Page

Total Tayangan Halaman

Minggu, 16 September 2012

Telaah Kasus Perubahan Lambang Palang Merah Menjadi Sabit Merah


Adam Azano Satrio
0906522861

Telaah Kasus Perubahan Lambang Palang Merah Menjadi Sabit Merah



            Bagaimana jika suatu institusi kemanusiaan yang seharusnya bergerak secara universal membantu para manusia tanpa memandang apapun itu, baik suku, agama, dan ras, menjadi pertolongan yang akan memperhatikan agama yang terpampang dalam kartu tanda penduduk?

Bagaimana jika hal tersebut dicetuskan oleh para pelayan negara, yang seharusnya berfikir menggunakan ayat – ayat konstitusi dan memakai sudut pandang kenegaraan secara utuh? Mereka membenarkan pola pikir mereka yang masih menggunakan simbol agama sebagai identitas kebangsaan, yang sebenarnya dalam demokrasi setiap ayat - ayat Tuhan itu disimpan didalam hati setiap individu, dan para pelayan tersebut hanya tak lagi mengingat essensi dirinya sendiri yang bertugas untuk memikirkan warga negaranya secara penuh tak terbatas dalam agama tertentu.

            Pertanyaan diatas merupakan pertanyaan yang muncul dari kasus studi banding anggota DPR yang ke Denmark dan Turki untuk rencana perubahan lambang PMI yang berupa palang merah menjadi bulan sabit merah.

Di bawah ini merupakan potongan artikel berita tersebut :

DPR ke Luar Negeri, Cari Lambang Palang Merah
Oleh: Marlen Sitompul
nasional - Rabu, 5 September 2012 | 10:59 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Badan Legislatif (Baleg) DPR kembali melakukan perjalanan ke luar negeri, kali ini ke Denmark dan Turki. Tujuannya, mencari lambang palang merah yang akan digunakan Indonesia.

Perjalanan yang dikemas dalam studi banding itu dinilai Koordinator Investigasi dan advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi, terlalu mengada-ngada dan tidak masuk akal. "Masa mau menentukan lambang palang merah saja, harus berkunjung ke dua negara tersebut," kata Uchok, di Jakarta, Rabu (5/9/2012).
DPR, kata dia, semestinya bisa menghemat anggaran dan membuang agenda-agenda yang tidak penting. Agenda Baleg ke Denmark dan Turki ini pun dinilai hanya untuk berlibur. "Baleg hanya ingin senang-senang sendiri saja," tegas Uchok.

Menurutnya, studi banding tersebut menelan biaya Rp1,2 miliar. Secara rinci alokasi anggaran ke Denmark, menurut Uchok menghabiskan alokasi anggaran sebesar Rp666,2 juta untuk 10 anggota DPR.

"Jadi, setiap satu anggota dewan akan menghabiskan anggaran sebesar US$6.917 atau sekitar Rp62,2c juta untuk ongkos pesawat yang duduk di kelas eksekutif, dan satuan biaya harian akan menghabiskan anggaran sebesar US$472 atau sekitar Rp4,2 juta per hari," paparnya.

Sedangkan anggaran untuk ke negara Turki, menurut Uchok, menghabiskan Rp636,7 juta untuk 10 anggota DPR, tanpa ada staf, ataupun keikutsertaan keluarga mereka.

"Setiap satu anggota dewan akan menghabiskan anggaran sebesar US$6.641 atau sekitar Rp59,8 juta untuk kelas eksekutif, dan untuk satuan biaya harian akan menghabiskan anggaran sebesar US$365 atau sebesar Rp3,2 juta per hari," jelasnya.

DPR merasa perlu mengunjungi kedua negara itu karena di dunia saat ini ada dua lambang palang merah. Yakni, palang merah (red cross) dan bulan sabit merah (red crescent). Denmark merupakan negara asal lambang palang merah dan Turki negara asal bulan sabit merah. Kepergian DPR ke kedua negara itu nantinya diharapkan bisa membawa oleh-oleh lambang mana yang akan digunakan Indonesia.
"Ke sana mereka untuk pemilihan lambang palang merah, karena perdebatan di Baleg tidak selesai-selesai. Ada yang minta lambang bulan sabit merah dan palang merah, makanya kita mengecek ke negara asal lambang tersebut," ujar Ketua Baleg Ignatius Mulyono, Selasa (5/9/2012). [tjs]
Sumber          :

Sejarah Singkat Mengenai Lambang Palang Merah
Dalam permasalahan tersebut saya melihat bahwa para anggota DPR terutama pada fraksi PKS tidak dapat melihat permasalahan , atau malah mungkin ingin membangun masalah, terselubung dalam persoalan tersebut.
Fraksi PKS beranggapan bahwa penggunaan sabit merah lebih cocok di gunakan di indonesia sebab 80 % penduduknya beragama muslim. Dengan alasan tersebut dianggap bahwa logo tersebut pada akhirnya akan lebih mengenai mayoritas masyarakat.
Sebelum saya melanjutkan permasalahan tersebut saya ingin menunjukkan 7 Prinsip keberadaan Palang Merah

1. KEMANUSIAAN (Humanity)
Gerakan Palang Merah didirikan berdasarkan keinginan memberikan pertolongan tanpa membedakan korban terluka di dalam pertempuran, berupaya dalam kemampuan bangsa dan antar bangsa, mencegah dan mengatasi penderitaan sesama manusia. Palang Merah menumbuhkan saling pengertian, kerjasama dan perdamaian abadi bagi sesama manusia.
2. KESAMAAN (Impartiality)
Gerakan ini tidak membuat perbedaan atas dasar kebangsaan, kesukuan, agama/kepercayaan tingkatan atau pandangan politik. Tujuannya semata – mata mengurangi penderitaan manusia sesuai dengan kebutuhannya dan mendahulukan keadaan yang paling parah.
3. KENETRALAN (Neutrality)
Agar senantiasa mendapat kepercayaan dari semua pihak, gerakan ini tidak boleh memihak atau melibatkan diri dalam pertentangan politik, kesukuan, agama atau idiologi.
4. KEMANDIRIAN (Independence)
Gerakan ini bersifat mandiri. Perhimpunan Nasional disamping membantu Pemerintahannya dalam bidang kemanusiaan, juga harus mentaati peraturan negaranya, harus selalu menjaga otonominya sehingga dapat bertindak sesuai dengan prinsip – prinsip gerakan ini.
5. KESUKARELAAN (Voluntary Service)
Gerakan ini adalah gerakan pemberi bantuan sukarela, yang tidak didasari oleh keinginan untuk mencari keuntungan apapun.
6. KESATUAN (Unity)
Di dalam suatu negara hanya ada satu Perhimpunan Palang Merah yang terbuka untuk semua orang dan melaksanakan tugas kemanusiaan di seluruh wilayah.


7. KESEMESTAAN (Universality)
Gerakan Palang Merah adalah bersifat semesta. Setiap perhimpunan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam menolong sesama manusia.
Menurut sejarahnya, lambang palang merah (red cross) merupakan sebuah lambang penghormatan bagi negara Switzerland (Swiss), yang merupakan tempat lahirnya gerakan palang merah internasional. Switzerland merupakan sebuah negara yang ‘ajaib’ dalam percaturan politik internasional: karena netralitasnya. Sampai awal abad ke-21, Switzerland bukanlah negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Switzerland juga bukan anggota Uni Eropa, dan memilih tidak bergabung dalam berbagai organisasi internasional lainnya. Switzerland sebagai konfederasi modern juga tidak pernah dijamah perang (baik nasional maupun internasional) yang memberikan status spesial Switzerland. bendera Konfederasi Switzerland sendiri lahir dari bendera perang (war banner), bukan semata-mata merujuk pada agama tertentu.
Lalu, apa betul-betul tidak ada pengaruh agama? Tidak untuk menafikan sama sekali, karena Switzerland pernah menjadi tempat lahirnya aliran agama yang besar, yaitu Reformasi Protestan (dengan berbagai tokoh, di antaranya Calvin). Saya sendiri belum menemukan bukti definitif bahwa memang agama sebagai faktor utama yang melatar belakangi munculnya lambang ini, tapi hanya untuk tidak menyingkirkan sama sekali saja.
Untuk menambahkan, lambang palang merah ini telah dikenal secara internasional dan diakui hanya sebagai penghormatan terhadap Switzerland. Berikut hasil Konvensi Jenewa 6 Juli 1906
Mengalihkan lambang kepada lambang lain hanya akan menambah persoalan — bukan hanya karena solusi yang ditawarkan sebetulnya tidak menjawab, tapi karena proses peralihan yang tentu tidak mudah — dan barang pasti akan membutuhkan biaya lebih. Belum lagi kita membicarakan biaya yang sekarang harus dikeluarkan untuk studi banding.
Kehebatan lain dari lambang palang merah adalah karena letaknya yang ada di bawah alam sadar (sub-conscious mind), bahwa ketika kita melihat lambang palang merah, kita tahu apa korelasinya: baik itu masalah medis, rumah sakit, pertolongan pertama, atau jika dilihat dalam konteks besar, perlindungan dalam konflik bersenjata. Ketika melihat palang merah, sudah tertanam dalam benak kita bahwa lambang ini ada kaitannya dengan upaya kemanusiaan secara universal. Inilah keperkasaan lambang palang merah!
Dengan demikian, seperti yang digalang Palang Merah Indonesia (PMI), yaitu “1 negara, 1 lambang, 1 gerakan”, maka bagi saya lambang palang merah masih menjadi lambang terbaik. Bukan karena tendensi agama, bukan karena mudah; tapi karena universalitas, dan tujuan mulia di baliknya: universal untuk kemanusiaan.

Keanehan Pola Pikir Dalam Kehidupan Kenegaraan
Berdasarkan hal diatas tersebut kita dapat mengetahui bahwa, Palang Merah sudah seharusnya bergerak dalam kenetralan dan kesamaan, bukan berdasarkan mayoritas suatu agama maupun ras tertentu. Hal tersebut merupakan logika dasar diciptakannya Palang Merah, dan hal tersebutlah yang tidak dipelajari oleh para fraksi DPR terutama fraksi PKS.
Dengan berargumen bahwa, lambang palang tersebut sebaiknya diganti dengan bulan sabit merah, mengingat bahwa negara kita mayoritas muslim maka secara implisit mengizinkan bahwa lembaga kemanusiaan tersebut tidak lagi bersifat netral dan universal tetapi menolong agama tertentu yang mayoritas. Disitulah letak penyakit utama dalam permasalahan kenegaraan demokratis, yaitu menggabungkan permasalahan privat kedalam permasalahan publik.
Penulis berkeyakinan bahwa hal – hal berupa lambang tersebut pasti memiliki maksud ideologis tersebut. Berdasarkan kesejarahannya sendiri palang merah tidak mau menggunakan lambang palang seperti yang pada suatu agama tertentu (yaitu salib) tapi menggunakan lambang palang yang simetris, dikarenakan mereka harus mempertahankan ideologi mereka untuk membantu semua manusia tanpa batasan apapun tanpa terkecuali agama. Para perancang undang - undang kita masih tidak bisa memisahkan dimanakah letak permasalahan yang harus dibahas dalam permasalahan kemanusiaan. Mereka masih memandang bahwa permasalahan agama adalah persoalan yang bisa dicampur adukkan di ruang publik negara.
Dalam teori Emphatic Civilization milik Jeremy Rifkin, ada tahap evolusi dalam perkembangan empati manusia, yang pertama adalah empati pada tahap blood ties atau ikatan darah, dimana garis keturunan yang dekat mengawali rasa empati kita dan manusia yang lain dan jauh dari ikatan darah kita merupakan orang asing dalam kehidupan kita. Tahap kedua adalah tahap religious ties atau ikatan agama, pada tahap ini manusia menciptakan suatu fiksinya sendiri dengan adanya ikatan keberagamaan. Disana tiap manusia merasa memiliki ikatan dari masing – masing agama yang dianut, seperti ikatanan antar kristiani, ikatan antara yahudi, ikatan antar muslim, dan sejenisnya. Berkembangnya konsep kenegaraan dan nasionalisme pada abad ke-19 meningkatkan suatu tahap empati yang baru yaitu tahap National Identification yang berdasarkan pada fiksi bahwa kita memiliki ikatan dalam suatu negara sebagai warga negara satu dan antar lainnya. Hal tersebutlah yang mengijinkan adanya ikatan yang lebih luas lagi dimana suatu nation adalah ikatan yang lebih luas pengaruhnya dibandingkan agama. Dan pada tingkatan akhir adalah rasa empati pada tahap biosphere dimana rasa empati kita terhadap semua mahluk yang berada di dunia.
Kenapa penulis membawa teori tersebut dalam permasalahan ini? Karena jika kita memandang teori tersebut kita bukan bergerak maju untuk menuju nilai empati yang universal, tetapi malah memundurkan pola pemikiran empati kita. Dengan dirubahnya simbol netral tersebut dengan simbol bulan sabit yang identik dengan agama tertentu.
Dalam kehidupan kenegaraan demokrasi para anggota dewan tersebut telah membawa masalah dalam kehidupan bernegara kita. Ide mereka tentang merubah lambang palang merah menjadi lambang sabit merah yang bertendensi terhadap agama tertentu, seperti memerintahkan seorang paramedik untuk memprioritaskan mengecek kartu identitas untuk melihat agama apa yang dimiliki sang korban, bukan melihat letak trauma yang terdapat dalam tubuh korban dan secara sigap harus mengeluarkan peluru dalam tubuh sang korban.
Pola pikir aneh tersebutlah yang mengizinkan adanya pengeluaran dana untuk rancangan hal yang tak masuk akal seperti lebih berani mempersoalkan bagaimana meneropong rok para siswi untuk mengecek keperawanan dibandingkan mempersoalkan bagaimana seorang siswi di daerah terpencil bisa tertarik untuk meneropong rasi bintang di antariksa. Pola pemikiran yang tak bisa memisahkan ruang privat dan ruang publik tersebutlah yang mengijinkan terjadinya ketidakberesan dalam kehidupan bernegara kita.
Selain itu jika kita telaah lagi, jika perubahan rancangan undang undang itu disahkan, berarti nilai negara kita tidak lagi megenal asas demokrasi yang dimana landasan berfikir kemahslahatan rakyat dan berdasarkan argumentasi rasional untuk menjaga keamanan dan kenyamanan setiap warga negara yang membayar pajak kepada negara. Pada rumah perancang undang - undang tersebut, dimana masalah publik merupakan target utama dalam setiap permasalahan telah bergeser menjadi mempermasalahkan permasalahan privat. Belum lagi yang menjadi landasan argumen para anggota DPR tersebut disebabkan permasalahan agama mayoritas, yang dimana menandakan bahwa negara tidak mampu melindungi hak para kaum agama minoritas. Argumen yang dibawa para pelayan masyarakat tersebut disadari ataupun tidak, membawa landasan argumen yang berasal dari kitab suci, dan secara rasional kita tidak bisa melawan argumen kitab suci, karena dibuat bukan oleh manusia.
Keanehan pola pikir para perancang undang – undang kita tentang tanggung jawab negara terutama pembagian permasalahan masalah publik dan masalah privat. Disaat seorang perancang undang - undang tidak bisa mengetahui dasar pemikiran negara yang harus bisa bersifat mendukung semua warga negara tanpa memperdulikan atribut miliknya malah memfokuskan pada kepuasan para mayoritas, dalam persoalan adalah agama yang kebenarannya hanya bisa ditentukan saat kita meninggal, pada saat itulah kita telah mengakui bahwa negara tidak lagi dikuasai rasionalitas melainkan oleh rejim mayoritas, yang mungkin lebih tertarik untuk membahas persoalan bagaimana cara membuat para perempuan mengenakan pakaian yang sopan dan tertutup, dibandingkan bagaimana membangun fasilitas untuk sekolah – sekolah yang berada dikawasan pinggiran papua.
Pada akhirnya penulis beranggapan, Rp 1,2 milyar yang dikeluarkan oleh para anggota dewan terhormat tersebut, merupakan uang yang secara sia – sia dikeluarkan oleh negara untuk meneliti tentang permasalahan legalitas simbol, yang sebenarnya info tersebut dapat diakses melalui internet dengan dana tidak lebih dari Rp 4.000 per jam, serta dana sebesar Rp 1,2 milyar yang didapatkan dari pajak warga negara tersebut, bisa digunakan untuk melakukan penyuluhan tentang bagaimana cara memancing para warga negara bisa membantu dalam menyumbangkan darahnya dan bantuan sosial secara langsung ataupun membangun fasilitas kemanusiaan agar setiap warga negara memiliki akses yang mudah dalam partisipasi masalah kemanusiaan. Serta jika perubahan lambang tersebut disahkan, maka negara ini sudah dapat dipastikan dikuasai oleh rejim mayoritas dan kita bukan hanya berjalan ditempat melainkan mengizinkan diri untuk berjalan mundur dalam proses peradaban global bidang kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar