Page

Total Tayangan Halaman

Minggu, 14 Oktober 2012

Analisa Proposal Skripsi “WAHANA TANDA MEMPENGARUHI REPRESENTASI SUARA DALAM PEMILIHAN UMUM”


Analisa Proposal Skripsi
“WAHANA TANDA MEMPENGARUHI REPRESENTASI SUARA DALAM PEMILIHAN UMUM”
Penggunaan tema yang dilakukan oleh Abdul Rahman, sebagai penulis proposal skripsi ini, merupakan hal yang menarik, dimana wahana tanda dalam masa kampanye bisa mempengaruhi para pemilih dalam pemilihan umun, untuk digiring memilih salah satu kandidat dalam pemilihan umum tersebut. Dengan menggunakan teori semiotika milik Umberto Eco, dimana tanda, dalam hal ini public art, yang bersifat denotatis, diyakini memiliki suatu makna konotatif yang di dalamnya terdapat unsur tafsir yang bersifat tepat atau interpretan, yang dihasilkan produsen tanda, dan diyakini bahwa interpreter, dalam hal ini para pemilih, mampu menemukan makna tersebut. Proses interpretasi yang menggunakan pemikiran secara logika tersebut menghasilkan suatu katarsis bersifat emosional, dan berujung pada keyakinan bahwa interpretant tersebut adalah sebuah kebenaran, dan dalam kasus ini, pengaktualisasi kebenaran tersebut berupa keputusan memilih salah satu kandidat dalam pemilihan umum. Namun ada beberapa hal yang menurut penulis bisa menggagalkan pernyataan tesis dalam proposal ini.

            Persoalan pertama adalah, kurang sempitnya penggunaan metode penelitian yang digunakan dalam proposal ini, terutama pada penggunaan metode fenomenologi. Mengingat bahwa proposal ini mengangkat public art, yang bisa diketahui melalui persepsi indrawi, sebagai wahana tanda. Metode penelitian bisa dipersempit dengan menggunakan fenomenologi milik Maurice Merleau Ponty, sebagai alat yang efisiensi untuk menganalisa fenomena ini.

Selain itu dengan digunakannya fenomenologi milik Maurice Merleau Ponty, fenomena yang bersifat partikular dapat dibahas, seperti jika ada contoh kasus yang bersifat hipotetik seperti ini:

“Jika public art disuatu daerah pemilihan umum bersifat visual saja, apakah mungkin seorang yang buta mampu dipengaruhi oleh public art yang sifatnya sebagai wahana tanda pada daerah tersebut?”

Pada akhirnya penggunaan fenomenologi tersebut dalam proposal ini akan mampu menjelaskan, seperti apa saja wahana tanda itu? Apakah wahana tanda tersebut memiliki kelemahan dan keterbatasan sehingga tidak bisa dirasakan subjek? Dan lain sebagainya.

Persoalan kedua adalah permasalahan penggunaan term katarsis. Tidak dijelaskannya term tersebut akan digunakan berdasarkan definisi milik siapa. Jika penggunaan term katarsis tersebut merujuk pada Aristotales dalam poetic, yang menjelaskan bahwa katarsis merupakan bentuk emosi bersifat purification atau penyucian yang berasal dari efek rasa fear atau takut dan pity atau kasihan, yang dirasakan penonton saat menonton drama yang bersifat tragedi. Usaha menggunakan term tersebut, menurut penulis berkonsekuensi terhadap dua hal, yaitu terbatasnya jenis wahana tanda yang bisa digunakan, serta efek yang dirasakan saat seseorang mencari interpretan tersebut adalah bersifat tragedi dan saat seorang pemilih melakukan keputusan pemilihan harus dianggap suatu purification.

Wahana tanda tersebut terpaksa terbatas pada hal yang bersifat drama dan mengalami alur cerita, yang pada kasus ini penggunaan public art sebagai wahana tanda, hanya bisa menggunakan media berupa novel cerita, komik, teater, dan film yang bersifat tragedi sajalah yang bisa digunakan, karena hal tersebut menghasilkan katarsis. Penggunaan iklan yang dicontohkan dalam sub bab latar belakang pada proposal ini, yaitu kasus pencitraan dalam partai Gerindra, yang bersifat militeristik dan tegas, penulis anggap tidak memenuhi unsur tragedi dalam drama Aristotales, tetapi lebih tepat sebagai bentuk unsur drama heroik. Penulis pada akhirnya hanya bisa mengatakan penggunaan term katarsis dalam proposal ini, selama tidak dipertegas menggunakan landasan filosofis milik siapa, akan memberikan kebingungan dalam pencapaian kesimpulannya.

Persoalan ketiga ada dalam pernyataan tesis itu sendiri. Penulis mengasumsikan proposal ini bertujuan untuk membuktikan simbol dan pesan kampanye adalah wahana tanda yang dapat mempengaruhi subjek untuk memberikan dukungan suaranya saat pemilihan umum. Kita dapat melihat, proposal ini ingin memfokuskan diri tentang semiotika yang mampu mempengaruhi interpreter, dikarenakan adanya makna konotatif yang interpretan yang dianggap mampu diketahui oleh interpreter dalam tanda, yang awalnya hanya berupa denotasi, namun dengan cara ditambahnya term katarsis sebagai penguat keputusan untuk memberikan hak suaranya, memberikan sebuah anggapan, bahwa yang menjadi penyebab bagaimana sang subjek sebagai interpreter pada akhirnya memilih memberikan keputusannya adalah katarsis, bukan hanya permasalahan semiotika semata.

Tesis awal proposal ini memungkinkan pernyataan, bahwa subjek sebagai interpreter tidak akan terpengaruh dalam pemilihan keputusannya untuk memberikan suaranya dalam pemilihan umum, walau telah mendapatkan interpretant produsen tanda, selama dalam proses pencapaian tersebut tidak menghasilkan katarsis. Walaupun dalam proposal ini secara tegas mengatakan bahwa hanya akan membahas fenomena itu dalam ranah semiotika saja, tidak digunakannya term katarsis dalam pernyataan tesislah yang membuat adanya kerancuan dalam proposal ini. Mengingat dalam proposal ini secara tersurat mengatakan, katarsis adalah hasil akhir yang terjadi ketika interpreter mampu mengetahui interpretan yang diproduksi oleh produsen tanda. Pada kasus ini, katarsis yang berubah menjadi suatu keyakinanlah yang menyebabkan pemilih melilih untuk memberikan suaranya pada kandidat tertentu, seperti pada sub bab latar belakang paragraf ketujuh proposal ini. Hal tersebutlah yang penulis anggap bahwa term katarsis harus dimasukan dalam pernyataan tesis proposal ini.

Hal diataslah yang penulis kritik dalam proposal skripsi ini, walaupun begitu proposal skripsi ini merupakan hal yang menarik. Mengingat tanda merupakan alat yang digunakan dalam perpolitikan, terutama dalam fenomena pemilihan umum penggunaan wahana tanda dalam public art seperti iklan pada televisi, baliho dan lain sejenisnya, untuk politik pencitraan adalah hal yang lumrah. Pembongkaran hal denotatis, dalam kasus ini public art, yang sebenarnya memiliki makna konotatif, yang kita interpretasi dan dalam proses tersebut, jika kita merasakan katarsis maka kita akan mengikuti keinginan sang produsen tanda dengan interpretan miliknya. Proposal ini jika dikembangkan akan mampu menjelaskan secara lebih luas lagi, bagaimana manusia melakukan suatu keputusan, serta secara praktis bisa digunakan untuk menggiring keputusan suatu massa dalam perpolitikan, terutama dalam pemilihan umum.

1 komentar: