Uts Paradigma Feminisme
1.
Filsafat
sebagai “ibu” yang melahirkan seluruh pengetahuan yang telah ada di dunia,
merupakan pengetahuan yang seringkali dianggap sulit. Hal tersebut dikarenakan
posisinya yang berada diantara dua sisi, yaitu kepastian metodologi milik sains
dan kepastian dogma agama. Tidak sedikit orang yang salah mengartikan apa itu
filsafat dan menyinonimkannya menjadi sebuah nasihat semata. Kesalahpahaman
tersebut terjadi dikarenakan ketidakpahaman, bahwa suatu hal yang dikaji mampu
dianggap permasalahan filosofis jika hal tersebut dibahas dalam pemetaan
tertentu. Pemetaan tersebut sering dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi
merupakan wilayah filsafat yang berhubungan dengan persoalan Ada. Persoalan Ada
tersebut tidak selalu harus berhubungan dengan hal yang bersifat kuantitatif fisik
yang harus bisa dihitung, diukur, dan dipersepsi, karena jika suatu hal yang
Ada itu terbatas dengan hal tersebut, maka kita terpaksa tidak bisa membahas
suatu permasalahan yang bersifat abstrak. Hal seperti kebebasan, kekuasaan,
keadilan, Tuhan, jiwa, psikologi, pemikiran dan hal sejenis lainnya menjadi
tidak relevan untuk dibahas, karena hal tersebut tidak bersifat fisik. Oleh
karena itu filsafat dengan pemetaan dalam bidang ontologi mengijinkan adanya
pengajian hal nonfisik dalam wilayah yang bernama metafisik. Dalam wilayah
tersebut setiap orang akan diijinkan berspekulasi dengan rasional dalam hal
metafisik, seperti permasalahan keadilan, ideologi, psikologi, pertarungan
kelas, dengan hal lain sebagainya. Jika secara singkat ontologi dapat
diungkapkan dalam pertanyan “what is
that?”
Epistemologi
merupakan wilayah yang membahas bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu? Dalam
wilayah ini, sebuah pengetahuan akan diuji tentang asal muasalnya, masukakalannya,
dan keabsahannya. Secara garis besar sejarah epistemologi terbagi dalam dua
aliran yaitu empirisme dan rasionalisme, dimana empirisme meyakini bahwa
pengetahuan hanya dapat diakses melalui persepsi dan sentimen indirawi, karena
pengetahuan berasal dari luar manusia, sedangkan rasionalisme berkeyakinan
bahwa pengetahuan cukup diakses dari pemikiran rasional manusia karena manusia
sejak hadir di dunia memiliki sebuah ide akan pengetahuan yang bersifat bawaan
dalam pemikirannya dan persoalan yang mungkin tersisa adalah persoalan cara
mengeluarkan ide tersebut. Dalam wilayah ini seringkali disandingkan dengan
logika, karena pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan harus bersifat
konsisten dan membutuhkan kerangka untuk membangun argumennya. Oleh karena itu
epistemologi dapat disederhanakan dengan pertanyaan “how we know that?”
Wilayah
terakhir adalah aksiologi. Aksiologi merupakan persoalan kebernilaian, dalam
artian non- kuantitatif seperti sains, yang membahas tentang bagaimana manusia
dapat mengetahui dan bertindak dengan nilai tersebut. Wilayah tersebut sering
dibagi menjadi dua sisi yaitu etika dan estetika, etika sendiri membahas
persoalan tentang moral dalam baik dan buruk suatu perbuatan, dan estetika
membahas persoalan keadaan yang dirasakan seseorang ketika membahas dan
menemukan hal yang mampu menggerakan “emosi” dan seringkali lebih diidentikan
dengan persoalan sensasi yang dirasakan jika mengalami ataupun merasakan hal
luar biasa, seperti keindahan, kesedihan, kekaguman, dan hal lainnya yang
sejenis. Hal ini berujung pada kesimpulan bahwa wilayah aksiologi mampu
diartikan menjadi, “is there any value in
that?”
Paragraf
diatas mengijinkan kita untuk menyimpulkan bahwa ada tiga wilayah dimana jika
ada suatu permasalahan maka hal tersebut mampu dikatakan dan diperbincangkan
sebagai hal filosofis jika menyangkut ketiga persoalan tersebut dan dapat
dipermudah dengan menanyakan dan berspekulasi dengan pertanyaan “What is that? How we know that? Is there
any value in that?” Selain hal tersebut banyak cabang – cabang pengetahuan
yang dihasilkan oleh filsafat, seperti filsafat ilmu, filsafat ekonomi,
filsafat ideologi, feminisme dan lain sebagainya.
2.
Terdapat
banyak pemikir filsafat feminist yang mengisukan hal – hal yang berbeda tentang
perempuan. Permasalahan – permasalahan tersebut meliputi persoalan kesetaraan
dalam kesempatan, seksualitas, ketubuhan, psikologi, ekonomi, kultur, dan lain
sebagainya. Banyaknya isu perempuan ini menghasilkan banyaknya aliran pemikiran
dalam paradigma feminisme. Seperti feminisme liberal, feminisme radikal,
feminisme psikoanalisa, dan lain sebagainya. Tiap – tiap pemikir dalam
wilayahnya masing – masing menganalisa masalah yang dialami perempuan melalui
ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang berbeda satu sama lainnya. Pada
kesempatan kali ini penulis akan menjabarkan tiga pemikir feminisme yaitu Betty
Friedan, Kate Millet dan Juliet Mitchell melalui pemetaan berdasarkan ontologi,
epistemologi dan aksiologi untuk mengetahui pemikiran dari ketiga filsuf
tersebut.
Betty
Friedan merupakan pemikir feminisme liberal asal Amerika yang dikenal melalui
karyanya yang berjudul Feminine Mystique.
Dalam karyanya tersebut betty friedan menemukan fakta unik tentang keadaan
psikologis yang dirasakan oleh perempuan yang berumah tangga di daerah
suburban. Banyak perempuan yang hidup sebagai ibu rumah tangga yang merasakan
bahwa dirinya mengalami ketidakpuasan, walaupun perempuan tersebut telah
diberikan akses pendidikan dan keadaan ekonomi yang layak.
Keadaan
tersebut dibahasakan sebagai “the problem
that has no name” dimana letak ontologinya terlihat sebagai persoalan
psikologikal. Dimana dalam alam bawah sadar perempuan telah diisi anggapan
bahwa mereka selalu dianggap bernilai dan berguna jika menjadi perempuan yang
bisa mengurusi rumah tangga, halus perbuatannya dan pandangan umum lainnnya
tentang perempuan. Pemikiran ini muncul
atas fenomena para perempuan di Amerika pada saat itu yang berpikiran untuk
memasuki ranah akademis universitas dengan tujuan mencari calon suami bukan
karena keinginan pengembangan diri dalam bidang intelektual. Hal tersebut juga
diperparah atas dari kontribusi media massa yang melakukan stereotyping tentang
bagaimana perempuan yang diidamkan dan berguna dimasyarakat, yang notaben
penulis dan editornya adalah laki – laki, sebagai “American Dream” untuk perempuan.
Betty
Friedan menggunakan dasar epistemologi dengan mengkritik pemikiran Sigmund Freud
tentang “Penis Envy” dimana
perempuan, karena tidak memiliki penis, menjadi inferior dibandingkan laki –
laki. Hal tersebut dianggap Betty Frieden sebagai penyebab terjadinya proses
tersebut, namun katalisator kenapa ajaran psikoanalisa Sigmund Freud menjadi
kuat dalam pemikiran Amerika dikarenakan pada saat itu kontribusi media massa
yang menjadikan ajaran tersebut menjadi terkenal. Disinilah terlihat bahwa
pemitosan tentang perempuan, yang pasti inferior karena pemikiran psikoanalisa
Sigmund Freud, tidak mungkin bisa memperoleh kemampuan untuk berkembang
melebihi laki – laki, kecuali sebagai seorang istri atau ibu rumah tangga.
Dalam
wilah aksiologi ranah etika, Betty Friedan yakin bahwa perempuan dan laki laki
memiliki kemampuan yang sama untuk bisa saling bersaing tanpa perlu melihat
jenis kelamin, sehingga Equality
secara individual merupakan hal yang terpenting untuk bisa dikejar oleh
perempuan. Etika ini pada akhirnya akan berujung pada kesadaran bahwa tidak
boleh adanya suatu diskriminasi akses, kesempatan, dan pemikiran untuk
perempuan dalam usahanya mencapai pencapaian kualitas diri yang paripurna.
Pemikir
selanjutnya adalah Kate Millet, seorang pemikir yang juga berasal dari Amerika.
Kate Millet merupakan pemikir feminist radikal yang terkenal melalui karya
disertasinya yang berjudul Sexual Politics.
Kate Miller secara tegas melaui karyanya tersebut menentang bentuk kekuasaan
politik yang telah dibangun oleh laki – laki. Menurutnya semua yang dirasakan
perempuan pada masanya, merupakan dampak sistemik dari hasil karya sistem
perpolitikan patriakal yang dibangun selama.
Kate
Millet menggambil dasar ontologi berbeda dengan Betty Friedan dengan mengaskan
bahwa permasalahan sebenarnya adalah seksualitas. Harus diingat bahwa
seksualitas memiliki arti definitif berbeda dengan gender. Jika seksualitas
berhubungan dengan keadaan biologis manusia, maka gender berhubungan dengan
konsep dimana sebuah kultur memandang identitas suatu hal memiliki unsur
seksualitas di dalamnya. Kate Millet berkeyakinan pemikiran patriakal yang
mempengaruhi banyak aspek manusia seperti politik, moral, pekerjaan, ekonomi,
literatur dan lain sebagainya dampak dari pemikiran tersebut.
Kate
Millet menganalisa dengan dasar epistemologi kecurigaan dalam literatur –
literatur yang diciptakan laki - laki dan mengatakan bahwa anggapan dan
stereotyping tentang perempuan terjadi di dalam literatur tersebut. Seperti
pada karya D. H. Lawrence, Henry
Miller, Norman Mailer dan Jean Genet.
Dalam
wilayah etik, Kate Millet meyakini bahwa androgyny merupakan jalan keluar
terbaik untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. “Perpaduan” antara laki –
laki dan perempuan dianggap sebagai jalan keluar, karena dianggap oleh Kate Millet
merupakan hal yang terbaik untuk membuktikan bahwa keduanya sebenarnya setara.
Pada
pembahasan terakhir ialah Juliet Mitchell, seorang feminisme Marxist memandang
bahwa permasalahan utama yang terjadi terletak pada ranah produksi. Dimana
penindasan tidak hanya terjadi pada kelas buruh saja, namun juga pada kelas
perempuan, sehingga berkesimpulan penindasan terhadap perempuan tidak akan
semudah itu untuk dihentikan walaupun kelas buruh telah memenangkan pertarungan
kelas.
Juliet
Mitchell berpendapat bahwa penyebab terjadinya penindasan yang dialami
perempuan disebabkan secara ontologis oleh faktor produksi, lebih spesifik lagi
masalah reproduksi. Hal ideologis yang diciptakan patriakal menyebabkan
anggapan perempuan hanya sebagai seorang ibu, pecinta, dan istri tidak sadar sebagai
memiliki kontribusi dalam masalah reproduksi yang jika diangkat lebih umum
keadaannya setara dengan keadan proletar dalam teori marxisme. Hal tersebut
disadari ataupun tidak bisa berujung pada penyebab perempuan memiliki kemampuan
yang setara dengan laki – laki, upah yang diterima pasti lebih kecil.
Hal
ideologis ini hanya bisa terjadi jika adanya paradigma yang dirubah agar dalam
kesadaran, baik laki – laki ataupun perempuan, sama - sama menyadari bahwa
perempuan tidak memiliki nilai yang lebih rendah dibanding laki - laki dan
sebenarnya memiliki nilai yang sama di dalam kehidupan sosial dalam persoalan
produksi.
Sumber
http://www.english-e-corner.com/comparativeCulture/etexts/more/feminist_reader/feminism.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar