Seorang Filsuf Dengan Dua Aliran Yang Berbeda
Oleh: Adam Azano Satrio
Wittgenstein, seorang filsuf bahasa yang tidak hanya mampu menghasilkan karya yang luar biasa, tetapi juga menciptakan dua aliran yang berbeda dalam pemikirannya sendiri, yang pada umumnya hamper tidak ada filsuf yang melakukan hal tersebut. Karya monumentalnya yang pertama adalah Tractatus Logico-Philosophicus, dan dilanjutkan dengan Philosophical Investigation, dimana dirinya mengkritik pemikirannya sendiri dalam Tractatus.
Pada Tractatus Logico-Philosophicus terlihat antusiasme Wittgenstein untuk membentuk suatu sistem bahasa yang sempurna, dimana hanya proposisi yang bermakna sajalah yang bisa dan pantas untuk diucapkan dan perbincaangkan. Proposisi yang bermakna tersebut memiliki kemampuan untuk menggambarkan realitas yang ada di dunia ini secara atomisme logis,dimana suatu proposisi mampu dicacah menjadi suatu kata yang bermakna dan ada representasinya, seperti kata “ayam” yang akan merepresentasikan gambaran ayam itu sendiri, serta mampu diuji secara observasi empiris. Konsekuensi terbesar yang akan diterima adalah proposisi berbau metafisika dan etika akan tidak bisa dikatakan dan tidak diperbincangkan. Sedih, perih, keadilan, jahat, indah, dan cinta tidak dapat dikatakan dan diperbincangkan sebab kata tersebut tidak ada reprensentasinya dalam kehidupan ini. Terlihat secara jelas bahwa Wittgenstein sangat ingin membentuk suatu system bahasa yang sangat sempurna dimana terdapat garis demarkasi yang jelas tentang hal – hal yang bisa dengan yang tidak bias dibicarakan.
Setelah karyanya yang pertama yaitu Tractatus, Wittgenstein tidak menulis karya apa pun sampai ia kembali ke Cambridge pada tahun 1929. Pada masa-masa inilah, Wittgenstein mencoba menyusun secara bertahap karya besarnya yang kedua yaitu Philosophical Investigations dengan dibantu oleh dua orang muridnya yaitu G. Ascombe dan Rush Rhess. Tampaknya, Philosophical Investigations merupakan sebuah koreksi atas karya yang pertama
Dalam Philosophical Investigations, ia menolak terutama tiga hal yang dulu diandaikan begitu saja:
Dalam Philosophical Investigations, ia menolak terutama tiga hal yang dulu diandaikan begitu saja:
1. Bahwa bahasa hanya digunakan untuk menggambarkan hal – hal faktual saja.
2. Bahwa kalimat-kalimat mendapat maknanya dengan cara menggambarkan suatu fakta.
3. Bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna.
Jika bahasa tidak hanya ditugaskan untuk menggambarkan hal - hal faktual saja, maka apa saja tugas bahasa? Wittgenstein menunnjukan bahwa bahasa dalam realitas didunia ini memiliki penggunaan yang luas. Jika saya mengatakan kata “kipas angin” dan kata tersebut mampu untuk merepresentasikan gambaran dari kipas angin, lalu bagaimana dengan kata lain yang digunakan dalam realitas kehidupan ini seperti halo, ataupun maaf? Apakah gambaran yang cocok dengan kata tersebut? Secara sadar Wittgenstein mengakui bahwa dirinya melakukan kesalahan pada karyanya yang pertama. Selama ini dirinya beranggapan bahwa, hanya ada satu cara untuk menggunakan bahasa untuk menunjukan bahwa ada hubungan antara dunia dengan bahasa. Oleh karenanya Wittgenstein memberikan landasan lain dalam penggunaan bahasa yaitu dengan menggunakan “permainan bahasa.”
Lalu apa saja kegunaan bahasa yang ditemukan oleh Wittgenstein?
Giving orders, and acting on them -
Describing an object by its appearance, or by its measurements -
Constructing an object from a description (a drawing) -
Reporting an event -
Speculating about the event -
Forming and testing a hypothesis -
Presenting the results of an experiment in tables and diagrams -
Making up a story; and reading one -
Acting in a play -
Singing rounds -
Guessing riddles -
Cracking a joke; telling one -
Solving a problem in applied arithmetic -
Translating from one language into another -
Requesting, thanking, cursing, greeting, praying.
It is interesting to compare the diversity of the tools of language and of the ways they are used, the diversity of kinds of word and sentence, with what logicians have said about the structure of language.
Wittgenstein menunjukkan bahwa terdapat banyak cara mengenai pemakaian bahasa. Berbagai kata kerja, kata benda dan sebagainya dapat digunakan dengan cara berbeda yang menurut Wittgenstein tidak tak terbatas. Keaneka ragaman ini bukanlah merupakan bahasa yang tetap, tetapi merupakan tipe bahasa baru (pluralisme bahasa), permainan bahasa yang muncul, yang lama menjadi kuno dan dilupakan orang. Di sini istilah permainan bahasa seperti menunjukkan bahwa pengucapan bahasa merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Wittgenstein memberikan contoh - contoh permainan bahasa, Konsep permainan bahasa menunjukan bahwa hakikat makna bahasa adalah masalah penggunaannya dalam kehidupan manusia yang bersifat kompleks, dan tak terbatas.
Pertanyaan selanjutnya yang bisa untuk dikritisi adalah jika dalam karya pertama Wittgenstein mengatakan bahwa bahasa bermakna merupakan kata yang memiliki gambaran secara real dan berdasarkan observasi empiris, maka apa yang menjadi landasan dalam Philosopyhcal Investigation? Bagi Wittgenstein bahasa dalam karyanya ini bisa dikatakan dan diperbincangkan dengan mengikuti “peraturan permainan yang berlaku” yang sama antar individu satu dengan indiviu lainnya. kita asumsikan jika seseorang sedang membahas jiwa, dan ada salah satu individu yang menyamaratakan jiwa sebagai suatu benda yang fisik. Maka pada akhirnya perbincangan ini tidak akan pernah selesai karena mencampur peraturan satu “permaian”, dengan “permainan” lainnya dalam pembahasan tersebut sehingga penggunaan bahasa tersebut telah menjadi “kabur”. Bagi Wittgenstein ini adalah tugas utama dari filsafat yaitu membawa bahasa yang “kabur” sehingga bisa digunakan sehari-hari dengan kegunaannya yang seharusnya, atau dengan analogi dari dirinya yaitu membiarkan lalat untuk keluar dari dalam botol.
Ada hal yang bisa dipetik dari penciptaan Philosophical Investigations, selain kegunaannya secara teoritis. Wittgenstein sebagai filsuf besar memiliki keunikan utama dalam perkembangan pemikirannya. Sangat jarang ada filsuf yang mampu mengembangkan pemikiran yang yang berbeda dengan pemikiran awalnya. Wittgenstein yang pada awalnya berpegang teguh bahwa bahasa bermakna harus dapat merepresentasikan realitas yang mampu di uji secara observasi empiris, dengan lapang dada mengkritik pemikiran awalnya sendiri dalam karya Philosophical Investigations. Ini merupakan suatu contoh yang patut ditiru, bahwa seseorang yang telah menyadari hidupnya untuk bergelut dalam dunia filsafat harus berani berkontemplasi, mengkritik, dan selalu berusaha mencari kebenaran yang sesungguhnya, walaupun hal yang dikritik adalah pemikirannya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar