Albert Camus, The Myths Of Sisyphus
Setelah dibuangnya Tuhan dalam
perdebatan dalam eksistensialisme, manusia pada akhirnya terpaksa meminum
anggur pahit kenyataan, yang diberi lebel absurdisme. Albert Camus memikirkan
kehidupan manusia dalam perjuangannya tentang menjalani kehidupan. Albert Camus
menjelaskan pemikirannya dalam teks The Myths Of Sisyphus, dimana sang tokoh
utama yaitu Sisyphus digambarkan sebagai tokoh absurd yang menyadari ke
absurdan kehidupan. Tokoh Sisyphus yang dikutuk untuk membawa batu keatas
gunung dan menjatuhkannya lalu mengangkatnya kembali keatas gunung digambarkan
sebagai kehidupan manusia.
Usaha kita mencari makna dalam
keabsurdan membuat kehidupan terlalu aneh untuk selalu diperjuangkan, atau
dengan kata lain kenapa kita tidak memilih bunuh diri untuk menjawab ketidak
bermaknaan dari kehidupan? Dikatakan bahwa absurdisme ini hadir karena adanya
kesadaran dan disitulah kita menyadari bahwa kehidupan manusia begitu tragis. If this myth is tragic, that is because its
hero is conscious. Where would his torture be, indeed, if at every step the
hope of succeeding upheld him? The workman of today works every day in his life
at the same tasks, and this fate is no less absurd. But it is tragic only at
the rare moments when it becomes conscious.[1]
Kisah
tragedi ini akan menemukan kebahagiaan
didalamnya jika disadari itu hadir saat hal absurd itu memunculkan kebahagiaan,
Happiness and the absurd are two sons of
the same earth. They are inseparable. It would be a mistake to say that
happiness necessarily springs from the absurd discovery. It happens as well
that the feeling of the absurd springs from happiness.[2]
Ketika
kita membahasakan keabsurdan kehidupan ini, kita seharusnya menyadari bahwa
absurdisme ini tidak sama dengan nihilisme, karena manusia adalah pelukis yang
masih berperan dalam kehidupannya sendiri, yang tiap cat minyaknya menggambar
kanvas kehidupan yang mungkin dilukiskannya, dan tiap spektrum dan gradasi
warna yang dihasilkan merupakan keindahan yang tertuang dalam kanvas tersebut.
Mungkin
kita akan terbersit untuk mengijinkan bunuh diri untuk menyelesaikan persoalan
eksistensialisme kehidupan kita sendiri dalam ketidak adanya makna inherent
dalam kehidupan, namun dengan kita mengijinkan hal tersebut, kita serupa dengan
sang pelukis yang menyerah dalam keabsurdan dan menghentikan goresan kuas
kreatif kita dalam kanvas tersebut, atau dengan kata lain, bukan kita berusaha
menyelesaikan lukisan tersebut dengan berbagai kemungkinan campuran warna, kita
memilih untuk membuang lukisan tersebut.
Semua
kumpulan paragraf sebelumnya itu menunjukan, bahwa walaupun begitu absurdnya
kehidupan yang kita rasakan sebagai manusia, kita memiliki potensi untuk
melampaui keabsurdan yang dilemparkan dimuka kita, dengan tidak memasukkannya
Tuhan, sebagai pemberi makna esensial yang secara inheren dalam Being yang disebut manusia, Albert Camus
memberikan sebuah alternatif agar manusia dapat mengadvokasi alasan menjalani
kehidupan bagi manusia dengan penuh makna. Adovakasi tersebut tidak dengan mencari
makna dari luar dirinya, seperti Tuhan, tidak pula dengan menemukan makna dalam
kehidupan, mengingat bahwa kehidupan dipandang sumber keabsurdan, tapi dengan
hal yang sederhana namun sulit untuk dilakukan, yaitu menciptakan makna.
Blog yang menarik tentang absurdisme...semoga maju terus... Saya teringat yang ditulis Alber Camus The Stranger, cerita itu memiliki rasa absurdisme yang amat kental, perasaan terputus segenapnya dari orang-orang lain, tidak berdampak, terkucil dan hilangnya makna hidup.
BalasHapusSaya mencoba menulis blog tentang Albers Camus, semoga anda suka: http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/08/wawancara-dengan-albert.html