Page

Total Tayangan Halaman

Senin, 02 April 2012

Contingency, Irony, and Solidarity, Rorty (Review)


Contingency, Irony, and Solidarity
Oleh Adam Azano Satrio, 0906522861


Dalam Contingency, Irony, and Solidarity, permasalahan utama yang ingin diangkat adalah permasalahan yang selama ini ditimbulkan oleh filsafat itu sendiri, yaitu pernyataan dan  persoalan terhadap “truth” yang dianggap memiliki unsur mutlak dan absolut. Rorty menawarkan suatu cara agar filsafat bisa meninggalkan  ataupun tersadarkan, bahwa sudah saatnya meninggalkan pemikiran berbau platonic. Dan memulai suatu perjalanan untuk memandang kehidupan sebagai suatu kontingensi yang mengijinkan adanya perubahan, kebermungkinan, serta ketidakpastian. Semua itu merupakan cirikhas dari Rorty yang mempercayai bahwa pragmatisme haruslah hidup dalam suatu kontingensi yang mengijinkan adanya kebermungkinan.

            Pada bagian awal, Rorty ingin menunjukan bahwa contingency berada dalam berbagai unsurrealitas manusia dan pada akhirnya mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam bahasa kita dapat mengetahui bahawasanya kebenaran (Truth) ataupun kepalsuan (Falsity) dalam bahasa terutama merupakan pernyataan yang kontingensi. Karena dalam suatu pernyataan yang kita deskripsikan sesuatu dengan keberpahaman kita yang sebenarnya terlepas dari sesuatu yang  dideskripsikan tersebut. Kita dapat mengatakan bahwa susu itu berwana putih, dan yang orang lain mungkin setuju, namun yang kita dan orang lain itu katakan sebagai sesuatu truth belum tentu pernyataan yang benar, sebab kita menjawabnya dengan pernyatan kita. Bayangkan jika tidak ada manusia yang mendeskripsikannya maka seharusnya tidak ada persoalan tentang apakah proposisi tersebut benar ataupun salah, dan mungkin, tidak ada persoalan sama sekali. Hal tersebut berkelanjutan dengan keberpahaman tentang  kedirian, hal ini disebakan oleh tiap manusia memiliki final vocabulary yakni suatu klaim bahwa ada berbagai macam orientasi fundamental di dalam kehidupan manusia, dimana orang bisa hidup dan berkembang. Kosa kata final inilah yang menjadi titik tolak bagi seseorang untuk mengekspresikan pandangan-pandangan maupun aspirasinya. Jadi, orang bisa menyatakan bahwa saya merasa “senang”, “sedih”, atau saya berpendapat bahwa anda adalah seorang yang “pintar”, “memalukan”, atau “mulia” dengan mengacu pada tolok ukur fundamental yang orang tersebut yakini. Tolok ukur fundamental itulah kriteria yang diyakini secara subyektif, dan kemudian digunakan untuk mengekspresikan pikiran-pikiran seseorang. Jika kita melihat orang yang menolak penindasan buruh, maka cukuplah kita melihat dan memahami kosa kata final yang diyakini orang itu. Dan sebagai seorang yang mengidealkan  nilai-nilai ironisme liberal, Rorty berpendapat bahwa kosa kata final seseorang juga bersifat kontingen, yakni suatu produk dari konstruk sosial tertentu yang tentu saja dapat berubah. kemudian pada akhirnya dalam dunia liberal, yang dibayangkan Rorty akan ada kelompok yang dapat berkomunikasi tanpa dibatasi oleh pernyataan pernyataan metafisik seperti kebenaran, kebaikan, serta moral. Melainkan kebebasan untuk mengatakan dan memahami pernyataan tersebut melalui subjektifitasnya sendiri.

            Pembahasan selanjutnya tentang ironi, saya menganggap bahwa Rorty membuat 3 kriteria bagaimana seseorang dianggap seorang ironis. Yang pertama orang tersebut harus secara radikal mencurigai terhadap final vocabulary yang dirinya miliki. Kedua, dirinya harus menyadari bahwa argumen yang dia dapatkan pada masanya tidak bisa menjawab  persoalannya. Ketiga, lalu dia menyadari bahwa bahasa yang digunakan oleh dirinya tidak lebih tepat untuk menjelaskan bahwa dirinya mampu  menjelaskan keraguannya dibandingkan orang lain. Beberapa filsuf yang dianggap memiliki kemungkinan berhasil menjadi seorang ironi adalah Nietzsche, Heidegger, dan Proust. Namun hanya Proust saja yang mendekati penjabaran tentang karakter ironis, dimana sang karakter harus menemukan berbagai event yang membuat sang karakter tersebut tidak dapat menemukan final vocabulary. Berbeda dengan Nietzsche dan Heidegger, yang pada akhirnya harus terjebak dalam  masing - masing final vocabulary. Nietzsche dengan ubermanschnya dan Heidegger dengan pembahasan metafisikanya. Namun Rorty mempercayai bahwa contoh sempurna yang bisa menjadi sang ironis adalah Derrida. Sebab Derrida  mengijinkan tidak adanya pernyataan metafisika dalam pembahasan teorinya. Derrida mengijinkan adanya penambahan makna makna baru dari era terdahulu, sekarang, serta mengijinkan untuk terjadi penambahan maknadimasa datang, karenanya dia benar benar membuang final vocabulary dalam fahamnya.

            Lalu apa sebenarnnya tujuan Rorty menjelaskan adanya kontingensi dalam bahasa? Adanya final vocabulary yang harus dicurigai? Dan berusaha membuang metafisika? Sebuah pertanyaan sederhana tentang “Bagaimana menjadi Manusia?” seharusnya mampu menggelitik rasio kita. Pernyataan tersebut disadari ataupun tidak, mengizinkan kita berpikir bahwa ada yang lain yang bisa kita anggap sebagai belum menjadi manusia, yang pada akhirnya mengijinkan adanya penindasan serta pengijinan memberikan kesakitan moral pada yang lain. Pada akhirnya ada tujuan moral yang dia sarankan kepada kita yaitu keberpahaman kita dalam pemaknaan kata “We” (Kita), kita bisa menggunakan contoh apabila kita adalah seorang yahudi yang tinggal di Belgia , maka kemungkinan kita disembunyikan untuk diselamatkan oleh tetangga kita akan lebih kecil dibandingkan di Itali dan Denmark. Rorty menganggap hal ini disebabkan ada similiaritas yang dirasakan, seperti masih berhubungan dari daerah, dahulu teman sepermainan, memiliki dan masuk klub sepak bola yang sama dan lain sebagainya. Pada akhirnya yang ingin dikatakan bahwa bahasa juga mempengaruhi pada kehidupan social manusia. Saat kita lebih menekankan persoalan “them” (Mereka) maka telah terjadi sebuah pembedaan yang mengizinkan kita melakukan suatu distingsi pada yang lain. Sehingga kita dapat mengetahui pemaknaan yang lebih dalam dari pertanyaan sederhana dan memberikannya distingsi, seperti “apakah kamu percaya dan menyukai yang kita percaya dan sukai?” menjadi, “apakah kamu menderita?” inilah letak keberhasilan solidarity pada bab terakhirnya Rorty, dimana tidak lagi kita berpikir hanya menjadi sosok aku tetapi juga menyadari ada yang lainnya, sehingga kita menjadi keduanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar