Page

Total Tayangan Halaman

Selasa, 27 Desember 2011

Politik Estetika Jacques Rancière

Politik Estetika Jacques Rancière
Oleh Adam Azano Satrio, 0906522861
Rancière dilahirkan di Aljeria pada tahun 1940. Ia dikenal sebagai murid Althusser dan menulis bersama Althusser sebuah buku yang hingga kini sangat terkenal dan berpengaruh dalam pemikiran Marxist Reading Capital (1965). Namun demikian, setelah peristiwa Mei 1968, Rancière berpisah dengan gurunya, ia bahkan menerbitkan sebuah esai pada tahun 1969 yang melancarkan kritik keras terhadap pemikiran Althusser. Setelah berpisah dari Althusser, Rancière kemudian bergabung dengan semacam organisasi mahasiswa-pekerja berhaluan Maois yang membuat dia mondar-mandir antara universitas dan pabrik. Pada tahun 1975 ia membantu mendirikan sebuah Jurnal bernama Rèvoltes Logiques. Dalam periode antara akhir 70’an hingga awal 80’an ia menerbitkan karya-karya yang kemudian berpengaruh besar seperti The Night of Labor (1981) dan The Philosopher and His Poor (1983). Rancière mengajar di University of Paris VIII dari tahun 1969 hingga tahun 2000. Ia mengepalai Chairs of Aesthetic and Politics dari tahun 1990 hingga pensiun di Universitas itu.
Ia membagi filsafat politik dominan yang berkembang dalam sejarah filsafat di barat ke dalam tiga jenis yakni ‘archipolitics’, ‘metapolitics’ dan ‘parapolitics’. Ketiganya adalah dijelaskan Rancière sebagai berikut:
Pertama, Archipolitics adalah model filsafat politik yang dimulai oleh Plato. Di dalam Archipolitics ‘yang politis’ hancur karena di dalamnya tidak ada kesetaraan. Yang Politis tidak muncul karena setiap orang diposisikan pada sebuah tempat dan posisi yang ‘diharapkan’ ketimbang bergerak untuk mencapai kesetaraan.Archipolitics menyusun dan menata setiap orang dalam tembok yang rugid. Slavoj Zizek menafsirkan archipolitics Rancière dengan menyimpulkan karakter archipolitics sebagai: ruang sosial yang homogen dan terstruktur secara organis yang tidak memungkinkan munculnya ‘yang politis’.
kedua, parapolitics. Parapolitics mendapatkan pendasarannya dari Aristoteles yang dipandang sedikit lebih ‘demokratis’ ketimbang Plato. Di dalam parapolitics, politik dipandang sebagai persoalan estetika: politik adalah percakapan dan penampilan atau pemunculan dalam ruang publik. Di titik ini, parapolitics boleh dikatakan adalah bentuk dari depolitisasi politik karena konflik dalam politik diterima tetapi untuk dengan segera direformulasikan ke dalam bentuk-bentuk yang lebih lembek seperti kompetisi dalam, konsensus dan representatif. Dalam kepolitikan kontemporer semua bentuk-bentuk kepolitikan yang berbasis pada pandangan kontrak dan deliberasi (Rawls dan Habermas) merupakan kelanjutan dari parapolitics.
ketiga, metapolitics yang berakar dalam pikiran Marxis. Menurut Rancière, metapolitics pada dasarnya adalah bentuk pengingkaran terhadap ‘yang politis’ karena kebenaran akan politik sering ditempatkan atau dicari di tempat lain ‘di luar sana’, jauh melampaui politik. Kita mengetahui bahwa menurut Marxist seluruh relasi politik tidak lebih dari sekadar refleksi dari kepentingan dan relasi-relasi dalam mode produksi. Dengan itu politik bukanlah perkara utama, ia hanya merupakan etalase saja dari kepentingan relasi produksi dominan.
Rancière melakukan penelitian dengan tujuan membangun teori tandingan dalam filsafat politik. Dirinya meneliti bagaimana kehidupan para pekerja secara empiris. Dari penelitian itu ia menemukan bahwa kebanyakan pekerja tidak terlalu banyak mengeluhkan kesulitan hidup karena alasan-alasan materi tetapi lebih pada soal kualitas hidup yang rendah akibat ketatnya hirarkhi yang dibentuk oleh sosial. Dari penelitian ini lahirlah kesimpulannya yang terkenal:
Perhaps trully dangereous classes were not so much the uncivilized one thought to undermine society from below but rather the migrants who move at the borders between class –individuals and groups who developt capabilities of no direct use for the improvement of their material lives, and which might in fact make them despise material concern.
Menurut Rancière, kelas yang paling radikal bukanlah kelas yang menginginkan adanya perubahan yang mutlak dalam hirarki social, namun justru kelas yang berada dalam situasi atau posisi ‘migrasi’, kelas yang berada dalam wilayah perbatasan yakni mereka yang memiliki ideal yang melampaui batasan-batasan materialnya.
Apa yang dimaksud Rancière dengan migrasi? Migrasi adalah gerak setiap subyek untuk melampaui batasan-batasan seperti social maupun ekonomi dan kebudayaan yang menempatkannya pada posisi yang statis tertentu. Dari pandangan ini kita mendapatkan keterangan, bahwa percobaan untuk mengubah keadaan, tidak dapat dilakukan melalui penolakan karena situasi. Tembok dan hirarki sosial tidak dapat dilampaui dengan melewan suatu kebudayaan, melainkan harus dengan sebuah perlintasan kebudayaan. Praktik kegiatan kebudayaan yang dilakukan kelas pekerja untuk melintasi hirarki sosial.
Pertanyaan yang muncul di sini adalah, apa yang memungkinkan kelas pekerja itu melintasi dan mendobrak struktur atau hirarki sosialnya? Untuk menjawab pertanyaan ini kita akan tiba pada asumsi antropologis Rancière. Rancière mengatakan bahwa the proletarian of 1830’s were people seeking to constitutes themselves as speaking beings, as thinking being in their own right.
Dengan demikian asumsi dasar yang dipergunakannya untuk mengukuhkan kemampuan menggeser tembok yang dibangun Plato sungguh sangat sederhana, yaitu setiap orang mampu berfikir dan berbahasa! Pikiran mampu melelehkan segala regulasi dan menantang segala bentuk klasifikasi sosial. Berfikir berarti menghancurkan setiap modus distribusi kelas, tempat dan norma-norma. Berfikir mungkinkan terjadinya the disturbances of the speaker and disruption of the community.

Bagian yang paling unik dan krusial dalam pemikiran Rancière pada akhirnya adalah pada soal sejauh mana ‘yang politis’ sekaligus ‘yang estetis’. Untuk memahami ini petikan kesimpulan di bawah ini memberikan gambaran yang jelas mengenai kesatuan estetika dan yang politis:
A worker who had never learned how to write and yet tried to compose verses to suit the taste of his times was perhaps more of a danger to the prevailing ideological order than a worker who performed revolutionary songs.
Seorang anggota kelas pekerja yang belajar bagaimana menulis dan menyusun sebuah syair yang cocok untuk jamannya barangkali jauh lebih mengancam keutuhan tatanan ideologis ketimbang mereka yang menyanyikan lagu-lagu revlusioner? Apa maksudnya.? Untuk memahami ini kita kembali mesti memahami makna ‘yang politis’ dan migrasi dalam Rancière.
Apabila ‘yang politis’ adalah interupsi kepada tembok dan distribusi sensibilitas, maka jelas tujuan dari ‘yang politis’ yang pertama adalah perubahan pada posisi hirarki suatu tatanan, Dengan demikian di sini yang dipentingkan adalah ‘gerak’ atau migrasi dari status sosial (buruh atau borjuis misalnya) ke status sosial lainnya sambil menghancurkan tembok dan hirarki sosial dalam rezim sensibilitas itu.
Seorang buruh yang membaca dan menyusun sebuah syair, barangkali bukanlah pekerja dengan obsesi mengenai pembalikan struktur kapitalis, tetapi justru melalui kegiatan itu ia sebenarnya telah bergerak melintasi struktur dan ketetapan yang semula digariskan oleh standar ideologi kapitalis. Dengan demikian, dalam proses kegiatan estetik itu buruh menerobos ‘tatanana higienis’ yang diciptakan oleh sistem untuk menempatkan dia dalam posisinya. Dengan ini ia menghapuskan ‘kutukan Platonis’ awal bahwa ‘kelas pekerja’ hanya patut bekerja pada tempatnya, sementara urusan estetika dikerjakan oleh para bijak di singgasananya.
Di titik ini sebenarnya kita menemukan arus ganda dalam pandangan Rancière mengenai ‘yang politis’ sebagai ‘yang estetis’ yakni pertama, arus yang ditelusuri melalui jalur subyeknya (buruh yang menulis puisi) dan kedua, melalui keseniannya itu sendiri (puisinya). Sebagai contoh kita bisa membandingkan misalnya orang seperti Wiji Thukul sebagai subyeknya di satu sisi dan Syair Chairil Anwar di sisi yang lain.
Dalam sudut pandang Rancière, keduanya bisa disebut sebagai ‘revolusioner’. Seorang Wiji Thukul disebut revolusioner karena sebagai seorang buruh ia membaca filsafat dan karya sastra yang berada di luar ‘kelasnya’ bukan karena sikap politiknya yang anti kapitalis. Di sini aktivitas estetiknya melampaui kedudukan sosialnya dalam rezim tembok. Sikap politiknya tidak menggeser suatu rezim hirarkhi apapun, tetapi aktivitas estetiknya secara faktual dan langsung telah menerobos tembok dan hirarkhi yang dibangun oleh elitisme kebudayaan borjuis ataupun feodal di Indonesia. Di titik ini Thukul adalah seorang ‘migran’, ia beranjak dari situasi dan posisi kelas yang disediakan oleh tatanan kepadanya.

Di sisi yang lain, pada Chairil Anwar, aspek revolusionernya tidak terletak pada dirinya selaku subyek tapi pada karya-karyanya.
Aspek estetiknya mampu melintasi batasan dan tembok sosial. Puisi Chairil adalah estetika borjuis tetapi ditulis dengan bahasa sedemikian rupa hingga mampu diakses dan dihayati oleh beragam kelas sekaligus. Dengan kata lain, puisi Chairil disebut revolusioner karena ia memberikan kesempatan ‘migrasi’, ia menghapus tembok termasuk menghapus eksistensi pengarangnya sendiri. Persis sebagaimana ketika Flaubert menerbitkan Madame Bovary. Di sini Sastra semacam puisi Chairil dan Flaubert misalnya menghadirkan semacam kesempatan kesetaraan karena ia menghancurkan seluruh hirarkhi representasi sehingga dengan itu mereka mengukuhkan suatu komunitas pembaca sebagai komunitas yang tanpa embel-embel legitimasi, sebuah komunitas yang terbentuk semata-mata karena sirkulasi acak dari suatu tulisan. Di titik ini semua kesenian yang sedemikian rupa tampil dan berhasil menghancurkan rezim representasi ini memiliki kesamaan simteris dengan tujuan yang politis yakni kesetaraan. Dalam kesetaraan ini ‘yang estetis’ sekaligus ‘yang politis’.
Pada akhirnya, dari dua contoh ini kita kemudian bisa memahami apa yang dimaksud revolusi estetika di dalam Rancière. Revolusi Estetika adalah setiap guncangan pada seni yang telah didefinisikan sebagai sebuah kerangka tindakan yang sistematis, guncangan terhadap seluruh hirarkhi konsepsi dan sensibilitas.
In this sense, the aesthetic revolution is an extension to infinity of the realm language, of poetry. It is the affirmation that poems are everywhere, that painting are everywhere. So, it is also the development of a whole series of forms of perception which allow us to see the beautiful everywhere.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar