Analisa Proposal
Skripsi
“WAHANA TANDA MEMPENGARUHI REPRESENTASI SUARA DALAM
PEMILIHAN UMUM”
Penggunaan tema
yang dilakukan oleh Abdul Rahman, sebagai penulis proposal skripsi ini,
merupakan hal yang menarik, dimana wahana tanda dalam masa kampanye bisa mempengaruhi
para pemilih dalam pemilihan umun, untuk digiring memilih salah satu kandidat
dalam pemilihan umum tersebut. Dengan menggunakan teori semiotika milik Umberto
Eco, dimana tanda, dalam hal ini public
art, yang bersifat denotatis, diyakini memiliki suatu makna konotatif yang
di dalamnya terdapat unsur tafsir yang bersifat tepat atau interpretan, yang
dihasilkan produsen tanda, dan diyakini bahwa interpreter, dalam hal ini para
pemilih, mampu menemukan makna tersebut. Proses interpretasi yang menggunakan
pemikiran secara logika tersebut menghasilkan suatu katarsis bersifat
emosional, dan berujung pada keyakinan bahwa interpretant tersebut adalah
sebuah kebenaran, dan dalam kasus ini, pengaktualisasi kebenaran tersebut
berupa keputusan memilih salah satu kandidat dalam pemilihan umum. Namun ada
beberapa hal yang menurut penulis bisa menggagalkan pernyataan tesis dalam proposal
ini.
Persoalan pertama adalah, kurang
sempitnya penggunaan metode penelitian yang digunakan dalam proposal ini,
terutama pada penggunaan metode fenomenologi. Mengingat bahwa proposal ini
mengangkat public art, yang bisa
diketahui melalui persepsi indrawi, sebagai wahana tanda. Metode penelitian
bisa dipersempit dengan menggunakan fenomenologi milik Maurice Merleau Ponty,
sebagai alat yang efisiensi untuk menganalisa fenomena ini.
Selain itu dengan digunakannya
fenomenologi milik Maurice Merleau Ponty, fenomena yang bersifat partikular
dapat dibahas, seperti jika ada contoh kasus yang bersifat hipotetik seperti
ini:
“Jika public art disuatu daerah pemilihan umum bersifat visual saja,
apakah mungkin seorang yang buta mampu dipengaruhi oleh public art yang sifatnya sebagai wahana tanda pada daerah tersebut?”
Pada akhirnya penggunaan fenomenologi
tersebut dalam proposal ini akan mampu menjelaskan, seperti apa saja wahana
tanda itu? Apakah wahana tanda tersebut memiliki kelemahan dan keterbatasan
sehingga tidak bisa dirasakan subjek? Dan lain sebagainya.
Persoalan kedua adalah permasalahan
penggunaan term katarsis. Tidak dijelaskannya term tersebut akan digunakan
berdasarkan definisi milik siapa. Jika penggunaan term katarsis tersebut merujuk
pada Aristotales dalam poetic, yang
menjelaskan bahwa katarsis merupakan bentuk emosi bersifat purification atau penyucian yang berasal dari efek rasa fear atau takut dan pity atau kasihan, yang dirasakan penonton saat menonton drama yang
bersifat tragedi. Usaha menggunakan term tersebut, menurut penulis
berkonsekuensi terhadap dua hal, yaitu terbatasnya jenis wahana tanda yang bisa
digunakan, serta efek yang dirasakan saat seseorang mencari interpretan
tersebut adalah bersifat tragedi dan saat seorang pemilih melakukan keputusan
pemilihan harus dianggap suatu purification.
Wahana tanda tersebut terpaksa terbatas
pada hal yang bersifat drama dan mengalami alur cerita, yang pada kasus ini
penggunaan public art sebagai wahana
tanda, hanya bisa menggunakan media berupa novel cerita, komik, teater, dan
film yang bersifat tragedi sajalah yang bisa digunakan, karena hal tersebut menghasilkan
katarsis. Penggunaan iklan yang dicontohkan dalam sub bab latar belakang pada
proposal ini, yaitu kasus pencitraan dalam partai Gerindra, yang bersifat
militeristik dan tegas, penulis anggap tidak memenuhi unsur tragedi dalam drama
Aristotales, tetapi lebih tepat sebagai bentuk unsur drama heroik. Penulis pada
akhirnya hanya bisa mengatakan penggunaan term katarsis dalam proposal ini,
selama tidak dipertegas menggunakan landasan filosofis milik siapa, akan
memberikan kebingungan dalam pencapaian kesimpulannya.
Persoalan ketiga ada dalam pernyataan
tesis itu sendiri. Penulis mengasumsikan proposal ini bertujuan untuk
membuktikan simbol dan pesan kampanye adalah wahana tanda yang dapat
mempengaruhi subjek untuk memberikan dukungan suaranya saat pemilihan umum. Kita
dapat melihat, proposal ini ingin memfokuskan diri tentang semiotika yang mampu
mempengaruhi interpreter, dikarenakan adanya makna konotatif yang interpretan
yang dianggap mampu diketahui oleh interpreter dalam tanda, yang awalnya hanya
berupa denotasi, namun dengan cara ditambahnya term katarsis sebagai penguat
keputusan untuk memberikan hak suaranya, memberikan sebuah anggapan, bahwa yang
menjadi penyebab bagaimana sang subjek sebagai interpreter pada akhirnya memilih
memberikan keputusannya adalah katarsis, bukan hanya permasalahan semiotika
semata.
Tesis awal proposal ini memungkinkan
pernyataan, bahwa subjek sebagai interpreter tidak akan terpengaruh dalam
pemilihan keputusannya untuk memberikan suaranya dalam pemilihan umum, walau
telah mendapatkan interpretant produsen tanda, selama dalam proses pencapaian tersebut
tidak menghasilkan katarsis. Walaupun dalam proposal ini secara tegas
mengatakan bahwa hanya akan membahas fenomena itu dalam ranah semiotika saja,
tidak digunakannya term katarsis dalam pernyataan tesislah yang membuat adanya
kerancuan dalam proposal ini. Mengingat dalam proposal ini secara tersurat
mengatakan, katarsis adalah hasil akhir yang terjadi ketika interpreter mampu
mengetahui interpretan yang diproduksi oleh produsen tanda. Pada kasus ini,
katarsis yang berubah menjadi suatu keyakinanlah yang menyebabkan pemilih melilih
untuk memberikan suaranya pada kandidat tertentu, seperti pada sub bab latar
belakang paragraf ketujuh proposal ini. Hal tersebutlah yang penulis anggap
bahwa term katarsis harus dimasukan dalam pernyataan tesis proposal ini.
Hal diataslah yang penulis kritik dalam
proposal skripsi ini, walaupun begitu proposal skripsi ini merupakan hal yang
menarik. Mengingat tanda merupakan alat yang digunakan dalam perpolitikan,
terutama dalam fenomena pemilihan umum penggunaan wahana tanda dalam public art seperti iklan pada televisi,
baliho dan lain sejenisnya, untuk politik pencitraan adalah hal yang lumrah.
Pembongkaran hal denotatis, dalam kasus ini public
art, yang sebenarnya memiliki makna konotatif, yang kita interpretasi dan
dalam proses tersebut, jika kita merasakan katarsis maka kita akan mengikuti
keinginan sang produsen tanda dengan interpretan miliknya. Proposal ini jika
dikembangkan akan mampu menjelaskan secara lebih luas lagi, bagaimana manusia
melakukan suatu keputusan, serta secara praktis bisa digunakan untuk menggiring
keputusan suatu massa dalam perpolitikan, terutama dalam pemilihan umum.
mantaaap brrroooooooo
BalasHapus