Tugas Kebudayaan Indonesia
Wayang Orang
Oleh : Adam Azano Satrio
Pendahuluan
Pergelaran wayang orang Bharatha ini, diadakan pada tanggal 7 mei 2011, bertempat di Gedung Bharata Purwa, Jl. Kalilio 15, Senen, Jakarta Pusat. Acara ini dimulai pada jam 21.00 hingga 23.30. pada pementasan ini cerita yang dibawakan adalah Srikandi dan Larasati Kembar. Secara garis besar penulis melihat acara ini bisa dikatakan berhasil, hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya orang yang datang untuk menonton. Tetapi ada beberapa hal yang penulis ingin kritisi ,dengan tujuan untuk berkontribusi dalam membangun kesadaran tentang kebudayaan lokal ,terutama wayang orang, yang menurut pandangan penulis patut dilestarikan dan dikembangkan.
Kritik
Penulis akan memberikan kritik terhadap 3 aspek, yang pertama mengenai permasalahan teknis pementasan, akomodasi penonton, dan antusiasme penonton.
Jika dipandang secara teknis pementasan, dapat terlihat bahwa para anggota Wayang Bharata sangat professional. Hal tersebut dapat diketahui dari setting panggung, pencahayaan, permainan gamelan dan permainan para tokoh wayang. Tetapi yang penulis anggap sebagai kekurangan adalah dari setting suara. penulis mendengarkan sering terjadi feedback pada sound yang digunakan pada pergelaran tersebut. Hal tersebut juga yang bisa menyebabkan para penonton kesulitan untuk mendengar secara jernih perkataan para pemain wayang.
Hal kedua yang saya bahas tentang akomodasi penonton. Bagi penulis ada dua hal yang patut disayangkan, yang pertama pengaturan tempat duduk yang sempit, serta tidak adanya booklet yang menceritakan sinopsis acara. Penulis berpendapat pengaturan kembali tempat duduk merupakan hal yang bisa membantu para penonton, sebab bisa dibayangkan dengan jarak yang sempit antara bangku satu dengan bangku yang ada didepannya bisa menyebabkan penonton yang sedang ada urusan, seperti ingin ke kamar mandi, mengangkat telefon, dan lain sebagainya, bisa bergerak lebih cepat sehingga tidak mengganggu penonton yang lainnya. Kekurangan selanjutnya adalah, tidak adanya booklet berisi sinopsis cerita yang tersedia bagi para penonton. Hal tersebut sangat disayangkan sebab pementasan kali ini tidak menggunakan bahasa Indonesia, melainkan bahasa Jawa, sedangkan tidak semua penonton fasih berbahasa Jawa. Hal tersebut bisa menyebabkan penonton yang awam kebingungan untuk menonton acara tersebut.
Persoalan terakhir adalah permasalahan antusiasme penonton. Walaupun pada awalnya tempat duduk penonton terisi penuh, tetapi pada pertengahan acara tidak sedikit para penonton ,terutama anak muda, yang meninggalkan bangku untuk pulang, atau sekedar bersantai di depan gedung pementasan. Hal tersebut dikarenakan pementasan ini berlangsung hingga malam hari atau kemungkinan terburuk adalah ketidaktertarikan, terutama para pemuda, terhadap kebudayaan bangsa sendiri.
Saran
Menanggapi semua permasalahan yang saya angkat pada bab sebelumnya, baik masalah secara teknis, akomodasi penonton maupun antusiasme penonton. Penulis menyadari bahwa permasalahan ini tidak sesederhana yang terlihat, jika kita ingin mengangkat, dan mempopulerkan kebudayaan lokal. Perlu kerjasama yang kuat dari pemerintah, dan rakyat untuk membangun kembali kebudayaan lokal bangsa kita. Walaupun pagelaran kebudayaan lokal seperti Bharata telah didanai pemerintah, pada kenyataannya masih banyak para seniman wayang yang belum bisa hidup dengan pergelaran wayang. Di sini pemerintah, sebagai yang memiliki kekuasaan, bisa berkerjasama dengan para grup penyiaran acara televisi baik lokal maupun swasta untuk memajukan kebudayaan lokal. Selain itu rakyat seharusnya perlu untuk dibangun kesadarannya untuk lebih mengenal kebudayaan bangsanya sendiri, tapi tidak sekedar teori saja. Harus ada inisiatif dari masyarakat, yang didukung oleh pemerintah, untuk mengikuti dan mengapresiasikan acara tersebut, baik mengajarkan kebudayaan lokal dengan cara menghibur, seperti pada acara “Si Unyil”, atau mengadakan acara apresiasi kebudayan lokal yang gratis.
Selain itu ada sebuah wacana yang harus kita atasi secara bijaksana, yaitu permasalahan globalisasi. Dimana globalisasi itu merupakan pisau bermata dua, dimana satu sisi bisa mempromosikan kebudayaan lokal kita, kepada masyarakat internasional, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menghancurkan kebudayan lokal kita sendiri dengan kebudayaan pop.
Semua saran yang penulis telah tuliskan, tak lebih dari usaha penulis untuk meningkatkan kesadaran kita pada kebudayaan kita sendiri, sebab kebudayaan merupakan identitas yang membedakan manusia dengan hewan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar