Page

Total Tayangan Halaman

Kamis, 05 Januari 2012

Calung: Alat Musik Tradisional Sunda

Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan memukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.calung 3 1024x676 Calung: Alat Musik Tradisional Sunda

Calung

cl1cl2Photobucket
Calung yang hidup dan dikenal masyarakat sekarang merupakan prototipe dari angklung yang cara menabuhnya berbeda dengan angklung , cara menabuh calung yaitu dengan memukul-mukul batang ( wilahan ) dari ruas-ruas atau tabung bambu yang tersususn menurut titi laras ( tangga Nada) penta tonik ( da mi na ti la da )
Ada dua bentuk calung Sunda yaitu calung rantay dan calung Jinjing waditra calung jinjing terbuat dari bahan bambu hitam ( awi hideung) dan seperangkat calung jinjing yang digunakan da;lam pertunjukan biasa bertangga nada Salendro , bertangga nada Pelog  serta Madenda ( nyorog ) wadrita calung jinjing merupakan perkembangan dari bentuk calung Rantai/ calung Gambang , calung dalam bentuk ini sudah merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan .

calung jinjing berasal dari bentuk dasar calung rantay ini telah dibuat dalam empat bagian bentuk wadrita yang terpisah , keempat buah wadrita terpisah ini memainkan dengan cara dijinjing oleh empat pemain dan masing-masing memegang calung dalam fungsi berbeda . Wadrita calung terdiri dari 1 Kingking, 2 Panepas, 3 jongong, 4 gonggong sedangkan calung kingking jumlahnya limabelas nada / oktaf dala nada yang paling kecil ( teringgi )
Calung Panepas jumlahnya lima potong untuk lima nada (1Oktaf) nadanya merupakan sambungan nada terendah calung kingking dan dari lima nada tersebut ada yang yang dibagi dua ada yang digorok ( disatukan jongjong seperti halnya panepas yang berbeda hanya nadanya yang lebih rendah dari panepas ) nada panepas bentuknya selalu tinggi dibagi dua yaitu 3 potong untuk nada berturut-turut dari yang tinggi , dua potong untuk dua nada lanjutan
Calung Gonggong merupakan calung yang paling besar jumlahnya hanya  dua bumbung yang disatukan keduanya dalam nada rendah diantara keseluruhan calung . Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal adalah calung jinjing .

Calung yang perkembangannya lebih mengarah pada kecalung dangdut  ( caldut) lagu maupun musiknya ditambah drum, gitar, keybord dan memakai tata lampu untuk pertunjukannya. Di Kabupaten Bandung yang  tercatat   di Dinas Kebudayaahn dan Parawisata tersebar di Kecamatan maupun di desa-desa kurang lebih 40 group diantaranya Marahmay, Oces, Cinde agung, Sinar Pasundan, Mitra Siliwangi, Calawak Group, Mekar wangi, Gentra Priangan, Dangdiang, sariak layung dll. Calung Rantay

Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak “dudukan” khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.
Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal secara umum yaitu calung jinjing. Calung jinjing adalah jenis alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di daerah Sindang Heula – Brebes, Jawa tengah, dan bisa jadi merupakan pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun di Jawa Barat, bentuk kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen Kesenian Dewan Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung ini melalui kreativitasnya pada tahun 1961. Menurut salah seorang perintisnya, Ekik Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan. Kemudian pada tahun 1963 bentuk permainan dan tabuh calung lebih dikembangkan lagi oleh kawan-kawan dari Studiklub TeaterBandung (STB; Koswara Sumaamijaya dkk), dan antara tahun 1964 – 1965 calung lebih dimasyarakatkan lagi oleh kawan-kawan di UNPAD sebagai seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan informasi (penyuluhan (Oman Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, dan kawan-kawan), dan grup calung SMAN 4Bandung (Abdurohman dkk). Selanjutnya bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Layung Sari, Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain, hingga dewasa ini bermunculan nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso.
Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga banyak bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan Hendarso.

lazim difungsikan sebagai alat musik seni pertunjukan seperti lengger dan ebeg. Pada masa kejayaan seni pertunjukan lengger sekitar tahun 19970-an, kehidupan gamelan Calung sangat populer. Di samping gamelan Calung sangat berperan penting dalam kehidupan seni pertunjukan masyarakat Banyumas. Disamping kedudukan gamelan Calung memiliki peran penting sebagai pendukung sebuah sajian pertunjukan kesenian rakyat seperti Lengger dan Ebeg, ia juga memiliki satu bentuk kekuatan spirit musikal yang sangat kuat di dalam refleksinya sebagai daya ungkap seniman Banyumas, karena terdapat satu spesifikasi gaya yang khas dan unik jika dibandingkan dengan jenis kesenian manapun.
Melalui proses perjalanan yang cukup panjang kesenian lengger-calung telah mampu menempatkan posisinya yang terdepan dari sederetan jenis seni pertunjukan yang ada di karesidenan Banyumas. Hal yang mendukung eksistensi kehidupan kesenian lengger-calung bagi masyarakat Banyumas adalah, sering difungsikannya sebagai kebutuhan-kebutuhan sosial seperti kegiatan punya hajat pernikahan, sunatan, tindik dan keperluan ritual seperti syukuran (nadar), sedekah bumi dan sedekah laut.
Melihat betapa kompleksnya fungsi dan peran Calung pada kehidupan masyarakat Banyumas, maka beban profesi seniman Lengger Calungpun menjadi sangat berat. Apalagi jika harus mempertahankan eksistensinya yang berorientasi pada kejayaan di masa lalu. Seiring dengan perkembangan zaman, sikap dan selera masyarkat yang selalu berubah, maka sifat kesenian Lengger Calungpun tidak bisa mengelak dari kondisi tersebut. Perubahan Lengger Calung yang tampak sebagai gejala adanya faktor zaman adalah bentuk dan garap.
Perubahan garap calung apabila dilihat secara historis dalam konteks budayanya telah berjalan seiring dengan kondisi zamannya. Arah perubahan garap yang kurang ditangani secara serius dan profesional dalam konteks budayanaya, akan berakibat fatal bagi kehidupan kesenian Calung dan akan berdampak negatif terhadap kehidupanya di masa yang akan datang. Pekerjaan seniman memang cukup berat, apalagi jika kemampuan untuk meng-garap yang dimilikinya tidak lagi sebanding dengan tuntutan zamannya, karena garap adalah bagian yang paling penting sebagai sistem ungkap seniman terhadap nilai-nilai estetik yang bersinggungan dengan nilai budayanya yang semakin dinamis.
Kerangka kehidupan kesenian yang dinamis tersebut mempunyai konsekuensi dan jelas merupakan faktor perubahan secara konseptual maupun ujud penerapannya. Perubahan garap yang terjadi pada sajian gending-gending Banyumasan gamelan Calung telah tergeser oleh arus perkembangan jaman yang berorentasi pada selera pasar. Peristiwa yang terjadi setiap kurun waktu tertentu menjadikan perubahan-perubahan garap secara musikal maupun bentuk sajiannya. Sangat disayangkan ketika perubahan garap yang terjadi pada sajian gending-gending tradisi Banyumasan dalam pertunjukan lengger mengarah pada bentuk pertunjukan yang bersifat dangkal dan Verbal. Hal ini sudah tidak bisa dipungkiri lagi semenjak awal tahun 1990-an, terlihat bahwa pertunjukan lengger tidak lagi didominasi oleh sajian gending-gending tradisi Banyumasan dengan gamelan Calung, melainkan lebih mengedepankan sajian lagu-lagu “pop” (dangdut) yang bernuansa kekinian. Masuknya alat musik seperti gitar, seruling, keybort, drum dan kendang dangdut ke dalam sajian lengger-calung yang telah terjadi semenjak awal tahun 1990-an, adalah awal bergesrnya eksistensi musik calung yang mengarah pada kemerosotan kualitas garap. Pernyataan ini adalah fenomena riil yang dilihat penyusun saat melakukan observasi di empat kabupaten yang ada di Karesidenan Bamyumas pada awal tahun 1990-an.
Menurut Kasbi (seniman/pimpinan lengger) desa Nusajati, Cilacap berendapat bahwa; sajian lagu-lagu “pop” (musik campursari) adalah suatu sajian yang dirasakan sebagai faktor mendangkalnya garap gamelan Calung, karena Calung sudah tidak lagi dianggap sebagai medium ungkap yang cerdas, melainkan telah diperlakukan sebagai barang mati seperti balung ( tulang). Dalam kenyataannya calung hanya memberi isian bunyi yang sebenarnya tidak berarti apa-apa. Dalam sajian lagu-lagu campusari Calung hanya difungsikan sebagai instrumen balungan, karena garap yang disajikan hanya berupa tekhnik-tekhnik mbalung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar