Adam Azano Satrio
0906522861
Telaah Kasus Perubahan Lambang
Palang Merah Menjadi Sabit Merah
Bagaimana jika suatu institusi kemanusiaan yang
seharusnya bergerak secara universal membantu para manusia tanpa memandang
apapun itu, baik suku, agama, dan ras, menjadi pertolongan yang akan
memperhatikan agama yang terpampang dalam kartu tanda penduduk?
Bagaimana jika hal tersebut dicetuskan oleh para
pelayan negara, yang seharusnya berfikir menggunakan ayat – ayat konstitusi dan
memakai sudut pandang kenegaraan secara utuh? Mereka membenarkan pola pikir
mereka yang masih menggunakan simbol agama sebagai identitas kebangsaan, yang
sebenarnya dalam demokrasi setiap ayat - ayat Tuhan itu disimpan didalam hati
setiap individu, dan para pelayan tersebut hanya tak lagi mengingat essensi
dirinya sendiri yang bertugas untuk memikirkan warga negaranya secara penuh tak
terbatas dalam agama tertentu.
Pertanyaan diatas merupakan pertanyaan yang muncul dari
kasus studi banding anggota DPR yang ke Denmark dan Turki untuk rencana
perubahan lambang PMI yang berupa palang merah menjadi bulan sabit merah.
Di bawah ini merupakan potongan artikel berita
tersebut :
DPR ke
Luar Negeri, Cari Lambang Palang Merah
Oleh: Marlen Sitompul
nasional - Rabu, 5 September 2012 | 10:59 WIB
INILAH.COM, Jakarta
- Badan Legislatif (Baleg) DPR kembali melakukan perjalanan ke luar negeri,
kali ini ke Denmark dan Turki. Tujuannya, mencari lambang palang merah yang
akan digunakan Indonesia.
Perjalanan yang dikemas
dalam studi banding itu dinilai Koordinator Investigasi dan advokasi FITRA
Uchok Sky Khadafi, terlalu mengada-ngada dan tidak masuk akal. "Masa mau
menentukan lambang palang merah saja, harus berkunjung ke dua negara
tersebut," kata Uchok, di Jakarta, Rabu (5/9/2012).
DPR, kata dia,
semestinya bisa menghemat anggaran dan membuang agenda-agenda yang tidak
penting. Agenda Baleg ke Denmark dan Turki ini pun dinilai hanya untuk
berlibur. "Baleg hanya ingin senang-senang sendiri saja," tegas Uchok.
Menurutnya, studi banding tersebut menelan biaya Rp1,2 miliar. Secara rinci alokasi anggaran ke Denmark, menurut Uchok menghabiskan alokasi anggaran sebesar Rp666,2 juta untuk 10 anggota DPR.
"Jadi, setiap satu anggota dewan akan menghabiskan anggaran sebesar US$6.917 atau sekitar Rp62,2c juta untuk ongkos pesawat yang duduk di kelas eksekutif, dan satuan biaya harian akan menghabiskan anggaran sebesar US$472 atau sekitar Rp4,2 juta per hari," paparnya.
Sedangkan anggaran untuk ke negara Turki, menurut Uchok, menghabiskan Rp636,7 juta untuk 10 anggota DPR, tanpa ada staf, ataupun keikutsertaan keluarga mereka.
"Setiap satu anggota dewan akan menghabiskan anggaran sebesar US$6.641 atau sekitar Rp59,8 juta untuk kelas eksekutif, dan untuk satuan biaya harian akan menghabiskan anggaran sebesar US$365 atau sebesar Rp3,2 juta per hari," jelasnya.
DPR merasa perlu mengunjungi kedua negara itu karena di dunia saat ini ada dua lambang palang merah. Yakni, palang merah (red cross) dan bulan sabit merah (red crescent). Denmark merupakan negara asal lambang palang merah dan Turki negara asal bulan sabit merah. Kepergian DPR ke kedua negara itu nantinya diharapkan bisa membawa oleh-oleh lambang mana yang akan digunakan Indonesia.
Menurutnya, studi banding tersebut menelan biaya Rp1,2 miliar. Secara rinci alokasi anggaran ke Denmark, menurut Uchok menghabiskan alokasi anggaran sebesar Rp666,2 juta untuk 10 anggota DPR.
"Jadi, setiap satu anggota dewan akan menghabiskan anggaran sebesar US$6.917 atau sekitar Rp62,2c juta untuk ongkos pesawat yang duduk di kelas eksekutif, dan satuan biaya harian akan menghabiskan anggaran sebesar US$472 atau sekitar Rp4,2 juta per hari," paparnya.
Sedangkan anggaran untuk ke negara Turki, menurut Uchok, menghabiskan Rp636,7 juta untuk 10 anggota DPR, tanpa ada staf, ataupun keikutsertaan keluarga mereka.
"Setiap satu anggota dewan akan menghabiskan anggaran sebesar US$6.641 atau sekitar Rp59,8 juta untuk kelas eksekutif, dan untuk satuan biaya harian akan menghabiskan anggaran sebesar US$365 atau sebesar Rp3,2 juta per hari," jelasnya.
DPR merasa perlu mengunjungi kedua negara itu karena di dunia saat ini ada dua lambang palang merah. Yakni, palang merah (red cross) dan bulan sabit merah (red crescent). Denmark merupakan negara asal lambang palang merah dan Turki negara asal bulan sabit merah. Kepergian DPR ke kedua negara itu nantinya diharapkan bisa membawa oleh-oleh lambang mana yang akan digunakan Indonesia.
"Ke sana mereka
untuk pemilihan lambang palang merah, karena perdebatan di Baleg tidak
selesai-selesai. Ada yang minta lambang bulan sabit merah dan palang merah,
makanya kita mengecek ke negara asal lambang tersebut," ujar Ketua Baleg
Ignatius Mulyono, Selasa (5/9/2012). [tjs]
Sumber :
Sejarah
Singkat Mengenai Lambang Palang Merah
Dalam
permasalahan tersebut saya melihat bahwa para anggota DPR terutama pada fraksi
PKS tidak dapat melihat permasalahan , atau malah mungkin ingin membangun
masalah, terselubung dalam persoalan tersebut.
Fraksi
PKS beranggapan bahwa penggunaan sabit merah lebih cocok di gunakan di
indonesia sebab 80 % penduduknya beragama muslim. Dengan alasan tersebut
dianggap bahwa logo tersebut pada akhirnya akan lebih mengenai mayoritas
masyarakat.
Sebelum saya melanjutkan permasalahan tersebut saya
ingin menunjukkan 7 Prinsip keberadaan Palang Merah
1. KEMANUSIAAN (Humanity)
Gerakan Palang Merah didirikan berdasarkan keinginan
memberikan pertolongan tanpa membedakan korban terluka di dalam pertempuran,
berupaya dalam kemampuan bangsa dan antar bangsa, mencegah dan mengatasi penderitaan
sesama manusia. Palang Merah menumbuhkan saling pengertian, kerjasama dan
perdamaian abadi bagi sesama manusia.
2. KESAMAAN (Impartiality)
Gerakan ini tidak membuat perbedaan atas dasar
kebangsaan, kesukuan, agama/kepercayaan tingkatan atau pandangan politik.
Tujuannya semata – mata mengurangi penderitaan manusia sesuai dengan
kebutuhannya dan mendahulukan keadaan yang paling parah.
3. KENETRALAN (Neutrality)
Agar senantiasa mendapat kepercayaan dari semua pihak,
gerakan ini tidak boleh memihak atau melibatkan diri dalam pertentangan
politik, kesukuan, agama atau idiologi.
4. KEMANDIRIAN (Independence)
Gerakan ini bersifat mandiri. Perhimpunan Nasional
disamping membantu Pemerintahannya dalam bidang kemanusiaan, juga harus
mentaati peraturan negaranya, harus selalu menjaga otonominya sehingga dapat
bertindak sesuai dengan prinsip – prinsip gerakan ini.
5. KESUKARELAAN (Voluntary Service)
Gerakan ini adalah gerakan pemberi bantuan sukarela,
yang tidak didasari oleh keinginan untuk mencari keuntungan apapun.
6. KESATUAN (Unity)
Di dalam suatu negara hanya ada satu Perhimpunan
Palang Merah yang terbuka untuk semua orang dan melaksanakan tugas kemanusiaan
di seluruh wilayah.
7. KESEMESTAAN (Universality)
Gerakan Palang Merah adalah bersifat semesta. Setiap
perhimpunan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam menolong sesama
manusia.
Menurut sejarahnya, lambang palang merah (red cross) merupakan
sebuah lambang penghormatan bagi negara Switzerland (Swiss), yang merupakan
tempat lahirnya gerakan palang merah internasional. Switzerland merupakan
sebuah negara yang ‘ajaib’ dalam percaturan politik internasional: karena
netralitasnya. Sampai awal abad ke-21, Switzerland bukanlah negara anggota
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Switzerland juga bukan anggota Uni Eropa, dan
memilih tidak bergabung dalam berbagai organisasi internasional lainnya.
Switzerland sebagai konfederasi modern juga tidak pernah dijamah perang (baik
nasional maupun internasional) yang memberikan status spesial Switzerland. bendera
Konfederasi Switzerland sendiri lahir dari bendera perang (war banner), bukan
semata-mata merujuk pada agama tertentu.
Lalu, apa betul-betul tidak ada pengaruh agama?
Tidak untuk menafikan sama sekali, karena Switzerland pernah menjadi tempat
lahirnya aliran agama yang besar, yaitu Reformasi Protestan (dengan berbagai
tokoh, di antaranya Calvin). Saya sendiri belum menemukan bukti definitif bahwa
memang agama sebagai faktor utama yang melatar belakangi munculnya lambang ini,
tapi hanya untuk tidak menyingkirkan sama sekali saja.
Untuk menambahkan, lambang palang merah ini
telah dikenal secara internasional dan diakui hanya sebagai
penghormatan terhadap Switzerland. Berikut hasil Konvensi Jenewa 6 Juli 1906
Mengalihkan lambang kepada lambang lain hanya
akan menambah persoalan — bukan hanya karena solusi yang ditawarkan sebetulnya
tidak menjawab, tapi karena proses peralihan yang tentu tidak mudah — dan
barang pasti akan membutuhkan biaya lebih. Belum lagi kita membicarakan biaya
yang sekarang harus dikeluarkan untuk studi banding.
Kehebatan lain dari lambang palang merah adalah
karena letaknya yang ada di bawah alam sadar (sub-conscious mind), bahwa
ketika kita melihat lambang palang merah, kita tahu apa korelasinya: baik itu
masalah medis, rumah sakit, pertolongan pertama, atau jika dilihat dalam
konteks besar, perlindungan dalam konflik bersenjata. Ketika melihat palang
merah, sudah tertanam dalam benak kita bahwa lambang ini ada kaitannya dengan
upaya kemanusiaan secara universal. Inilah keperkasaan lambang palang merah!
Dengan demikian, seperti yang digalang Palang
Merah Indonesia (PMI), yaitu “1 negara, 1 lambang, 1 gerakan”, maka bagi saya
lambang palang merah masih menjadi lambang terbaik. Bukan karena tendensi
agama, bukan karena mudah; tapi karena universalitas, dan tujuan mulia di
baliknya: universal untuk kemanusiaan.
Keanehan Pola Pikir Dalam
Kehidupan Kenegaraan
Berdasarkan hal diatas tersebut kita dapat mengetahui
bahwa, Palang Merah sudah seharusnya bergerak dalam kenetralan dan kesamaan,
bukan berdasarkan mayoritas suatu agama maupun ras tertentu. Hal tersebut
merupakan logika dasar diciptakannya Palang Merah, dan hal tersebutlah yang
tidak dipelajari oleh para fraksi DPR terutama fraksi PKS.
Dengan berargumen bahwa, lambang palang tersebut sebaiknya
diganti dengan bulan sabit merah, mengingat bahwa negara kita mayoritas muslim
maka secara implisit mengizinkan bahwa lembaga kemanusiaan tersebut
tidak lagi bersifat netral dan universal tetapi menolong agama tertentu yang
mayoritas. Disitulah letak penyakit utama dalam permasalahan kenegaraan
demokratis, yaitu menggabungkan permasalahan privat kedalam permasalahan
publik.
Penulis
berkeyakinan bahwa hal – hal berupa lambang tersebut pasti memiliki maksud
ideologis tersebut. Berdasarkan kesejarahannya sendiri palang merah tidak mau
menggunakan lambang palang seperti yang pada suatu agama tertentu (yaitu salib)
tapi menggunakan lambang palang yang simetris, dikarenakan mereka harus
mempertahankan ideologi mereka untuk membantu semua manusia tanpa batasan
apapun tanpa terkecuali agama. Para perancang undang - undang kita masih tidak
bisa memisahkan dimanakah letak permasalahan yang harus dibahas dalam
permasalahan kemanusiaan. Mereka masih memandang bahwa permasalahan agama
adalah persoalan yang bisa dicampur adukkan di ruang publik negara.
Dalam
teori Emphatic Civilization milik
Jeremy Rifkin, ada tahap evolusi dalam perkembangan empati manusia, yang
pertama adalah empati pada tahap blood
ties atau ikatan darah, dimana garis keturunan yang dekat mengawali rasa
empati kita dan manusia yang lain dan jauh dari ikatan darah kita merupakan
orang asing dalam kehidupan kita. Tahap kedua adalah tahap religious ties atau ikatan agama, pada tahap ini manusia
menciptakan suatu fiksinya sendiri dengan adanya ikatan keberagamaan. Disana
tiap manusia merasa memiliki ikatan dari masing – masing agama yang dianut,
seperti ikatanan antar kristiani, ikatan antara yahudi, ikatan antar muslim,
dan sejenisnya. Berkembangnya konsep kenegaraan dan nasionalisme pada abad
ke-19 meningkatkan suatu tahap empati yang baru yaitu tahap National Identification yang berdasarkan
pada fiksi bahwa kita memiliki ikatan dalam suatu negara sebagai warga negara
satu dan antar lainnya. Hal tersebutlah yang mengijinkan adanya ikatan yang
lebih luas lagi dimana suatu nation
adalah ikatan yang lebih luas pengaruhnya dibandingkan agama. Dan pada
tingkatan akhir adalah rasa empati pada tahap biosphere dimana rasa empati kita terhadap semua mahluk yang berada
di dunia.
Kenapa penulis membawa teori tersebut dalam permasalahan ini?
Karena jika kita memandang teori tersebut kita bukan bergerak maju untuk menuju
nilai empati yang universal, tetapi malah memundurkan pola pemikiran empati
kita. Dengan dirubahnya simbol netral tersebut dengan simbol bulan sabit yang
identik dengan agama tertentu.
Dalam kehidupan kenegaraan demokrasi para anggota dewan tersebut
telah membawa masalah dalam kehidupan bernegara kita. Ide mereka tentang
merubah lambang palang merah menjadi lambang sabit merah yang bertendensi
terhadap agama tertentu, seperti memerintahkan seorang paramedik untuk memprioritaskan
mengecek kartu identitas untuk melihat agama apa yang dimiliki sang korban,
bukan melihat letak trauma yang terdapat dalam tubuh korban dan secara sigap
harus mengeluarkan peluru dalam tubuh sang korban.
Pola pikir aneh tersebutlah yang mengizinkan adanya pengeluaran
dana untuk rancangan hal yang tak masuk akal seperti lebih berani mempersoalkan
bagaimana meneropong rok para siswi untuk mengecek keperawanan dibandingkan
mempersoalkan bagaimana seorang siswi di daerah terpencil bisa tertarik untuk
meneropong rasi bintang di antariksa. Pola pemikiran yang tak bisa memisahkan
ruang privat dan ruang publik tersebutlah yang mengijinkan terjadinya
ketidakberesan dalam kehidupan bernegara kita.
Selain itu jika kita telaah lagi, jika perubahan rancangan
undang undang itu disahkan, berarti nilai negara kita tidak lagi megenal asas
demokrasi yang dimana landasan berfikir kemahslahatan rakyat dan berdasarkan
argumentasi rasional untuk menjaga keamanan dan kenyamanan setiap warga negara
yang membayar pajak kepada negara. Pada rumah perancang undang - undang
tersebut, dimana masalah publik merupakan target utama dalam setiap
permasalahan telah bergeser menjadi mempermasalahkan permasalahan privat. Belum
lagi yang menjadi landasan argumen para anggota DPR tersebut disebabkan
permasalahan agama mayoritas, yang dimana menandakan bahwa negara tidak mampu
melindungi hak para kaum agama minoritas. Argumen yang dibawa para pelayan
masyarakat tersebut disadari ataupun tidak, membawa landasan argumen yang
berasal dari kitab suci, dan secara rasional kita tidak bisa melawan argumen
kitab suci, karena dibuat bukan oleh manusia.
Keanehan pola pikir para perancang undang – undang kita tentang
tanggung jawab negara terutama pembagian permasalahan masalah publik dan
masalah privat. Disaat seorang perancang undang - undang tidak bisa mengetahui
dasar pemikiran negara yang harus bisa bersifat mendukung semua warga negara tanpa
memperdulikan atribut miliknya malah memfokuskan pada kepuasan para mayoritas,
dalam persoalan adalah agama yang kebenarannya hanya bisa ditentukan saat kita
meninggal, pada saat itulah kita telah mengakui bahwa negara tidak lagi dikuasai
rasionalitas melainkan oleh rejim mayoritas, yang mungkin lebih tertarik untuk
membahas persoalan bagaimana cara membuat para perempuan mengenakan pakaian
yang sopan dan tertutup, dibandingkan bagaimana membangun fasilitas untuk sekolah
– sekolah yang berada dikawasan pinggiran papua.
Pada akhirnya penulis beranggapan, Rp 1,2 milyar yang
dikeluarkan oleh para anggota dewan terhormat tersebut, merupakan uang yang
secara sia – sia dikeluarkan oleh negara untuk meneliti tentang permasalahan legalitas
simbol, yang sebenarnya info tersebut dapat diakses melalui internet dengan
dana tidak lebih dari Rp 4.000 per jam, serta dana sebesar Rp 1,2 milyar yang
didapatkan dari pajak warga negara tersebut, bisa digunakan untuk melakukan
penyuluhan tentang bagaimana cara memancing para warga negara bisa membantu
dalam menyumbangkan darahnya dan bantuan sosial secara langsung ataupun
membangun fasilitas kemanusiaan agar setiap warga negara memiliki akses yang
mudah dalam partisipasi masalah kemanusiaan. Serta jika perubahan lambang
tersebut disahkan, maka negara ini sudah dapat dipastikan dikuasai oleh rejim
mayoritas dan kita bukan hanya berjalan ditempat melainkan mengizinkan diri untuk
berjalan mundur dalam proses peradaban global bidang kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar