Page

Total Tayangan Halaman

Selasa, 12 Maret 2013

Pemikiran Etika Ayn Rand


Pemikiran Etika Ayn Rand
Oleh : Adam Azano Satrio, 0906522861

            Etika sebagai cabang filsafat yang membahas tentang baik dan buruk suatu perbuatan, selama ini selalu menjadi bahan perbincangan yang tak akan pernah habisnya. Filsafat barat selalu mencoba untuk membongkar pertanyaan, apakah sebenarnya perbuatan baik bagi manusia? Dalam pembahasan etika, pada umumnya para filsuf selalu membuat dua kutub dalam baik buruknya perbuatan manusia, yaitu duty based disalah satu kutub dan pada kutub lainnya adalah consequentialism. Kedua teori ini menekankan dua hal berbeda tentang perbuatan baik. Jika dalam duty based yang menjadi landasan utama adalah pelaksanaan unsur kewajiban, maka pada consequentialism yang menjadi landasan utama adalah unsur hasil dari suatu perbuatan. Baik duty based dan consequentialism keduanya memiliki kelemahan yang selama ini kita ketahui.[1]
                        Ayn Rand, seorang pemikir Rusia yang bermigrasi ke Amerika, mencoba membangun landasan etika miliknya sendiri, yang disebut dengan etika objectivism. Pemikiran Ayn Rand tentang etika banyak disalahartikan sebagai bentuk etika egoistis yang menghalalkan segala cara untuk kesenangan pribadi yang berlandaskan hasrat saja. Ayn Rand sendiri menolak pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa, etika tersebut bukanlah pemikiran etika objectivism miliknya karena menggunakan rasionalitas sebagai parameter.[2] Dapat terlihat bahwa Ayn Rand menekankan cara survivalitas manusia dalam kehidupan bukan dengan landasan pada pemenuhan hasrat semata, tanpa menggunakan kognisi dari rasionalitas.
Dikarenakan penulis memfokuskan diri pada permasalahan moral dan etika objectivism, maka pada tulisan ini penulis hanya akan menjelaskan beberapa term dan definisi dalam pemikiran Ayn Rand yang berhubungan dengan pemikiran etika miliknya, yaitu self interest, morality, sacrifice, compromise dan helping.
Self interest dalam pemikiran Ayn Rand merupakan pemikiran paling mendasar dari filsafatnya. Self interest mengijinkan pemikiran etika objectivism membangun argumentasi sehingga adalah hal rasional jika seseorang, sebagai agen moral, hanya memfokuskan diri dalam proses pemenuhan interest dirinya sendiri dalam kehidupannya. Ayn Rand menegaskan bahwa Self interest itu sendiri bersifat mendasar dan subjektif sehingga tiap – tiap orang sebagai agen moral memiliki dan memilih tujuan serta pandangan tentang interestnya masing – masing.[3]
Harus ditekankan bahwa self interest yang diangkat oleh Ayn Rand, dalam teori dan praktiknya, harus bertindak secara rasional yang berarti menggunakan kognisi yang penuh perhitungan serta pemikiran dan tidak bertindak hanya dengan berlandaskan hasrat yang gegabah. Ayn Rand menyadari bahwa hasrat tidak memiliki kekuatan validitas sebagai penentu bahwa yang dihasratkan oleh agen moral merupakan hal baik bagi dirinya, ataupun yang didapatkan sesuai dengan interest jangka panjangnya. [4]
Seringkali banyak orang yang menganggap bahwa etika objectivism mengijinkan mengorbankan ataupun memanipulasi orang lain untuk pemenuhan self interestnya, atau dengan kata lain menghalalkan segala cara untuk memenuhi self interest sang agen moral. Ayn Rand menolak anggapaan itu dalam teksnya dengan mengungkapkan bahwa etika objectivism tidak mengijinkan adanya asumsi dalam bentuk relasi yang bersifat merugikan salah satu pihak dan hanya mengijinkan sebuah relasi yang bersifat non sacrificial relationship, serta semua hal tersebut hanya bisa terjadi dengan adanya kesadaran yang disebabkan rasionalitas dari kedua belah pihak.[5]
Dari beberapa paragraf sebelumnya, dapat kita temukan, bahwa self interest dalam etika objektifis adalah persolan etika yang memiliki landasan utama dimana tiap - tiap agen moral sebagai individu memiliki tujuannya masing – masing yang bersifat personal dan subjektif, namun self interest harus dilandaskan pada rasionalitas dan bukan pada hasratnya saja. Landasan tersebutlah yang pada akhirnya mengijinkan kita untuk melanjutkan pembahasan tentang moralitas.
Moralitas Ayn Rand dengan keras menentang pemikiran yang bersifat altruism. Bagi Ayn Rand interest seseorang dalam pemikiran altruism harus rela dikorbankan untuk interest orang lain. Bagi Ayn Rand tujuan adanya moralitas untuk memilih dan mendapatkan kehidupan yang mampu dinikmati dan berkualitas dengan memperoleh self interest tiap individu dengan cara yang terhormat dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.[6]
Altruism adalah hal yang buruk, karena merendah nilai keberhargaan dan semangat hidup manusia dalam kehidupan manusia.[7] Dengan menggunakan penalaran reduction ad absurdum, Ayn Rand dapat menyimpulkan, bahwa pada akhirnya jika seseorang menggunakan pemikiran altruism sebagai landasan moral, maka tidak mungkin orang tersebut bisa ataupun memiliki pilihan untuk menikmati dan menjalani kehidupannya, karena kewajiban utama seorang altruis adalah merelakan dirinya bukan untuk memperoleh self interestnya namun menjadi sapi perah untuk interest orang lain.
Moralitas bagi Ayn Rand menekankan adanya unsur pilihan berlandaskan adanya perbedaan self interest tiap individu dan bukan bersifat imperatif atau kewajiban murni seperti pada Immanuel Kant. Moralitas bagi Ayn Rand bersifat konsekuensi dari pilihan sang agen moral dan tidak berhubungan dengan bagaimana kewajiban seseorang untuk melaksanakannya, sebab jika suatu perbuatan hanya didasarkan pada kewajiban untuk melakukan kebaikan pada orang lain, maka dirinya tidak memiliki suatu alasan untuk mendapatkan penghargaan bagi dirinya sendiri, aspek kehidupan manusia seperti ambisi, cinta, karir dan lain sebagainya dianggap tidak berarti. Dalam teksnya Causality Versus Duty, Ayn Rand juga mengungkapkan, ketika suatu perbuatan moral menjadikan manusia harus melakukan suatu perbuatan dengan dasar kewajiban, maka secara rasional kita tidak bisa membedakan siapakah seseorang yang baik dan buruk, selain itu kita tidak akan mampu menghargai seseorang yang sebenarnya memiliki motif kebaikan di dalamnya dan hanya bisa merekognisi seseorang yang berhati jahat namun memaksakan diri untuk melakukan kebaikan dikarenakan kewajiban.[8]
Kita dapat simpulkan, bahwa moral dalam kacamata Ayn Rand memfokuskan tentang perhargaan terhadap perjuangan tiap individu manusia untuk mencapai tujuan utama yang tiap orang idam – idamkan, serta menghargai segala bentuk kebebasan untuk memilih apa yang dianggap orang itu bernilai bagi dirinya. Landasan moral ini pada akhirnya memunculkan persoalan tentang bagaimana pandangan ketika sang agen moral melakukan perbuatan untuk memperoleh self interestnya, dengan mengetahui apakah perbuatan yang dilakukannya merupakan bentuk sacrifice atau tidak.
Saat kita melihat seorang ibu memberikan makan anaknya, seorang teman yang membayarkan makanan temannya, atau seorang suami yang bekerja keras dengan melakukan lembur dikantor untuk memperoleh tambahan uang demi kesehatan istrinya yang berada di rumah sakit, maka kita dapat mengangkat pertanyaan apakah yang dilakukan ibu, teman atau suami itu adalah pengorbanan? Seringkali orang beranggapan bahwa hal tersebut merupakan bentuk sacrifice.
Sacrifice atau pengorbanan menurut Ayn Rand bukan didefinisikan sebagai apa yang telah kita lakukan untuk memperoleh sesuatu yang kita inginkan. Secara tegas Ayn Rand membedakan sacrifice dengan non-sacrifice dalam teksnya kita dapat melihat, bahwa suatu perbuatan dinamakan sebagai non-sacrifice jika perbuatan itu merupakan suatu tuntutan rasional yang harus dilakukan untuk mencapai interest pribadinya, term yang cocok untuk digunakan dalam definisi tersebut dalam bahasa Indonesia adalah resiko.
Ayn Rand membongkar kenyataan dalam sacrifice yaitu adanya hubungan dengan sistem kuasa. Ketika dalam relasi manusia terjadi sacrifice, maka bagi Ayn Rand telah terjadi suatu bentuk kekuasaan sepihak dimana pihak tersebut telah menjadikan pihak lainnya sebagai objek pemuasan interest dirinya tanpa hubungan timbal balik.[9]
Sacrifice disebutkan oleh Ayn Rand sebagai “a sacrifice is the surrender of a value. Full sacrifice is full surrender of all values…”[10] Oleh karena itu, jika seseorang melakukan suatu perbuatan bukan karena interest pribadi, melainkan karena orang lain ataupun melakukan hal yang secara rasional merugikan dirinya, karena membuat dirinya harus melepas interest besarnya dikatakan sacrifice. Definisi sacrifice atau pengorbanan ini mempermudah kita untuk melakukan penilaian, apakah perbuatan yang kita dan lakukan benar secara moralitas dan etika dari sudut pandang etika objectivism.
Seringkali ketika sang agen moral memilih dan melakukan hal yang bertujuan untuk memenuhi self interestnya, terlihat bahwa dirinya masih membutuhkan orang lain untuk membantunya. Ayn Rand menyadari bahwa hanya ada dua cara untuk mendapatkannya, yaitu dengan menjadi seorang yang memperalat atau mengambil hak orang lain dengan azas paksaan atau dengan menggunakan compromise terhadap orang lain dengan azas sukarela. Dikarenakan Ayn Rand tidak mengijinkan adanya hubungan yang bersifat sacrifice disalah satu pihak, seperti yang diungkapkan pada paragraf sebelumnya, sehingga kita hanya disisakan pada pilihan compromise.
Pemikiran bahwa harus ada yang ditukarkan inilah yang membuat tiap – tiap orang menyadari bahwa dirinya tidak mungkin bisa melakukan segalanya seorang diri, dan tetap membutuhkan orang lain untuk mendapatkan self interestnya. Term ini tidak dapat digunakan untuk menghalalkan perbuatan menindas orang lain dan mendapat keuntungan dari orang tersebut, seperti pada kasus seorang preman yang memaksa orang lain untuk memberikan uang padanya untuk keselamatan orang lain tersebut, hal tersebut dikarenakan memang bukan hak orang lain tersebut untuk disakiti.[11]
            Dapat disimpulkan bahwa compromise merupakan hal penting dalam relasi manusia, selain menunjukan bahwa tiap orang memiliki kemampuan dan spesialisasi yang berbeda – beda juga menghargai manusia sebagai individu bebas yang berhak memperoleh penghargaan dari apa yang diusahakannya. Terlihatlah akan muncul permasalahan dalam persoalan menolong orang lain, karena perbuatan menolong, baik secara teoritis ataupun aktual, tidak pernah ada jaminan bahwa orang yang ditolong tersebut mampu membalas kebaikan sang agen moral karena tidak ada suatu hal yang mampu ditukarkan dari orang yang ditolong. Persoalan tersebutlah yang penulis ingin jabarkan dalam paragraf selanjutnya.
Perbuatan menolong orang lain atau helping, merupakan term yang sering dianggap tidak mungkin bisa dilakukan dalam etika objectivism. Sering kali perbuatan menolong orang lain seperti beramal, mengikuti kerja sosial, menghibur orang lain dan lain sebagainya merupakan hal yang dilarang karena anggapan perbuatan tersebut tidak menguntungkan interest pribadi. Ayn Rand memandang bahwa seringkali seseorang melakukan perbuatan menolong orang lain, dan Ayn Rand memandang hal tersebut sebagai bentuk goodwill manusia dalam kehidupan sosialnya. Permasalahan utama yang Ayn Rand ingin angkat dalam persoalan menolong orang lain adalah ada atau tidak adanya kewajiban dan penting atau remehkah untuk menolong orang lain.[12] 
Banyak tafsiran yang menganggap bahwa tidak mungkin pertolongan bisa dilakukan dengan tidak adanya suatu perbuatan timbal balik dengan adanya term compromise, sedangkan Ayn Rand sendiri tidak melarang perbuatan menolong orang lain selama tidak mengganggu self interest dan mengandung sacrifice di dalamnya, karena jika ada unsur sacrifice didalamnya maka etika yang dilakukannya menjadi etika altruism. Seperti yang diungkapkan oleh Ayn Rand “The proper method of judging when or whether one should help another person is by reference to one’s own rational self-interest and one’s own hierarchy of values: the time, money or effort one gives or the risk one takes should be proportionate to the value of the person in relation to one’s own happiness.”[13] Oleh karena itu kita dapat melihat celah dimana etika objectivism masih mengijinkan sang agen moral untuk menolong orang lain selama sang agen moral mampu meyakini, memilih serta menanggung resiko yang akan diterima melalui perhitungan rasionalnya.
Dalam kerangka pemikiran Ayn Rand, perbuatan menolong harus berdasarkan pemikiran rasional agar tidak mengganggu interest pribadinya. Hal tersebutlah yang membuat suatu perbuatan moral memiliki nilai dan arti keberhargaan bagi kehidupan manusia, berbeda dengan etika altruis yang berarti tidak memiliki penghargaan pada kehidupan manusia dengan menolong secara gegabah karena tidak berlandaskan nilai tertentu.
Dapat kita ketahui perbuatan menolong dalam pemikiran Ayn Rand tidaklah dilarang, sebab hal tersebut adalah hak setiap agen moral untuk melakukannya selama perbuatan tersebut tidak mengandung sacrifice di dalamnya, dan bukan suatu bentuk kewajiban melainkan resiko dari pilihan sang agen moral untuk melakukannya, karena adanya asumsi saat seseorang menolong pastilah orang tersebut memiliki perhitungan dan skala prioritasnya yang masih berhubungan dengan self interestnya.
Dari semua hal tersebut dapat kita simpulkan, bahwa Ayn Rand menekankan pentingnya etika yang membuat manusia berharga, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupannya. Dirinya sama sekali tidak menyetujui bahwa self intest seseorang harus ataupun boleh dikorbankan untuk kebahagiaan yang lainnya, ataupun bisa dipaksa untuk melakukan suatu kewajiban untuk mengorbankan self interest pribadi. Ayn Rand menyadari bahwa manusia memiliki batasan kemampuannya masing – masing untuk memenuhi self intest masing masing, baik dari segi keterbatasan tempat, waktu, modal, kemampuan pikir dan lain sebagainya, yang pada akhirnya menyebabkan manusia mampu berfikir, bahwa ada cara melakukan Compromise agar tiap individu mampu menukarkan kemampuan demi terwujudnya masing - masing individu tersebut. Compromise ini sering disalahgunakan sebagai alibi untuk tidak menolong orang lain. Pemikiran itu muncul karenakan secara teoritis ataupun praktis seseorang yang ditolong, tidak memiliki apapun untuk ditukarkan, namun kita dapat melihat bahwa perbuatan menolong orang lain itu masih diijinkan dalam kerangka pikir etika Ayn Rand. Secara sederhana kita dapat menganalogikan pemikiran etika objectivism milik Ayn Rand dengan meminjam bentuk relasi antar spesies pada biologi, bahwa relasi yang manusia tidak boleh dilakukan secara simbiosis parasitisme, dan mengijinkan jika didasarkan pada simbiosis mutualisme, namun manusia tidak dilarang untuk melakukan simbiosis komensalisme.

Daftar Bacaan
·         Rand,A. (1961). For The New Intellectual, New York: A Signet Book.
·         Rand,A. (1982). Philosophy: Who Need it, New York: A Signet Book.
·         Rand,A.(1964, Maret). Playboy Interview: Ayn Rand – Candid Conversation With The Fountainhead Of “Objectivism”. Playboy, 35 – 60.
·         Rand,A. (1964). Virtue of Selfishness. New York: A Signet Book.


[1] Fieser,J. (2009). Ethics. Diakses melalui http://www.iep.utm.edu/ethics/ pada tanggal 10 Maret 2013, pukul 20.00 WIB.
[2] Rand,A. (1964). Virtue of Selfishness. New York: A Signet Book. hlm. 8.
[3] Ibid., hlm. 21.
[4] Ibid., hlm. 46.
[5]  Ibid., hlm. 26.
[6] Rand,A. (1961). For The New Intellectual, New York: A Signet Book. hlm. 100.
[7] Ibid., hlm. 114.
[8] Rand,A. (1982). Philosophy: Who Need it, New York: A Signet Book. bab 10.
[9] Rand,A. (1961). Op.Cit.,  hlm. 58.
[10] Rand,A. (1961). Op.Cit., hlm. 114.
[11] Rand,A. (1964). Op.Cit., hlm 64.
[12] Rand,A. (1964, Maret). Playboy Interview: Ayn Rand – Candid Conversation With The Fountainhead Of “Objectivism”. Playboy.
[13] Rand,A. (1964). Op.Cit., hlm. 41.

Senin, 11 Maret 2013

Paper Seminar Etika


Paper Seminar Etika
Bab I
            Etika sebagai cabang filsafat yang membahas tentang baik dan buruk suatu perbuatan, selama ini selalu menjadi bahan perbincangan yang tak akan pernah habisnya. Ajaran filsafat baratpun selalu mencoba untuk membongkar apakah sebenarnya perbuatan baik bagi manusia? Dalam pembahasan etika, pada umumnya selalu membuat dua kutub dalam baik buruknya perbuatan manusia, yaitu deontology dan di kutub lainnya adalah consequentialism. Kedua teori ini menekankan dua hal berbeda tentang perbuatan baik. Jika dalam deontology yang menjadi landasan utama adalah pelaksanaan unsur kewajiban, maka pada consequentialism yang menjadi landasan utama adalah unsur hasil dari suatu perbuatan. Baik deontology dan consequentialism  keduanya memiliki kelemahan yang selama ini kita ketahui.
            Deontology yang menekankan aspek kewajiban, bisa mengijinkan seseorang untuk tetap melaksanakan kewajibannya yang mengijinkan adanya ketidakpedulian terhadap hasil perbuatannya, dan ketika suatu kewajiban tidak dilakukan hal tersebut merupakan hal yang buruk, walau hasilnya menguntungkan diri sendiri dan banyak orang. Kita bisa memberikan contoh hipotetis dengan seorang tentara yang diberikan perintah untuk menekan tombol misil berhulu ledak nuklir untuk ditembakan kesuatu daerah untuk memulai perang dunia. Diasumsikan tentara itu mengetahui dampak dari perbuatannya itu, tetapi dengan menggunakan landasan etika deontology, perbuatan yang dilakukannya dapat dikatakan baik. Ada kesalahan  berbahaya dalam teori ini, penulis pada permasalahan ini tidak akan menyatakan bahwa tentara itu salah dengan melaksanakan kewajibannya, tetapi penulis bertanya, apa yang menjadi pembenaran alasan orang – orang yang berada di daerah yang menjadi tujuan misil tersebut harus menerima resiko yaitu kehilangan nyawa, kecacatan, dan lain sebagainya, dari efek kewajiban tentara tersebut? Ketidakpedulian akan konsekuensi dari perbuatan itu menurut penulis sah dan baik, jika resiko tersebut hanya berdampak bagi orang yang melaksanakan kewajiban tersebut tanpa membawa orang lain yang menjadi efeknya.
Selanjutnya ada etika altruism, yang menekankan kewajiban dan juga pengorbanan sang agen moral untuk keuntungan objek etiknya. Dalam etika altruism dikatakan bahwa manusia sebagai agen moral, dikatakan berbuat baik, jika dampak yang dilakukanya baik terhadap orang lain dan dalam menyejahterakan orang lain tersebut, sang agen moral tidak perlu memperdulikan self interestnya sendiri. Dalam etika ini, manusia adalah murni ingin melakukan kebaikannya agar berguna terhadap semuanya, walaupun pada akhirnya pengorbanan terhadap self - interest diri sendiri, hingga pada pilihan akhir memberikan nyawanya. Namun apakah dalam keterbatasan sebagai manusia, dimungkinkan efek yang yang maksimal bagi manusia lainnya?
            Setelah kita membahas secara sepintas tentang etika deontology, yang dianggap dilematis, bukan pasti mengatakan bahwa consequentialism pastilah terbaik. Dalam consequetialism juga terdapat kelemahan, dengan menekankan pada hasil suatu perbuatan, diijinkannya untuk menggunakan semua metode menjadi sah untuk mendapatkan keuntungan yang terbaik bagi diri sendiri, dan meminimalisir dari kemungkinan kerugian. Consequentialism pada akhirnya bercabang menjadi dua aliran besar yaitu etika utilitarian dengan etika egoism.
            Etika utilitarian menekankan bahwa keuntungan yang terbaik adalah keuntungan yang mampu dirasakan untuk semaksimal orang yang merasakan efek perbuatan tersebut, secara etik memang teori ini mengijinkan bahwa keuntungan haruslah bersifat etik yang tak hanya dirasakan bagi diri sendiri, tetapi juga banyak orang yang merasakan hal tersebut. Hal itu pulalah berarti mengatakan bahwa suatu perbuatan buruk adalah jika perbuatan tersebut merugikan banyak orang. Kelemahan teori ini adalah masih diijinkannya seseorang untuk dikorbankan untuk keuntungan orang banyak, kita dapat membuat contoh kasus seperti ini, jika ada lima orang dalam kelompok disebuah kapal yang bocor, karena terkena badai, dan satu satunya cara agar kapal itu tidak tenggelam adalah dengan cara mengorbankan salah satu orang dalam kapal tersebut, maka kelompok tersebut tetap melakukan hal yang baik dengan mengorbankan salah satu orang tersebut. Teori ini merupakan teori yang mengerikan, karena menunjukan bahwa individu dalam kelompok dianggap tidak ada, setiap individu hanyalah suatu bagian kecil yang bersifat atribut dari suatu kelompok yang sewaktu - waktu masih bisa dikorbankan untuk kepentingan mayoritas dengan rejimnya.
            Selanjutnya etika egoism, dimana hal yang baik bagi tiap orang adalah perbuatan yang menguntungkan self interest bagi dirinya, dan mampu meminimalisir segala hal yang mampu merugikan self interestnya, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang merugikan self interest bagi dirinya. Dalam teori ini tidak adanya hal yang dinamakan altruism kerena setiap perbuatan pasti ada tujuan bagi seseorang, selain itu teori etika ini juga memiliki kelemahan yaitu, masih diijinkannya suatu penindasan dari satu individu kepada yang lainnya untuk mendapatkan self interest bagi individunya sendiri, selain itu kita bisa meninggalkan kewajiban kita untuk mendapatkan self interest milik kita. Seperti contoh hipotetis ini, seorang polisi terpaksa berbohong bahwa tidak ada narkoba yang ditemukan dalam mobil seorang tersangka bandar narkoba, karena jika dibocorkan maka keluarga dan diri polisi tersebut akan dibunuh, dan jika bekerja sama polisi tersebut juga akan mendapat keuntungan bagi hasil dari narkoba itu dan diasumsikan tidak mungkin akan ada kemungkinan ketahuan bagi sang polisi dan juga sang bandar dikemudian hari. Dalam kasus ini terlihat jelas bahwa kebohongan yang dilakukan oleh polisi tersebut adalah benar, mengingat dirinya bisa memaksimalisasi self interestnya, selain terhindar dari kerugian, dimana keluarga dan dirinya dapat dibunuh, dirinya juga dapat keuntungan bagi hasil narkoba itu.
            Hal yang penulis ingin tunjukan dari garis besar teori - teori etika diatas adalah, semua teori etika ini bersifat baik bagi satu pihak saja. teori etika ini tidak menunjukan bagaimana orang lain harus berbuat etik kepada kita dan teori etika tersebut banyak yang menunjukan bahwa individu bebas, berfikir, dan memiliki kehendak bebas tidak ada. Dalam deontology bisa diketahui, walaupun seseorang itu dianggap individu yang otentik dalam menjalankan kewajibannya, individu tersebut tak ada bedanya dengan robot yang hanya memikirkan kewajiban mengerjakan tugasnya tanpa memperdulikan motif dan konsekuensi yang dilakukannya, dalam utilitarianisme, individu tidak ada, karena sesuatu yang baik hanya dapat diketahui dari mayoritas dan berarti tidak mungkin ada kebaikan bagi dirinya sendiri, sedangkan dalam etika egoism, individu merupakan hal yang otentik, ada dan bukan bersifat seperti robot karena individu tersebut memiliki self interest, namun self interest ini mengijinkan orang lain menjadi objek yang ditindas.
            Permasalahan – permasalahan hal diatas yang seringkali  lupa untuk dipikirkan adalah tentang kepraktisan suatu teori etik sebagai landasan suatu perbuatan. Teori etika bagaimanakah yang memungkinan seseorang benar - benar bisa melakukan aktualisasi perbuatannya secara real, berlaku universal, dan tidak menghasilkan kontradiksi dalam perbuatan etiknya sebagai manusia, yang memiliki keterbatasan dari berbagai sisi.
            Melalui Thought experiment pada bab selanjutnyalah, penulis akan memberikan alasan kenapa pada akhirnya akan memfokuskan diri pada etika egoism. Yang pada akhirnya penulis ingin membongkar, apakah mungkin etika egoism yang tetap menganggap manusia itu otentik, individual dan tetap mampu memenuhi self interestnya dengan tetap tidak diijinkannya perbuatan menindas yang lain dan mampu membuat tak hanya diri sendiri yang memiliki kewajiban untuk tidak menindas orang lain, tetapi juga orang lain memiliki kewajiban untuk tidak menindas kita dan tetap orang tersebut mampu mendapatkan self interest dirinya, dan yang paling utama mampu diaktualisasi dalam kasus real tanpa menghasilkan suatu dilemma moral.
            Untuk menjawab hal tersebut penulis harus merumuskan masalah dengan pertanyaan sebagai berikut; Bagaimana pembuktian bahwa teori etika egoismlah yang mampu dilakukan manusia secara real dengan keterbatasannya? Bagaimana bisa dirumuskan etika egoism yang masih memiliki nilai keadilan didalamnya?
Bab II
Dengan menggunakan asumsi bahwa manusia adalah being yang tidak memiliki kebebasan sempurna, serta rasionalitas untuk melakukan melawan keterbatasannya, selain itu manusia dengan rasionalitasnya mengetahui alasan dan kemampuannya untuk melakukan pengorbanan dan alasan perbuatannya bukan bersifat instingtif, serta asumsi bahwa manusia dengan memiliki keinginan dan pilihan eksistensial sebagai bentuk perlawanan terhadap hal yang essensial di dalam dirinya, yang menunjukan bahwa manusia tiap manusia unik dengan tiap cirri khas individualisnya, maka kita akan membahas hukum etik apa yang bisa diterapkan oleh manusia secara aktual?
Etika Altruisme
Dalam etika altruism dikatakan bahwa manusia sebagai agen moral, dikatakan berbuat baik, jika dampak yang dilakukanya baik terhadap orang lain dan dalam menyejahterakan orang lain tersebut, sang agen moral tidak perlu memperdulikan memperdulikan self interestnya sendiri. Dalam etika ini, manusia adalah murni ingin melakukan kebaikannya agar berguna terhadap semuanya, walaupun pada akhirnya pengorbanan terhadap self - interest diri sendiri, hingga pada pilihan akhir memberikan nyawanya. Apa yang menjadi persoalan dalam etika ini? Sebagai manusia telah kita ketahui bahwa kewajiban moral itu dimungkinkan, namun jika kita melakukan hal tersebut maka melalui identitas manusia diatas, sang agen moral tak lagi bisa dikatakan manusia. Karena pengorbanan tersebut harus tidak memikirkan self interest sang agen moral, maka term yang mendekati untuk mengganti term tersebut adalah benda mati. Benda mati adalah being yang mampu melakukan sesuatu hal tanpa harus adanya self interest dari dalam dirinya, selama terpenuhinya syarat – syarat dari hukum alam untuk melakukan kewajibannya maka benda mati itu akan melakukan kewajibannya. Selain itu, jika konsep etika alturis memfokuskan kepada kemampuan untuk membahagiakan semuanya, maka akan mudah untuk menemukan keanehan dalam bertindak, jika pada suatu ketika agen moral itu harus mengorbankan dirinya untuk memenuhi keinginan dari dua objek etik yang meminta hal yang sama pada tempat dan waktu yang sama dirinya dan kemampuan dirinya membatasi dirinya untuk memberikan keuntungan kepada satu objek saja, maka secara teoritis ketika agen moral hanya melakukan hal yang yang menguntungkan pada satu objek saja, maka agen moral telah mengorbanan terhadap objek etik yang lain, dan yang berarti mengingkari bahwa dirinya adalah seorang alturis. Kita dapat menggunakan contoh kasus seperti ini, yaitu dalam gurun pasir dan tidak ada sumber mata air, ketika seorang manusia (A) yang sedang kehausan memiliki air hanya sebanyak 1 liter dan tidak dimungkinkan untuk mendapatkannya lagi, menemukan dua orang lainnya ((B) dan (C)) yang masing - masing membutuhkan pertolongannya untuk mendapatkan air agar bertahan hidup, yang dimana masing - masing orang yang membutuhkan air ((A), (B), dan (C)) tersebut membutuhkan tepat 1 liter untuk kelangsungan hidupnya, maka apa yang dapat dilakukan sang manusia (A) secara aktual?
Kemungkinan yang dilakukan (A), mampu dibagi sebagai berikut:
1.      (A) Tidak meminum air tersebut dan memberikan air tersebut kepada salah satu dari (B) atau (C), yang berkonsekunsi (A) dan salah satu dari (B) atau (C) akan mati.
2.      (A) tidak meminum air tersebut dan membagi sama rata air tersebut kepada (B) dan (C), yang berkonsekunsi (A), (B), dan (C) akan mati
3.      (A) tidak meminum air tersebut dan tidak pula memberikan air tersebut kepada (B) dan (C), yang berkonsekunsi (A), (B), dan (C) akan mati
4.      (A) meminum air tersebut dan tidak memberikan air tersebut kepada (B) dan (C), yang berkonsekunsi (B), dan (C) akan mati
5.      (A), (B), dan (C) meminum sama rata air tersebut, yang berkonsekunsi (A), (B), dan (C) akan mati.
Jika kita berfokus dari pengorbanan diri sendiri dalam altruisme, dimana pengorbanan self interest tidak harus dipenuhi, maka perbuatan altruis akan mengijinkan perbuatan nomor 1, 2, 3, dan 5. Jika kita lanjutkan kembali dengan memfokuskan tentang efek perbuatan altruisme dimana objek etik dalam perbuatan ini harus menguntungkan sang objek etik saja, maka yang dapat diijinkan hanya perbuatan nomor 1 saja, namun ketika kita memfokuskan pada doktrin unik altruism dimana harus menguntungkan semua orang dan tidak boleh mengorban self interest orang lain, maka dalam kasus ini tidak ada kemungkinan yang bisa dilakukan oleh (A) untuk melakukan suatu perbuatan kepada (B) ataupun (C) tanpa mengorbankan salah satu self interest dari (B) ataupun (C).
Konsekuensi - konsekuensi kemungkinan diatas menunjukan bahwa tidak mungkin manusia sebagai agen moral mampu berbuat altruism dalam kehidupan manusia secara universal, andaipun mereka dapat melakukan altruisme hal tersebut hanya dimungkinkan jika hanya ada satu objek etik di dunia yang aktual ini, dan jika ada dua objek etik yang menginginkan perbuatan baik yang sama secara kuantitatif dan kualitatif, maka tidak dimungkinkan sang agen moral untuk memenuhi kebutuhan keduanya sekaligus, pasti ada self interest dari salah satu objek etik yang dikorbankan dan berarti yang berkonsekuensi tidak mungkin adanya altruisme. Hal diatas menunjukan bahwa tidak mungkin manusia sebagai being secara aktual dapat berbuat baik terhadap semua objek etiknya pasti ada salah satu yang dikorbankan, jikalau ada being sebagai agen moral yang mampu melakukan suatu perbuatan yang dapat memenuhi semua self interest dari objeknya secara penuh, maka being tersebut haruslah bersifat mampu mengatasi keterbatasannya hingga taraf paling ekstrim tidak terikat dengan adanya ruang dan waktu, dimana keterikatan ruang dan waktu adalah aktualitas keterbatasan yang tertinggi, maka being yang mampu melakukan hal tersebut hanyalah Tuhan.
Disini altruisme sebagai teori etik tidak bisa digunakan sebagai landasan nilai etik yang berfungsi secara aktual dan dari kasus diatas ditunjukan bahwa manusia tidak dimungkinkan sebagai agen moral karena bersifat keterbatasannya, baik itu keterbatasan kemampuan, ruang, waktu, dan lain sebagainya.
Etika Deontologi
            Deontologi adalah teori etika yang memfokuskan pada berhasil dilakukan atau tidaknya suatu kewajiban dengan maksim – maksim tertentu sebagai penentu bahwa perbuatannya tersebut bernilai baik. Dalam etika ini individu merupakan hal yang penting, karena dianggap tiap individu adalah agen moralnya sendiri, dan kewajiban yang harus dilakukan adalah kewajiban bernilai individu. Permasalahan utama disini adalah kewajiban itu bersikap keras tidak boleh dilanggar walau itu berakibat buruk diakhirnya.
            Kita dapat menggunakan contoh seperti berikut:
            Seorang ayah (A) dijalan melihat anaknya (B) yang meminta dirinya dilindungi dari pembunuh (C) dengan dengan cara disembunyikan dirumah mereka, setelah disembunyikan, ayah (A) tersebut bertemu pembunuh (C) yang menanyakan, dimanakah anaknya (B) itu? Diasumsikan hanya ayah (A) itu yang mengetahui letak anaknya itu (B), dan jika pembunuh (C) itu tidak mengetahui letak anaknya (B) tersebut maka tidak mungkin bagi pembunuh (C) itu mampu membunuh anak (B) itu. Apa saja kemungkinan yang bisa diperbuat ayah (A) tersebut secara aktual?
Kemungkinan yang dilakukan (A), mampu dibagi sebagai berikut:
1.      (A) memberitahu kepada (B) bahwa dirinya menyembunyikan (C) dirumahnya, yang berkonsekunsi (A) berkata jujur terhadap (B), (B) pada akhirnya membunuh (C).
2.      (A) tidak memberitahu kepada (B) bahwa dirinya menyembunyikan (C) dirumahnya, yang berkonsekunsi (A) berbohong terhadap (B), (B) pada akhirnya tidak membunuh (C).
Diasumsikan bahwa melalui maksim Immanuel Kant, bahwa sebagai manusia perbuatan bohong itu buruk secara etik, dan sebagai orangtua membiarkan anaknya untuk terbunuh juga buruk secara etik. Maka sebagai manusia diwajibkan untuk berbuat jujur dan sebagai orang tua tidak boleh menyakiti anaknya itu, maka jika pilihan 1 dipilih berarti dirinya hanya menjalankan  kewajibannya sebagai manusia saja dan tidak menjalankan kewajibannya sebagai orang tua, dan jika hanya menjalankan pilihan 2 maka dirinya hanya menjelankan kewajibannya sebagai orang tua, dan tidak menjalankan kewajibannya sebagai manusia, dikarenakan tidak mungkin seseorang bisa dikatakan baik sekaligus baik, maka apapun yang dilakukan (A) dalam kasus ini tetap akan bernilai buruk apapun yang dilakukannya dalam rumusan deontology, karena tetap ada kewajiban yang tidak dilakukan.
Masih bisa diandaikan tidak akan ada kasus dilematis ini jika (A) hanya memiliki kewajiban pada 1 hal saja, ataupun (A) hanya memilih satu bentuk kewajiban saja, namun ketika (A) hanya memilih satu pilihan saja bisa diartikan bahwa pilihan tersebut mengandung self interest karena hal tersebut menunjukan bahwa (A) menggunakan salah satu dari (B) ataupun (C) sebagai alat memenuhi kewajiban.
Penulis ingin menunjukan bahwa kasus dalam dilemma etik ini terjadi karena identitas manusia sebagai individu memiliki relasi dengan sesuatu yang berada diluar dirinya. Dalam kasus ini (A) tidak hanya memiliki kewajiban perbuatan sebagai manusia tetapi juga memiliki kewajiban sebagai seorang orang tua. Deontology hanya bisa dimungkinkan terjadi, jika manusia secara aktual hanya memiliki satu kewajiban secara essensial saja, namun dalam kehidupan nyata, manusia tidak hanya memiliki satu identitas secara essensial saja. Being yang bisa melakukan perbuatan tersebut hanyalah benda mati, karena benda mati hanya memiliki satu bentuk kewajiban yang telah berbentuk essensial.
Etika Utilitarianisme
            Utilitarianisme menunjukan bahwa perbuatan baik adalah perbuatan yang hasilnya bisa menguntungkan kebahagian banyak orang. Walaupun jika hasil dari suatu perbuatan tersebut mampu menguntungkan diri sendiri, tapi jika secara kuantitatif hasil perbuatan tersebut tidak berdampak kepada kerugian banyak orang maka itu bukan perbuatan baik. Hal tersebut mengijinkan bahwa metode apapun selama berhasil menguntungkan banyak orang secara kuantitatif adalah baik, dan dalam metode ini pengorbanan individu atau kelompok kecil untuk kelompok besar itu adalah yang baik. Permasalahan di dalam etika ini terlihat bahwa tidak ada nilai individu sebagai manusia, yang diaktualisasikan sebagai self interest dalam etika ini, andaipun ada individu hanya bisa dikatakan individu tersebut pastilah berada dalam salah satu dari dua posisi yaitu posisi diuntungkan dalam mayoritas, karena jika dalam posisi dirugikan maka dirinya tidak bisa menunjukan bahwa dirinya memiliki aktualisasi self interest, yang berarti dirinya pada saat posisi tersebut adalah bukan manusia, hanya sebagai sebuah benda mati.
Kita dapat menggunakan contoh seperti berikut:
Tiga orang terdampar disuatu pulau yang tidak memiliki bahan makanan, melalui radio diketahui tim penyelamat baru bisa menyelamatkan mereka 1 minggu kemudian. Untuk bertahan hidup satu minggu tersebut tidak ada pilihan selain memakan salah satu dari ketiga orang tersebut. Kemungkinan apa yang secara aktual mereka bisa lakukan?
1.      Salah satu orang dikorbankan untuk dimakan, demi kelangsungan hidup kedua orang yang lainnya agar bisa diselamatkan tim penyelamat.
2.      Tidak ada orang yang dikorbankan untuk dimakan, yang berkonsekuensi tidak ada seorangpun yang akan hidup ketika tim penyelamat datang.
Dalam utilitarianisme sudah jelas bahwa pilihan 2 adalah bukan pilihan baik, karena secara kuantitatif perbuatan tersebut merugikan semuanya dimana tidak ada orang yang mampu diselamatkan sama sekali, maka pilihan yang baik adalah jika kelompok memilih pilihan ke 1. 
Apa yang menjadi permasalahan dalam teori etika ini? Menurut penulis ketika self interest individu bertindak dinilai mayoritas saja, maka tidak ada lagi yang dinamakan individu, hanya ada nilai kelompok. Selain itu dalam utilitarianisme dengan adanya anggapan bahwa keuntungan mayoritas adalah sama dengan keuntungan individu adalah hal yang memaksakan bagi penulis.
Etika Egoism
            Dalam etika egoism hal yang dikatakan baik, adalah ketika individu tersebut mengejar keuntungan bagi dirinya sendiri. Etika ini mengijinkan bahwa tiap orang berhak mengejar self interest masing – masing tanpa perlu memikirkan self interst yang lain. Dalam etika ini individu ada dan menjadi tujuan utama, karenanya tidak adanya kewajiban untuk memperlakukan orang lain demi keuntungan orang lain tersebut. Dalam etika ini yang menjadi permasalahan adalah masih dimungkinkan adanya penindasan terhadap orang lain, walaupun orang lain tersebut bukanlah dianggap tidak memiliki self interst, melainkan dianggap ketidakmampuan dirinya untuk mengejar self interst tersebut.
Untuk memahaminya kita dapat mempergunakan kasus ini:
Seorang perempuan (A) yang memiliki bayi, melihat ada laki laki (C) tidak dikenal meminta perlindunganya dari seorang pembunuh bayaran (B) dengan cara disembunyikan dirumah perempuan tersebut dan dijanjikan diberikan sejumlah uang. Pada akhirnya perempuan yang menyembunyikan laki - laki tersebut bertemu dengan pembunuh bayaran tersebut, dan pembunuh bayaran tersebut pada akhirnya mengancam untuk membunuh perempuan tersebut dan juga bayinya jika tidak memberitahukan letak persembunyian laki laki itu, selain itu pembunuh bayaran tersebut juga menawarkan akan memberikan dua kali lipat uang yang telah diberikan oleh laki laki tersebut. Diasumsikan pembunuh tersebut adalah orang yang terkenal selalu memegang janjinya, Maka apa yang akan dilakukan perempuan tersebut?
Kemungkinan yang dilakukan (A), mampu dibagi sebagai berikut:
1.      (A) memberitahu kepada (B) bahwa dirinya menyembunyikan (C) dirumahnya, yang berkonsekunsi (A) berkata jujur terhadap (B), (B) pada akhirnya membunuh (C). dan (A) dapat menyelamatkan dirinya dan bayinya serta mendapat keuntungan yang dijanjikan (B).

2.      (A) tidak memberitahu kepada (B) bahwa dirinya menyembunyikan (C) dirumahnya, yang berkonsekunsi (A) berbohong terhadap (B), (B) pada akhirnya membunuh (A) dan bayinya serta tidak mendapatkan keuntungan yang dijanjikan (B).
Sudah dapat dipastikan bahwa pilihan yang baik sudah jatuh pada pilihan 1, karena dalam pilihan tersebut sudah amat jelas bahwa keuntungan maksimal bagi individu dapat dipenuhi dibandingkan dengan pilihan 2, yang pengorbanannya lebih banyak dibandingan keuntungannya
Pada akhirnya dari keempat jenis etika ini, kita dapat temukan bahwa self interest dan nilai individualitas hanya bisa dicapai dengan menggunakan etika utilitarian dan etika egoism, namun dengan penulis mengasumsikan jika interest individu tidak mungkin bisa selalu sama dengan interest kelompok maka pada akhirnya pilihan terbaik jatuh kepada etika egoism. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita mampu membuat adanya nilai kewajiban agar tidak memperlakukan orang lain sebagai alat penindasan demi keuntungan individu kita saja, seperti pada maksim deontology Immanuel Kant. Pada bab selanjutnya penulis ingin mencoba berspekulasi agar nilai individualitas dan self interest tiap - tiap individu mampu didapatkan dalam relasi sebagai manusia dan tanpa mengijinkan adanya penindasan.
Bab III
            Penulis mengasumsikan bahwa keterbatasan manusia akan ruang dan waktu menyebabkan adanya ketidak mungkinan untuk melakukan segala hal sekaligus, yang pada akhirnya berdampak tidak semua orang mampu menjadi ahli dan berkemampuan dalam segala bidang. Dikarenakan keterbatasannya itulah maka manusia tidak akan bisa memenuhi seluruh self interestnya melalui kemampuannya sendiri. Hal tersebut tidak hanya dirasakan oleh satu individu saja tapi dirasakan oleh semua individu. Untuk memenuhi self interest tiap individu yang kemampuannya terbatas tersebutlah terjadi apa yang dinamakan adanya transaksi kemampuan, dimana tiap individu mampu untuk mendapatkan self interestnya melalui kemampuan milik individu lainnya.
            Namun ketika salah satu individu merasa memiliki kemampuan sangat hebat untuk memenuhi self interest milik individu lainnya muncul rasa keinginan untuk diperlakukan lebih dari individu yang membutuhkan dirinya. Diasumsikan jika individu yang membutuhkan dirinya untuk memenuhi self interest tersebut, tidak melakukan negosiasi untuk menyamaratakan posisi, individu yang merasa dibutuhkan tersebut bisa meminta hal yang melebihi self interest awalnya yang mungkin sekedar barang material menjadi sesuatu yang tingkatannya lebih tinggi, yaitu nyawa atau dengan kata lain berhasil menindas orang yang membutuhkannya.
Maka apa yang bisa dilakukan seseorang untuk mencegah dirinya untuk ditindas? Penulis akan menjawab dengan menunjukan bahwa individu yang dibutuhkan sebenarnya memiliki saingan lainnya yang memiliki kemampuan yang sama, atau bahkan lebih, sehingga disini diijinkan adanya pemikiran ulang dari individu yang merasa dibutuhkan tersebut untuk melakukan penindasan terhadap individu yang membutuhkan. Disini konsep self interest akan bekerja, dimana self interest individu yang dibutuhkan itu jika kita tinggalkan maka akan menyebabkan kerugian bagi dirinya sendiri dengan tidak adanya supply self interest untuk dirinya. Maka yang akan terjadi adalah dimana kesempatan self interest individu yang dibutuhkan tersebut akan turun dan akan berhenti pada titik dimana self interest mampu ditransaksikan secara setara.