Page

Total Tayangan Halaman

Rabu, 18 April 2012

THE IDEA OF JUSTICE, AMARTYA SEN, REVIEW PART II FORM OF REASONING

PART II

FORM OF REASONING

Reviewer: 
Chandika Pahlawi Chandra
Adam Azano Satrio
Charisma David Hume


CHAPTER7

POSITION, RELEVENCE AND ILLUSION

In this text Sen Uses a simple example about position, is about the size of sun and moon. In this example he tell us the that person may say that the size of sun equal with the size of moon, although we know that science is prove that statement is wrong, because the position of person is lack of ability to understand how to measure the size of those object or maybe there is some tradition that order him to believe that the size is equal, but is also permitted that a person say that the size is different because that person is understand about their position, this thing is made a person must become more aware to observe something . This position problem is not only come from the science but also from society, in society the position is determine how we think, how “rational” we are, how to judge something, or to understand what is justice. This “position” if accept with full believe to become a foundation of our why of think of society, is made a discrimination and injustice become a common idea, this position is called positional illusion. The consequent of this positional illusion is there will positional objective, so the question is how we can get that position?

Sen believe that we never can become whole to get that position, because he realize that there is a limit in our body to understand whole position, it like we can have position in nowhere, so what we can do is find a comparison, not the transcendental comparison, but what Sen term is “neighbor.” In society we must understand about the other person, to realize that justice is something that we must achieve by the feeling and realizing with the other.

CHAPTER 8

RATIONALITY AND OTHER PEOPLE

In this chapter the main problem is about rationality and decision. Rationality is considered with something that can maximize our self benefit. Sen agree that this rationality is something that can control our decision become more wisely. This kind of rationality is based on the cases if a person is live in unequal place, that person will work hard in order to makes this person life better, but not only that, that person should have some sense of justice to made that places have a equality. So what Sen mean is there is no way that a person will only focus with self but it also mix with society condition that based on sense of justice.

When we act something with the other people we will have two kind of feeling sympathy and commitment, sympathy is considered as feeling we realize if we are in the other position. Commitment is considered as  

CHAPTER 10

REALIZATION, CONSEQUENCES AND AGENCY


 A conversation that occurs in the ancient Sanskrit epic Mahabrata was discussed in the Introduction. The dialogue is between Arjuna and Khrisna, is about radically divergent perspective to the debate. This argument emerges as a introduction to this chapter. The conversation is about the duties of human beings in general and of Arjuna in particular. The force of the Arjuna-Khrisna debate has generated much moral and political deliberation. This conversation occurs is called the Bhagavadgita, it has attracted religious and philosophical attention.
 Arjuna and Khrisna see the armies on the two sides and reflect on the gigantic battle that is about to begin. Arjuna is bothered by the fact that he will have to kill a great many people himself, and that most of people who will be fighthing and may well be killed have done nothing that is particularly reprehensible other than agreeing. Khrisna argues that Arjuna must do his duty, come what may, and in this case he has a duty to fight, no matter what results from it. It is a just cause, and as a warrior and a general on whom his side must rely, he cannot waver from his obligations. Khrsihna’s high deontology, including his duty centered and consequence-independent reasoning, has been deeply influential in moral debates in subsequent millennia.
 Both Arjuna and Krishna present reasoning on their respective sides, which can be seen as a classic debate between consequence-independent deontology and consequence-sensitive assessment. Mahabharata ends largely as a tragedy, with lamentation about death and carnage, and there is anguish and grief accompanying the victory and triumph of the ‘just’ case.

 As we proceed from here to the relevance of all this to the understanding of the demands of justice, it is useful to distinguish between three rather different. First, central to Arjuna’s reasoning is his general belief that what happens to the world must matter and be significant in our moral and political thinking. Second, concerns about personal responsibility. Third, Arjuna also identifies the people who would be killed, and he is particularly bothered by having to kill people for whom he has affection, including his own relatives.

 In Sen earlier work on decision theory and rational choice, He had argued for the importance of paying particular attention to ‘comprehensive outcomes’ that include actions undertaken, agencies involved, processed, etc. Along with the simple outcomes seen in a way that is detached from processes, agencies and relations what he has been calling ‘culmination outcomes’.

Whether the ideas of responsibility and social realizations, as explored here, should be place in some wide enough baskets called “consequentialism” is not a question of much substantial interest. The importance of recognizing that the perspective of social realizations is a great deal more exclusive


Senin, 09 April 2012

Judith butler C,H,S


Judith butler C,H,S
Dalam pembahasan kali ini Judith butler berusaha untuk melakukan diskursus, tentang hegemoni dari zizek, sebagaimana kita ketahui hegemoni lebih sering dibahas sebagai pertarungan antara kelas, namun sedikit sekali membahas  tentang pertarungan sexualitas. Judith butler berusaha untuk mengejar dan membongkar permasalahan hegemoni yang akan bersinggungan dengan historisitas. Ketiga filsuf iini, yaitu slao zizek , ernest laclau, dan Judith butler, mempercayaain bahwa historisitas merupakan suatu kontingensi, karena dengan adanya kontingensi tersebut mengijinkan adanya diskursus, rethinking, serta daya kritis.
Hegemony traces
Dalam hal ini Judith berusaha mengkritisi pemikiran tentang adanya universalitas dalam historisitas, dikatakan bahwa pemikiran yang terlalu formalism dan positivis ini menyebabkan, kebuntuan akan adanya kemungkinan untuk diskursus, dan seharusnya tidak ada hegemoni, sebab semua telah terberi seadanya. Setelah kita mengijinkan keberpahaman kita tentang historisitas maka persoalan selanjut pembahasan dilanjutkan dengan permasalahan hegemoni. Hegemoni yang di ajarkan gramsci selalu melihat pertentangan antara dua kelas, yang selalu di indentikan menjadi perjuangan buruh, semua kebermungkinan political selalu dimasukkan didalamnya. Persoalan hegemoni itu sendiri jika dipandang oleh zizek tidak hanya persoalan tentang kesadaran, namun harus disadari sebagai kesadaran symbolic seperti lacan.
            Namun pada kali ini Judith ingin mempertanyakan tentang sexual difference, dimana itu berada? Apakah itu termasuk persoalan hegemoni atau tidak? Apakah dalam persoalan hegemoni sexual difference hanya sebagai atribut? Mengingat bahwa hegemoni sering menempatkan sexual difference sebagai kota tua tak berpenghuni yang tak pantas untuk di perebutkan, dan mengizinkan itu sebagai suatu yang given. Disini Judith butler berusaha untuk memperluas horizon paradigm kita terhadap hegemoni dan historisitas dimana ada ranah yang selama ini dimarjinalkan yaitu sexual difference.

 The doubling of sexual difference
Pembahasan dilanjutkan dengan pertanyaan apakah ada sexual, dengan meminjam teori kantian yang bersifat das ding an sich? Iya, jika kita membahas tentang idealist, namun apa yang dapat kita bahas jika itu bersangkutan dengan body? Body merupakan bagian bukan ideal namun kontingensial, sehingga secara umum kita tidak dapat membahas dengan definisi baku formalistic. Namun budaya berkata lain, selalu ada difference yang hadir, atau mungkin dihadirkan, dengan menyatakan bahwa ada norma yang mengatur dalam permasalahan body yang dimana norma tersebut dianggap sebagai persoalan yang universal. Hal yang sederhana menurut pandangan penulis pribadi seperti permasalahan pembagian toilet. Dikatakan pemikiran seperti ini terhadirkan dalam pemikiran lacan, dimana dia menganggap bahwa kehidupan berkebudayaan selalu dimainkan dalam tatanan simbolik yang bersifat mengakar dan menyeluruh, termasuk persoalan body, yang pada akhirnya menjadi persoalan sexual difference. Pembahasan akan sexual difference ini dianggap penting oleh Judith, sebab para pemikir tidak tegas dalam sexual difference sebagai permasalahan yang an sich, transcendent yang bersifat identitas, substansi, universal atau persoalan social structure, yang sebenarnya bersifat kontingensi, tapi kebanyakan orang menganggap hal tersebut sebagai hal essensial.

Senin, 02 April 2012

Contingency, Irony, and Solidarity, Rorty (Review)


Contingency, Irony, and Solidarity
Oleh Adam Azano Satrio, 0906522861


Dalam Contingency, Irony, and Solidarity, permasalahan utama yang ingin diangkat adalah permasalahan yang selama ini ditimbulkan oleh filsafat itu sendiri, yaitu pernyataan dan  persoalan terhadap “truth” yang dianggap memiliki unsur mutlak dan absolut. Rorty menawarkan suatu cara agar filsafat bisa meninggalkan  ataupun tersadarkan, bahwa sudah saatnya meninggalkan pemikiran berbau platonic. Dan memulai suatu perjalanan untuk memandang kehidupan sebagai suatu kontingensi yang mengijinkan adanya perubahan, kebermungkinan, serta ketidakpastian. Semua itu merupakan cirikhas dari Rorty yang mempercayai bahwa pragmatisme haruslah hidup dalam suatu kontingensi yang mengijinkan adanya kebermungkinan.

            Pada bagian awal, Rorty ingin menunjukan bahwa contingency berada dalam berbagai unsurrealitas manusia dan pada akhirnya mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam bahasa kita dapat mengetahui bahawasanya kebenaran (Truth) ataupun kepalsuan (Falsity) dalam bahasa terutama merupakan pernyataan yang kontingensi. Karena dalam suatu pernyataan yang kita deskripsikan sesuatu dengan keberpahaman kita yang sebenarnya terlepas dari sesuatu yang  dideskripsikan tersebut. Kita dapat mengatakan bahwa susu itu berwana putih, dan yang orang lain mungkin setuju, namun yang kita dan orang lain itu katakan sebagai sesuatu truth belum tentu pernyataan yang benar, sebab kita menjawabnya dengan pernyatan kita. Bayangkan jika tidak ada manusia yang mendeskripsikannya maka seharusnya tidak ada persoalan tentang apakah proposisi tersebut benar ataupun salah, dan mungkin, tidak ada persoalan sama sekali. Hal tersebut berkelanjutan dengan keberpahaman tentang  kedirian, hal ini disebakan oleh tiap manusia memiliki final vocabulary yakni suatu klaim bahwa ada berbagai macam orientasi fundamental di dalam kehidupan manusia, dimana orang bisa hidup dan berkembang. Kosa kata final inilah yang menjadi titik tolak bagi seseorang untuk mengekspresikan pandangan-pandangan maupun aspirasinya. Jadi, orang bisa menyatakan bahwa saya merasa “senang”, “sedih”, atau saya berpendapat bahwa anda adalah seorang yang “pintar”, “memalukan”, atau “mulia” dengan mengacu pada tolok ukur fundamental yang orang tersebut yakini. Tolok ukur fundamental itulah kriteria yang diyakini secara subyektif, dan kemudian digunakan untuk mengekspresikan pikiran-pikiran seseorang. Jika kita melihat orang yang menolak penindasan buruh, maka cukuplah kita melihat dan memahami kosa kata final yang diyakini orang itu. Dan sebagai seorang yang mengidealkan  nilai-nilai ironisme liberal, Rorty berpendapat bahwa kosa kata final seseorang juga bersifat kontingen, yakni suatu produk dari konstruk sosial tertentu yang tentu saja dapat berubah. kemudian pada akhirnya dalam dunia liberal, yang dibayangkan Rorty akan ada kelompok yang dapat berkomunikasi tanpa dibatasi oleh pernyataan pernyataan metafisik seperti kebenaran, kebaikan, serta moral. Melainkan kebebasan untuk mengatakan dan memahami pernyataan tersebut melalui subjektifitasnya sendiri.

            Pembahasan selanjutnya tentang ironi, saya menganggap bahwa Rorty membuat 3 kriteria bagaimana seseorang dianggap seorang ironis. Yang pertama orang tersebut harus secara radikal mencurigai terhadap final vocabulary yang dirinya miliki. Kedua, dirinya harus menyadari bahwa argumen yang dia dapatkan pada masanya tidak bisa menjawab  persoalannya. Ketiga, lalu dia menyadari bahwa bahasa yang digunakan oleh dirinya tidak lebih tepat untuk menjelaskan bahwa dirinya mampu  menjelaskan keraguannya dibandingkan orang lain. Beberapa filsuf yang dianggap memiliki kemungkinan berhasil menjadi seorang ironi adalah Nietzsche, Heidegger, dan Proust. Namun hanya Proust saja yang mendekati penjabaran tentang karakter ironis, dimana sang karakter harus menemukan berbagai event yang membuat sang karakter tersebut tidak dapat menemukan final vocabulary. Berbeda dengan Nietzsche dan Heidegger, yang pada akhirnya harus terjebak dalam  masing - masing final vocabulary. Nietzsche dengan ubermanschnya dan Heidegger dengan pembahasan metafisikanya. Namun Rorty mempercayai bahwa contoh sempurna yang bisa menjadi sang ironis adalah Derrida. Sebab Derrida  mengijinkan tidak adanya pernyataan metafisika dalam pembahasan teorinya. Derrida mengijinkan adanya penambahan makna makna baru dari era terdahulu, sekarang, serta mengijinkan untuk terjadi penambahan maknadimasa datang, karenanya dia benar benar membuang final vocabulary dalam fahamnya.

            Lalu apa sebenarnnya tujuan Rorty menjelaskan adanya kontingensi dalam bahasa? Adanya final vocabulary yang harus dicurigai? Dan berusaha membuang metafisika? Sebuah pertanyaan sederhana tentang “Bagaimana menjadi Manusia?” seharusnya mampu menggelitik rasio kita. Pernyataan tersebut disadari ataupun tidak, mengizinkan kita berpikir bahwa ada yang lain yang bisa kita anggap sebagai belum menjadi manusia, yang pada akhirnya mengijinkan adanya penindasan serta pengijinan memberikan kesakitan moral pada yang lain. Pada akhirnya ada tujuan moral yang dia sarankan kepada kita yaitu keberpahaman kita dalam pemaknaan kata “We” (Kita), kita bisa menggunakan contoh apabila kita adalah seorang yahudi yang tinggal di Belgia , maka kemungkinan kita disembunyikan untuk diselamatkan oleh tetangga kita akan lebih kecil dibandingkan di Itali dan Denmark. Rorty menganggap hal ini disebabkan ada similiaritas yang dirasakan, seperti masih berhubungan dari daerah, dahulu teman sepermainan, memiliki dan masuk klub sepak bola yang sama dan lain sebagainya. Pada akhirnya yang ingin dikatakan bahwa bahasa juga mempengaruhi pada kehidupan social manusia. Saat kita lebih menekankan persoalan “them” (Mereka) maka telah terjadi sebuah pembedaan yang mengizinkan kita melakukan suatu distingsi pada yang lain. Sehingga kita dapat mengetahui pemaknaan yang lebih dalam dari pertanyaan sederhana dan memberikannya distingsi, seperti “apakah kamu percaya dan menyukai yang kita percaya dan sukai?” menjadi, “apakah kamu menderita?” inilah letak keberhasilan solidarity pada bab terakhirnya Rorty, dimana tidak lagi kita berpikir hanya menjadi sosok aku tetapi juga menyadari ada yang lainnya, sehingga kita menjadi keduanya.