Page

Total Tayangan Halaman

Rabu, 10 Oktober 2012

Martin Buber (I - Thou)


Martin Buber

I – It dan I - Thou
Martin Buber, filsuf eksistensialisme yang menerangkan bahwa nilai eksistensi manusia bukanlah persoalan murni individualis semata. Martin Buber menggunakan tolak ukur yang berbeda dengan filsuf eksistensialisme sebelumnya, seperti Soren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche, dalam pemahaman kita mengenai nilai eksistensi manusia yaitu relasi.

Latar belakang Martin Buber sebagai seorang keturunan yahudi, yang harus melewati masa perang dunia kedua, mempengaruhi pemikiran filosofisnya terhadap bagaimana hubungan relasi yang dialami manusia terjadi. Pembantaian keturunan yahudi oleh Nazi dianggap Martin Buber sebagai kurangnya kedalaman relasi manusia.

Relasi dalam kehidupan manusia diartikan oleh Martin Buber menjadi dua realm, yang bisa digambarkan dengan kata I – It dan I – Thou. Dua hubungan relasi tersebut merupakan hubungan yang berbeda secara radikal. Relasi pada I – It merupakan relasi dimana subjek atau I mengobjektifikasi yang lain menjadi It, dengan cara I menggunakan persepsi, pengalaman, dan pendefinisian terhadap It yang memiliki suatu tujuan atau means tertentu terhadap yang lain, dan secara tersirat kita telah memiliki konsep pandangan dan tendensi terhadap objek tersebut, sehingga relasi tersebut sudah dapat dipastikan tidak seutuhnya, karena I menyadari yang berelasi dengannya dengan batasan - batasan tersebut, dan mengetahui whole being yang lain adalah suatu yang tak dimungkinkan dalam relasi ini. Relasi selanjutnya berupa relasi I –Thou, di sini relasi berhasil menghilangkan batasan dalam I - It yang terbatas, dan memberikan ruang pada bentuk relasi baru yang bersifat openness, direct, dan present. Martin Buber meyakini, bahwa hal ini mengijinkan sang I untuk berelasi dengan yang lain secara whole being, dan berakhir pada sang I menyadari eksistensinya dikarenakan relasi yang dalam tersebut.

Perubahan bentuk relasi dari I - It menjadi I - Thou dikatakan memiliki persyaratan, yaitu dengan adanya will dan grace. Will dan grace tersebut bersifat tiba – tiba dalam suatu meeting yang sifatnya tidak melalui perencanaan dan akhirnya tercipta relasi yang bersifat mutual, karena dianggap dalam I – Thou hubungan relasinya telah bersifat mutual dan dialog yang seutuhnya, berbeda dengan sifat relasi I – It yang bersifat mengobjektifkan yang lain dengan satu arah atau monolog dari sudut pandang Subjek.

Dalam hubungan relasional tersebut, baik I - It dan I - Thou, tidak dibatasi dengan hubungan dimana subjek harus setara dengan yang berelasi dengannya, dalam hal ini manusia, tetapi bisa juga dengan yang lain, seperti hubungan relasional dengan alam, Tuhan, hewan, dan lain sebagainya. Pada kali ini penulis akan membahas bagaimana hubungan relasional terjadi dengan being yang berbeda, yaitu membahas relasi antara pohon dan manusia, dengan menggunakan konsep I - It dengan I - Thou seperti yang dicontohkan Martin Buber.

Relasi I dengan Pohon
“I can look on as a picture: stiff column in a shock of light, or splash of green shot with the delicate blue and silver of the background.
I can perceive it as movement: flowing veins on clinging, pressing pith, suck of the roots, breathing of the leaves, ceaseless commerce with earth and air - and the obscure growth itself.
I can classify it in a species and study it as a type in its structure and mode of life.
I can subdue its actual presence and form so sternly that I recognize it only as an expression of law...
I can dissipate it and perpetuate it in number...
In all this the tree remains my object, occupies space and time, and has its nature and constitution.
It can, however, also come about, if I have both will and grace, that in considering the tree I become bound up in relation to it. The tree is no longer It. I have been seized by the power of exclusiveness.”[1]
Paragraf diatas menjelaskan bagaimana kita berelasi dengan pohon secara I - It, secara langsung kita mengetahui pohon tersebut dengan hal seperti berikut:

Saya bisa mengetahui pohon tersebut seperti sebuah gambaran, yaitu batang kayu yang keras atau warna hijau dalam pohon tersebut, dan pemandangan latar belakangnya yang memiliki warna biru dan perak.

Saya bisa mengetahui pohon tersebut dengan mempersepsikan pohon tersebut dengan mengetahui adanya ranting - ranting yang mengitari pohon tersebut, akar yang menyerap makanan dari tanah, proses aktifitas sang pohon terhadap tanah dan udara untuk bertahan hidup, dan daunnya yang bernafas.

Saya bisa mengetahui pohon tersebut dengan mengklasifikasikannya dan mempelajarinya dengan menaruhnya dalam spesies tertentu dengan mempelajari bagaimana struktur dan cara hidup pohon tersebut.

Saya bisa mengetahui pohon tersebut dengan menyederhanakannya sebagai suatu hukum, dengan menyederhanakan sebagai kerja suatu hukum, seperti reaksi dalam komponen - komponen dalam pohon itu sendiri.

Saya bisa mengetahui pohon tersebut dengan menyederhanakannya dengan suatu kuantitas numerik yang bisa dihitung.

Semua hal di atas saya sadari dalam pengetahuan saya terhadap pohon tersebut sebagai yang lain yang berada dalam ruang dan waktu tertentu, sifat tertentu, dan struktur tertentu. Hal - hal yang dilakukan diatas menunjukan bahwa saya mengobjektifikasi yang lain, dengan kata lain relasi yang dilakukan bersifat I – It.

Apa yang terjadi jika saya mendapatkan relasi I – Thou terhadap pohon tersebut?  
Martin Buber percaya bahwa akan terjadi sebuah hubungan yang eksklusif terhadap pohon tersebut. Semua kesadaran yang awalnya dibangun dari I – It menjadi utuh tercampur, dan tak hanya berhenti disitu, ada kesadaran yang baru, bahwa pohon tersebut ada di depan kita dan kita memahami secara sadar berelasi dengannya yang seutuhnya dan pohon tersebut memiliki “sesuatu” dalam relasinya terhadap kita, pohon tersebut yang kita hadapi dapat kita pahami secara otentik dan whole being, hal tersebut tak terlepas dari adanya will dan grace.

Pada akhirnya relasi yang terbentuk adalah relasi yang bersifat mutual. Inilah relasi terdalam yang mampu dipahami manusia dalam bentuk relasi terhadap yang lain. Relasi yang tak mengobjektifkan yang lain, dan mampu melampaui batasan pemahaman awal yang bersifat terbatas. Kita menyadari bahwa relasi tersebut akan bersifat eksklusif terhadap  hubungan tersebut, dimana relasi tersebut didapatkan dari berbaginya I – Thou dalam ruang dan waktu yang sama, I masuk untuk menjalani relasinya terhadap Thou dan hanya ada I – Thou dalam relasi ini, tidak ada yang lain. I menerima relasinya terhadap Thou, relasi inilah yang mengijinkan manusia mencapai tahap eksistensinya dengan memahami yang lain secara whole being.

Kritik Sederhana
            Martin Buber mempercayai, bahwa relasi I – Thou merupakan relasi yang mutual dan merupakan puncak relasi yang harus ditempuh manusia untuk mencapai eksistensinya. I – Thou mengijinkan tak hanya kita secara satu arah memandang yang lain tetapi juga menerima yang lain untuk menunjukan beingnya terhadap kita.

            Dalam contoh pohon yang sebelumnya, kita bisa melihat cara kerja sistem persepsi kita saat berhadapan untuk berelasi dengan yang lain telah membentuk tendensi tertentu, dengan memberikan atribut - atribut terhadap yang lain. Hal ini yang penulis anggap sebagai hal yang menarik, sebab Martin Buber menggunakan pemahaman tentang yang lain tersebut dengan menggunakan konsep kategori milik Immanuel Kant saat memandang objek sebagai sebuah fenomena saja, dan mencoba menunjukan konsekuensi yang terjadi dalam relasi tersebut, yaitu objektifikasi terhadap yang lain. Pernyataan Immanuel Kant yang mengatakan, kita hanya bisa .mengetahui yang lain di luar subjek melalui “kacamata” kategori tersebut menyebabkan kita tak bisa mengetahui nomena dari objek tersebut, hal ini memiliki kesaaman konsep dengan hubungan relasi oleh Martin Buber, yang mengatakan kita tak bisa mengetahui whole being milik yang lain dalam berelasi melalui model I – It dan terbatas pada pengetahuan yang selama ini subjek ketahui dengan yang lain tersebut. Buber mencoba menjawab bagaimana cara mendapat relasi yang seutuhnya, atau dalam pemahaman Immanuel Kant, mencoba untuk mengetahui Nomena dari yang lain. Inilah sesuatu yang unik dalam filsafat eksistensialisme Martin Buber, yang disadari ataupun tidak, mencoba menurunkan teori kategori milik Immanuel Kant dalam kehidupan sehari – hari manusia.

            Hal yang menurut penulis janggal adalah apakah eksistensi tersebut akan disadari secara individu saja atau juga akan dirasakan oleh yang lain, yang saat itu kita akan berelasi terhadapnya?

            Ketika kita telah merasakan hubungan I – Thou dengan yang lain dikatakan kita akan merasakan eksistensi seutuhnya diri kita dari relasi yang kita dapatkan dari whole being yang lain. Kita berelasi tak hanya bersifat satu arah dari kita sendiri, tetapi mengijinkan yang lain tersebut berelasi dengan kita, namun tak pernah dikatakan bahwa yang lain tersebut pasti akan bersifat I – Thou pula terhadap kita. Bagaimana jika relasi yang terjadi adalah I – Thou tetapi yang dilakukan oleh yang lain bersifat I – It? Karena secara logis dengan kita membuka diri tanpa ada suatu tendensi, seperti dalam relasi I – Thou, dalam melakukan relasi tersebut dengan yang lain, tetapi kita belum bisa memaksakan yang lain untuk berelasi dengan dengan kita tanpa melakukan tendensi seperti dalam relasi I – It, dengan kata lain benar bahwa saya melakukan hubungan dialog terhadap yang lain tetapi yang lain tersebut melakukan hubungan monolog terhadap saya.

            Walaupun Martin Buber menggunakan grace sebagai alasan adanya relasi I – Thou tersebut, hal tersebut menambahkan pertanyaan lagi bagi penulis, apakah grace tersebut terberi tak hanya bagi I tetapi juga terberi terhadap Thou? Karena jika hanya terberi terhadap I dan tidak terhadap Thou maka konsekuensi yang ada dalam paragraf sebelumnya bisa terjadi. Penulis menganggap bahwa relasi ini akan bersifat timpang karena I dapat mendapatkan eksistensinya karena mengambil bagian dengan relasi terhadap Thou, sedangkan Thou  tidak mengenal eksistensinya sendiri.

Pada akhirnya penulis menangkap maksud relasi yang dilakukan oleh Martin Buber tentang I – It dan I – Thou, dimana relasi diharapkan mencapai tahap I – Thou, dimana relasi bersifat mutual, dengan adanya suatu will dan grace dan bersifat secara tiba – tiba dan tidak terencana. Relasi I – Thou mengijinkan adanya relasi diantara keduanya yang bersifat eksklusif, hal ini diyakini oleh Martin Buber dapat membuat I mengetahui eksistensinya dalam keterlibatannya dalam ruang dan waktu yang dimilikinya dengan Thou secara utuh. Relasi ini tak hanya bisa dirasakan ataupun diketahui dengan being yang setara, seperti manusia dengan manusia saja, tetapi dengan being yang berbeda seperti pohon pada contoh sebelumnya.



[1] Martin Buber (1958) I and Thou, hlm 14

Revisi : 11 October 2011 01:30 am

6 komentar:

  1. Dam..kangen kuliah deh dam.. :(

    BalasHapus
  2. Wes gampangnya kalo hubungan I and Thou itu harus bersifat Ekslusif dan spiritual. kalo sifatnya murni objektif doank ndak ada unsur eksistensialisme didalammnya

    BalasHapus
  3. Bang sejahu mana relasi I Thou ini mendapatkan implikasinya. Apakah hal ini dapat diterapkan pula dalam mengatasi setiap konflik yang sering terjadi.?

    BalasHapus