Lilith Dan Kepemilikan Tubuh
Pendahuluan
Agama,
diakui ataupun tidak merupakan metode pembentuk kesadaran manusia dalam proses
kebudayaannya. Perkembangan doktrin agama itu sering dilandaskan pada kisah – kisah
yang belum tentu benar secara historis ataupun benar secara saintis, namun
doktrin tersebut bisa sangat melekat secara sadar ataupun tidak sadar dalam kesadaran
manusia. Agama pulalah yang membangun fondasi kesadaran tentang kebudayaan
patriakal dalam kehidupan manusia.
Lilith, salah satu tema yang bisa
diambil dan berpengaruh dalam kebudayaan patriakal dalam model agama “langit”. Sebagai
sebuah mitos yang terbungkus dalam budaya judaisme yang bisa dianggap sebagai
bentuk alternatif mengapa perempuan menjadi legal untuk di subordinasi oleh
laki – laki karena mengandung kekuatan agama di dalamnya. Bentuk subordinasi
ini merupakan bentuk yang unik dari sudut pandang agama samawi dimana perempuan
yang menuntut kesetaraan adalah bentuk penyelewengan terhadap perintah “langit”.
Pada kali ini penulis akan
mengangkat tema Lilith dalam agama yahudi, yang penulis yakini secara tak sadar
juga mempengaruhi agama samawi selanjutnya, dan membahasnya dengan menggunakan epistemology
milik Kate Millet untuk membongkar persoalan feminisme.
Perihal Lilith
Permasalahan
ada atau tidaknya pasangan adam sebelum Eva, yaitu Lilith dimulai dari
pernyataan dalam kitab genesis dibawah ini
And God said, Let us make man
in our image, after our likeness: and let them have dominion over the fish of
the sea, and over the fowl of the air, and over the cattle, and over all the
earth, and over every creeping thing that creepeth upon the earth. So God
created man in his own image, in the image of God created he him; male and
female created he them. Genesis 1: 26-27
Di
dalam teks tersebut masih dapat ditafsirkan bahwa ada kemungkinan bahwa Tuhan
menciptakan perempuan dengan citra yang serupa dengan dirinya, yang berarti
memungkinkan bahwa perempuan pertama yang diciptakan bisa jadi memiliki
keserupaan dengan pria.
Menurut
kaum Yahudi dari tulisan Rabbi Ben Sira sebelum Eva muncul, Adam sudah memiliki
pasangan bernama Lilith yang juga tercipta dari tanah. Permasalahan muncul
ketika Adam dan Lilith ingin berhubungan seks, Lilith menolak untuk berbaring
di bawah Adam dengan argumen bahwa mereka terbuat dari zat yg sama, yaitu
tanah, sehingga memiliki derajat yang sejajar sehingga tidak pantas Adam
memerintahkan dirinya. [1]Lilith
kemudian kabur ke dekat laut merah, Adam kemudian melaporkan hal ini pada Tuhan
yang akhirnya menugaskan tiga malaikat, yaitu Sanvi, Sansanvi, & Semangelaf
utk menjemput Lilith untuk kembali ke surge, tapi Lilith menolak dijemput tiga
malaikat tersebut.
Dikatakan
karena Lilith membangkang maka Tuhan menciptakan kembali pasangan untuk Adam
dari tulang rusuknya supaya lebih patuh, dan Adam tidak akan mengalami kejadian
yang sama kedua kalinya, dan pasangan tersebut seperti yang kita kenal selama
ini bernama, Eva. [2]
Analisa
Menjadi hal yang menarik bahwa dalam
mitos agama inipun perempuan sudah memiliki tugas essensial menjadi pembantu dan
memiliki posisi di bawah laki – laki, dan bentuk protes terhadap hal tersebut
dianggap oleh agama merupakan hal yang sudah lumrah. Bentuk penolakan opresi untuk
mendapatkan kesetaraan yang dilakukan Lilith terhadap Adam untuk berada
dibawah, secara literal ataupun metaphor, merupakan bentuk kesesatan dan
perlawanan terhadap agama.
Kate Millet, seorang pemikir yang berasal
dari Amerika. Kate Millet merupakan pemikir feminist radikal yang terkenal
melalui karya disertasinya yang berjudul Sexual
Politics. Kate Miller secara tegas melaui karyanya tersebut menentang
bentuk kekuasaan politik yang telah dibangun oleh laki – laki. Menurutnya semua
yang dirasakan perempuan pada masanya, merupakan dampak sistemik dari hasil
karya sistem perpolitikan patriakal yang dibangun selama.
Kate Millet menganalisa dengan
dasar epistemologi kecurigaan dalam literatur – literatur yang diciptakan laki
- laki dan mengatakan bahwa anggapan dan stereotyping
tentang perempuan terjadi di dalam literatur tersebut. Dengan menggunakan konsep
epistemologinya penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam literatur tentang agama
dalam kasus ini mitos Lilith memiliki hubungan dengan agama[3], terutama agama “langit”,
telah terpatri bentuk stereotyping tentang
tugas perempuan, yang telah terjadi semenjak dahulu. Yaitu tugas perempuan adalah
menjadi pembantu laki – laki. Walaupun ada teks yang menunjukan kesalahan laki –
laki dalam ketidakmauan mengakui bahwa ada kesetaraan perempuan dengan laki
laki yang sah secara akal sehat, seperti argumen yang dilakukan Lilith kepada Adam bahwa keduanya
berasal dari sumber zat yang sama, yaitu tanah dan citra Tuhan, tetapi hal
tersebut dibungkus dengan pernyataan bahwa tetap saja perempuan salah dan pada
akhirnya dihukum oleh Tuhan. Selain itu pernyataan bahwa Lilith yang sebenarnya
memiliki tubuhnya sendiri menjadi “berdosa” karena tidak mau menuruti kemauan
Adam. Terlihat bahwa kepemilikan tubuh perempuan atas tubuhnya sendiri akan
menjadi suatu permasalahan yang akan ditentang dan dipermasalahkan dalam pola pikir
pemikiran patriakal, yang tidak ingin keadan suproritasnya terganggu[4].
Teks dan keterangan tentang Lilith ini
menurut penulis menjadi penting karena tidak adanya alternatif teks yang
berbasis agama “langit” yang mampu memberikan penilaian dasar tentang kesalahan
pola pikir patriakal yang kuat.[5] Selain itu adanya teks ini
bisa menjadi pintu masuk, yang selama ini sebenarnya tidak tertutup, terhadap
posisi perempuan dalam ajaran agama “langit”.
[1]
Adam
and Lilith immediately began to fight. She said, ‘I will not lie below,’ and he
said, ‘I will not lie beneath you, but only on top. For you are fit only to be
in the bottom position, while I am to be the superior one.’ Lilith responded,
‘We are equal to each other inasmuch as we were both created from the earth.’
But they would not listen to one another. Alphabet Ben Sira http://jewishchristianlit.com/Topics/Lilith/alphabet.html
[2]And the Lord God caused a deep sleep
to fall upon Adam, and he slept: and he took one of his ribs, and closed up the
flesh instead thereof; And the rib, which the Lord God had taken from
man, made he a woman, and brought her unto the man. -Genesis 2:21-22
[3] Penulis mengambil langkah teks
suci harus mampu didesakralisi, dengan tujuan mampu memberikan alternatif penilaian
dalam kasus ini.
[4] Penulis berspekulasi bahwa hal
inilah yang menyebabkan teks suci tersebut kemudian mengangkat Eva menjadi
contoh perempuan yang lebih baik dibandingkan Lilith, selain kepimilikan
tubuhnya berasal dari laki – laki juga digambarkan bahwa perempuan seperti Eva
adalah sosok yang penurut terhadap Adam
[5] Mengingat bahwa yahudi dalam
sejarah agama “langit” merupakan permulaan sistemik yang pada akhirnya berujung
pada ajaran Kristiani dan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar