Filsafat Eksistensialisme
Religious Life
( Nietzsche)
(
Oleh, Adam Azano Satrio
Menjadi Manusia Seutuhnya
Filsafat
eksistensialisme dimulai ketika Kierkegaard mengatakan bahwa setiap pilihan
manusia merupakan hal yang berarti dalam setiap kehidupan, setiap pilihan yang
dipilih terkadang tidak bisa diselesaikan ataupun terjawab dengan akal sehat
manusia, dibutuhkan leap of faith, yang membuat tiap manusia
menyadari kebermaknaan kehidupannya. Dalam leap
of faith, Tuhan tak hanya berupa
konsep yang diinstitusikan oleh agama, tetapi Tuhan adalah suatu pilihan yang
harus diambil walaupun hal tersebut merupakan hal bisa melawan logika manusia
untuk tujuan eksistensi manusia.
Apa
yang terjadi jika Tuhan dibuang dari konsep eksistensialisme Kierkegaard?
Alternatif apakah yang bisa diambil manusia
untuk memenuhi eksistensi manusia?
Nietzsche,
filsuf asal Jerman, memberikan suatu pembaharuan dalam teori filsfat eksistensi
manusia pada Kierkegaard, dimana kehidupan dianggap merupakan perwujudan dari will. Tak hanya sekedar will umum, tetapi difokuskan menjadi will of power. Berbeda dengan
Schopenhauer yang lebih menekankan untuk menghilangkan will dalam kehidupan manusia, Nietzsche memilih untuk menghidupi
kembali will of power yang dimiliki
manusia sebagai jawaban atas permasalahan eksistensi manusia dalam kehidupan.
Hal
yang diserang Nietzsche, terutama pada agama Kristiani, adalah penekanan kepada
doktrin keberdosaan manusia, yang membuat setiap pemeluknya menjadi mahluk yang
mengikhlaskan diri dalam kependeritaan dikarenakan manusia sudah sepantasnya
hidup dalam kerendahan dan kehinaannya. Bagi Nietzsche hal ini merupakan
permasalahan utama yang menyebabkan manusia kehilangan eksistensinya dalam
kehidupan di dunia ini. Permasalahan inilah yang mengijinkan manusia untuk
tunduk dalam suatu penyerahan diri dan mengikhlaskan pada kehidupan yang
pesimistis.
Pada
Human, All Too Human, bab 3, Religious Life, dituliskan, bagaimana
manusia bisa melakukan praktik religiusitas dan mengijinkan dirinya untuk
menjadi korban dan menghidupi kehidupan dengan kenyamanan dalam kelemahan
menjalani kehidupan.
Kerendahan Manusia
“The
twofold struggle against misfortune.
When a misfortune strikes us, we can overcome it either by removing its cause
or else by changing the effect it has on our feelings, that is, by reinterpreting
the misfortune as a good, whose benefit may only later become clear….”[1]
Bab
ini dimulai dengan pernyataan, bahwa kemalangan itu dihadapi dengan cara
merubah pandangan kita tentang memaknai kejadian tersebut. Selain seni, agama
mengijinkan manusia untuk memaklumkan dan menikmati emosi kemalangan tersebut
dengan perasaan, bahwa Tuhan memiliki tujuan dari masalah tersebut, dan kita, secara
tidak masuk akal, bukan memilih untuk menyelesaikan masalah tersebut, tetapi
seakan - akan masalah tersebut selesai dengan adanya tujuan dari Tuhan.
Dalam
kemalangan tersebut, ada suatu keanehan manusia yang menganggap pantas untuk
menerima hal tersebut dengan suka rela. Hal tersebut hanya bisa dijelaskan
dengan adanya suatu term yang disebut
dengan dosa. Dosa yang merupakan inti ajaran Kristiani merupakan suatu konsep
fundamental yang akan dikritik oleh Nietzsche dan dianggap sebagai sumber
persoalan eksistensial manusia.
Konsep
kedosaan tersebut dikatakan tidak hanya berlaku pada manusia secara individu
saja tapi juga mampu berlaku secara kolektif, seperti yang dikutip dibawah ini.
“On the shrewdness of Christianity.
It is a trick of Christianity to teach the utter worthlessness, sinfulness, and
despicableness of man in general so loudly that disdain for one's fellow men
becomes impossible. "Let him sin as he will, he is essentially no
different from me; I am the one who is in all ways unworthy and
despicable," the Christian tells himself. But this feeling too has lost
its sharpest sting because the Christian does not believe in his individual
despicableness: he is wicked simply because he is a man, and calms himself a
bit with the tenet: we are all of one kind.”[2]
Konsep
dosa tersebut, yang pada akhirnya berkonsekuensi adanya kerendahan diri manusia
secara nilai. Kerendahaan manusia tersebutlah yang dianggap Nietzsche sebagai
suatu yang sangat keliru. Pemahaman manusia yang mengijinkan dirinya sendiri
menjadi hina merupakan suatu hal yang dianggap tidak bertanggung jawab terhadap
kehidupannya manusianya sendiri.
Nietzsche
meyakini, dalam diri tiap manusia, ada hasrat untuk bisa memenuhi segala
keinginannya secara individu, tetapi pada tiap aktifitas yang dilakukan manusia
tersebut tidak bisa memenuhi keinginannya secara mandiri dan individu, karena
hal tersebut yang bersifat egoistis dan individualis tersebut dianggap sebagai
suatu evil, dan manusia dituntut
untuk menjadi sesuatu yang bersifat dan berpikiran tidak untuk dirinya sendiri
atau selfless. Pada kenyataannya
manusia tidak bisa lepas dari pemikiran selfless
tersebut, oleh karenanya manusia menciptakan sesuatu yang bisa memenuhi rasa
kerendahan dirinya terhadap ketidakmampuannya dengan menciptakan suatu imaji, yang
memiliki kemampuan untuk bertindak selfless
yaitu Tuhan.
“…….This condition
would not be felt so bitterly if man would only compare himself dispassionately
to other men; then he would have no reason to be dissatisfied with himself to
any special degree; he would only be sharing the common burden of human
dissatisfaction and imperfection. But he compares himself to a being who is
solely capable of those actions called selfless and who lives in the continual
consciousness of a selfless way of thinking: God. …”[3]
Kutipan
tersebut secara tersirat menjadikan Tuhan sebagai alasan kelemahan dan
ketidakberanian manusia untuk memilih menjalani dan mengakui bahwa kehidupannya didasari oleh pemenuhan hasrat dirinya
sendiri, dengan segala keterbatasan kemampuannya dalam kehidupan ini. Ini
adalah kutipan aforisme milik Nietzsche yang utama bagi penulis, karena
dijelaskan penyebab mengapa eksistensi manusia menjadi terpangkas oleh imaji
yang manusia ciptakan dan yakini sendiri.
Kesimpulan
Tujuan
utama Nietzsche dalam bab Religious Life
ini adalah menerangkan konsep agama, terutama Kristiani, yang mengajarkan
tentang dosa, ataupun kerendahahan manusia yang sebenarnnya merupakan suatu
alat yang menekan kehidupan manusia, dan hal tersebut tak lebih dari alasan
manusia untuk kabur dalam menghadapi kehidupannya. Sehingga agama yang dianggap
bisa memberikan eksistensi manusia, ternyata merupakan upaya menekan eksistensi
manusia.
Sebuah
keberanianlah yang dibutuhkan manusia, untuk menjalani kehidupannya, bukan
perasaan pesimistis dan bergantung kepada suatu hal yang di luar manusia. Kesadaran
diri sebagai manusia yang kuat untuk memilih kehidupan yang tidak aman,
atasnama kebenaran yang harus berani ditempuh, untuk memenuhi eksistensi
dirinya sendiri sebagai manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar