I – It dan I - Thou
Martin
Buber, filsuf eksistensialisme yang menerangkan bahwa nilai eksistensi manusia
bukanlah persoalan murni individualis semata. Martin Buber menggunakan tolak
ukur yang berbeda dengan filsuf eksistensialisme sebelumnya, seperti Soren Kierkegaard
dan Friedrich Nietzsche, dalam pemahaman kita mengenai nilai eksistensi manusia
yaitu relasi.
Latar
belakang Martin Buber sebagai seorang keturunan yahudi, yang harus melewati
masa perang dunia kedua, mempengaruhi pemikiran filosofisnya terhadap bagaimana
hubungan relasi yang dialami manusia terjadi. Pembantaian keturunan yahudi oleh
Nazi dianggap Martin Buber sebagai kurangnya kedalaman relasi manusia.
Relasi
dalam kehidupan manusia diartikan oleh Martin Buber menjadi dua realm, yang bisa digambarkan dengan kata
I – It dan I – Thou. Dua hubungan relasi tersebut merupakan hubungan yang
berbeda secara radikal. Relasi pada I –
It merupakan relasi dimana subjek atau I
mengobjektifikasi yang lain menjadi It,
dengan cara I menggunakan persepsi,
pengalaman, dan pendefinisian terhadap It
yang memiliki suatu tujuan atau means
tertentu terhadap yang lain, dan secara tersirat kita telah memiliki konsep
pandangan dan tendensi terhadap objek tersebut, sehingga relasi tersebut sudah
dapat dipastikan tidak seutuhnya, karena I
menyadari yang berelasi dengannya dengan batasan - batasan tersebut, dan
mengetahui whole being yang lain
adalah suatu yang tak dimungkinkan dalam relasi ini. Relasi selanjutnya berupa
relasi I –Thou, di sini relasi
berhasil menghilangkan batasan dalam I - It
yang terbatas, dan memberikan ruang pada bentuk relasi baru yang bersifat openness, direct, dan present. Martin
Buber meyakini, bahwa hal ini mengijinkan sang I untuk berelasi dengan yang lain secara whole being, dan berakhir pada sang I menyadari eksistensinya dikarenakan relasi yang dalam tersebut.
Perubahan
bentuk relasi dari I - It menjadi I - Thou dikatakan memiliki persyaratan,
yaitu dengan adanya will dan grace. Will dan grace tersebut
bersifat tiba – tiba dalam suatu meeting
yang sifatnya tidak melalui perencanaan dan akhirnya tercipta relasi yang
bersifat mutual, karena dianggap dalam I
– Thou hubungan relasinya telah bersifat mutual dan dialog yang seutuhnya,
berbeda dengan sifat relasi I – It yang
bersifat mengobjektifkan yang lain dengan satu arah atau monolog dari sudut
pandang Subjek.
Dalam
hubungan relasional tersebut, baik I - It
dan I - Thou, tidak dibatasi dengan
hubungan dimana subjek harus setara dengan yang berelasi dengannya, dalam hal
ini manusia, tetapi bisa juga dengan yang lain, seperti hubungan relasional
dengan alam, Tuhan, hewan, dan lain sebagainya. Pada kali ini penulis akan
membahas bagaimana hubungan relasional terjadi dengan being yang berbeda, yaitu membahas relasi antara pohon dan manusia,
dengan menggunakan konsep I - It dengan
I - Thou seperti yang dicontohkan Martin
Buber.
Relasi
I dengan Pohon
“I can look
on as a picture: stiff column in a shock of light, or splash of green shot with
the delicate blue and silver of the background.
I can
perceive it as movement: flowing veins on clinging, pressing pith, suck of the
roots, breathing of the leaves, ceaseless commerce with earth and air - and the
obscure growth itself.
I can
classify it in a species and study it as a type in its structure and mode of
life.
I can subdue
its actual presence and form so sternly that I recognize it only as an
expression of law...
I can
dissipate it and perpetuate it in number...
In all this
the tree remains my object, occupies space and time, and has its nature and
constitution.
It can,
however, also come about, if I have both will and grace, that in considering
the tree I become bound up in relation to it. The tree is no longer It. I have
been seized by the power of exclusiveness.”[1]
Paragraf
diatas menjelaskan bagaimana kita berelasi dengan pohon secara I - It, secara langsung kita mengetahui
pohon tersebut dengan hal seperti berikut:
Saya
bisa mengetahui pohon tersebut seperti sebuah gambaran, yaitu batang kayu yang
keras atau warna hijau dalam pohon tersebut, dan pemandangan latar belakangnya
yang memiliki warna biru dan perak.
Saya
bisa mengetahui pohon tersebut dengan mempersepsikan pohon tersebut dengan
mengetahui adanya ranting - ranting yang mengitari pohon tersebut, akar yang menyerap
makanan dari tanah, proses aktifitas sang pohon terhadap tanah dan udara untuk
bertahan hidup, dan daunnya yang bernafas.
Saya
bisa mengetahui pohon tersebut dengan mengklasifikasikannya dan mempelajarinya
dengan menaruhnya dalam spesies tertentu dengan mempelajari bagaimana struktur
dan cara hidup pohon tersebut.
Saya
bisa mengetahui pohon tersebut dengan menyederhanakannya sebagai suatu hukum,
dengan menyederhanakan sebagai kerja suatu hukum, seperti reaksi dalam komponen
- komponen dalam pohon itu sendiri.
Saya
bisa mengetahui pohon tersebut dengan menyederhanakannya dengan suatu kuantitas
numerik yang bisa dihitung.
Semua
hal di atas saya sadari dalam pengetahuan saya terhadap pohon tersebut sebagai
yang lain yang berada dalam ruang dan waktu tertentu, sifat tertentu, dan
struktur tertentu. Hal - hal yang dilakukan diatas menunjukan bahwa saya
mengobjektifikasi yang lain, dengan kata lain relasi yang dilakukan bersifat I – It.
Apa
yang terjadi jika saya mendapatkan relasi I
– Thou terhadap pohon tersebut?
Martin
Buber percaya bahwa akan terjadi sebuah hubungan yang eksklusif terhadap pohon
tersebut. Semua kesadaran yang awalnya dibangun dari I – It menjadi utuh tercampur, dan tak hanya berhenti disitu, ada kesadaran
yang baru, bahwa pohon tersebut ada di depan kita dan kita memahami secara sadar
berelasi dengannya yang seutuhnya dan pohon tersebut memiliki “sesuatu” dalam
relasinya terhadap kita, pohon tersebut yang kita hadapi dapat kita pahami
secara otentik dan whole being, hal
tersebut tak terlepas dari adanya will
dan grace.
Pada
akhirnya relasi yang terbentuk adalah relasi yang bersifat mutual. Inilah
relasi terdalam yang mampu dipahami manusia dalam bentuk relasi terhadap yang
lain. Relasi yang tak mengobjektifkan yang lain, dan mampu melampaui batasan
pemahaman awal yang bersifat terbatas. Kita menyadari bahwa relasi tersebut
akan bersifat eksklusif terhadap hubungan
tersebut, dimana relasi tersebut didapatkan dari berbaginya I – Thou dalam ruang dan waktu yang
sama, I masuk untuk menjalani
relasinya terhadap Thou dan hanya ada
I – Thou dalam relasi ini, tidak ada
yang lain. I menerima relasinya
terhadap Thou, relasi inilah yang
mengijinkan manusia mencapai tahap eksistensinya dengan memahami yang lain secara
whole being.
Kritik
Sederhana
Martin Buber
mempercayai, bahwa relasi I – Thou
merupakan relasi yang mutual dan merupakan puncak relasi yang harus ditempuh
manusia untuk mencapai eksistensinya. I –
Thou mengijinkan tak hanya kita secara satu arah memandang yang lain tetapi
juga menerima yang lain untuk menunjukan beingnya
terhadap kita.
Dalam contoh pohon yang sebelumnya, kita bisa melihat
cara kerja sistem persepsi kita saat berhadapan untuk berelasi dengan yang lain
telah membentuk tendensi tertentu, dengan memberikan atribut - atribut terhadap
yang lain. Hal ini yang penulis anggap sebagai hal yang menarik, sebab Martin
Buber menggunakan pemahaman tentang yang lain tersebut dengan menggunakan
konsep kategori milik Immanuel Kant saat memandang objek sebagai sebuah fenomena
saja, dan mencoba menunjukan konsekuensi yang terjadi dalam relasi tersebut,
yaitu objektifikasi terhadap yang lain. Pernyataan Immanuel Kant yang
mengatakan, kita hanya bisa .mengetahui yang lain di luar subjek melalui
“kacamata” kategori tersebut menyebabkan kita tak bisa mengetahui nomena dari
objek tersebut, hal ini memiliki kesaaman konsep dengan hubungan relasi oleh
Martin Buber, yang mengatakan kita tak bisa mengetahui whole being milik yang lain dalam berelasi melalui model I – It dan terbatas pada pengetahuan
yang selama ini subjek ketahui dengan yang lain tersebut. Buber mencoba menjawab bagaimana cara mendapat relasi yang
seutuhnya, atau dalam pemahaman Immanuel Kant, mencoba untuk mengetahui Nomena
dari yang lain. Inilah sesuatu yang unik dalam filsafat eksistensialisme Martin
Buber, yang disadari ataupun tidak, mencoba menurunkan teori kategori milik
Immanuel Kant dalam kehidupan sehari – hari manusia.
Hal yang menurut penulis janggal adalah apakah eksistensi
tersebut akan disadari secara individu saja atau juga akan dirasakan oleh yang
lain, yang saat itu kita akan berelasi terhadapnya?
Ketika kita telah merasakan hubungan I – Thou dengan yang lain dikatakan kita akan merasakan eksistensi
seutuhnya diri kita dari relasi yang kita dapatkan dari whole being yang lain. Kita berelasi tak hanya bersifat satu arah
dari kita sendiri, tetapi mengijinkan yang lain tersebut berelasi dengan kita,
namun tak pernah dikatakan bahwa yang lain tersebut pasti akan bersifat I – Thou pula terhadap kita. Bagaimana
jika relasi yang terjadi adalah I – Thou
tetapi yang dilakukan oleh yang lain bersifat I – It? Karena secara logis dengan kita membuka diri tanpa ada
suatu tendensi, seperti dalam relasi I – Thou,
dalam melakukan relasi tersebut dengan yang lain, tetapi kita belum bisa
memaksakan yang lain untuk berelasi dengan dengan kita tanpa melakukan tendensi
seperti dalam relasi I – It, dengan
kata lain benar bahwa saya melakukan hubungan dialog terhadap yang lain tetapi
yang lain tersebut melakukan hubungan monolog terhadap saya.
Walaupun Martin Buber menggunakan grace sebagai alasan adanya relasi I – Thou tersebut, hal tersebut menambahkan pertanyaan lagi bagi
penulis, apakah grace tersebut
terberi tak hanya bagi I tetapi juga
terberi terhadap Thou? Karena jika
hanya terberi terhadap I dan tidak
terhadap Thou maka konsekuensi yang
ada dalam paragraf sebelumnya bisa terjadi. Penulis menganggap bahwa relasi ini
akan bersifat timpang karena I dapat
mendapatkan eksistensinya karena mengambil bagian dengan relasi terhadap Thou, sedangkan Thou tidak mengenal
eksistensinya sendiri.
Pada
akhirnya penulis menangkap maksud relasi yang dilakukan oleh Martin Buber
tentang I – It dan I – Thou, dimana relasi diharapkan
mencapai tahap I – Thou, dimana
relasi bersifat mutual, dengan adanya suatu will
dan grace dan bersifat secara tiba –
tiba dan tidak terencana. Relasi I – Thou
mengijinkan adanya relasi diantara keduanya yang bersifat eksklusif, hal
ini diyakini oleh Martin Buber dapat membuat I mengetahui eksistensinya dalam keterlibatannya dalam ruang dan
waktu yang dimilikinya dengan Thou
secara utuh. Relasi ini tak hanya bisa dirasakan ataupun diketahui dengan being yang setara, seperti manusia
dengan manusia saja, tetapi dengan being
yang berbeda seperti pohon pada contoh sebelumnya.
gak ngerti
BalasHapusDam..kangen kuliah deh dam.. :(
BalasHapusDak ngerti
BalasHapusGak paham
BalasHapusWes gampangnya kalo hubungan I and Thou itu harus bersifat Ekslusif dan spiritual. kalo sifatnya murni objektif doank ndak ada unsur eksistensialisme didalammnya
BalasHapusBang sejahu mana relasi I Thou ini mendapatkan implikasinya. Apakah hal ini dapat diterapkan pula dalam mengatasi setiap konflik yang sering terjadi.?
BalasHapus