Refleksi Tentang Pemikiran Moral Nietzsche
Adam Azano Satrio
Jika kita mencari filsuf yang mempunyai pemikiran yang kontroversial, radikal, frontal, dan ateistik, maka kita akan menemukannya dalam Nietzsche.
Nietzsche sangat menentang nilai-nilai moral yang dikemukakan oleh Kant dan Hegel, Kant mengakui adanya nilai-nilai moral. Pandangannya ini dibangun atas dasar teori rasio praktis yang menunjukkan adanya imperatif kategoris dan atas dasar ketiga postulatnya: kebebasan kehendak, imoralitas jiwa dan adanya Allah. Walaupun ini dibantah oleh Hegel dengan teori dialektikanya dimana Hegel mengangkat seni kedalam Roh Absolut dan moralitas ke dalam roh Obyektif. Namun menurut Nietzche Hegel pun sama saja dengan Kant karena keduanya menyajikan filsafat yang bertujuan untuk membenarkan moralitas. Nietzsche juga menyerang moralitas yang berdasarkan pada nilai-nilai dan sangsi-sangsi ilahi. Moralitas ini berakar pada iman seperti yang diajarkan oleh agama wahyu. Nietzche mengkritik bahwa aliran ini gagal mempertanyakan premis dasarnya, melainkan juga menyerahkan filsafat pada Agama. Ia menyelidiki nilai-nilai moral dengan bertolak dari nilai-nilai seni.
Selain itu Nietzsche juga menggunakan dasar moral yang berbeda secara radikal dengan kebanyan filsuf lainnya yaitu dengan memasukkan kehendak untuk berkuasa. Melalui konsepsinya tentang kehendak untuk berkuasa ini tentu saja tak terbatas hanya pada diri dari manusia itu sendiri sebagai individu, melainkan juga di dalam seluruh realitas dunianya. Oleh karenanya, dalam tatanan ini Nietzsche kemudian menarik satu kesimpulan bahwasanya kehendak untuk berkuasa merupakan sebuah kegairahan global terhadap hidup yang paling dasar yakni tidak datang sebagai daya tunggal melainkan datang sebagai energi-energi vital yang demikian heterogen yang mencakup suasana psikis, gerak fisis (alam), dan seluruh proses ‘menjadi’ dari kosmos itu sendiri.
Dengan kehendak untuk berkuasa itulah menurut Nietzsche manusia tak boleh lagi memandang hidupnya sebagai semata pemberian dari yang Maha memberi jatah, melainkan juga harus dibarengi dengan berbagai tindakan-tindakan esensial yang membuat manusia menjadi sebuah gerak yang dinamis, penuh proses dan sama sekali tak boleh tunduk pada apapun (termasuk Tuhan) yang pada gilirannya akan mematikan daya hidupnya demi mencapai satu tujuan akan kegairahan hidup yang hakiki yakni menjadi manusia unggul. Kehendak untuk berkuasa pada diri manusia ini di mata Nietzsche bisa sedemikian pentingnya karena menurutnya, manusia tanpa memiliki daya kehendak untuk berkuasa cenderung berpotensi menjadi manusia yang lemah, terpinggirkan, serba takut, tanpa daya tending mumpuni dan sebagainya yang pada gilirannya akan memicu terciptanya sosok manusia yang pasrah pada nasib dan menyerahkan hajat hidupnya pada pedoman fiktif-eksternal. Dan inilah yang berbahaya, ketika seorang manusia menyerahkan segala persoalan hidupnya kepada sosok pedoman fiktif-eksternal itu akan dengan sendirinya melahirkan mental asketisme ideal.
Konsep kehendak berkuasa ini merupakan hal yang bersifat paradoksal dalam realitas kehidupan kita sendiri. Jika kita melihat binatang yang kuat memangsa binatang lain yang lemah? Maka kita menyebutnya itu hal yang alamiah dan wajar. Tapi apa yang terjadi jika kita melihat manusia yang kuat menindas manusia yang lemah? Maka kita akan menyebut orang itu manusia yang armoral, dan dianggap memiliki keanehan. Padahal menurut Nietzche, manusia itu hanya menyalurkan mentalitas alamiahnya. Berdasarkan pengamatnnya mental manusia terbagi menjadi dualisme , yang pertama bermental budak. Yaitu orang yang merasa dirinya kecil, baik dikarenakan agama, maupun merasakan tak berdaya jika tak ada orang lain, dan ini biasanya mental kebanyakan orang yang kedua adalah bermental Tuan, yaitu orang yang hebat, mampu menjadi dirinya sendiri tanpa ketakutan akan Otoritas yang ada diatasnya. Karena itu serangan terbesar Nietzsche adalah Tuhan dan Agama, yang dikatakan sebagai penyebab manusia takut menjadi Ubermansch tersebut.
Pada akhirnya Nietszche merubah moral yang kita ketahui seperti pada umumnya seperti kebaikan alturisme menjadi moral yang mementingkan harga diri dan kemampuan dirinya sendiri untuk menjadi Ubermansch, yang dikatakan manusia yang mampu menembus moral budak yang dianut kebanyakan orang dan menjadi manusia yang bermental tuan. Memang tidak salah jika kebanyakan orang menganggap bahwa Nietsczhe itu mengajarkan amoral. Karena jika berdasarkan faham alturisme hal itu tepat, tapi bagi penulis, Nietsczhe tetap memiliki nilai moralnya sendiri hanya berbeda landasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar