Page

Total Tayangan Halaman

Kamis, 18 April 2013

Uts Paradigma Feminisme


Uts Paradigma Feminisme
1.
Filsafat sebagai “ibu” yang melahirkan seluruh pengetahuan yang telah ada di dunia, merupakan pengetahuan yang seringkali dianggap sulit. Hal tersebut dikarenakan posisinya yang berada diantara dua sisi, yaitu kepastian metodologi milik sains dan kepastian dogma agama. Tidak sedikit orang yang salah mengartikan apa itu filsafat dan menyinonimkannya menjadi sebuah nasihat semata. Kesalahpahaman tersebut terjadi dikarenakan ketidakpahaman, bahwa suatu hal yang dikaji mampu dianggap permasalahan filosofis jika hal tersebut dibahas dalam pemetaan tertentu. Pemetaan tersebut sering dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi merupakan wilayah filsafat yang berhubungan dengan persoalan Ada. Persoalan Ada tersebut tidak selalu harus berhubungan dengan hal yang bersifat kuantitatif fisik yang harus bisa dihitung, diukur, dan dipersepsi, karena jika suatu hal yang Ada itu terbatas dengan hal tersebut, maka kita terpaksa tidak bisa membahas suatu permasalahan yang bersifat abstrak. Hal seperti kebebasan, kekuasaan, keadilan, Tuhan, jiwa, psikologi, pemikiran dan hal sejenis lainnya menjadi tidak relevan untuk dibahas, karena hal tersebut tidak bersifat fisik. Oleh karena itu filsafat dengan pemetaan dalam bidang ontologi mengijinkan adanya pengajian hal nonfisik dalam wilayah yang bernama metafisik. Dalam wilayah tersebut setiap orang akan diijinkan berspekulasi dengan rasional dalam hal metafisik, seperti permasalahan keadilan, ideologi, psikologi, pertarungan kelas, dengan hal lain sebagainya. Jika secara singkat ontologi dapat diungkapkan dalam pertanyan “what is that?
Epistemologi merupakan wilayah yang membahas bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu? Dalam wilayah ini, sebuah pengetahuan akan diuji tentang asal muasalnya, masukakalannya, dan keabsahannya. Secara garis besar sejarah epistemologi terbagi dalam dua aliran yaitu empirisme dan rasionalisme, dimana empirisme meyakini bahwa pengetahuan hanya dapat diakses melalui persepsi dan sentimen indirawi, karena pengetahuan berasal dari luar manusia, sedangkan rasionalisme berkeyakinan bahwa pengetahuan cukup diakses dari pemikiran rasional manusia karena manusia sejak hadir di dunia memiliki sebuah ide akan pengetahuan yang bersifat bawaan dalam pemikirannya dan persoalan yang mungkin tersisa adalah persoalan cara mengeluarkan ide tersebut. Dalam wilayah ini seringkali disandingkan dengan logika, karena pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan harus bersifat konsisten dan membutuhkan kerangka untuk membangun argumennya. Oleh karena itu epistemologi dapat disederhanakan dengan pertanyaan “how we know that?
Wilayah terakhir adalah aksiologi. Aksiologi merupakan persoalan kebernilaian, dalam artian non- kuantitatif seperti sains, yang membahas tentang bagaimana manusia dapat mengetahui dan bertindak dengan nilai tersebut. Wilayah tersebut sering dibagi menjadi dua sisi yaitu etika dan estetika, etika sendiri membahas persoalan tentang moral dalam baik dan buruk suatu perbuatan, dan estetika membahas persoalan keadaan yang dirasakan seseorang ketika membahas dan menemukan hal yang mampu menggerakan “emosi” dan seringkali lebih diidentikan dengan persoalan sensasi yang dirasakan jika mengalami ataupun merasakan hal luar biasa, seperti keindahan, kesedihan, kekaguman, dan hal lainnya yang sejenis. Hal ini berujung pada kesimpulan bahwa wilayah aksiologi mampu diartikan menjadi, “is there any value in that?
Paragraf diatas mengijinkan kita untuk menyimpulkan bahwa ada tiga wilayah dimana jika ada suatu permasalahan maka hal tersebut mampu dikatakan dan diperbincangkan sebagai hal filosofis jika menyangkut ketiga persoalan tersebut dan dapat dipermudah dengan menanyakan dan berspekulasi dengan pertanyaan “What is that? How we know that? Is there any value in that?” Selain hal tersebut banyak cabang – cabang pengetahuan yang dihasilkan oleh filsafat, seperti filsafat ilmu, filsafat ekonomi, filsafat ideologi, feminisme dan lain sebagainya.
2.
Terdapat banyak pemikir filsafat feminist yang mengisukan hal – hal yang berbeda tentang perempuan. Permasalahan – permasalahan tersebut meliputi persoalan kesetaraan dalam kesempatan, seksualitas, ketubuhan, psikologi, ekonomi, kultur, dan lain sebagainya. Banyaknya isu perempuan ini menghasilkan banyaknya aliran pemikiran dalam paradigma feminisme. Seperti feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme psikoanalisa, dan lain sebagainya. Tiap – tiap pemikir dalam wilayahnya masing – masing menganalisa masalah yang dialami perempuan melalui ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang berbeda satu sama lainnya. Pada kesempatan kali ini penulis akan menjabarkan tiga pemikir feminisme yaitu Betty Friedan, Kate Millet dan Juliet Mitchell melalui pemetaan berdasarkan ontologi, epistemologi dan aksiologi untuk mengetahui pemikiran dari ketiga filsuf tersebut.
Betty Friedan merupakan pemikir feminisme liberal asal Amerika yang dikenal melalui karyanya yang berjudul Feminine Mystique. Dalam karyanya tersebut betty friedan menemukan fakta unik tentang keadaan psikologis yang dirasakan oleh perempuan yang berumah tangga di daerah suburban. Banyak perempuan yang hidup sebagai ibu rumah tangga yang merasakan bahwa dirinya mengalami ketidakpuasan, walaupun perempuan tersebut telah diberikan akses pendidikan dan keadaan ekonomi yang layak.
Keadaan tersebut dibahasakan sebagai “the problem that has no name” dimana letak ontologinya terlihat sebagai persoalan psikologikal. Dimana dalam alam bawah sadar perempuan telah diisi anggapan bahwa mereka selalu dianggap bernilai dan berguna jika menjadi perempuan yang bisa mengurusi rumah tangga, halus perbuatannya dan pandangan umum lainnnya tentang perempuan. Pemikiran  ini muncul atas fenomena para perempuan di Amerika pada saat itu yang berpikiran untuk memasuki ranah akademis universitas dengan tujuan mencari calon suami bukan karena keinginan pengembangan diri dalam bidang intelektual. Hal tersebut juga diperparah atas dari kontribusi media massa yang melakukan stereotyping tentang bagaimana perempuan yang diidamkan dan berguna dimasyarakat, yang notaben penulis dan editornya adalah laki – laki, sebagai “American Dream” untuk perempuan.
Betty Friedan menggunakan dasar epistemologi dengan mengkritik pemikiran Sigmund Freud tentang “Penis Envy” dimana perempuan, karena tidak memiliki penis, menjadi inferior dibandingkan laki – laki. Hal tersebut dianggap Betty Frieden sebagai penyebab terjadinya proses tersebut, namun katalisator kenapa ajaran psikoanalisa Sigmund Freud menjadi kuat dalam pemikiran Amerika dikarenakan pada saat itu kontribusi media massa yang menjadikan ajaran tersebut menjadi terkenal. Disinilah terlihat bahwa pemitosan tentang perempuan, yang pasti inferior karena pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud, tidak mungkin bisa memperoleh kemampuan untuk berkembang melebihi laki – laki, kecuali sebagai seorang istri atau ibu rumah tangga.
Dalam wilah aksiologi ranah etika, Betty Friedan yakin bahwa perempuan dan laki laki memiliki kemampuan yang sama untuk bisa saling bersaing tanpa perlu melihat jenis kelamin, sehingga Equality secara individual merupakan hal yang terpenting untuk bisa dikejar oleh perempuan. Etika ini pada akhirnya akan berujung pada kesadaran bahwa tidak boleh adanya suatu diskriminasi akses, kesempatan, dan pemikiran untuk perempuan dalam usahanya mencapai pencapaian kualitas diri yang paripurna.
Pemikir selanjutnya adalah Kate Millet, seorang pemikir yang juga berasal dari Amerika. Kate Millet merupakan pemikir feminist radikal yang terkenal melalui karya disertasinya yang berjudul Sexual Politics. Kate Miller secara tegas melaui karyanya tersebut menentang bentuk kekuasaan politik yang telah dibangun oleh laki – laki. Menurutnya semua yang dirasakan perempuan pada masanya, merupakan dampak sistemik dari hasil karya sistem perpolitikan patriakal yang dibangun selama.
Kate Millet menggambil dasar ontologi berbeda dengan Betty Friedan dengan mengaskan bahwa permasalahan sebenarnya adalah seksualitas. Harus diingat bahwa seksualitas memiliki arti definitif berbeda dengan gender. Jika seksualitas berhubungan dengan keadaan biologis manusia, maka gender berhubungan dengan konsep dimana sebuah kultur memandang identitas suatu hal memiliki unsur seksualitas di dalamnya. Kate Millet berkeyakinan pemikiran patriakal yang mempengaruhi banyak aspek manusia seperti politik, moral, pekerjaan, ekonomi, literatur dan lain sebagainya dampak dari pemikiran tersebut.
Kate Millet menganalisa dengan dasar epistemologi kecurigaan dalam literatur – literatur yang diciptakan laki - laki dan mengatakan bahwa anggapan dan stereotyping tentang perempuan terjadi di dalam literatur tersebut. Seperti pada karya D. H. Lawrence, Henry Miller, Norman Mailer dan Jean Genet.
Dalam wilayah etik, Kate Millet meyakini bahwa androgyny merupakan jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. “Perpaduan” antara laki – laki dan perempuan dianggap sebagai jalan keluar, karena dianggap oleh Kate Millet merupakan hal yang terbaik untuk membuktikan bahwa keduanya sebenarnya setara.
Pada pembahasan terakhir ialah Juliet Mitchell, seorang feminisme Marxist memandang bahwa permasalahan utama yang terjadi terletak pada ranah produksi. Dimana penindasan tidak hanya terjadi pada kelas buruh saja, namun juga pada kelas perempuan, sehingga berkesimpulan penindasan terhadap perempuan tidak akan semudah itu untuk dihentikan walaupun kelas buruh telah memenangkan pertarungan kelas.
Juliet Mitchell berpendapat bahwa penyebab terjadinya penindasan yang dialami perempuan disebabkan secara ontologis oleh faktor produksi, lebih spesifik lagi masalah reproduksi. Hal ideologis yang diciptakan patriakal menyebabkan anggapan perempuan hanya sebagai seorang ibu, pecinta, dan istri tidak sadar sebagai memiliki kontribusi dalam masalah reproduksi yang jika diangkat lebih umum keadaannya setara dengan keadan proletar dalam teori marxisme. Hal tersebut disadari ataupun tidak bisa berujung pada penyebab perempuan memiliki kemampuan yang setara dengan laki – laki, upah yang diterima pasti lebih kecil.
Hal ideologis ini hanya bisa terjadi jika adanya paradigma yang dirubah agar dalam kesadaran, baik laki – laki ataupun perempuan, sama - sama menyadari bahwa perempuan tidak memiliki nilai yang lebih rendah dibanding laki - laki dan sebenarnya memiliki nilai yang sama di dalam kehidupan sosial dalam persoalan produksi.

                                        


Sumber
http://www.english-e-corner.com/comparativeCulture/etexts/more/feminist_reader/feminism.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar