Page

Total Tayangan Halaman

Minggu, 09 Desember 2012

Analisa Pertanyaan Metpen (Martin Heidegger)


Analisa Pertanyaan Dan Refleksi Atas Diam


Pertanyaan Untuk Dianalisa
1.      Apakah kalian mengerti tentang Heidegger?
2.      Kalau tidak mengerti, bagian mana yang tidak mengerti?
3.      Apakah relevan pertanyaan demikian?
4.      Masuk akal tidak pertanyaan-pertanyaan tersebut?

Analisa Keempat Pertanyaan

Jika di asumsikan pertanyaan ke 1 jawabannya adalah tidak, maka kita bisa melanjutkan ke pertanyaan ke 2, dengan menerangkan persoalan mana yang tidak diketahui peserta kuliah. Pertanyaan ke 3 dan ke 4 menjadi relevan dan masuk akal dengan menggunakan anggapan bahwa tugas peserta didik adalah mencari jawaban untuk perkembangan kemampuan intelegensinya, sedangkan tugas pendidik adalah berusaha memberikan jawaban yang terbaik untuk memancing intelegensi peserta didik dan menghasilkan diskusi.

Refleksi

Namun ketika jawaban pada soal ke 1 adalah iya, maka pertanyaan tersirat yang timbul dalam kasus ini adalah, mengapa yang ditanyakan diam saat pertanyaan ke 1 diajukam?

Fenomena “diam” tersebut menunjukan ketidakmungkinan keinginan, kemampuan, dan karakter suatu individu bisa diketahui yang lain jika tidak diaktualisasikan, dalam kasus ini tidak mungkin seseorang bisa mengetahui apakah peserta matakuliah ini mengerti tentang Heidegger, jika  usaha berkomunikasi yang dilakukan dibalas dengan “diam”, dan pada akhirnya hal tersebut bersifat 1 arah.

Tapi menurut penulis ada hal yang lebih dalam yang bisa diangkat dari timbulnya keempat pertanyaan tersebut. Penulis membayangkan adanya kemungkinan pengaruh budaya ataupun tradisi lokal yang menyebabkan bahwa, bertanya jika tidak tahu adalah aktualisasi kebodohan ataupun bisa juga dengan kebiasan sistem pendidikan yang bersifat pedagogi, bukan andragogi, yang membiasakan bahwa pendidik sudah pasti benar, secara hierarkis, sehingga peserta didik tidak perlu lagi mendiskusikan suatu masalah dan cukup menunggu pendidik untuk memberikan jawabannya. Sistem pendidikan yang bersifat interaktif, dua arah merupakan hal yang amat sangat asing dalam kebudayaan kita, belum lagi dengan sebuah imajinasi pemikiran, bahwa kesalahan berpendapat adalah hal yang tabu untuk untuk ditunjukan, oleh karena itu lebih baik diam dari pada menunjukan kesalahan diri sendiri.

Kebiasaan budaya ataupun tradisi tersebutlah yang menyebabkan kita membiasakan diri menggadaikan akal sehat kita dengan akal sekarat dengan alasan kesopanan, ataupun malu menunjukan kesalahan yang kesemuanya berakhir pada terciptanya manusia – manusia penghafal dan bukan menjadi pemikir progresif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar