Pemikiran Etika Ayn Rand
Oleh : Adam Azano Satrio, 0906522861
Etika sebagai cabang filsafat yang membahas tentang baik dan buruk suatu perbuatan, selama ini selalu menjadi bahan perbincangan yang tak akan pernah habisnya. Filsafat barat selalu mencoba untuk membongkar pertanyaan, apakah sebenarnya perbuatan baik bagi manusia? Dalam pembahasan etika, pada umumnya para filsuf selalu membuat dua kutub dalam baik buruknya perbuatan manusia, yaitu duty based disalah satu kutub dan pada kutub lainnya adalah consequentialism. Kedua teori ini menekankan dua hal berbeda tentang perbuatan baik. Jika dalam duty based yang menjadi landasan utama adalah pelaksanaan unsur kewajiban, maka pada consequentialism yang menjadi landasan utama adalah unsur hasil dari suatu perbuatan. Baik duty based dan consequentialism keduanya memiliki kelemahan yang selama ini kita ketahui.[1]
Ayn Rand, seorang pemikir Rusia yang bermigrasi ke Amerika, mencoba membangun landasan etika miliknya sendiri, yang disebut dengan etika objectivism. Pemikiran Ayn Rand tentang etika banyak disalahartikan sebagai bentuk etika egoistis yang menghalalkan segala cara untuk kesenangan pribadi yang berlandaskan hasrat saja. Ayn Rand sendiri menolak pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa, etika tersebut bukanlah pemikiran etika objectivism miliknya karena menggunakan rasionalitas sebagai parameter.[2] Dapat terlihat bahwa Ayn Rand menekankan cara survivalitas manusia dalam kehidupan bukan dengan landasan pada pemenuhan hasrat semata, tanpa menggunakan kognisi dari rasionalitas.
Dikarenakan penulis memfokuskan diri pada permasalahan moral dan etika objectivism, maka pada tulisan ini penulis hanya akan menjelaskan beberapa term dan definisi dalam pemikiran Ayn Rand yang berhubungan dengan pemikiran etika miliknya, yaitu self interest, morality, sacrifice, compromise dan helping.
Self interest dalam pemikiran Ayn Rand merupakan pemikiran paling mendasar dari filsafatnya. Self interest mengijinkan pemikiran etika objectivism membangun argumentasi sehingga adalah hal rasional jika seseorang, sebagai agen moral, hanya memfokuskan diri dalam proses pemenuhan interest dirinya sendiri dalam kehidupannya. Ayn Rand menegaskan bahwa Self interest itu sendiri bersifat mendasar dan subjektif sehingga tiap – tiap orang sebagai agen moral memiliki dan memilih tujuan serta pandangan tentang interestnya masing – masing.[3]
Harus ditekankan bahwa self interest yang diangkat oleh Ayn Rand, dalam teori dan praktiknya, harus bertindak secara rasional yang berarti menggunakan kognisi yang penuh perhitungan serta pemikiran dan tidak bertindak hanya dengan berlandaskan hasrat yang gegabah. Ayn Rand menyadari bahwa hasrat tidak memiliki kekuatan validitas sebagai penentu bahwa yang dihasratkan oleh agen moral merupakan hal baik bagi dirinya, ataupun yang didapatkan sesuai dengan interest jangka panjangnya. [4]
Seringkali banyak orang yang menganggap bahwa etika objectivism mengijinkan mengorbankan ataupun memanipulasi orang lain untuk pemenuhan self interestnya, atau dengan kata lain menghalalkan segala cara untuk memenuhi self interest sang agen moral. Ayn Rand menolak anggapaan itu dalam teksnya dengan mengungkapkan bahwa etika objectivism tidak mengijinkan adanya asumsi dalam bentuk relasi yang bersifat merugikan salah satu pihak dan hanya mengijinkan sebuah relasi yang bersifat non sacrificial relationship, serta semua hal tersebut hanya bisa terjadi dengan adanya kesadaran yang disebabkan rasionalitas dari kedua belah pihak.[5]
Dari beberapa paragraf sebelumnya, dapat kita temukan, bahwa self interest dalam etika objektifis adalah persolan etika yang memiliki landasan utama dimana tiap - tiap agen moral sebagai individu memiliki tujuannya masing – masing yang bersifat personal dan subjektif, namun self interest harus dilandaskan pada rasionalitas dan bukan pada hasratnya saja. Landasan tersebutlah yang pada akhirnya mengijinkan kita untuk melanjutkan pembahasan tentang moralitas.
Moralitas Ayn Rand dengan keras menentang pemikiran yang bersifat altruism. Bagi Ayn Rand interest seseorang dalam pemikiran altruism harus rela dikorbankan untuk interest orang lain. Bagi Ayn Rand tujuan adanya moralitas untuk memilih dan mendapatkan kehidupan yang mampu dinikmati dan berkualitas dengan memperoleh self interest tiap individu dengan cara yang terhormat dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.[6]
Altruism adalah hal yang buruk, karena merendah nilai keberhargaan dan semangat hidup manusia dalam kehidupan manusia.[7] Dengan menggunakan penalaran reduction ad absurdum, Ayn Rand dapat menyimpulkan, bahwa pada akhirnya jika seseorang menggunakan pemikiran altruism sebagai landasan moral, maka tidak mungkin orang tersebut bisa ataupun memiliki pilihan untuk menikmati dan menjalani kehidupannya, karena kewajiban utama seorang altruis adalah merelakan dirinya bukan untuk memperoleh self interestnya namun menjadi sapi perah untuk interest orang lain.
Moralitas bagi Ayn Rand menekankan adanya unsur pilihan berlandaskan adanya perbedaan self interest tiap individu dan bukan bersifat imperatif atau kewajiban murni seperti pada Immanuel Kant. Moralitas bagi Ayn Rand bersifat konsekuensi dari pilihan sang agen moral dan tidak berhubungan dengan bagaimana kewajiban seseorang untuk melaksanakannya, sebab jika suatu perbuatan hanya didasarkan pada kewajiban untuk melakukan kebaikan pada orang lain, maka dirinya tidak memiliki suatu alasan untuk mendapatkan penghargaan bagi dirinya sendiri, aspek kehidupan manusia seperti ambisi, cinta, karir dan lain sebagainya dianggap tidak berarti. Dalam teksnya Causality Versus Duty, Ayn Rand juga mengungkapkan, ketika suatu perbuatan moral menjadikan manusia harus melakukan suatu perbuatan dengan dasar kewajiban, maka secara rasional kita tidak bisa membedakan siapakah seseorang yang baik dan buruk, selain itu kita tidak akan mampu menghargai seseorang yang sebenarnya memiliki motif kebaikan di dalamnya dan hanya bisa merekognisi seseorang yang berhati jahat namun memaksakan diri untuk melakukan kebaikan dikarenakan kewajiban.[8]
Kita dapat simpulkan, bahwa moral dalam kacamata Ayn Rand memfokuskan tentang perhargaan terhadap perjuangan tiap individu manusia untuk mencapai tujuan utama yang tiap orang idam – idamkan, serta menghargai segala bentuk kebebasan untuk memilih apa yang dianggap orang itu bernilai bagi dirinya. Landasan moral ini pada akhirnya memunculkan persoalan tentang bagaimana pandangan ketika sang agen moral melakukan perbuatan untuk memperoleh self interestnya, dengan mengetahui apakah perbuatan yang dilakukannya merupakan bentuk sacrifice atau tidak.
Saat kita melihat seorang ibu memberikan makan anaknya, seorang teman yang membayarkan makanan temannya, atau seorang suami yang bekerja keras dengan melakukan lembur dikantor untuk memperoleh tambahan uang demi kesehatan istrinya yang berada di rumah sakit, maka kita dapat mengangkat pertanyaan apakah yang dilakukan ibu, teman atau suami itu adalah pengorbanan? Seringkali orang beranggapan bahwa hal tersebut merupakan bentuk sacrifice.
Sacrifice atau pengorbanan menurut Ayn Rand bukan didefinisikan sebagai apa yang telah kita lakukan untuk memperoleh sesuatu yang kita inginkan. Secara tegas Ayn Rand membedakan sacrifice dengan non-sacrifice dalam teksnya kita dapat melihat, bahwa suatu perbuatan dinamakan sebagai non-sacrifice jika perbuatan itu merupakan suatu tuntutan rasional yang harus dilakukan untuk mencapai interest pribadinya, term yang cocok untuk digunakan dalam definisi tersebut dalam bahasa Indonesia adalah resiko.
Ayn Rand membongkar kenyataan dalam sacrifice yaitu adanya hubungan dengan sistem kuasa. Ketika dalam relasi manusia terjadi sacrifice, maka bagi Ayn Rand telah terjadi suatu bentuk kekuasaan sepihak dimana pihak tersebut telah menjadikan pihak lainnya sebagai objek pemuasan interest dirinya tanpa hubungan timbal balik.[9]
Sacrifice disebutkan oleh Ayn Rand sebagai “a sacrifice is the surrender of a value. Full sacrifice is full surrender of all values…”[10] Oleh karena itu, jika seseorang melakukan suatu perbuatan bukan karena interest pribadi, melainkan karena orang lain ataupun melakukan hal yang secara rasional merugikan dirinya, karena membuat dirinya harus melepas interest besarnya dikatakan sacrifice. Definisi sacrifice atau pengorbanan ini mempermudah kita untuk melakukan penilaian, apakah perbuatan yang kita dan lakukan benar secara moralitas dan etika dari sudut pandang etika objectivism.
Seringkali ketika sang agen moral memilih dan melakukan hal yang bertujuan untuk memenuhi self interestnya, terlihat bahwa dirinya masih membutuhkan orang lain untuk membantunya. Ayn Rand menyadari bahwa hanya ada dua cara untuk mendapatkannya, yaitu dengan menjadi seorang yang memperalat atau mengambil hak orang lain dengan azas paksaan atau dengan menggunakan compromise terhadap orang lain dengan azas sukarela. Dikarenakan Ayn Rand tidak mengijinkan adanya hubungan yang bersifat sacrifice disalah satu pihak, seperti yang diungkapkan pada paragraf sebelumnya, sehingga kita hanya disisakan pada pilihan compromise.
Pemikiran bahwa harus ada yang ditukarkan inilah yang membuat tiap – tiap orang menyadari bahwa dirinya tidak mungkin bisa melakukan segalanya seorang diri, dan tetap membutuhkan orang lain untuk mendapatkan self interestnya. Term ini tidak dapat digunakan untuk menghalalkan perbuatan menindas orang lain dan mendapat keuntungan dari orang tersebut, seperti pada kasus seorang preman yang memaksa orang lain untuk memberikan uang padanya untuk keselamatan orang lain tersebut, hal tersebut dikarenakan memang bukan hak orang lain tersebut untuk disakiti.[11]
Dapat disimpulkan bahwa compromise merupakan hal penting dalam relasi manusia, selain menunjukan bahwa tiap orang memiliki kemampuan dan spesialisasi yang berbeda – beda juga menghargai manusia sebagai individu bebas yang berhak memperoleh penghargaan dari apa yang diusahakannya. Terlihatlah akan muncul permasalahan dalam persoalan menolong orang lain, karena perbuatan menolong, baik secara teoritis ataupun aktual, tidak pernah ada jaminan bahwa orang yang ditolong tersebut mampu membalas kebaikan sang agen moral karena tidak ada suatu hal yang mampu ditukarkan dari orang yang ditolong. Persoalan tersebutlah yang penulis ingin jabarkan dalam paragraf selanjutnya.
Perbuatan menolong orang lain atau helping, merupakan term yang sering dianggap tidak mungkin bisa dilakukan dalam etika objectivism. Sering kali perbuatan menolong orang lain seperti beramal, mengikuti kerja sosial, menghibur orang lain dan lain sebagainya merupakan hal yang dilarang karena anggapan perbuatan tersebut tidak menguntungkan interest pribadi. Ayn Rand memandang bahwa seringkali seseorang melakukan perbuatan menolong orang lain, dan Ayn Rand memandang hal tersebut sebagai bentuk goodwill manusia dalam kehidupan sosialnya. Permasalahan utama yang Ayn Rand ingin angkat dalam persoalan menolong orang lain adalah ada atau tidak adanya kewajiban dan penting atau remehkah untuk menolong orang lain.[12]
Banyak tafsiran yang menganggap bahwa tidak mungkin pertolongan bisa dilakukan dengan tidak adanya suatu perbuatan timbal balik dengan adanya term compromise, sedangkan Ayn Rand sendiri tidak melarang perbuatan menolong orang lain selama tidak mengganggu self interest dan mengandung sacrifice di dalamnya, karena jika ada unsur sacrifice didalamnya maka etika yang dilakukannya menjadi etika altruism. Seperti yang diungkapkan oleh Ayn Rand “The proper method of judging when or whether one should help another person is by reference to one’s own rational self-interest and one’s own hierarchy of values: the time, money or effort one gives or the risk one takes should be proportionate to the value of the person in relation to one’s own happiness.”[13] Oleh karena itu kita dapat melihat celah dimana etika objectivism masih mengijinkan sang agen moral untuk menolong orang lain selama sang agen moral mampu meyakini, memilih serta menanggung resiko yang akan diterima melalui perhitungan rasionalnya.
Dalam kerangka pemikiran Ayn Rand, perbuatan menolong harus berdasarkan pemikiran rasional agar tidak mengganggu interest pribadinya. Hal tersebutlah yang membuat suatu perbuatan moral memiliki nilai dan arti keberhargaan bagi kehidupan manusia, berbeda dengan etika altruis yang berarti tidak memiliki penghargaan pada kehidupan manusia dengan menolong secara gegabah karena tidak berlandaskan nilai tertentu.
Dapat kita ketahui perbuatan menolong dalam pemikiran Ayn Rand tidaklah dilarang, sebab hal tersebut adalah hak setiap agen moral untuk melakukannya selama perbuatan tersebut tidak mengandung sacrifice di dalamnya, dan bukan suatu bentuk kewajiban melainkan resiko dari pilihan sang agen moral untuk melakukannya, karena adanya asumsi saat seseorang menolong pastilah orang tersebut memiliki perhitungan dan skala prioritasnya yang masih berhubungan dengan self interestnya.
Dari semua hal tersebut dapat kita simpulkan, bahwa Ayn Rand menekankan pentingnya etika yang membuat manusia berharga, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupannya. Dirinya sama sekali tidak menyetujui bahwa self intest seseorang harus ataupun boleh dikorbankan untuk kebahagiaan yang lainnya, ataupun bisa dipaksa untuk melakukan suatu kewajiban untuk mengorbankan self interest pribadi. Ayn Rand menyadari bahwa manusia memiliki batasan kemampuannya masing – masing untuk memenuhi self intest masing masing, baik dari segi keterbatasan tempat, waktu, modal, kemampuan pikir dan lain sebagainya, yang pada akhirnya menyebabkan manusia mampu berfikir, bahwa ada cara melakukan Compromise agar tiap individu mampu menukarkan kemampuan demi terwujudnya masing - masing individu tersebut. Compromise ini sering disalahgunakan sebagai alibi untuk tidak menolong orang lain. Pemikiran itu muncul karenakan secara teoritis ataupun praktis seseorang yang ditolong, tidak memiliki apapun untuk ditukarkan, namun kita dapat melihat bahwa perbuatan menolong orang lain itu masih diijinkan dalam kerangka pikir etika Ayn Rand. Secara sederhana kita dapat menganalogikan pemikiran etika objectivism milik Ayn Rand dengan meminjam bentuk relasi antar spesies pada biologi, bahwa relasi yang manusia tidak boleh dilakukan secara simbiosis parasitisme, dan mengijinkan jika didasarkan pada simbiosis mutualisme, namun manusia tidak dilarang untuk melakukan simbiosis komensalisme.
Daftar Bacaan
· Rand,A. (1961). For The New Intellectual, New York: A Signet Book.
· Rand,A. (1982). Philosophy: Who Need it, New York: A Signet Book.
· Rand,A.(1964, Maret). Playboy Interview: Ayn Rand – Candid Conversation With The Fountainhead Of “Objectivism”. Playboy, 35 – 60.
· Rand,A. (1964). Virtue of Selfishness. New York: A Signet Book.
[1] Fieser,J. (2009). Ethics. Diakses melalui http://www.iep.utm.edu/ethics/ pada tanggal 10 Maret 2013, pukul 20.00 WIB.
[2] Rand,A. (1964). Virtue of Selfishness. New York: A Signet Book. hlm. 8.
[3] Ibid., hlm. 21.
[4] Ibid., hlm. 46.
[6] Rand,A. (1961). For The New Intellectual, New York: A Signet Book. hlm. 100.
[7] Ibid., hlm. 114.
[8] Rand,A. (1982). Philosophy: Who Need it, New York: A Signet Book. bab 10.
[9] Rand,A. (1961). Op.Cit., hlm. 58.
[10] Rand,A. (1961). Op.Cit., hlm. 114.
[11] Rand,A. (1964). Op.Cit., hlm 64.
[12] Rand,A. (1964, Maret). Playboy Interview: Ayn Rand – Candid Conversation With The Fountainhead Of “Objectivism”. Playboy.
[13] Rand,A. (1964). Op.Cit., hlm. 41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar