Page

Total Tayangan Halaman

Kamis, 04 Oktober 2012

Religious Life (Nietzsche)


Filsafat Eksistensialisme

Religious Life 
(Nietzsche)


Oleh, Adam Azano Satrio


Menjadi Manusia Seutuhnya

Filsafat eksistensialisme dimulai ketika Kierkegaard mengatakan bahwa setiap pilihan manusia merupakan hal yang berarti dalam setiap kehidupan, setiap pilihan yang dipilih terkadang tidak bisa diselesaikan ataupun terjawab dengan akal sehat manusia, dibutuhkan leap of faith, yang membuat tiap manusia menyadari kebermaknaan kehidupannya. Dalam leap of faith, Tuhan tak hanya berupa konsep yang diinstitusikan oleh agama, tetapi Tuhan adalah suatu pilihan yang harus diambil walaupun hal tersebut merupakan hal bisa melawan logika manusia untuk tujuan eksistensi manusia.

Apa yang terjadi jika Tuhan dibuang dari konsep eksistensialisme Kierkegaard? Alternatif apakah yang bisa diambil  manusia untuk memenuhi eksistensi manusia?

Nietzsche, filsuf asal Jerman, memberikan suatu pembaharuan dalam teori filsfat eksistensi manusia pada Kierkegaard, dimana kehidupan dianggap merupakan perwujudan dari will. Tak hanya sekedar will umum, tetapi difokuskan menjadi will of power. Berbeda dengan Schopenhauer yang lebih menekankan untuk menghilangkan will dalam kehidupan manusia, Nietzsche memilih untuk menghidupi kembali will of power yang dimiliki manusia sebagai jawaban atas permasalahan eksistensi manusia dalam kehidupan.

Hal yang diserang Nietzsche, terutama pada agama Kristiani, adalah penekanan kepada doktrin keberdosaan manusia, yang membuat setiap pemeluknya menjadi mahluk yang mengikhlaskan diri dalam kependeritaan dikarenakan manusia sudah sepantasnya hidup dalam kerendahan dan kehinaannya. Bagi Nietzsche hal ini merupakan permasalahan utama yang menyebabkan manusia kehilangan eksistensinya dalam kehidupan di dunia ini. Permasalahan inilah yang mengijinkan manusia untuk tunduk dalam suatu penyerahan diri dan mengikhlaskan pada kehidupan yang pesimistis.

Pada Human, All Too Human, bab 3, Religious Life, dituliskan, bagaimana manusia bisa melakukan praktik religiusitas dan mengijinkan dirinya untuk menjadi korban dan menghidupi kehidupan dengan kenyamanan dalam kelemahan menjalani kehidupan.

Kerendahan Manusia

“The twofold struggle against misfortune. When a misfortune strikes us, we can overcome it either by removing its cause or else by changing the effect it has on our feelings, that is, by reinterpreting the misfortune as a good, whose benefit may only later become clear….”[1]

Bab ini dimulai dengan pernyataan, bahwa kemalangan itu dihadapi dengan cara merubah pandangan kita tentang memaknai kejadian tersebut. Selain seni, agama mengijinkan manusia untuk memaklumkan dan menikmati emosi kemalangan tersebut dengan perasaan, bahwa Tuhan memiliki tujuan dari masalah tersebut, dan kita, secara tidak masuk akal, bukan memilih untuk menyelesaikan masalah tersebut, tetapi seakan - akan masalah tersebut selesai dengan adanya tujuan dari Tuhan.

Dalam kemalangan tersebut, ada suatu keanehan manusia yang menganggap pantas untuk menerima hal tersebut dengan suka rela. Hal tersebut hanya bisa dijelaskan dengan adanya suatu term yang disebut dengan dosa. Dosa yang merupakan inti ajaran Kristiani merupakan suatu konsep fundamental yang akan dikritik oleh Nietzsche dan dianggap sebagai sumber persoalan eksistensial manusia.

Konsep kedosaan tersebut dikatakan tidak hanya berlaku pada manusia secara individu saja tapi juga mampu berlaku secara kolektif, seperti yang dikutip dibawah ini.

“On the shrewdness of Christianity. It is a trick of Christianity to teach the utter worthlessness, sinfulness, and despicableness of man in general so loudly that disdain for one's fellow men becomes impossible. "Let him sin as he will, he is essentially no different from me; I am the one who is in all ways unworthy and despicable," the Christian tells himself. But this feeling too has lost its sharpest sting because the Christian does not believe in his individual despicableness: he is wicked simply because he is a man, and calms himself a bit with the tenet: we are all of one kind.”[2]

Konsep dosa tersebut, yang pada akhirnya berkonsekuensi adanya kerendahan diri manusia secara nilai. Kerendahaan manusia tersebutlah yang dianggap Nietzsche sebagai suatu yang sangat keliru. Pemahaman manusia yang mengijinkan dirinya sendiri menjadi hina merupakan suatu hal yang dianggap tidak bertanggung jawab terhadap kehidupannya manusianya sendiri.

Nietzsche meyakini, dalam diri tiap manusia, ada hasrat untuk bisa memenuhi segala keinginannya secara individu, tetapi pada tiap aktifitas yang dilakukan manusia tersebut tidak bisa memenuhi keinginannya secara mandiri dan individu, karena hal tersebut yang bersifat egoistis dan individualis tersebut dianggap sebagai suatu evil, dan manusia dituntut untuk menjadi sesuatu yang bersifat dan berpikiran tidak untuk dirinya sendiri atau selfless. Pada kenyataannya manusia tidak bisa lepas dari pemikiran selfless tersebut, oleh karenanya manusia menciptakan sesuatu yang bisa memenuhi rasa kerendahan dirinya terhadap ketidakmampuannya dengan menciptakan suatu imaji, yang memiliki kemampuan untuk bertindak selfless yaitu Tuhan.

“…….This condition would not be felt so bitterly if man would only compare himself dispassionately to other men; then he would have no reason to be dissatisfied with himself to any special degree; he would only be sharing the common burden of human dissatisfaction and imperfection. But he compares himself to a being who is solely capable of those actions called selfless and who lives in the continual consciousness of a selfless way of thinking: God. …”[3]

Kutipan tersebut secara tersirat menjadikan Tuhan sebagai alasan kelemahan dan ketidakberanian manusia untuk memilih menjalani dan mengakui bahwa kehidupannya  didasari oleh pemenuhan hasrat dirinya sendiri, dengan segala keterbatasan kemampuannya dalam kehidupan ini. Ini adalah kutipan aforisme milik Nietzsche yang utama bagi penulis, karena dijelaskan penyebab mengapa eksistensi manusia menjadi terpangkas oleh imaji yang manusia ciptakan dan yakini sendiri.

Kesimpulan

Tujuan utama Nietzsche dalam bab Religious Life ini adalah menerangkan konsep agama, terutama Kristiani, yang mengajarkan tentang dosa, ataupun kerendahahan manusia yang sebenarnnya merupakan suatu alat yang menekan kehidupan manusia, dan hal tersebut tak lebih dari alasan manusia untuk kabur dalam menghadapi kehidupannya. Sehingga agama yang dianggap bisa memberikan eksistensi manusia, ternyata merupakan upaya menekan eksistensi manusia.

Sebuah keberanianlah yang dibutuhkan manusia, untuk menjalani kehidupannya, bukan perasaan pesimistis dan bergantung kepada suatu hal yang di luar manusia. Kesadaran diri sebagai manusia yang kuat untuk memilih kehidupan yang tidak aman, atasnama kebenaran yang harus berani ditempuh, untuk memenuhi eksistensi dirinya sendiri sebagai manusia.



[1] Human, All Too Human, SECTION THREE, Religious Life, part 108

[2] Human, All Too Human, SECTION THREE, Religious Life, part 117
[3] All Too Human, SECTION THREE, Religious Life, part 132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar