Page

Total Tayangan Halaman

Selasa, 18 Desember 2012

Albert Camus, The Myths Of Sisyphus


Albert Camus, The Myths Of Sisyphus

Setelah dibuangnya Tuhan dalam perdebatan dalam eksistensialisme, manusia pada akhirnya terpaksa meminum anggur pahit kenyataan, yang diberi lebel absurdisme. Albert Camus memikirkan kehidupan manusia dalam perjuangannya tentang menjalani kehidupan. Albert Camus menjelaskan pemikirannya dalam teks The Myths Of Sisyphus, dimana sang tokoh utama yaitu Sisyphus digambarkan sebagai tokoh absurd yang menyadari ke absurdan kehidupan. Tokoh Sisyphus yang dikutuk untuk membawa batu keatas gunung dan menjatuhkannya lalu mengangkatnya kembali keatas gunung digambarkan sebagai kehidupan manusia.
            Usaha kita mencari makna dalam keabsurdan membuat kehidupan terlalu aneh untuk selalu diperjuangkan, atau dengan kata lain kenapa kita tidak memilih bunuh diri untuk menjawab ketidak bermaknaan dari kehidupan? Dikatakan bahwa absurdisme ini hadir karena adanya kesadaran dan disitulah kita menyadari bahwa kehidupan manusia begitu tragis. If this myth is tragic, that is because its hero is conscious. Where would his torture be, indeed, if at every step the hope of succeeding upheld him? The workman of today works every day in his life at the same tasks, and this fate is no less absurd. But it is tragic only at the rare moments when it becomes conscious.[1]
Kisah tragedi  ini akan menemukan kebahagiaan didalamnya jika disadari itu hadir saat hal absurd itu memunculkan kebahagiaan, Happiness and the absurd are two sons of the same earth. They are inseparable. It would be a mistake to say that happiness necessarily springs from the absurd discovery. It happens as well that the feeling of the absurd springs from happiness.[2]
Ketika kita membahasakan keabsurdan kehidupan ini, kita seharusnya menyadari bahwa absurdisme ini tidak sama dengan nihilisme, karena manusia adalah pelukis yang masih berperan dalam kehidupannya sendiri, yang tiap cat minyaknya menggambar kanvas kehidupan yang mungkin dilukiskannya, dan tiap spektrum dan gradasi warna yang dihasilkan merupakan keindahan yang tertuang dalam kanvas tersebut.
Mungkin kita akan terbersit untuk mengijinkan bunuh diri untuk menyelesaikan persoalan eksistensialisme kehidupan kita sendiri dalam ketidak adanya makna inherent dalam kehidupan, namun dengan kita mengijinkan hal tersebut, kita serupa dengan sang pelukis yang menyerah dalam keabsurdan dan menghentikan goresan kuas kreatif kita dalam kanvas tersebut, atau dengan kata lain, bukan kita berusaha menyelesaikan lukisan tersebut dengan berbagai kemungkinan campuran warna, kita memilih untuk membuang lukisan tersebut.
Semua kumpulan paragraf sebelumnya itu menunjukan, bahwa walaupun begitu absurdnya kehidupan yang kita rasakan sebagai manusia, kita memiliki potensi untuk melampaui keabsurdan yang dilemparkan dimuka kita, dengan tidak memasukkannya Tuhan, sebagai pemberi makna esensial yang secara inheren dalam Being yang disebut manusia, Albert Camus memberikan sebuah alternatif agar manusia dapat mengadvokasi alasan menjalani kehidupan bagi manusia dengan penuh makna. Adovakasi tersebut tidak dengan mencari makna dari luar dirinya, seperti Tuhan, tidak pula dengan menemukan makna dalam kehidupan, mengingat bahwa kehidupan dipandang sumber keabsurdan, tapi dengan hal yang sederhana namun sulit untuk dilakukan, yaitu menciptakan makna.



[1] Kaufmann, W. A. 1975. Existentialism from Dostoevsky to Sartre. (New York: New American Library) hlm. 314
[2]  Ibid. hlm 315                                                            


1 komentar:

  1. Blog yang menarik tentang absurdisme...semoga maju terus... Saya teringat yang ditulis Alber Camus The Stranger, cerita itu memiliki rasa absurdisme yang amat kental, perasaan terputus segenapnya dari orang-orang lain, tidak berdampak, terkucil dan hilangnya makna hidup.

    Saya mencoba menulis blog tentang Albers Camus, semoga anda suka: http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/08/wawancara-dengan-albert.html

    BalasHapus