Paper
Seminar Etika
Bab I
Etika sebagai cabang filsafat yang
membahas tentang baik dan buruk suatu perbuatan, selama ini selalu menjadi
bahan perbincangan yang tak akan pernah habisnya. Ajaran filsafat baratpun
selalu mencoba untuk membongkar apakah sebenarnya perbuatan baik bagi manusia?
Dalam pembahasan etika, pada umumnya selalu membuat dua kutub dalam baik
buruknya perbuatan manusia, yaitu deontology dan di kutub lainnya adalah
consequentialism. Kedua teori ini menekankan dua hal berbeda tentang perbuatan
baik. Jika dalam deontology yang menjadi landasan utama adalah pelaksanaan
unsur kewajiban, maka pada consequentialism yang menjadi landasan utama adalah
unsur hasil dari suatu perbuatan. Baik deontology dan consequentialism keduanya memiliki kelemahan yang selama ini
kita ketahui.
Deontology yang menekankan aspek
kewajiban, bisa mengijinkan seseorang untuk tetap melaksanakan kewajibannya
yang mengijinkan adanya ketidakpedulian terhadap hasil perbuatannya, dan ketika
suatu kewajiban tidak dilakukan hal tersebut merupakan hal yang buruk, walau
hasilnya menguntungkan diri sendiri dan banyak orang. Kita bisa memberikan
contoh hipotetis dengan seorang tentara yang diberikan perintah untuk menekan
tombol misil berhulu ledak nuklir untuk ditembakan kesuatu daerah untuk memulai
perang dunia. Diasumsikan tentara itu mengetahui dampak dari perbuatannya itu,
tetapi dengan menggunakan landasan etika deontology, perbuatan yang
dilakukannya dapat dikatakan baik. Ada kesalahan berbahaya dalam teori ini, penulis pada
permasalahan ini tidak akan menyatakan bahwa tentara itu salah dengan
melaksanakan kewajibannya, tetapi penulis bertanya, apa yang menjadi pembenaran
alasan orang – orang yang berada di daerah yang menjadi tujuan misil tersebut
harus menerima resiko yaitu kehilangan nyawa, kecacatan, dan lain sebagainya,
dari efek kewajiban tentara tersebut? Ketidakpedulian akan konsekuensi dari
perbuatan itu menurut penulis sah dan baik, jika resiko tersebut hanya
berdampak bagi orang yang melaksanakan kewajiban tersebut tanpa membawa orang
lain yang menjadi efeknya.
Selanjutnya ada
etika altruism, yang menekankan kewajiban dan juga pengorbanan sang agen moral
untuk keuntungan objek etiknya. Dalam etika altruism dikatakan bahwa manusia
sebagai agen moral, dikatakan berbuat baik, jika dampak yang dilakukanya baik
terhadap orang lain dan dalam menyejahterakan orang lain tersebut, sang agen
moral tidak perlu memperdulikan self interestnya sendiri. Dalam etika ini,
manusia adalah murni ingin melakukan kebaikannya agar berguna terhadap
semuanya, walaupun pada akhirnya pengorbanan terhadap self - interest diri
sendiri, hingga pada pilihan akhir memberikan nyawanya. Namun apakah dalam
keterbatasan sebagai manusia, dimungkinkan efek yang yang maksimal bagi manusia
lainnya?
Setelah kita membahas secara sepintas
tentang etika deontology, yang dianggap dilematis, bukan pasti mengatakan bahwa
consequentialism pastilah terbaik. Dalam consequetialism juga terdapat
kelemahan, dengan menekankan pada hasil suatu perbuatan, diijinkannya untuk
menggunakan semua metode menjadi sah untuk mendapatkan keuntungan yang terbaik
bagi diri sendiri, dan meminimalisir dari kemungkinan kerugian.
Consequentialism pada akhirnya bercabang menjadi dua aliran besar yaitu etika
utilitarian dengan etika egoism.
Etika utilitarian menekankan bahwa
keuntungan yang terbaik adalah keuntungan yang mampu dirasakan untuk semaksimal
orang yang merasakan efek perbuatan tersebut, secara etik memang teori ini
mengijinkan bahwa keuntungan haruslah bersifat etik yang tak hanya dirasakan
bagi diri sendiri, tetapi juga banyak orang yang merasakan hal tersebut. Hal
itu pulalah berarti mengatakan bahwa suatu perbuatan buruk adalah jika
perbuatan tersebut merugikan banyak orang. Kelemahan teori ini adalah masih
diijinkannya seseorang untuk dikorbankan untuk keuntungan orang banyak, kita
dapat membuat contoh kasus seperti ini, jika ada lima orang dalam kelompok
disebuah kapal yang bocor, karena terkena badai, dan satu satunya cara agar
kapal itu tidak tenggelam adalah dengan cara mengorbankan salah satu orang dalam
kapal tersebut, maka kelompok tersebut tetap melakukan hal yang baik dengan
mengorbankan salah satu orang tersebut. Teori ini merupakan teori yang
mengerikan, karena menunjukan bahwa individu dalam kelompok dianggap tidak ada,
setiap individu hanyalah suatu bagian kecil yang bersifat atribut dari suatu
kelompok yang sewaktu - waktu masih bisa dikorbankan untuk kepentingan
mayoritas dengan rejimnya.
Selanjutnya etika egoism, dimana hal
yang baik bagi tiap orang adalah perbuatan yang menguntungkan self interest
bagi dirinya, dan mampu meminimalisir segala hal yang mampu merugikan self
interestnya, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang merugikan self
interest bagi dirinya. Dalam teori ini tidak adanya hal yang dinamakan altruism
kerena setiap perbuatan pasti ada tujuan bagi seseorang, selain itu teori etika
ini juga memiliki kelemahan yaitu, masih diijinkannya suatu penindasan dari
satu individu kepada yang lainnya untuk mendapatkan self interest bagi
individunya sendiri, selain itu kita bisa meninggalkan kewajiban kita untuk
mendapatkan self interest milik kita. Seperti contoh hipotetis ini, seorang
polisi terpaksa berbohong bahwa tidak ada narkoba yang ditemukan dalam mobil
seorang tersangka bandar narkoba, karena jika dibocorkan maka keluarga dan diri
polisi tersebut akan dibunuh, dan jika bekerja sama polisi tersebut juga akan
mendapat keuntungan bagi hasil dari narkoba itu dan diasumsikan tidak mungkin
akan ada kemungkinan ketahuan bagi sang polisi dan juga sang bandar dikemudian
hari. Dalam kasus ini terlihat jelas bahwa kebohongan yang dilakukan oleh
polisi tersebut adalah benar, mengingat dirinya bisa memaksimalisasi self
interestnya, selain terhindar dari kerugian, dimana keluarga dan dirinya dapat
dibunuh, dirinya juga dapat keuntungan bagi hasil narkoba itu.
Hal yang penulis ingin tunjukan dari
garis besar teori - teori etika diatas adalah, semua teori etika ini bersifat
baik bagi satu pihak saja. teori etika ini tidak menunjukan bagaimana orang
lain harus berbuat etik kepada kita dan teori etika tersebut banyak yang
menunjukan bahwa individu bebas, berfikir, dan memiliki kehendak bebas tidak
ada. Dalam deontology bisa diketahui, walaupun seseorang itu dianggap individu
yang otentik dalam menjalankan kewajibannya, individu tersebut tak ada bedanya
dengan robot yang hanya memikirkan kewajiban mengerjakan tugasnya tanpa
memperdulikan motif dan konsekuensi yang dilakukannya, dalam utilitarianisme,
individu tidak ada, karena sesuatu yang baik hanya dapat diketahui dari
mayoritas dan berarti tidak mungkin ada kebaikan bagi dirinya sendiri,
sedangkan dalam etika egoism, individu merupakan hal yang otentik, ada dan
bukan bersifat seperti robot karena individu tersebut memiliki self interest,
namun self interest ini mengijinkan orang lain menjadi objek yang ditindas.
Permasalahan – permasalahan hal diatas
yang seringkali lupa untuk dipikirkan
adalah tentang kepraktisan suatu teori etik sebagai landasan suatu perbuatan.
Teori etika bagaimanakah yang memungkinan seseorang benar - benar bisa melakukan
aktualisasi perbuatannya secara real, berlaku universal, dan tidak menghasilkan
kontradiksi dalam perbuatan etiknya sebagai manusia, yang memiliki keterbatasan
dari berbagai sisi.
Melalui Thought experiment pada bab
selanjutnyalah, penulis akan memberikan alasan kenapa pada akhirnya akan
memfokuskan diri pada etika egoism. Yang pada akhirnya penulis ingin
membongkar, apakah mungkin etika egoism yang tetap menganggap manusia itu
otentik, individual dan tetap mampu memenuhi self interestnya dengan tetap
tidak diijinkannya perbuatan menindas yang lain dan mampu membuat tak hanya
diri sendiri yang memiliki kewajiban untuk tidak menindas orang lain, tetapi
juga orang lain memiliki kewajiban untuk tidak menindas kita dan tetap orang
tersebut mampu mendapatkan self interest dirinya, dan yang paling utama mampu
diaktualisasi dalam kasus real tanpa menghasilkan suatu dilemma moral.
Untuk menjawab hal tersebut penulis
harus merumuskan masalah dengan pertanyaan sebagai berikut; Bagaimana
pembuktian bahwa teori etika egoismlah yang mampu dilakukan manusia secara real
dengan keterbatasannya? Bagaimana bisa dirumuskan etika egoism yang masih
memiliki nilai keadilan didalamnya?
Bab II
Dengan menggunakan asumsi bahwa manusia adalah being yang tidak memiliki kebebasan sempurna, serta rasionalitas
untuk melakukan melawan keterbatasannya, selain itu manusia dengan
rasionalitasnya mengetahui alasan dan kemampuannya untuk melakukan pengorbanan dan alasan
perbuatannya bukan bersifat instingtif, serta asumsi
bahwa manusia dengan memiliki keinginan dan pilihan eksistensial
sebagai bentuk perlawanan terhadap hal yang essensial di dalam dirinya, yang menunjukan bahwa manusia tiap
manusia unik dengan tiap cirri khas individualisnya, maka kita akan membahas hukum etik apa yang bisa diterapkan oleh manusia
secara aktual?
Etika Altruisme
Dalam etika altruism dikatakan bahwa manusia sebagai agen moral,
dikatakan berbuat baik, jika dampak yang dilakukanya baik terhadap orang lain
dan dalam menyejahterakan orang lain tersebut, sang agen moral tidak perlu
memperdulikan memperdulikan self interestnya sendiri. Dalam etika ini, manusia
adalah murni ingin melakukan kebaikannya agar berguna terhadap semuanya,
walaupun pada akhirnya pengorbanan terhadap self - interest diri sendiri,
hingga pada pilihan akhir memberikan nyawanya. Apa yang menjadi persoalan dalam
etika ini? Sebagai manusia telah kita ketahui bahwa kewajiban moral itu
dimungkinkan, namun jika kita melakukan hal tersebut maka melalui identitas
manusia diatas, sang agen moral tak lagi bisa dikatakan manusia. Karena
pengorbanan tersebut harus tidak memikirkan self interest sang agen moral, maka
term yang mendekati untuk mengganti term tersebut adalah benda mati. Benda mati
adalah being yang mampu melakukan sesuatu hal tanpa harus adanya self interest
dari dalam dirinya, selama terpenuhinya syarat – syarat dari hukum alam untuk
melakukan kewajibannya maka benda mati itu akan melakukan kewajibannya. Selain
itu, jika konsep etika alturis memfokuskan kepada kemampuan untuk membahagiakan
semuanya, maka akan mudah untuk menemukan keanehan dalam bertindak, jika pada
suatu ketika agen moral itu harus mengorbankan dirinya untuk memenuhi keinginan
dari dua objek etik yang meminta hal yang sama pada tempat dan waktu yang sama
dirinya dan kemampuan dirinya membatasi dirinya untuk memberikan keuntungan
kepada satu objek saja, maka secara teoritis ketika agen moral hanya melakukan
hal yang yang menguntungkan pada satu objek saja, maka agen moral telah mengorbanan
terhadap objek etik yang lain, dan yang berarti mengingkari bahwa dirinya
adalah seorang alturis. Kita dapat menggunakan contoh kasus seperti ini, yaitu
dalam gurun pasir dan tidak ada sumber mata air, ketika seorang manusia (A)
yang sedang kehausan memiliki air hanya sebanyak 1 liter dan tidak dimungkinkan
untuk mendapatkannya lagi, menemukan dua orang lainnya ((B) dan (C)) yang
masing - masing membutuhkan pertolongannya untuk mendapatkan air agar bertahan
hidup, yang dimana masing - masing orang yang membutuhkan air ((A), (B), dan
(C)) tersebut membutuhkan tepat 1 liter untuk kelangsungan hidupnya, maka apa
yang dapat dilakukan sang manusia (A) secara aktual?
Kemungkinan yang dilakukan (A), mampu dibagi sebagai berikut:
1.
(A) Tidak meminum air tersebut dan memberikan
air tersebut kepada salah satu dari (B) atau (C), yang berkonsekunsi (A) dan
salah satu dari (B) atau (C) akan mati.
2.
(A) tidak meminum air tersebut dan membagi
sama rata air tersebut kepada (B) dan (C), yang berkonsekunsi (A), (B), dan (C)
akan mati
3.
(A) tidak meminum air tersebut dan tidak pula
memberikan air tersebut kepada (B) dan (C), yang berkonsekunsi (A), (B), dan
(C) akan mati
4.
(A) meminum air tersebut dan tidak memberikan
air tersebut kepada (B) dan (C), yang berkonsekunsi (B), dan (C) akan mati
5.
(A), (B), dan (C) meminum sama rata air
tersebut, yang berkonsekunsi (A), (B), dan (C) akan mati.
Jika kita berfokus dari pengorbanan diri sendiri dalam altruisme,
dimana pengorbanan self interest tidak harus dipenuhi, maka perbuatan altruis
akan mengijinkan perbuatan nomor 1, 2, 3, dan 5. Jika kita lanjutkan kembali
dengan memfokuskan tentang efek perbuatan altruisme dimana objek etik dalam
perbuatan ini harus menguntungkan sang objek etik saja, maka yang dapat
diijinkan hanya perbuatan nomor 1 saja, namun ketika kita memfokuskan pada
doktrin unik altruism dimana harus menguntungkan semua orang dan tidak boleh
mengorban self interest orang lain, maka dalam kasus ini tidak ada kemungkinan
yang bisa dilakukan oleh (A) untuk melakukan suatu perbuatan kepada (B) ataupun
(C) tanpa mengorbankan salah satu self interest dari (B) ataupun (C).
Konsekuensi - konsekuensi kemungkinan diatas menunjukan bahwa tidak
mungkin manusia sebagai agen moral mampu berbuat altruism dalam kehidupan
manusia secara universal, andaipun mereka dapat melakukan altruisme hal
tersebut hanya dimungkinkan jika hanya ada satu objek etik di dunia yang aktual
ini, dan jika ada dua objek etik yang menginginkan perbuatan baik yang sama
secara kuantitatif dan kualitatif, maka tidak dimungkinkan sang agen moral
untuk memenuhi kebutuhan keduanya sekaligus, pasti ada self interest dari salah
satu objek etik yang dikorbankan dan berarti yang berkonsekuensi tidak mungkin
adanya altruisme. Hal diatas menunjukan bahwa tidak mungkin manusia sebagai
being secara aktual dapat berbuat baik terhadap semua objek etiknya pasti ada
salah satu yang dikorbankan, jikalau ada being sebagai agen moral yang mampu
melakukan suatu perbuatan yang dapat memenuhi semua self interest dari objeknya
secara penuh, maka being tersebut haruslah bersifat mampu mengatasi
keterbatasannya hingga taraf paling ekstrim tidak terikat dengan adanya ruang
dan waktu, dimana keterikatan ruang dan waktu adalah aktualitas keterbatasan
yang tertinggi, maka being yang mampu melakukan hal tersebut hanyalah Tuhan.
Disini altruisme sebagai teori etik tidak bisa digunakan sebagai
landasan nilai etik yang berfungsi secara aktual dan dari kasus diatas
ditunjukan bahwa manusia tidak dimungkinkan sebagai agen moral karena bersifat
keterbatasannya, baik itu keterbatasan kemampuan, ruang, waktu, dan lain
sebagainya.
Etika Deontologi
Deontologi adalah
teori etika yang memfokuskan pada berhasil dilakukan atau tidaknya suatu
kewajiban dengan maksim – maksim tertentu sebagai penentu bahwa perbuatannya
tersebut bernilai baik. Dalam etika ini individu merupakan hal yang penting,
karena dianggap tiap individu adalah agen moralnya sendiri, dan kewajiban yang
harus dilakukan adalah kewajiban bernilai individu. Permasalahan utama disini
adalah kewajiban itu bersikap keras tidak boleh dilanggar walau itu berakibat
buruk diakhirnya.
Kita dapat
menggunakan contoh seperti berikut:
Seorang ayah (A)
dijalan melihat anaknya (B) yang meminta dirinya dilindungi dari pembunuh (C)
dengan dengan cara disembunyikan dirumah mereka, setelah disembunyikan, ayah
(A) tersebut bertemu pembunuh (C) yang menanyakan, dimanakah anaknya (B) itu?
Diasumsikan hanya ayah (A) itu yang mengetahui letak anaknya itu (B), dan jika
pembunuh (C) itu tidak mengetahui letak anaknya (B) tersebut maka tidak mungkin
bagi pembunuh (C) itu mampu membunuh anak (B) itu. Apa saja kemungkinan yang
bisa diperbuat ayah (A) tersebut secara aktual?
Kemungkinan yang dilakukan (A), mampu dibagi sebagai berikut:
1.
(A) memberitahu kepada (B) bahwa dirinya
menyembunyikan (C) dirumahnya, yang berkonsekunsi (A) berkata jujur terhadap
(B), (B) pada akhirnya membunuh (C).
2.
(A) tidak memberitahu kepada (B) bahwa dirinya
menyembunyikan (C) dirumahnya, yang berkonsekunsi (A) berbohong terhadap (B),
(B) pada akhirnya tidak membunuh (C).
Diasumsikan bahwa melalui maksim Immanuel Kant, bahwa sebagai manusia
perbuatan bohong itu buruk secara etik, dan sebagai orangtua membiarkan anaknya
untuk terbunuh juga buruk secara etik. Maka sebagai manusia diwajibkan untuk
berbuat jujur dan sebagai orang tua tidak boleh menyakiti anaknya itu, maka
jika pilihan 1 dipilih berarti dirinya hanya menjalankan kewajibannya sebagai manusia saja dan tidak
menjalankan kewajibannya sebagai orang tua, dan jika hanya menjalankan pilihan
2 maka dirinya hanya menjelankan kewajibannya sebagai orang tua, dan tidak
menjalankan kewajibannya sebagai manusia, dikarenakan tidak mungkin seseorang
bisa dikatakan baik sekaligus baik, maka apapun yang dilakukan (A) dalam kasus
ini tetap akan bernilai buruk apapun yang dilakukannya dalam rumusan
deontology, karena tetap ada kewajiban yang tidak dilakukan.
Masih bisa diandaikan tidak akan ada kasus dilematis ini jika (A)
hanya memiliki kewajiban pada 1 hal saja, ataupun (A) hanya memilih satu bentuk
kewajiban saja, namun ketika (A) hanya memilih satu pilihan saja bisa diartikan
bahwa pilihan tersebut mengandung self interest karena hal tersebut menunjukan
bahwa (A) menggunakan salah satu dari (B) ataupun (C) sebagai alat memenuhi
kewajiban.
Penulis ingin menunjukan bahwa kasus dalam dilemma etik ini terjadi
karena identitas manusia sebagai individu memiliki relasi dengan sesuatu yang
berada diluar dirinya. Dalam kasus ini (A) tidak hanya memiliki kewajiban
perbuatan sebagai manusia tetapi juga memiliki kewajiban sebagai seorang orang
tua. Deontology hanya bisa dimungkinkan terjadi, jika manusia secara aktual
hanya memiliki satu kewajiban secara essensial saja, namun dalam kehidupan
nyata, manusia tidak hanya memiliki satu identitas secara essensial saja. Being
yang bisa melakukan perbuatan tersebut hanyalah benda mati, karena benda mati
hanya memiliki satu bentuk kewajiban yang telah berbentuk essensial.
Etika Utilitarianisme
Utilitarianisme
menunjukan bahwa perbuatan baik adalah perbuatan yang hasilnya bisa menguntungkan
kebahagian banyak orang. Walaupun jika hasil dari suatu perbuatan tersebut
mampu menguntungkan diri sendiri, tapi jika secara kuantitatif hasil perbuatan
tersebut tidak berdampak kepada kerugian banyak orang maka itu bukan perbuatan
baik. Hal tersebut mengijinkan bahwa metode apapun selama berhasil
menguntungkan banyak orang secara kuantitatif adalah baik, dan dalam metode ini
pengorbanan individu atau kelompok kecil untuk kelompok besar itu adalah yang
baik. Permasalahan di dalam etika ini terlihat bahwa tidak ada nilai individu
sebagai manusia, yang diaktualisasikan sebagai self interest dalam etika ini,
andaipun ada individu hanya bisa dikatakan individu tersebut pastilah berada
dalam salah satu dari dua posisi yaitu posisi diuntungkan dalam mayoritas,
karena jika dalam posisi dirugikan maka dirinya tidak bisa menunjukan bahwa
dirinya memiliki aktualisasi self interest, yang berarti dirinya pada saat
posisi tersebut adalah bukan manusia, hanya sebagai sebuah benda mati.
Kita dapat menggunakan contoh seperti berikut:
Tiga orang terdampar disuatu pulau yang tidak memiliki bahan makanan,
melalui radio diketahui tim penyelamat baru bisa menyelamatkan mereka 1 minggu
kemudian. Untuk bertahan hidup satu minggu tersebut tidak ada pilihan selain
memakan salah satu dari ketiga orang tersebut. Kemungkinan apa yang secara
aktual mereka bisa lakukan?
1.
Salah satu orang dikorbankan untuk dimakan,
demi kelangsungan hidup kedua orang yang lainnya agar bisa diselamatkan tim
penyelamat.
2.
Tidak ada orang yang dikorbankan untuk
dimakan, yang berkonsekuensi tidak ada seorangpun yang akan hidup ketika tim
penyelamat datang.
Dalam utilitarianisme sudah jelas bahwa pilihan 2 adalah bukan pilihan
baik, karena secara kuantitatif perbuatan tersebut merugikan semuanya dimana
tidak ada orang yang mampu diselamatkan sama sekali, maka pilihan yang baik
adalah jika kelompok memilih pilihan ke 1.
Apa yang menjadi permasalahan dalam teori etika ini? Menurut penulis
ketika self interest individu bertindak dinilai mayoritas saja, maka tidak ada
lagi yang dinamakan individu, hanya ada nilai kelompok. Selain itu dalam
utilitarianisme dengan adanya anggapan bahwa keuntungan mayoritas adalah sama
dengan keuntungan individu adalah hal yang memaksakan bagi penulis.
Etika Egoism
Dalam etika egoism
hal yang dikatakan baik, adalah ketika individu tersebut mengejar keuntungan
bagi dirinya sendiri. Etika ini mengijinkan bahwa tiap orang berhak mengejar
self interest masing – masing tanpa perlu memikirkan self interst yang lain.
Dalam etika ini individu ada dan menjadi tujuan utama, karenanya tidak adanya
kewajiban untuk memperlakukan orang lain demi keuntungan orang lain tersebut.
Dalam etika ini yang menjadi permasalahan adalah masih dimungkinkan adanya
penindasan terhadap orang lain, walaupun orang lain tersebut bukanlah dianggap
tidak memiliki self interst, melainkan dianggap ketidakmampuan dirinya untuk
mengejar self interst tersebut.
Untuk
memahaminya kita dapat mempergunakan kasus ini:
Seorang
perempuan (A) yang memiliki bayi, melihat ada laki laki (C) tidak dikenal
meminta perlindunganya dari seorang pembunuh bayaran (B) dengan cara
disembunyikan dirumah perempuan tersebut dan dijanjikan diberikan sejumlah
uang. Pada akhirnya perempuan yang menyembunyikan laki - laki tersebut bertemu dengan
pembunuh bayaran tersebut, dan pembunuh bayaran tersebut pada akhirnya
mengancam untuk membunuh perempuan tersebut dan juga bayinya jika tidak
memberitahukan letak persembunyian laki laki itu, selain itu pembunuh bayaran
tersebut juga menawarkan akan memberikan dua kali lipat uang yang telah
diberikan oleh laki laki tersebut. Diasumsikan pembunuh tersebut adalah orang
yang terkenal selalu memegang janjinya, Maka apa yang akan dilakukan perempuan
tersebut?
Kemungkinan yang dilakukan (A), mampu dibagi sebagai berikut:
1.
(A) memberitahu kepada (B) bahwa dirinya
menyembunyikan (C) dirumahnya, yang berkonsekunsi (A) berkata jujur terhadap
(B), (B) pada akhirnya membunuh (C). dan (A) dapat menyelamatkan dirinya dan
bayinya serta mendapat keuntungan yang dijanjikan (B).
2.
(A) tidak memberitahu kepada (B) bahwa dirinya
menyembunyikan (C) dirumahnya, yang berkonsekunsi (A) berbohong terhadap (B),
(B) pada
akhirnya membunuh (A) dan bayinya serta tidak mendapatkan keuntungan yang
dijanjikan (B).
Sudah dapat
dipastikan bahwa pilihan yang baik sudah jatuh pada pilihan 1, karena dalam
pilihan tersebut sudah amat jelas bahwa keuntungan maksimal bagi individu dapat
dipenuhi dibandingkan dengan pilihan 2, yang pengorbanannya lebih banyak
dibandingan keuntungannya
Pada akhirnya dari keempat jenis etika ini, kita dapat temukan bahwa
self interest dan nilai individualitas hanya bisa dicapai dengan menggunakan
etika utilitarian
dan etika egoism, namun dengan penulis mengasumsikan jika
interest individu tidak mungkin bisa selalu sama dengan interest kelompok maka
pada akhirnya pilihan terbaik jatuh kepada etika egoism. Pertanyaan selanjutnya
adalah bagaimana kita mampu membuat adanya nilai
kewajiban agar tidak memperlakukan orang lain sebagai alat penindasan demi
keuntungan individu kita saja, seperti pada maksim
deontology
Immanuel Kant. Pada bab selanjutnya penulis ingin mencoba
berspekulasi agar nilai individualitas dan self interest tiap - tiap individu
mampu didapatkan dalam relasi sebagai manusia dan tanpa mengijinkan adanya
penindasan.
Bab
III
Penulis mengasumsikan bahwa
keterbatasan manusia akan ruang dan waktu menyebabkan adanya ketidak mungkinan
untuk melakukan segala hal sekaligus, yang pada akhirnya berdampak tidak semua
orang mampu menjadi ahli dan berkemampuan dalam segala bidang. Dikarenakan
keterbatasannya itulah maka manusia tidak akan bisa memenuhi seluruh self
interestnya melalui kemampuannya sendiri. Hal tersebut tidak hanya dirasakan
oleh satu individu saja tapi dirasakan oleh semua individu. Untuk memenuhi self
interest tiap individu yang kemampuannya terbatas tersebutlah terjadi apa yang
dinamakan adanya transaksi kemampuan, dimana tiap individu mampu untuk
mendapatkan self interestnya melalui kemampuan milik individu lainnya.
Namun ketika salah satu individu
merasa memiliki kemampuan sangat hebat untuk memenuhi self interest milik
individu lainnya muncul rasa keinginan untuk diperlakukan lebih dari individu
yang membutuhkan dirinya. Diasumsikan jika individu yang membutuhkan dirinya
untuk memenuhi self interest tersebut, tidak melakukan negosiasi untuk
menyamaratakan posisi, individu yang merasa dibutuhkan tersebut bisa meminta
hal yang melebihi self interest awalnya yang mungkin sekedar barang material
menjadi sesuatu yang tingkatannya lebih tinggi, yaitu nyawa atau dengan kata
lain berhasil menindas orang yang membutuhkannya.
Maka apa yang
bisa dilakukan seseorang untuk mencegah dirinya untuk ditindas? Penulis akan menjawab
dengan menunjukan bahwa individu yang dibutuhkan sebenarnya memiliki saingan
lainnya yang memiliki kemampuan yang sama, atau bahkan lebih, sehingga disini
diijinkan adanya pemikiran ulang dari individu yang merasa dibutuhkan tersebut
untuk melakukan penindasan terhadap individu yang membutuhkan. Disini konsep
self interest akan bekerja, dimana self interest individu yang dibutuhkan itu
jika kita tinggalkan maka akan menyebabkan kerugian bagi dirinya sendiri dengan
tidak adanya supply self interest untuk dirinya. Maka yang akan terjadi adalah
dimana kesempatan self interest individu yang dibutuhkan tersebut akan turun
dan akan berhenti pada titik dimana self interest mampu ditransaksikan secara
setara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar