, kita hanya bisa .mengetahui yang lain di luar subjek melalui “kacamata” kategori tersebut menyebabkan kita tak bisa mengetahui nomena dari objek tersebut, hal ini memiliki kesaaman konsep dengan hubungan relasi oleh Martin Buber, yang mengatakan kita tak bisa mengetahui whole being milik yang lain dalam berelasi melalui model I – It dan terbatas pada pengetahuan yang selama ini subjek ketahui dengan yang lain tersebut. Buber mencoba menjawab bagaimana cara mendapat relasi yang seutuhnya, atau dalam pemahaman Immanuel Kant, mencoba untuk mengetahui Nomena dari yang lain. Inilah sesuatu yang unik dalam filsafat eksistensialisme Martin Buber, yang disadari ataupun tidak, mencoba menurunkan teori kategori milik Immanuel Kant dalam kehidupan sehari – hari manusia.

            Hal yang menurut penulis janggal adalah apakah eksistensi tersebut akan disadari secara individu saja atau juga akan dirasakan oleh yang lain, yang saat itu kita akan berelasi terhadapnya?

            Ketika kita telah merasakan hubungan I – Thou dengan yang lain dikatakan kita akan merasakan eksistensi seutuhnya diri kita dari relasi yang kita dapatkan dari whole being yang lain. Kita berelasi tak hanya bersifat satu arah dari kita sendiri, tetapi mengijinkan yang lain tersebut berelasi dengan kita, namun tak pernah dikatakan bahwa yang lain tersebut pasti akan bersifat I – Thou pula terhadap kita. Bagaimana jika relasi yang terjadi adalah I – Thou tetapi yang dilakukan oleh yang lain bersifat I – It? Karena secara logis dengan kita membuka diri tanpa ada suatu tendensi, seperti dalam relasi I – Thou, dalam melakukan relasi tersebut dengan yang lain, tetapi kita belum bisa memaksakan yang lain untuk berelasi dengan dengan kita tanpa melakukan tendensi seperti dalam relasi I – It, dengan kata lain benar bahwa saya melakukan hubungan dialog terhadap yang lain tetapi yang lain tersebut melakukan hubungan monolog terhadap saya.

            Walaupun Martin Buber menggunakan grace sebagai alasan adanya relasi I – Thou tersebut, hal tersebut menambahkan pertanyaan lagi bagi penulis, apakah grace tersebut terberi tak hanya bagi I tetapi juga terberi terhadap Thou? Karena jika hanya terberi terhadap I dan tidak terhadap Thou maka konsekuensi yang ada dalam paragraf sebelumnya bisa terjadi. Penulis menganggap bahwa relasi ini akan bersifat timpang karena I dapat mendapatkan eksistensinya karena mengambil bagian dengan relasi terhadap Thou, sedangkan Thou  tidak mengenal eksistensinya sendiri.

Pada akhirnya penulis menangkap maksud relasi yang dilakukan oleh Martin Buber tentang I – It dan I – Thou, dimana relasi diharapkan mencapai tahap I – Thou, dimana relasi bersifat mutual, dengan adanya suatu will dan grace dan bersifat secara tiba – tiba dan tidak terencana. Relasi I – Thou mengijinkan adanya relasi diantara keduanya yang bersifat eksklusif, hal ini diyakini oleh Martin Buber dapat membuat I mengetahui eksistensinya dalam keterlibatannya dalam ruang dan waktu yang dimilikinya dengan Thou secara utuh. Relasi ini tak hanya bisa dirasakan ataupun diketahui dengan being yang setara, seperti manusia dengan manusia saja, tetapi dengan being yang berbeda seperti pohon pada contoh sebelumnya.



[1] Martin Buber (1958) I and Thou, hlm 14

Revisi : 11 October 2011 01:30 am

Kamis, 04 Oktober 2012

Religious Life (Nietzsche)


Filsafat Eksistensialisme

Religious Life 
(Nietzsche)


Oleh, Adam Azano Satrio


Menjadi Manusia Seutuhnya

Filsafat eksistensialisme dimulai ketika Kierkegaard mengatakan bahwa setiap pilihan manusia merupakan hal yang berarti dalam setiap kehidupan, setiap pilihan yang dipilih terkadang tidak bisa diselesaikan ataupun terjawab dengan akal sehat manusia, dibutuhkan leap of faith, yang membuat tiap manusia menyadari kebermaknaan kehidupannya. Dalam leap of faith, Tuhan tak hanya berupa konsep yang diinstitusikan oleh agama, tetapi Tuhan adalah suatu pilihan yang harus diambil walaupun hal tersebut merupakan hal bisa melawan logika manusia untuk tujuan eksistensi manusia.

Apa yang terjadi jika Tuhan dibuang dari konsep eksistensialisme Kierkegaard? Alternatif apakah yang bisa diambil  manusia untuk memenuhi eksistensi manusia?

Nietzsche, filsuf asal Jerman, memberikan suatu pembaharuan dalam teori filsfat eksistensi manusia pada Kierkegaard, dimana kehidupan dianggap merupakan perwujudan dari will. Tak hanya sekedar will umum, tetapi difokuskan menjadi will of power. Berbeda dengan Schopenhauer yang lebih menekankan untuk menghilangkan will dalam kehidupan manusia, Nietzsche memilih untuk menghidupi kembali will of power yang dimiliki manusia sebagai jawaban atas permasalahan eksistensi manusia dalam kehidupan.

Hal yang diserang Nietzsche, terutama pada agama Kristiani, adalah penekanan kepada doktrin keberdosaan manusia, yang membuat setiap pemeluknya menjadi mahluk yang mengikhlaskan diri dalam kependeritaan dikarenakan manusia sudah sepantasnya hidup dalam kerendahan dan kehinaannya. Bagi Nietzsche hal ini merupakan permasalahan utama yang menyebabkan manusia kehilangan eksistensinya dalam kehidupan di dunia ini. Permasalahan inilah yang mengijinkan manusia untuk tunduk dalam suatu penyerahan diri dan mengikhlaskan pada kehidupan yang pesimistis.

Pada Human, All Too Human, bab 3, Religious Life, dituliskan, bagaimana manusia bisa melakukan praktik religiusitas dan mengijinkan dirinya untuk menjadi korban dan menghidupi kehidupan dengan kenyamanan dalam kelemahan menjalani kehidupan.

Kerendahan Manusia

“The twofold struggle against misfortune. When a misfortune strikes us, we can overcome it either by removing its cause or else by changing the effect it has on our feelings, that is, by reinterpreting the misfortune as a good, whose benefit may only later become clear….”[1]

Bab ini dimulai dengan pernyataan, bahwa kemalangan itu dihadapi dengan cara merubah pandangan kita tentang memaknai kejadian tersebut. Selain seni, agama mengijinkan manusia untuk memaklumkan dan menikmati emosi kemalangan tersebut dengan perasaan, bahwa Tuhan memiliki tujuan dari masalah tersebut, dan kita, secara tidak masuk akal, bukan memilih untuk menyelesaikan masalah tersebut, tetapi seakan - akan masalah tersebut selesai dengan adanya tujuan dari Tuhan.

Dalam kemalangan tersebut, ada suatu keanehan manusia yang menganggap pantas untuk menerima hal tersebut dengan suka rela. Hal tersebut hanya bisa dijelaskan dengan adanya suatu term yang disebut dengan dosa. Dosa yang merupakan inti ajaran Kristiani merupakan suatu konsep fundamental yang akan dikritik oleh Nietzsche dan dianggap sebagai sumber persoalan eksistensial manusia.

Konsep kedosaan tersebut dikatakan tidak hanya berlaku pada manusia secara individu saja tapi juga mampu berlaku secara kolektif, seperti yang dikutip dibawah ini.

“On the shrewdness of Christianity. It is a trick of Christianity to teach the utter worthlessness, sinfulness, and despicableness of man in general so loudly that disdain for one's fellow men becomes impossible. "Let him sin as he will, he is essentially no different from me; I am the one who is in all ways unworthy and despicable," the Christian tells himself. But this feeling too has lost its sharpest sting because the Christian does not believe in his individual despicableness: he is wicked simply because he is a man, and calms himself a bit with the tenet: we are all of one kind.”[2]

Konsep dosa tersebut, yang pada akhirnya berkonsekuensi adanya kerendahan diri manusia secara nilai. Kerendahaan manusia tersebutlah yang dianggap Nietzsche sebagai suatu yang sangat keliru. Pemahaman manusia yang mengijinkan dirinya sendiri menjadi hina merupakan suatu hal yang dianggap tidak bertanggung jawab terhadap kehidupannya manusianya sendiri.

Nietzsche meyakini, dalam diri tiap manusia, ada hasrat untuk bisa memenuhi segala keinginannya secara individu, tetapi pada tiap aktifitas yang dilakukan manusia tersebut tidak bisa memenuhi keinginannya secara mandiri dan individu, karena hal tersebut yang bersifat egoistis dan individualis tersebut dianggap sebagai suatu evil, dan manusia dituntut untuk menjadi sesuatu yang bersifat dan berpikiran tidak untuk dirinya sendiri atau selfless. Pada kenyataannya manusia tidak bisa lepas dari pemikiran selfless tersebut, oleh karenanya manusia menciptakan sesuatu yang bisa memenuhi rasa kerendahan dirinya terhadap ketidakmampuannya dengan menciptakan suatu imaji, yang memiliki kemampuan untuk bertindak selfless yaitu Tuhan.

“…….This condition would not be felt so bitterly if man would only compare himself dispassionately to other men; then he would have no reason to be dissatisfied with himself to any special degree; he would only be sharing the common burden of human dissatisfaction and imperfection. But he compares himself to a being who is solely capable of those actions called selfless and who lives in the continual consciousness of a selfless way of thinking: God. …”[3]

Kutipan tersebut secara tersirat menjadikan Tuhan sebagai alasan kelemahan dan ketidakberanian manusia untuk memilih menjalani dan mengakui bahwa kehidupannya  didasari oleh pemenuhan hasrat dirinya sendiri, dengan segala keterbatasan kemampuannya dalam kehidupan ini. Ini adalah kutipan aforisme milik Nietzsche yang utama bagi penulis, karena dijelaskan penyebab mengapa eksistensi manusia menjadi terpangkas oleh imaji yang manusia ciptakan dan yakini sendiri.

Kesimpulan

Tujuan utama Nietzsche dalam bab Religious Life ini adalah menerangkan konsep agama, terutama Kristiani, yang mengajarkan tentang dosa, ataupun kerendahahan manusia yang sebenarnnya merupakan suatu alat yang menekan kehidupan manusia, dan hal tersebut tak lebih dari alasan manusia untuk kabur dalam menghadapi kehidupannya. Sehingga agama yang dianggap bisa memberikan eksistensi manusia, ternyata merupakan upaya menekan eksistensi manusia.

Sebuah keberanianlah yang dibutuhkan manusia, untuk menjalani kehidupannya, bukan perasaan pesimistis dan bergantung kepada suatu hal yang di luar manusia. Kesadaran diri sebagai manusia yang kuat untuk memilih kehidupan yang tidak aman, atasnama kebenaran yang harus berani ditempuh, untuk memenuhi eksistensi dirinya sendiri sebagai manusia.



[1] Human, All Too Human, SECTION THREE, Religious Life, part 108

[2] Human, All Too Human, SECTION THREE, Religious Life, part 117
[3] All Too Human, SECTION THREE, Religious Life, part 132

Minggu, 30 September 2012

The First Reason Principle


The First Reason Principle
Prinsip Reasoning                                                                  
Ada sebuah intuisi manusia untuk mengaitkan suatu hal dengan hal lainnya,sehingga sering memperoleh suatu kesimpulan. Hal itulah yang menyebabkan kita bisa mengambil kesimpulan jika di satu ruangan terlihat ada kaca jendela pecah dan tergeletak batu diruangan tersebut, kita berkesimpulan bahwa ada seseorang yang melempar kaca tersebut dengan batu dari luar ruangan. Kebiasaan kita tak hanya berhenti sampai sekitar masalah kausalitas saja, tetapi bisa berlanjut ke hal - hal lainnya. Pola pikir reasoning tersebut memiliki unsur - unsur yang berhubungan tentang bagaimana kita memandang hal yang dianggap diluar kita yaitu, things, events, dan propotition.
Unsur - unsur pemikiran tersebut dirangkum oleh Aristotales dengan syarat - syarat utama agar reasoning manusia yang sahih.
Pertama kita akan membahas prinsip identitas, prinsip ini muncul karena sesuatu yang ada pasti memiliki sesuatu yang melekat dalam dirinya sehingga hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari dirinya.
Yang kedua kita akan membahas mengenai prinsip non-kontradiksi, prinsip ini merupakan hal yang sama yang tidak bisa dari keduanya menjadi benar secara bersamaan dan menjadi salah dalam waktu bersamaan. Dalam prinsip tersebut terjadi ketidak sesuaian karena sebuah proposisi dpaksakan pada sebuah keadaan yang sama.
            Yang ketiga kita menemukan apa yang dinamakan dengan prinsip eksklusi tertii (principium exclusi tertii), prinsip ini berlandaskan dari apa yang ada dalam sebuah proposisi namun tidak ada kejelasan sehingga tidak ada kemungkinan mengenai untuk kemungkinan yang ketiga. (Tertium datur non:. Ketiga tidak disediakan). Prinsip ini menyudahi sesuatu tanpa memenuhi dan memunculkan kemungkinan yang lain.
            Dalam yang keempat ada yang dikatakan dengan Prinsip alasan menjadi (prinsip kejelasan), prinsip ini berkaitan dengan apa yang dimengerti oleh akal manusia dan sebagai obyek pemikiran dapat dijelaskan hanya melalui ontically menjadi, sehingga tidak dapat diidentifikasi dengan non-being. Setiap makhluk memiliki alasan keberadaannya baik dalam dirinya sendiri atau sesuatu yang lain.
Selanjutnya adalah sebuah Prinsip finalitas, dalam prinsip ini terdapat sebuah  agent dari Setiap tindakan untuk mengakhiri dari fenomena yang terjelaskan. Prinsip ini menjelaskan bagaimana suatu fenomena tersebut terjelaskan dengan secara final sehingga tak memunculkan sesuatu dikemudiannya.
            Kemudian kita akan membahas prinsip kausalitas, prinsip yang sangat terkenal dan sering menjadi sesuatu yang mudah kita gunakan dalam menjelaskan suatu fenomena. Prinsip kausalitas atau sebab akibat ini didasarkan pada apa yang diyakini bahwa tak ada sesuatu yang terjadi secara tiba – tiba. Fenomena tidak ada yang secara tiba – tiba terjadi dan menjadi, dalam prinsip ini selalu ada sebab dari akibat yang terjadi dari sebuah fenomena yang berlangsung.  
 Things, Event, dan Propotition
Disaat kita membahas suatu things, reasoning kita secara intuitif mengambil beberapa pertanyaan intuitif yang menghasilkan kesimpulan intuitif pula, yang tetap memiliki landasan dari syarat utama di atas. Saat kita melihat things berupa “x”, kita mempertanyaan apa itu “x”, dan mengetahui jika “x” tersebut adalah “x”, dan jika kita mengatakan “x” sama dengan “y”,”w”,ataupun “z” maka kita tak bisa mengetahui apa “x” tersebut, dan jika mengatakan bahwa “x” itu sama dengan non – “x” maka kesemuanya itu akan jatuh dalam kesimpulan yang absurd,  dan aneh tidak secara logis tetapi juga intuitif. Selain itu pola pemikiran kita akan mempertanyakan tentang darimana asal mula “x”, dan apa tujuan adanya “x”.
Ketika kita mengatakan event, secara intuitif kita menyadari jika suatu kejadian “a” menyebabkan “b”, maka hal tersebut akan terasa ganjil jika terjadi “a” tetapi tidak terjadi “b” melainkan “r”, karena kita mengenal adanya prinsip prinsip diatas tersebut, dan selain itu menurut aristotales persoalan event ini mengijinkan adanya sebab musabab adanya suatu keharusan tentang tujuan “a” menyebabkan “b”.
Dalam hal propotition kita dapat mengetahui secara pasti penggunaan prinsip ini dengan tujuan pencarian kesimpulan. Semua proposisi yang diberikan selama memenuhi syarat -syarat diatas akan menghasilkan kesimpulan yang hasilnya sahih, seperti
Semua “q” adalah “w”
Semua “w” menyebabkan “z”
Maka, “q” menyebabkan “z”
            Semua prinsip di atas tersebut mengijinkan kita untuk mengambil kesimpulan secara sahih dan benar serta bisa dipertanggung jawabkan secara logis dan tidak berakhir pada kesimpulan yang absurd.
Kesimpulan
            Prinsip – prinsip reasoning, yang diambil dari teori Aristotales, merupakan suatu sistemasi yang rigid tentang bagaimana kebiasan reasoning kita bekerja, sehingga mengijinkan kita untuk mengambil kesimpulan secara sahih tak hanya dalam akademis tetapi juga kehidupan sehari - hari, selain itu kita dapat mengetahui kadar kualitas argumen seseorang menggunakan prinsip – prinsip reasoning tersebut, sehingga dapat kita adu secara rasional.