Page

Total Tayangan Halaman

Kamis, 05 Januari 2012

Kata Pengantar.
Dengan rahmat tuhan yang maha esa telah selesainya makalah tentang alat music calung ini. Semoga dengan adanya makalah ini dapat memotivasi masyarakat untuk mengenal kembali alat-alat music tradisional terutama calung ini. Penulis membuat makalah ini semata-mata untuk melestarikan seni dan kebudayaan tradisional terutama alat-alat music daerah di kalangan yang serba modern ini.
Ada pun kesalahan penulisan dalam makalah ini semata-mata saya dan masyarakat atau tentang fungsi dan arti kebudayaan tradisional.sekian yang saya ingin sampaikan
Walaikum salam.wr.wb

















JAKARTA, 5 JANUARI 2012

BAB  I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

di wilayah Jawa Barat dikenal satu pertunjukan seni yang menggunakan waditra calung jingjing sebagai media. Dahulu ada calung renteng, yaitu kesenian calung yang waditranya diikat ujung-ujungnya menggunakan tali, kemudian pada kedua isinya diikatkan pada sebuah rancak kayu.cara. Di tatar Sunda, khususnya yang berdiam di wilayah Jawa Barat tumbuh berbagai ragam bentuk seni calung.

Namun di zaman ini banyak penerus keturunan tatar sunda sudah tidak memperhatikan lagi akan banyaknya kesenian suku sunda, dan mereka cenderung lebih asik untuk mempelajari seni yang datangnya dari luar.

Dengan adanya penjelasan singkat tentang kacapi ini, diharapkan para anak-anak / keturunan sunda mengetahui sedikit-banyaknya tentang kesenian Calung yang berada di wilayah sunda.













B. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah, sebagai berikut :

1. Untuk memenuhi salah tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Bahasa Sunda.

2. Untuk mengetahui lebih jelas tentang seni Calung.

3. Untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan penulis.



C. Metode Penulisan

Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode Studi Kepustakaan yaitu mengumpulkan sumber-sumber dari buku dan naskah yang berhubungan dengan permasalahan menganalisis dan mengambil pokok masalah yang akan dijadikan data dan bahan dalam penyusunan makalah ini.












D. Sistematika Pembahasan

Untuk memperlancar dalam penyusunan makalah ini, penulis membuat sistematika yaitu,
sebagai berikut :
KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Tujuan Penulisan

C. Metode Penulisan

D. Sistematika Pembahasan

BAB II SENI CALUNG

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran








BAB II

SENI CALUNG

Calung yang dikenal di wilayah Jawa Barat adalah seni pertunjukan yang menggunakan waditra calung jingjing sebagai media. Dahulu ada calung renteng, yaitu kesenian calung yang waditranya diikat ujung-ujungnya menggunakan tali, kemudian pada kedua isinya diikatkan pada sebuah rancak kayu.cara menabuh calung renteng seperti halnya menabuh waditra pada kesenian arumba. Sayang kesenian calung renteng tidak dapat bertahan, sehubungan dengan berkurangnya penggemar dan tidak ada regenerasi penabuhnya.
Sebelum terjadi pembaharuan, artinya sebelum meniru contoh waditra calung yang berkembang di Bandung. Calung yang digunakan di wilayah Jawa Barat adalah calung konvensional sebagaimana Eutik Muchtar (pencipta calung dari Bandung) membuatnya, yaitu terdiri atas calung kingking, calung panempas, calung jongrong, dan calung gonggong. Calung kingking berperan sebagai melodi lagu, calung panempas berperan memberikan balunganing gending terhadap melodi, calung jongrong berperan sebagai kenongan dan calung gonggong berperan memberikan suara gong pada akhir melodi.

Sesuai dengan kebutuhan lagu yang semakin dinamis dan variatif, calung jongrong dan calung gonggong kini jarang digunakan. Pertunjukan calung sekarang menggunakan dua buah calung kingking dan dua buah calung panempas dengan laras yang sama. Perkembangan calung demikian membutuhkan keterampilan menabuh yang semakin kompleks pada para pemainnya. Sebagai pelengkap pertunjukan ditambah dengan seorang pemain kosrek yang biasanya sekaligus berperan sebagai bodor atau lawak. Kelengkapan permainan calung lainnya adalah gendang dan gong. Kini secara kreatif seniman calung menambahkan waditra lain, seperti rebab, kecapi, biola, dan bahkan alat musik elektone, dan gitar.
Pertunjukan calung tidak mengutamakan lagu sebagai sajian utama. karena kemudian lawaklah yang lebih mendominasi suasana. Lagu hanya sesekali saja disajikan, bahkan hanya berperan sebagai pengantar kepada suasana bodoran. Oleh karena itu, bisa jadi dari lima pemain calung, tiga di antaranya adalah mereka yang memiliki kemampuan melawak. Sedangkan dua lainnya (biasanya penabuh kingking) berperan sebagai dalang, yang diharapkan mampu menjaga suasana agar lawakan tidak ngelantur terlalu jauh dan mampu menawarkan suasana.

Kesenian calung di Majalengka dikenal sejak tahun1960-an, dan mulai berkembang pesat ketika Edi Jubaedi, pengasuh kesenian Pabrik Gula Kadipaten, pada tahun 1970-an membentuk kesenian calung yang para pemainnya adalah Abah Duleh, Abah Bontot, Mang Sawo, (alm), Mang Dompet dan Mang Pentil. Dari kelompok inilah kemudian tumbuh kelompok-kelompok lain seperti Mustika Budaya di Cigasong, Tandang Midang di Munjul, Jedag di Gandu, Putra Beger di Karayunan, Putra Mekar di Leuwiseeng, Rinenggasari di Argapura, Binara di Cijurey Panyingkira, dan Gentra Pasundan di Darmalarang.
Selain berkembang di masyarakat, calung juga berkembang di sekolah-sekolah, baik di SD, SLTP, maupun di SLTA. Calung di lingkungan sekolah biasa ditampilkan pada acara kenaikan kelas.


Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan purwarupa dari Angklung. Alat musik ini sama-sama terbuat dari bambu. Namun berbeda dengan Angklung, Calung di mainkan dengan cara di pukul, sedang Angklung memainkannya dengan cara di goyangkan. Dalam perkembanganya, saat ini calung lebih mengarah kepada calung dangdut (caldut) lagu maupun musiknya ditambah drum, gitar, keybord dan memakai tata lampu untuk menambah ramai pertunjukannya. Kini telah banyak bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Ria Buana, Layung sari dan Glamor dan masih banyak lagi. Seperti halnya Angklung, Calung juga banyak di jual untuk kebutuhan oleh-oleh para wisatawan. Mungkin Calung bisa di Jadikan oleh-oleh souvenir untuk anda, sekaligus anda belajar melestarikan kebudayaan Indonesia.
Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan memukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.
Calung Rantay
Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak "dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.
Calung Jinjing
Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek dan solorok.



Perkembangan
Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal secara umum yaitu calung jinjing. Calung jinjing adalah jenis alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di daerah Sindang Heula - Brebes, Jawa tengah, dan bisa jadi merupakan pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun di Jawa Barat, bentuk kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen Kesenian Dewan Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung ini melalui kreativitasnya pada tahun 1961. Menurut salah seorang perintisnya, Ekik Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan. Kemudian pada tahun 1963 bentuk permainan dan tabuh calung lebih dikembangkan lagi oleh kawan-kawan dari Studiklub Teater Bandung (STB; Koswara Sumaamijaya dkk), dan antara tahun 1964 - 1965 calung lebih dimasyarakatkan lagi oleh kawan-kawan di UNPAD sebagai seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan informasi (penyuluhan (Oman Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, dan kawan-kawan), dan grup calung SMAN 4 Bandung (Abdurohman dkk). Selanjutnya bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Layung Sari, Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain, hingga dewasa ini bermunculan nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso.
Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga banyak bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan Hendarso.




1. Calung Gambang

Yang disebut Calung Gambang adalah sebuah calung yang dideretkan diikat dengan tali
tanpa menggunakan ancak/standar. Cara memainkannya sebagai berikut: kedua ujung tali
diikatkan pada sebuah pohon/tiang sedangkan kedua tali pangkalnya diikatkan pada
pinggang si penabuh. Motif pukulan mirip memukul gambang.

2. Calung Gamelan

Calung Gamelan adalah jenis calung yang telah tergabung membentuk ansamble. Sebutan
lain dari calung ini adalah Salentrong (di Sumedang), alatnya terdiri dari:

1. Dua perangkat calung gambang masing-masing 16 batang

2. Jengglong calung terdiri dari 6 batang

3. Sebuah gong bamboo yang biasa disebut gong bumbung

4. Calung Ketuk dan Calung Kenong terdiri dari 6 batang

5. Kendang

Lagu-lagunya antara lain Cindung Cina (Cik indung menta Caina), Kembang Lepang, Ilo ilo
Gondang.
Calung Panepas
jumlahnya lima potong untuk lima nada (1 Oktaf) nadanya merupakan sambungan nada terendah calung kingking dan dari lima nada tersebut ada yang yang dibagi dua ada yang digorok ( disatukan jongjong seperti halnya panepas yang berbeda hanya nadanya yang lebih rendah dari panepas ) nada panepas bentuknya selalu tinggi dibagi dua yaitu 3 potong untuk nada berturut-turut dari yang tinggi , dua potong untuk dua nada lanjutan

Calung Gonggong
 merupakan calung yang paling besar jumlahnya hanya  dua bumbung yang disatukan keduanya dalam nada rendah diantara keseluruhan calung . Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal adalah calung jinjing.

Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Pengemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan.

CALUNG BANYUMASAN
by Dodo on 11:34 AM, 09-Dec-11
1. Asal usul Musik Calung Banyumas Musik bongkel yang selama ini disebut-sebut sebagai cikal-bakal Angklung dan Calung Banyumas. Anggapan ini cukup beralasan, sebab antara keduanya sebagian besar mengacu pada bongkel. Hal ini terlihat jelas pada bentuk fisik instrumen, bahan baku, proses pembuatan, sistem pelarasan, struktur komposisi, dan teknik permainan dari beberapa instrumen. Bongkel adalah salah satu bentuk musik rakyat yang terdapat di desa Gerduren, Banyumas (Jawa Tengah) . Musik ini didukung oleh sebuah instrumen perkusi sejenis Angklung Bambu berlaras slendro. Dalam satu bingkai terdapat empat tabung nada berbeda. Cara memainkannya dengan cara digoyang dan digetarkan menggunakan kedua tangan, serta diikuti tutupan jari-jari tertentu untuk menentukan nada. Karakteristik permainan bongkel terletak pada jalinan ritmis antara keempat tabung nada. Dalam perkembangannya bentuk jalinan- jalinan ini mengilhami lahirnya alat musik tradisional yang sejenis yaitu Angklung, Krumpyung dan Calung. Bongkel pada awalnya berfungsi sebagai musik hiburan petani ketika berada di ladang. Namun, dalam perkembangannya kini fungsi musik tersebut bergeser menjadi musik jalanan (ngamen) dan musik ronda (jaga malam). Secara musikal, bongkel memiliki teknik permainan tinggi, unik, khas, dan tidak ada duanya baik di Banyumas, maupun di daerah Indonesia. Berdasarkan analisis fisik, musikalitas, dan fungsi dapat diketahui bahwa bongkel termasuk musik bambu tertua di Banyumas. Setelah melalui proses perjalanan panjang, genre musik ini diduga mendapat pengaruh gamelan kemagan dan ringgeng yakni perangkat gamelan kecil yang biasa digunakan untuk mengiringi Lengger dan Ebeg. Dari bongkel berkembanglah menjadi Buncis, kemudian dari buncis berkembang menjadi Krumpyung, dan dari krumpyung menjadi Calung. Calung merupakan musik tradisional dengan perangkat mirip gamelan yang terbuat dari bambu wulung. Musik calung hidup di komunitas masyarakat pedesaan di wilayah sebaran budaya Banyumas. Menurut masyarakat setempat, kata “calung” merupakan jarwo dhosok (dua kata yang digabung menjadi kata bentukan baru) yang berarti carang pring wulung (pucuk bambu wulung) atau dicacah melung-melung (dipukul bersuara nyaring). Spesifikasi musik calung adalah bentuk musik minimal, yaitu dengan perangkat yang sederhana (minimal) namun mampu menghasilkan aransemen musikal yang lengkap. Perangkat musik calung terdiri atas gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong dan kendhang. Perangkat musik ini berlaras slendro dengan nada-nada 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma) dan 6 (nem). Hingga sekarang calung masih berkembang di hampir seluruh wilayah budaya Banyumas.
2. Fungsi dan Peran Calung merupakan seperangkat alat musik tradisional yang terdapat di dalam suatu budaya masyarakat Banyumas yang lebih disebut dengan nama Gamelan Calung. Calung ini mempunyai sistem pelarasan yang relatif sama dengan pelarasan gamelan yang ada di wilayah Indonesia seperti Yogyakarta, Surakarta, dan Sunda. Alat musik ini terbuat dari potongan bambu yang diletakkan secara melintang dan dimainkan dengan cara dipukul. Calung biasa difungsikan sebagai alat musik dalam seni pertunjukkan seperti Lengger (seni tari) dan Ebeg (kuda lumping khas Banyumas). Pada era tahun 1970-an kehidupan calung sangat popular. Disamping berperan penting dalam kehidupan seni pertunjukan masyarakat Banyumas, Calung juga memiliki satu bentuk spirit musikal yang sangat kuat sebagai daya ungkap seniman Banyumas. Kesenian Lengger Calung ini pun semakin berkembang dan mampu menempatkan posisinya sebagai seni pertunjukkan terdepan dari sederetan jenis pertunjukkan seni lainnya yang terdapat di Banyumas. Hal ini didukung dengan difungsikannya kesenian Lengger Calung sebagai kebutuhan sosial seperti acara hajat pernikahan, khitanan, tindik, dan keperluan ritual lainnya seperti syukuran (nadhar), sedekah bumi, dan sedekah laut.
 3. Perkembangan Kesenian Calung Seiring dengan perkembangan zaman, sikap dan selera masyarakat yang selalu berubah, maka sifat kesenian Calung ini tidak bisa mengelak dari kondisi tersebut. Perubahan kesenian Calung tampak sebagai gejala adanya faktor zaman yaitu bentuk dan penggarapannya. Perubahan penggarapan yang terjadi pada sajian gendhing- gendhing Banyumasan gamelan Calung telah tergeser oleh arus perkembangan zaman yang berorientasi pada selera pasar. Peristiwa tersebut menuntut adanya perubahan-perubahan penggarapan secara musikal maupun bentuk sajiannya. Semenjak awal tahun 1990-an, terlihat bahwa pertunjukkan Lengger tidak lagi didominasi oleh sajian gendhing-gendhing Banyumasan dengan Gamelan Calung melainkan lebih mengedepankan lagu-lagu pop (dangdut). Masuknya alat musik seperti gitar, keybord, seruling, drum, dan kendang dangdut ke dalam Lengger Calung merupakan awal bergesernya eksistensi musik Calung dan merosotnya kualitas penggarapan musiknya. Calung pun sudah tidak dianggap lagi sebagai medium ungkap yang cerdas melainkan telah diperlakukan sebagai barang mati yang tidak berarti apa-apa.
Calung Sebagai Simbol Budaya Lokal Masyarakat Banyumas
Calung atau sering juga disebut dengan istilah gamelan Calung adalah nama dari seperangkat alat musik tradisional yang ada di sebaran budaya masyarakat Banyumas. Gamelan Calung yang ada di daerah Banyumas memiliki sistem pelarasan yang relatif sama dengan sistem pelarasan gamelan yang ada di wilayah-wilayah sekitarnya seperti Jogjakarta, Surakarta dan Sunda, yakni sistem pentatonik slendro.
lazim difungsikan sebagai alat musik seni pertunjukan seperti lengger dan ebeg. Pada masa kejayaan seni pertunjukan lengger sekitar tahun 19970-an, kehidupan gamelan Calung sangat populer. Di samping gamelan Calung sangat berperan penting dalam kehidupan seni pertunjukan masyarakat Banyumas. Disamping kedudukan gamelan Calung memiliki peran penting sebagai pendukung sebuah sajian pertunjukan kesenian rakyat seperti Lengger dan Ebeg, ia juga memiliki satu bentuk kekuatan spirit musikal yang sangat kuat di dalam refleksinya sebagai daya ungkap seniman Banyumas, karena terdapat satu spesifikasi gaya yang khas dan unik jika dibandingkan dengan jenis kesenian manapun.
Melalui proses perjalanan yang cukup panjang kesenian lengger-calung telah mampu menempatkan posisinya yang terdepan dari sederetan jenis seni pertunjukan yang ada di karesidenan Banyumas. Hal yang mendukung eksistensi kehidupan kesenian lengger-calung bagi masyarakat Banyumas adalah, sering difungsikannya sebagai kebutuhan-kebutuhan sosial seperti kegiatan punya hajat pernikahan, sunatan, tindik dan keperluan ritual seperti syukuran (nadar), sedekah bumi dan sedekah laut.
Melihat betapa kompleksnya fungsi dan peran Calung pada kehidupan masyarakat Banyumas, maka beban profesi seniman Lengger Calungpun menjadi sangat berat. Apalagi jika harus mempertahankan eksistensinya yang berorientasi pada kejayaan di masa lalu. Seiring dengan perkembangan zaman, sikap dan selera masyarkat yang selalu berubah, maka sifat kesenian Lengger Calungpun tidak bisa mengelak dari kondisi tersebut. Perubahan Lengger Calung yang tampak sebagai gejala adanya faktor zaman adalah bentuk dan garap.

Perubahan garap calung apabila dilihat secara historis dalam konteks budayanya telah berjalan seiring dengan kondisi zamannya. Arah perubahan garap yang kurang ditangani secara serius dan profesional dalam konteks budayanaya, akan berakibat fatal bagi kehidupan kesenian Calung dan akan berdampak negatif terhadap kehidupanya di masa yang akan datang. Pekerjaan seniman memang cukup berat, apalagi jika kemampuan untuk meng-garap yang dimilikinya tidak lagi sebanding dengan tuntutan zamannya, karena garap adalah bagian yang paling penting sebagai sistem ungkap seniman terhadap nilai-nilai estetik yang bersinggungan dengan nilai budayanya yang semakin dinamis.
Kerangka kehidupan kesenian yang dinamis tersebut mempunyai konsekuensi dan jelas merupakan faktor perubahan secara konseptual maupun ujud penerapannya. Perubahan garap yang terjadi pada sajian gending-gending Banyumasan gamelan Calung telah tergeser oleh arus perkembangan jaman yang berorentasi pada selera pasar. Peristiwa yang terjadi setiap kurun waktu tertentu menjadikan perubahan-perubahan garap secara musikal maupun bentuk sajiannya. Sangat disayangkan ketika perubahan garap yang terjadi pada sajian gending-gending tradisi Banyumasan dalam pertunjukan lengger mengarah pada bentuk pertunjukan yang bersifat dangkal dan Verbal. Hal ini sudah tidak bisa dipungkiri lagi semenjak awal tahun 1990-an, terlihat bahwa pertunjukan lengger tidak lagi didominasi oleh sajian gending-gending tradisi Banyumasan dengan gamelan Calung, melainkan lebih mengedepankan sajian lagu-lagu “pop” (dangdut) yang bernuansa kekinian. Masuknya alat musik seperti gitar, seruling, keybort, drum dan kendang dangdut ke dalam sajian lengger-calung yang telah terjadi semenjak awal tahun 1990-an, adalah awal bergesrnya eksistensi musik calung yang mengarah pada kemerosotan kualitas garap. Pernyataan ini adalah fenomena riil yang dilihat penyusun saat melakukan observasi di empat kabupaten yang ada di Karesidenan Bamyumas pada awal tahun 1990-an.
Menurut Kasbi (seniman/pimpinan lengger) desa Nusajati, Cilacap berendapat bahwa; sajian lagu-lagu “pop” (musik campursari) adalah suatu sajian yang dirasakan sebagai faktor mendangkalnya garap gamelan Calung, karena Calung sudah tidak lagi dianggap sebagai medium ungkap yang cerdas, melainkan telah diperlakukan sebagai barang mati seperti balung ( tulang). Dalam kenyataannya calung hanya memberi isian bunyi yang sebenarnya tidak berarti apa-apa. Dalam sajian lagu-lagu campusari Calung hanya difungsikan sebagai instrumen balungan, karena garap yang disajikan hanya berupa tekhnik-tekhnik mbalung (Wawancara: 29 Desember 2000).






CALUNG BANYUMAS
1. Asal usul Musik Calung Banyumas
Musik bongkel yang selama ini disebut-sebut sebagai cikal-bakal Angklung
dan Calung Banyumas. Anggapan ini cukup beralasan, sebab antara keduanya sebagian besar mengacu pada bongkel.  Hal ini terlihat jelas pada bentuk fisik instrumen, bahan baku, proses pembuatan, sistem pelarasan, struktur komposisi, dan teknik permainan dari beberapa instrumen.

Bongkel adalah salah satu bentuk musik rakyat yang terdapat di desa
Gerduren, Banyumas (Jawa Tengah). Musik ini didukung oleh sebuah instrumen perkusi sejenis Angklung Bambu berlaras slendro.

Dalam satu bingkai terdapat empat tabung nada berbeda. Cara memainkannya dengan cara digoyang dan digetarkan menggunakan kedua tangan, serta diikuti tutupan
jari-jari tertentu untuk menentukan nada. Karakteristik permainan bongkel
terletak pada jalinan ritmis antara keempat tabung nada. Dalam perkembangannya bentuk jalinan-jalinan ini mengilhami lahirnya alat musik tradisional yang sejenis yaitu Angklung, Krumpyung dan Calung.

Bongkel pada awalnya berfungsi sebagai musik hiburan petani ketika berada
di ladang.  Namun, dalam perkembangannya kini fungsi musik tersebut bergeser menjadi musik jalanan (ngamen) dan musik ronda (jaga malam). Secara musikal, bongkel memiliki teknik permainan tinggi, unik, khas, dan tidak ada duanya baik di Banyumas, maupun di daerah Indonesia.
Berdasarkan analisis fisik, musikalitas, dan fungsi dapat diketahui bahwa bongkel termasuk musik bambu tertua di Banyumas. Setelah melalui proses perjalanan panjang, genre musik ini diduga mendapat pengaruh gamelan kemagan dan ringgeng yakni perangkat gamelan kecil yang biasa digunakan untuk mengiringi Lengger dan Ebeg.

Dari bongkel berkembanglah menjadi Buncis, kemudian dari buncis berkembang menjadi Krumpyung, dan dari krumpyung menjadi Calung.

Calung merupakan musik tradisional dengan perangkat mirip gamelan yang terbuat dari bambu wulung. Musik calung hidup di komunitas masyarakat pedesaan di wilayah sebaran budaya Banyumas. Menurut masyarakat setempat, kata “calung” merupakan jarwo dhosok (dua kata yang digabung menjadi kata bentukan baru) yang berarti carang pring wulung (pucuk bambu wulung) atau dicacah melung-melung (dipukul bersuara nyaring). Spesifikasi musik calung adalah bentuk musik minimal, yaitu dengan perangkat yang sederhana (minimal) namun mampu menghasilkan aransemen musikal yang lengkap.

Perangkat musik calung terdiri atas gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong dan kendhang. Perangkat musik ini berlaras slendro dengan nada-nada 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma) dan 6 (nem). Hingga sekarang calung masih berkembang di hampir seluruh wilayah budaya Banyumas.

2. Fungsi dan Peran

Calung merupakan seperangkat alat musik tradisional yang terdapat di dalam suatu budaya masyarakat Banyumas yang lebih disebut dengan nama Gamelan Calung. Calung ini mempunyai sistem pelarasan yang relatif sama dengan pelarasan gamelan yang ada di wilayah Indonesia seperti Yogyakarta, Surakarta, dan Sunda. Alat musik ini terbuat dari potongan bambu yang diletakkan secara melintang dan dimainkan dengan cara dipukul.

Calung biasa difungsikan sebagai alat musik dalam seni pertunjukkan seperti Lengger (seni tari) dan Ebeg (kuda lumping khas Banyumas).


Pada era tahun 1970-an kehidupan calung sangat popular. Disamping berperan penting dalam kehidupan seni pertunjukan masyarakat Banyumas, Calung juga memiliki satu bentuk spirit musikal yang sangat kuat  sebagai daya ungkap seniman Banyumas.


Kesenian Lengger Calung ini pun semakin berkembang dan mampu menempatkan posisinya sebagai seni pertunjukkan terdepan dari sederetan jenis pertunjukkan seni lainnya yang terdapat di Banyumas.

Hal ini didukung dengan difungsikannya kesenian Lengger Calung sebagai kebutuhan sosial seperti acara hajat pernikahan, khitanan, tindik, dan keperluan ritual lainnya seperti syukuran (nadhar), sedekah bumi, dan sedekah laut.

3. Perkembangan Kesenian Calung

Seiring dengan perkembangan zaman, sikap dan selera masyarakat yang selalu berubah, maka sifat kesenian Calung ini tidak bisa mengelak dari kondisi tersebut. Perubahan kesenian Calung tampak sebagai gejala adanya faktor zaman yaitu bentuk dan penggarapannya.

Perubahan penggarapan yang terjadi pada sajian gendhing-gendhing Banyumasan gamelan Calung telah tergeser oleh arus perkembangan zaman yang berorientasi pada selera pasar. Peristiwa tersebut menuntut adanya perubahan-perubahan penggarapan secara musikal maupun bentuk sajiannya. Semenjak awal tahun 1990-an, terlihat bahwa pertunjukkan Lengger tidak lagi didominasi oleh sajian gendhing-gendhing Banyumasan dengan Gamelan Calung melainkan lebih mengedepankan lagu-lagu pop (dangdut).

Masuknya alat musik seperti gitar, keybord, seruling, drum, dan kendang dangdut ke dalam Lengger Calung merupakan awal bergesernya eksistensi musik Calung dan merosotnya kualitas penggarapan musiknya. Calung pun sudah tidak dianggap lagi sebagai medium ungkap yang cerdas melainkan telah diperlakukan sebagai barang mati yang tidak berarti apa-apa.





4. Isi Kandungan Musik Calung

Didalam musik Calung terkandung nilai-nilai kehidupan masyarakat Banyumas diantaranya :
1. Semua yang terjadi didalam sajian musik calung merupakan semacam luapan emosi dari alam pikir dan alam rasa masyarakat Banyumas yang tidak dapat diungkapkan di dalam pergaulan sosial.
2. Didalam sajian calung juga tertuang sikap-sikap kritis masyarakat Banyumas tentang falsafah hidup, tentang penderitaan, alam lingkungan, tentang kebahagiaan dan atau tentang segala sesuatu yang bersifat utopia.
3. Banyak gendhing yang disajikan pada pertunjukan calung yang menggambarkan negeri impian, kebahagiaan ideal atau perasaan kesejatian yang hanya dapat diperoleh didalam impian. Sebagai contoh gendhing Gunungsari dan Eling-eling. Kata ‘gunungsari’ berasal dari kata ‘gunung’ dan ‘sari’ (bunga) yang berarti kebahagiaan puncak setinggi gunung.
4. Sajian calung juga menuangkan ajaran dan atau ajakan untuk berbuat kebaikan, pernyataan sikap, larangan terhadap perbuatan menyimpang, kritik, sindiran atau bahkan sarkasme terhadap kejadian-kejadian umum sehari-hari di lingkungan pergaulan sosial. Kritik, sindiran atau sarkasme ini umumnya dilakukan melalui teks-teks syair (cakepan) yang diucapkan oleh sindhen atau senggak. Teks syair itu umumnya berbentuk parikan atau wangsalan yang disajikan dengan alur lagu tertentu sesuai dengan sajian gendhing yang sedang berlangsung.
5. Melalui aktivitas musik calung, masyarakat Banyumas malakukan penuangan nilai-nilai ideal tentang hidup, sekalipun hal itu tidak selamanya berlangsung dalam realita kehidupan sosial. Penuangan nilai-nilai ideal itu dilakukan melalui proses pembayangan dan penjadian bentuk.





BAB III

P E N U T U P

A. Kesimpulan

Calung yang dikenal di wilayah Jawa Barat adalah seni pertunjukan yang menggunakan waditra calung jingjing sebagai media. Sebelum terjadi pembaharuan, artinya sebelum meniru contoh waditra calung yang berkembang di Bandung. Calung yang digunakan di wilayah Jawa Barat adalah calung konvensional.

Sesuai dengan kebutuhan lagu yang semakin dinamis dan variatif, calung jongrong dan calung gonggong kini jarang digunakan. Pertunjukan calung sekarang menggunakan dua buah calung kingking dan dua buah calung panempas dengan laras yang sama.
Pertunjukan calung tidak mengutamakan lagu sebagai sajian utama. karena kemudian lawaklah yang lebih mendominasi suasana. Lagu hanya sesekali saja disajikan.

B. Saran-saran

Berdasarkan pada pembahasan di atas, penulis memberikan saran, sebagai berikut :

1. Kebudayaan Sunda merupakan salah satu kebudayaan di Indonesia yang harus kita ketahui.
2. Kebudayaan Sunda harus kita jaga dan dilestarikan.






DAFTAR PUSTAKA

Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Majalengka. 2005. Profil Kesenian Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2005
Diposkan oleh BISNIS ON LINE

http://panginyongan.blogspot.com/2008/12/seri-kesenian-lokal-banyumas-calung.html
http://punklung.wordpress.com/
http://groups.yahoo.com/group/banyumas/message/55264
http://www.google.com

Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.

Draft Proposal Penelitian Ponorogo “Sistem Ritus dan Upacara”

Proposal Penelitian Ponorogo
“Sistem Ritus dan Upacara”




A.    Judul                           :

B.     Latar Belakang            : Ponorogo merupakan Ponorogo adalah sebuah kota Kabupaten kecil di Propinsi Jawa Timur, berada di sebelah selatan Kota Madiun. Ponorogo memiliki kesenian budaya daerah yang terkenal yaitu Reog Ponorogo, pada tiap tahunnya disetiap tanggal 1 Muharram (bulan Jawa) akan dilakukan berbagai macam ritual-ritual, seperti : Ritual Bathara Kathong dan Ritual Larungan. Yang berfungsi untuk menghormati nenek moyang atau leluhur dari kota Ponorogo itu sendiri. Dan memiliki tujuan lain untuk menarik wisatawan untuk dating menyaksikan ritual-ritual yang diadkan. Bahkan diadakan lomba kesenian Reog Nasional dan Pesta Kembang Api sebagai puncak acara ritual tersebut. Setiap kalangan dari masyarakat Ponorogo sendiri memiliki pendapat dan pandangan tentang arti dari setiap ritual tahunan yang diadakan. Akan tetapi mereka masih meyakini akan adanya hal-hal yang mistik mengenai sejarah dari tempat yang mereka huni pada saat sekarang ini. Sebagai bukti yang menguatkan itu semuanya masih adanya 8 warok di Ponorogo, konon pada awalnya adalah sesosok orang yang berkanuragan dan kebal akan senjata tajam, yang selalu membela tanah air Indonesia dengan bergerilya dan selalu membela kebenaran dan kebajikan. Semua tingkah laku dari pada masyarakat Ponorogo tidak terlepas dari pada semboyan kota Ponorogo itu sendiri yaitu : REOG (Resik Endah Omber Girang Gemirang).

C.     Perumusan Masalah    :
1.      Masalah Utama
·         Bagaimana bentuk penyajian ritual dan upacara malam 1 Suro?
·         Bagaimana kaitannya antara system religinya dengan seni pertunjukkan reog?

2.      Pertanyaan Penelitian
·         Kapan ritual malam 1 Suro itu berlangsung?
·         Dimana ritual malam 1 Suro itu berlangsung?
·         Siapa sajakah yang terlibat dalam ritual tersebut?
·         Bagaimanakah urutan dari ritual malam 1 Suro?
·         Apa sajakah peralatan yang akan digunakan dalam ritual tersebut?

D.    Tujuan Penelitian        :
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendapatkan data tentang Ritual dan upacara pada malam 1 suro. Agar dapat mendeskripsikan tentang bagaimana bentuk penyajian ritual malam 1 Suro, bagaimana kaitannya system religinya dengan seni pertunjukkan reog, untuk mengetahui kapan ritual malam 1 Suro berlangsung, mengetahui dimana tempat ritual malam 1 Suro berlangsung, untuk mengetahui siapa saja yang terlibat  dalam ritual tersebut, untuk mengetahui bagaimana urutan dari ritual malam 1 Suro, dan yang terakhir adalah untuk mengetahui apa sajakah peralatan Yng digunakan dalam ritual tersebut.

E.     Manfaat Penelitian      :
Manfaat penelitian ini adalah untuk kepentingan praktis dan akademik/teoritis. Kegunaan praktis adalah bahwa hasil kegiatan penelitian tentang “Sistem Ritus dan Upacara” di Ponorogo ini dapat digunakan sebagai bahan tugas penliaian mata kuliah Penelitian Kualitatif. Selain itu penelitian diharapkan dapat menjadi pegangan praktis seni, khususnya kesenian tari tradisional yang ada di Indonesia. Sedangkan tujuan teoritisnya adalah dalam rangka peran serta pemerintah untuk mendukung dan melestarikan seni budaya tradisional kesenian Reog Ponorogo.

F.      Teori dan Konsep
1.      Konsep

G.    Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, yang menghasilkan prosedur analisis. Metode penelitian yaitu melalui tahap wawancara, pengamatan, atau penelahaan dokumen.

1.      Desain Penelitian
Di tinjau dari perumusan masalah dan tujuan yang akan dicapai, metode deskriptif dipilih sebagai sarana dalam pelaksanaan penelitian. Metode ini adalah suatu metode dalam meneliti dengan mendeskripsikan, memaparkan, menuliskan, dan melaporkan suatu objek, keadaan atau fakta yang diteliti apa adanya.

2.      Setting penelitian
a)      Tempat Penelitian             : Ponorogo, Jawa Timur
b)      Waktu Penelitian               : Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal 26, 27, dan 28 November 2011
c)      Unit Analisa                      : Pada penelitian ini, hal yang akan diteliti yakni mengenai system ritus dan upacara dalam ritual malam 1 Suro.

3.      Sumber Data                     :
                                                                    i.            Narasumber           : seniman, pelaku ritual, warga di ponorogo
                                                                  ii.            Informan               :
                                                                iii.            Objek                    :
                                                                iv.            Pustaka                  :
                                                                  v.            Dokumen              : berupa foto-foto, rekaman video festival, dan video hasil wawancara.

4.      Teknik Pengumpulan Data
                                                                    i.            Wawancara           : peneliti bertatap muka langsung dengan narasumber yang telah ditetapkan. Peneliti mewawancara narasumber dengan jenis wawancara terbuka dan terstruktur.
                                                                  ii.            Pengamatan           : peneliti meneliti objek penelitian dengan melakukan pendokumentasian.
                                                                iii.            Studi Pustaka        : studi pustaka merupakan kegiatan guna mengkaji teori serta mendapatkan referensi yang bermanfaat dalam menganalisis sumber data. Studi pustaka yang dilakukan berupa buku-buku atau internet.
                                                                iv.            Studi dokumen     : studi dokumen terdapat dalam berbagai jenis. Mulai dari foto untuk mengetahui gambaaran dari suatu objek yang akan diteliti atau catatan harian untuk mengetahui lebih dalam tentang objek yang akan diteliti tersebut.

5.      Teknik Analisis Data         : Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif.

6.      Teknik Kaliberasi dan Keabsahan Data    : teknik kaliberasi dan keabsahan data yang digunakan adalah studi referensi dan tianulasi.

7.      Sistematika Penulisan :

Estetika Tari

Estetika Tari
Rangkuman




Disusun oleh :
Arfini Puja Dwi Putri
2525096378
Jurusan Seni Tari
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Jakarta
2011


1. CITRA DINAMIS

Yang dimaksud dengan citra dinamis adalah apa yang diciptakan oleh penari adaah tari, dan tari itu adalah perwujudan dari kekuatan-kekuatan aktif, yaitu sebuah citra dinamis. Semua yang dilakukan oleh penari sesungguhnya membantu dalam menciptakan apa yang sebenarnya kita lihat.

 namun apa yang kita lihat ssebenarnya adalah sebuah entitas virtual. Realita fisik yang tersaji: tempat, gravitasi, tubuh, kekuatan, dan pengendalian otot, serta benda-benda sekunder seperti cahaya, bunyi. Namun dalam tari, semuanya luluh, semakin sempurna tariannya, semakin sedikit kenampakan fisiknya. Apa yang kita lihat, dengar serta kita rasakan adalah kenyataan virtual, kekuatan gerak dalam tari, adanya konflik serta resolusinya, serta kehidupaan ritmiknya. Ini merupakan elemen-elemen perwujudan yang tercipta, dan tidak semata-mata bersifat fisik, namun tercipta secara artistik.

Yang diciptakan koreografer dalam tari yaitu citra dinamis berupa tari.

Menurut saya, citra dinamis adalah bagaimana memanfaatkan tenaga, ruang, dan waktu untuk membuat sebuah karya tari, karena apa yang terkandung dalam karya. Sedangkan Virtual adalah efek yang ditimbulkan dari gerak tari.

2. EKSPRESI

Ekspresi dalam pengertiannya yang terbatas dan memadai, merupakan sesuatu yang sama dalam setiap jenis karya seni. Apa yang tercipta pada dua macam karya seni misalnya, tindaklah akan sama adanya-inilah kenyataanya, yang membuatnya berbeda-kecuali dalam prinsip ciptaannya yang sama.

Karya seni adalah suatu bentuk ekspresi yang diciptakan bagi persepsi kita lewat indra atau pencitraan, dan apa yang diekspresikannya adalah perasaan insane. Kata “perasaan” mesti digunakan disini dalam pengertian yang lebih luas, maksudnya sesuatu yang bias dirasakan, dari sensasi fisik, derita hati maupun kesenangan, kegairahan dan ketenangan, sebagian emosi yang kompleks, tekanan pikiran ataupun sifat-sifat perasaan yang tetap terkait dalam kehidupan manusia. Dalam menetapkan apa karya seni itu, saya menggunakan kata-kata: “bentuk”,”ekspresi,” dan “kreasi.” Inilah kata-kata kuncinya. Kata-kata tersebut akan terus terkait.

Bentuk mempunyai banyak arti, seperti: struktur-struktur khas yang dikenal sebagai bentuk sonata,sestina, atau bentuk balada pada puisi, madrigal, atau simponi pada music, bentuk berhadap-hadapan dari dua baris penari pada tarian rakyat ataupun balet klasik, dan sebagainya.

Bentuk dalam pengertiannya yang paling abstrak berarti struktur, artikulasi, hasil menyeluruh dari hubungan berbagai factor yang saling bergayutan, atau lebih tepatnya cara dikaitnya keseluruhan aspek.

Pengertian abstrak, yang kadang-kadang disebut “bentuk logis”, melibatkan pengertian ekspresi, setidaknya sejenis ekspresi yang membuat seni itu memiliki sifatnya yang unik. Itulah yang menyebabkan bila seniman itu bicara tentang ‘bentuk,’ menggunakan konotasi abstrak, demikian pula bila berbicara tentang objek seni yang kasat mata dan bias diraba dimana bentuk itu terwujud.

Konsepsi bentuk yang sulit di mengerti tentunya diturunkan dari sesuatu yang naïf, yaitu dari wujud materinya. Mungkin cara yang paling mudah untuk memegang cita “bentuk logis” ini adalah dengan menelusuri asal-muasalnya.

Bentuk logis sendiri bukanlah sesuatu yang berbeda, tetapi sebuah konsepsi abstrak, atau lebih tepatnya konsepsi yang bias diabstraksikan. Biasanya kita tidak mengabstraksikannya dengan sengaja, tetapi hanya menggunakannya, seperti halnya kita menggunakan seperti halnya kita menggunakan pita suara untuk berbicara tanpa harus mempelajari cara kerja operasionalnya serta menerapkannya dalam pengetahuan kita.
Suatu bentuk ekspresi adalah apa saja yang bias dipahami dan dicitrakan secara menyeluruh, yang menunjukan tata-hubungan bagian-bagiannya, atau maksud yang dikandungnya, ataupun juga kualitas maupun keseluruhan aspek yang ada di dalamnya, sehingga mungkin bias menggambarkan secara analogis.

Transfigurasi(perubahan bentuk). Seluruh elemen-elemen yang tak terpisahkan dari realita subjektif ini membentuk apa yang kita sebut dengan “kehidupan batin’ insaniah. Perbandingan yang lazimatas unsure-unsur dari urut-urutan kehidupan ke dalam mental, emosi, dan unit inderawi kita merupakan skema simplifikasi perubahan tabiat yang membuat perlakuan ilmiah ini memungkinkan untuk bias dipikirkan perluasanya, namun mungkin kegunaannya menjadi terbatas, yaitu mendekati sebuah permasalahan dimana penyederhanaannya menjadi rintangan untuk pertanyaan dan penemuan lebih jauh ketimbang pengungkapannya, yang perkiraan logisnya bahkan cocok dengan apa yang diharapkan semula.

3. KREASI

Kreasi bukanlah selayaknya sebuah konsepsi nilai, seperti yang digunakan oleh pengusaha topi wanita atau pengusaha catering yang menyebutkan bahwa produk yang dihasikan adalah”ciptaannya.” Beberapa seniman yang berbakat pas-pasan menciptakan gambar yang sentimental yang vugar, nyanyian yang yang dangkal, tarian yang kekanak-kanakan, ataupun puisi yang sangat jelek, namun tokoh mereka disebut menciptakan karya-karya di atas.

Perbedaan antara kreasi dengan karya produk yang lain adalah sebagai berikut: pada objek sehari-hari, katakanlah sepatu misalnya, dibuat dengan menggabungkan bagian-bagian kulitnya menjadi satu; bagian kulit ini sudah ada sebelumnya. Sepatu ini merupakan sebuah konstruksi dari kulit. Ia memiliki keistimewaan wujud, guna, dan nama, namun masih berupa bahan dari kulit, dan masih dianggap seperti itu. Suatu lukisan dibuat dengan menebarkan cat di atas sebuah kanvas, namun gambar yang ada bukanlah merupakan struktur kesatuan dari wrna dan kanvas. Gambar yang muncul dari proses ini merupakan struktur ruang, dan ruangannya sendiri secara menyeluruh memunculkan berbagai perwujudan, serta berisi warna-warna yang kasat mata. Ruang maupun benda-benda yang terdapat pada gambar tersebut tidaklah ada sebelumnya di ruangan di mana gambar tersebut diletakan. Cat dan kanvas di atas tidak berada dalam ruang pictorial; keduanya berada dalam ruangan, sebagaimana keberadaan sebelumnya, walau tanpa perhatian khusus pun, kita bias menemukannya. Karena dengan sentuhan kita merasakannya masih ada disitu. Tetapi karena sentuhan itu ruang piktorialnya tidaklah ada.

Jelasnya, gambar adalah sebuah perwujudan Nampak oleh mata kita namun bukan untuk tangan kita, juga tidak bagi ruangnya yang kasat mata, betapa pun besarnya, yang juga tak memiliki kelengkapan akustik bagi telinga kita.

Ada objek-objek tertentu yang Nampak jelas di alam semesta ini, antara lain: bianglala, fatamogana, dan cermin di atas air yang tenang atau pada permukaan yang mengkilat. Contoh yang paling akrab adalah citra, yaitu di dalam cermin yang kita konstruksikan untuk mendapatkan refleksinya. Di dalam cermin inilah telah didapatkan pengenalan fisik dan deskripsi ruang seperti ini, yang menurut patokan umum dalam pengalaman praktis disebut dengan ilusi; ruang seperti ini disebut ruang virtual. Istilah “virtual” ini kita pinjam dari istilah teknik.

Sebuah gambar adalah perwujudan dari objek-objek virtual ( apakah itu berupa “benda” dalam pengertian biasa atau hanya gumpalan warna), yang ada dalam ruang virtual. Ruang di belakang kaca adalah fenomena tak langsung dari ruang yang sebenarnya. Tetapi ruang virtual dari sebuah lukisan adalah ruang yang diciptakan.

Ada semacam ruang virtual di dalam music, tetapi kedudukannya tidak dapat bertahan terhadap kepentingan utamanya seperti halnya pada seni visual. Tetapi kita memiliki pokok pemikiran yang cocok; music juga merupakan sesuatu yang tak nyata,”substansi” yang tercipta didapatkan dari bentuknya yang dibuat.

Dalam lukisan, ruang virtual bias saja disebut sebagai ilusi dasar, bukan karena dibuat pertama-tama oleh senimannya, sebelum ia menciptakan bentuk didalamnya-ruanganya muncul dalam garis dan warna, dan bukan sebelumnya- namun karena hal ini adalah apa yang selalu diciptakan dalam karya seni pictorial.

Musik juga memiliki ilusi utama, yang tercipta mana kala materi-materi nadanya mengakibatkan adanya sebuah impresi musikal. Keseluruhan teori seni ini berasal dari permasalahan”makna” di dalam musik.

Musik juga menyajikan sebuah ilusi yang jelas bagi kita, yang begitu kuatnya sehingga meskipun memiliki kejelasan, kadang-kadang tak dapat dikenali, karena dipetik untuk sesuatu yang nyata, yang berupa fenomena fisik, yakni fenomena gerak. Musik mengalun; melodinya bergerak, rangkaian nada-nadanya terdengar sebagai sebuah progresi. Perbedaan dalam urutan nada-nadanya adalah pada langkahnya, lompatan ataupun luncurannya. Harmoninya muncul, begeser, serta bergerak untuk mencapai resolusi. Sebuah bagian yang lengkap dari sebuah nada biasanya benar-benar disebut sebagai “gerak.”

Music tidaklah terbentang dalam waktu virtual yang tercipta oleh bunyi, sebuah aliran dinamis yang disajikan secara langsung, sebagaimana kaidahnya, tercipta bagi santapan telinga semata-mata. Waktu virtual ini bukan citra waktu seperti jam, namun waktu yang hidup, yang merupakan ilusi pokok dari musik. Waktu virtual ada di dalam music sedangkan ruang virtual ada di dalam seni plastis: kandungannya yang sangat subtansial, di atur oleh bentuk nada yang tercipta.

4. BENTUK HIDUP

Metafora lain dalam studio, yang dipinjam dari ranah biologi, merupakan pernyataan yang akrab yaitu bahwa setiap karya seni haruslah bersifat organis. Sebagian besar seniman tidak akan sependapat dengan pembahasan yang sangat harfiah bahwa ini adalah sebuah metafora. “sifat organis” secara mudah dan benar menunjukan, dalam perbendaharaannya, pada sesuatu yang bersifat khas dalam lukisan ataupun patung yang baik, sajak dan lakon, balet dan bangunan, serta petikan musik. Hal ini tidaklah menunjukan fungsi-fungsi biologis seperti halnya pada masalah pencernaan dan sirkulasinya.

Karena suatu karya itu “ memuat perasaan,” seperti unkapan yang umum dipergunakan, justru membuatnya hidup, mempunyai vitalitas artistic, dalam mempertunjukan “ bentuk hidupnya.”

Sentiesa (kesadaran impresi) sebagai sesuatu yang palingmendasar dari kesadaran munkin merupakan sebuah aspek dari proses organis. Dengan tahap-tahap pengembangan fungsi yang lebih tinggi, sentiensa yang lebih khusus berkembang, juga dengan: sensasi, emosi yang terpisah dan jelas (bukan secara menyeluruh), kegembiraan yang meluap, kegairahan dari kegelisahan jasmaniah, pengendalian terarah dan naluri yang kompleks, serta dengan setiap kompleksitasnya yang serta merta lebih subyektif.

Adanya alas an kenapa sebuah kerangka kejadian yang begitu rumit seperti halnya kehidupan seseorang yang mungkin bias berlangsung dan berada pada suatu pola dinamika yang berkesinambungan, adalah bahwa pada pola kejadian ini bersifat ritmis. Kita semua tahu bahwa apa yang banyakkita lakukan, seperti berjalan, mendayung, juga membelah kayu serta menganyam permadani, lebih mudah dilakukan ketika kegiatan itu ritmis. Biasanya orang berfikir tentang ritme sebagai urutan kejadian yang sama pada waktu yang singkat, seperti halnya interval waktu, yaitu, pemikiran ritme sebagai urutan yang periodik.

Saya piker ritme adalah sesuatu yang lebih berhubungan dengan fungsi dari pada kaitannya dengan waktu. Apa yang disebut dengan kejadian bukanlah sesuatu yang berlangsung dengan sederhana dalam segmen  waktu yang berubah-ubah. Suatu kejadian adalah perubahan di alam yang memiliki awalan dan penyelesaian.
Jika seni itu merupakan ekspresi kesadaran insane dalam citra metaforisnya belaka, bagaimanapun juga citranya harus mencapai suatu kemiripan dengan bentuk hidup. Semua prinsip yang telah kita pikirkan di atas haruslah mempunyai analogi dengan bentuk hidup dalam penciptaan seni.

Menurut saya, citra metaforik lebih mudah di lakukan manusia jika bersifat ritmik dengan pengulangan dalam waktu yang singkat dari pada melakukan citra metaforik dengsn cara tidak ritmik maka manusia akan rumit untuk menumbuhkan citra tersebut.

5. Persepsi Artistik & “Cahaya Alami”

Yang di maksudkan dengan persepsi artistik adalah.pengertian ekspresi dalam karya seni. Ekspresi dimiliki oleh setiap karya seni yang berhasil. ini tidak terbatas pada lukisan, sajak atau komposisi lain yang membuat rujukan pada keberadaan insani dengan perasaan-perasaanya, yang Nampak pada wajah dan gesture atau pun muatan situasi emosionalnya. Representasi dari perasaan adalah sesuatu, sedangkan ekspresi seni yang khas darinya adalah. sesuatu yang lain lagi. Sesuatu keseluruhan desain serta guci yang indah, bisa saja berbicara persis seperti ekspresi pada sonata-cinta atau lukisan religius.
 karena hal ini selalu berkaitan dengan perasaan, pengertian, emosi dan kesabaran yang disampaikan oleh karya seni yang baik. Makna hayati adalah. Elemen dari kehidupan yang dirasakan,yang diobjektifikasikan dalam karyanya,serta membuatnya dapat diterima oleh pengertian kita. Dalam hal ini, tak lain dan tak bukan, sesuatu karya seni merupakan sebuah simbol. Pada umumnya seniman dan pecinta seni sependapat bahwa ekspresi artistik adalah. Intuitif, Mereka akan mengatakan terjadinya secara spontan dan segera, tanpa dipikirkan, serta tanpa kepentingan logika. Selanjutnya seseorang akan menyatakan, bahwa kekuatan khusus dari intuisi-lah yang menguasai ahli seni untuk mengetahui kedalaman realitas, yang bagi orang tak beradab tak pernah bisa diketahuinya. Mereka menyatakan, bahwa pengetahuan ini timbul lewat perasaan, tidak dipikirkan, hal ini adalah irasional, serta merupakan sentuhan metafisik dengan suatu yang nyata.

Persepsi artistik adalah. semacam pemikiran yang ditunjukan, sebagaimana orang-orang berkat, lewat perasaan. Seakan-akan seorang bisa menggunakan perasaan untuk menggantikan pikirannya dalam mempertahankan suatu keyakinan. ini tidak menyangkut masalah keyakinan atau pun menguasai dukungan permasalahanya saja.

Mengajukan dua alternatif devinisi yaitu:

A. intuisi adalah kesadaran yang muncul dengan segera atas sebuah subjek,tentang beberapa entitas yang  khusus, tanpa bantuan pemahaman atau pun pemikiran yang akan menyebabkan adanya kesadaran tersebut.

B.intuisi adalah sebuah metode yang subjeknya menjadi sadar atas sesuatu yang benar-benar ada tanpa bantuan pemahaman ataupun pemikiran yang menyebabkan adanya suatu kesadaran semacam itu.

Metode semacam ini tidaklah ada. kita ambil sekarang suatu devinisi  yang lebih baik dalam menetapkan konsepsi intuisi, yaitu: intuisi merupakan suatu perasaan yang luar biasa serta kesadaran irasional dari apa yang ia sebut sebagai “hal yang khusus tersendiri “benda, fakta, atau macam-macam lainnya, namun keberadaanya selalu kongkrit.

“intuisi”dalam pengertian ini adalah sebuah peristiwa yang penuh misteri, pengalaman yang mengejutkan bila agaknya hal ini terjadi.

Tambahan lagi intuisi pada pengertian ini bertentangan dengan segala hal yang bisa di sebut pemikiran-pengamatan, memori, bukti, dan barangkali dugaan.

Penalaran adalah. alat yang sistematis untuk menemukan intuisi yang satu menuju intuisi yang lainnya. serta dalam mendapatkan intuisi-intuisi yang kompleks dan komulatif.

Apa yang saya maksudkan dengan intuisi pada dasarnya adalah. seperti yang disebut locke sebagai”cahaya alami”(barangkali dengan syarat dari pengetahuan intuisinya sendiri)saya piker intuisi adalah. dasar dari aktivitas intelektual, yang menghasilkan pengertian logika atau samantika.

6. ANALOGI YANG MENYESATKAN

Interelasi di antara semua cabang seni-lukis, patung, arsitektur, musik, drama, fiksi, tari, film dan lain-lainya yang mungkin anda kenal-telah menjadi topic lama yang patut dihargai dalam estetika. Doktrin-doktrin yang berlaku terhadap pertalian di atas, dengan cepat pula menjadi kuno atau ketingalan jaman. Dewasa ini doktrin tersebut telah diterima kembali untuk menegaskan bahwa semua seni itu sebenarnya hanya satu”Art”dengan huruf besar A.bahwa ada perbedaankarena hanya dibedakan atas materinya.

Tari adalah. bahasa gesture, drama sesungguhnya”merupakan suatu dithyramb (peryataan yangtentunya) adalah. musik yang beku.

Apakah perbedaan seni itu lama atau baru dalam teori estetika, pada kenyataannya memang kuno.

Jawaban dari pertanyaan ini biasanya adalah. apa saja yang dikerjakan seniman dengan menggunakan banyak sekali materi, karena itu tekniknya haruslah dibedakan, ini yang Nampak menjadikannya sungguh-sungguh berbedah. semua seni itu dalam esensinya satu, namun berbeda dalam variasi atributnya. dari situlah kita dapat menemukan sendiri pada jejak atributnya, dan semua kenyataan menarik yang muncul hanyalah mengantarkan kita semakin jauh meninggalkan paduan dasar Art(Seni) menuju pada perbedan-perbedaannya.

Kesulitan dengan pendekatan ini terhadap interelasi seni adalah. bahwa ini dibenarkan sebagai kenyataan untuk di mengerti, tetapi apakah telah yang dianggap benar terletak di belakangnya, dan karena itu tidak bisa sebagai objek penelitian yang terletak di hadapannya.

Kita mempelajarinya tidak lebih dari seputar kesamaan itu. kita sebaiknya hanya melewati atau menghindari setiap problematika yang Nampak, dengan tidak berfikir panjang lagi, untuk menyinggung beberapa yang lainnya. sebab hal ini tidak bisa benar-benar merupakan problematika seni, sehingga dengan ini kita terpaksa membatasi diri kita sendiri untuk memudahkan generalisasi yang bisa di nyatakan dengan aman (sebagaimana biasanya)” dari suatu sajak, subuah sonata, seoarang Raphael Madonna, sebuah tari yang indah”dan sebagainya.

Pendekatan saya terhadap problematika dari interelasi di antara seni telah dihadapkan secara tepat: yaitu dengan menggambil masing-masing seni sebagai suatu wilayah tersendiri dan mempertanyakan apa yang di ciptakannya, apa prinsip-prinsip kreasi seninya. seberapa jauh teba yang dimiliki serta kemungkinan materi-materi yang di kandungnya. perlakukan seperti ini memperlihatkan  perbedaan-perbedaan di antara  sebagai besar seni, baik yang bersifat plastis, mustikal, baletis, maupun puitis. dalam mengejar perbedaan ini lebih dari pada mengingkari kepentingannya dengan lantang, seseorang mendapatkannya lebih dalam dari pada yang di harapkannya.

Tetapi bila anda telusuri perbedaan-perbedaan yang ada di antara seni tersebut dengan lebih rinci lagi, sampailah pada suatu wilayah di mana tidak ada lagi perbedaan yang bisa diketemukan. ini adalah suatu titik di mana  perangkat strukturalnya lebih dalam citra ambivalen (citra perasaan yang berbedah) tekanannya yang bersilang, ritme-ritmenya yang kuat serta anologinya secara rinci, variasi, kesesuaian, pendek kata: seluruh pengaturan perangkatnya-mengungkapkan prinsip-prinsip bentuk dinamis yang kita pelajari dari sifat-sifat dasarnya sebagaimana secara pontan kita bisa belajar bahasa dari orang tua kita.

Kita tidak mengatakan bahwa suatu operasi bedah yang ceroboh adalah non-artistik (walaupun barangkali kita dapatkan tidak estetik). kemudian pengunaan”seni”dalam pengertian terbatas, saya definisikan: Semua seni adalah. kreasi dari bentuk ekspresi perasaan insani.

Lalu pada hakikatnya semua seni itu menciptakan bentuk yang mengekspresikan kehidupan perasaan (kehidupan perasaan ini, bukan saja perasaan yang terjadi pada seorang seniman) dan semuanya berlaku dalam prinsip dasar yang sama. Namun di situlah kesamaan yang mendasar itu berhenti. bila kita mengamati apa yang tercipta dalam berbagai seni di atas, kita sampai pada sunber perbedaan yang di turunkan oleh masing-masing seni dalam otonomi dan problematikanya sendiri.

Masing-masing seni menurunkan dimensi pengalaman yang khusus berupa semacam citra kenyataan yang khas. waktu virtual ini adalah perwujudan yang utama dimensinya, disitu bentuk yang di ciptakannya bergerak. disini saya tidak dapat menjelaskan lebih lanjut, kecuali hanya menunjukan penemuannya atas suatu penelitian yang dimulai dengan perlakukan masing-masing seni dalam istilahnya sendiri yang kemudian menjadi umum oleh tahapan generalisasinya.

Sebenarnya, perbandingan langsung adalah. metode penilaian yang terlalu tinggi dalam menemukan hubungan antar seni. jauh sebelum anda bisa membuat generalisasi dengan perbandingan atas proses keterlibatan actual dalam seni plastis, musik, puisi, dan semua macam kreasi yang lainnya. sehingga mengaitkan semua seni.

Impersonal adalah baletis (kata ”baletis” di sini menunjukan pada tari, bukan pengertian balet secara khusus. lainnya lagi, yang lebih menyolok (walaupun mungkin tidak lebih penting) adalah hubungan antar dua seni menjadi nyata dimana karya seni yang satu menyajikan pembentukannya dari karya seni milik ayng lainnya,suatu hal dimana dua seni biasanya dikatakan berkaitan.

Sebagai analogi yang berhasil tidaklah kemudian berhenti pada kecocokannya dari faktor-faktor materinya. begitupun hal tersebut di atas tidaklah bisa di perbandingkan konstruksinya. kesamaan-kesamaan yang membenarkan peminjaman kata judul di atas tertahan di natra masing-masing perumusan perasaannya, dan bila di raih dengan cara yang berbedah pada seni-seni yang berlainan.

Menurut saya, saya setuju dengan pendapat dalam buku ini yaitu: apa yang tercipta dalam berbagai seni diatas, kita sampai pada sumber perbedaan yang diturunkan oleh masing-masing seni dalam otonomi dan problematikanya.

7. IMITASI DAN TRANSFORMASI

Segala sesuatu tentang kenyataan, yaitu yang diekspresikan dan dibawakannya, harus diabstraksikan dari kenyataan tersebut. tidak ada artinya mencoba membawakan kenyataan secara murni dan bersahaja. Kehebatan dalam kemampuan pengucapannya di pergunakan pertama-tama dalam mengekspresikan pemikiran kita secara ilmiah.

Diabstraksikan dengan mandegnya suatu eksistensi dalam symbol-simbol misti,sebelum abstraksinya tumbuh cukup akrab menjadi pengertian umum yang membosankan dan didefinisikan dalam seluruh kaidah deskripsi geometri.

Bagaimana, dan oleh siapa abstraksi itu semula dibuat? oleh orang-orang yang memilik kedalaman piker pada setiap jaman, oleh kebanyakan pemakai yang punya kusa atas bahasa atau simbolisme yang lain, yang bisa memaksa kita untuk melihatnya lebih dari pada makna yang diterima pada umumnya dalam simbol-simbol yang akrab. abstraksi bahasa, yang menguasai sebagian besar pemikiran kita sehari harus muncul dari dasar itu juga.menyebarkan luas, namun fenomena yang sedikit dikenal ini dalam metafora.

Jadi inspirasi yang biasanya datang bagi intuisi semacam ini dalam objek yang di lihat seniman dengan kemungkinan bentuknya seperti yang di bayangkan dan di inginkan untuk kreasiny, dan dorongan hati pada seni primitif adalah imitasi bentuk alami yang bersifat ekspresif.

Hal ini membawa saya pada kasus tersendiri, dimana teknik di curahkan untuk pencapaian efek yang dimikiki signifikansi emosiaonal, melebihi seluruh imitasinya dan mencapai efeknya agar bisa dibicarakan dalam abstraksinya. tipe yang exstrem dari perlakukan ini mungkin lebih di tetapkan sebagai transfomasi ketimbang sebagai imitasi. ini di lakukan dengan membawakan penampilan yang di inginkannya tanpa representasi yang sebenarnya dengan kesamaan impresi inderawi pada suatu yang secara harafiah sama berkenaan dengan keterbatasan dan materinya yang masuk akal, yang tidak dapat meniru seperti apa adanya dari properti yang di inginkan pada modelnya.

Untuk mendapatkan efek spatial medium bunyi atau pemahaman atas cahaya yang sebenarnya dari sinar yang gemerlapan atau menyilaukan dengan warna ataupun bentuk tidak dengan penyinaran apapun yang khusus itulah yang saya maksudkan dengan mentranformasikan rupa suatu model ke dalam struktur inderawi dari jenisnya yang lain.

Penyampaian bentuk dengan perangkat selain dari garis bentuknya namun berkenan dengan tinta di atas merupakan pencapaian dari efek yang saya sebut ”transforrmasi”.

Menurut saya, konsep imitasi dapat kita lihat dari koreografer yang ingin menciptakan gerak melalui rangsang dengar ataupun penglihatan dan di imitasikan dalam gerak, dan di transformasi ke dalam kaidah-kaidah dalam seni tari tanpa melenceng dari alur budaya yang sudah ada, juga kita dapat mengabstraksikan gerak untuk menciptakan makna yang mendorong penikmat tari untuk memaknainya, semua akan bermuara pada efek penciptaan seni tari tersebut, bagus, jelek atau abstrakkah karya tari tersebut.

8. PRINSIP-PRINSIP SENI

Seni adalah. perihal keterampilan namun untuk suatu tujuan yang khusus yang menciptakan bentuk ekspresi secara visual, auditif atau bisa juga bentuknya dirasakan secara citrawi menyajikan sifat-sifat dasar perasan  insani.

Namun sesuatu yang membangkitkan minta seputar konsep dasar seni ini adalah. seluruh sebagian besar problematika seni yang muncul terkait denganya, bukan satu persatu namun terkait langsung atau tidak langsung satu dengan yang lainnya. otonomi dari beberapa seni serta kaitannya yang rumit satu dengan yang lainnya, yang lebih banyak ketimbang kandungan ciri-ciri umumnya ataupun elemen-elemennya yang sepadan orisinalitas maupun arti penting dari gayanya, kesinambungan sejarahnya tradisi dan perubahannya motivasi dan maksud yang disadarinya serta tujuannya yang tak berkaitan, peryataan diri, reprensentasi, anstraksi, pengaruh social, fungsi religinya, merubah selera dan problematika dalam kritik seni. pertentangan yang usang seputar kaidah-kaidah seni. dan celaannya pada ”teknik semata-mata.”

Penciptaan bentuk ekspresi yang dapat dirasakan adalah suatu prinsip seni namun pengunaanya penggambarannya tidak menjadi soal betapapun pentingnya. merupakan prinsip kreasi seni, Saya pikir adanya keyakinan bahwa konsepsi seni itu berubah dari masa ke masa berhenti pada sebuah pikiran yang keluar dari prinsip-prinsip yang paling umum pada pelaksanaan teknik artistiknya, yang berlaku pada periode dan kebudayaan tertentu seperti halnya prinsip seni itu sendiri.

Teori normatif yang ketiga sepertinya  muncul secara alami dalam benak kita, karena walaupun teori ini muncul lebih kemudian dari karangan poe .ini menyajikan salah satu dari norma-norma Poe yang itu-itu aja. yang menentanganya sebagai suatu yang memalukan. yaitu, pada sifat-sifat puisi dari Matthew Arnold.

Di dalam kajian seni tari banyak sekali prinsip-prinsip seni yang tidak bisa di rubah seperti pakaian, gerak seperti mendak dan mempunyai cirri khas masing-masing. Saya pikir adanya keyakinan bahwa konsepsi seni itu berubah dari masa ke masa berhenti pada sebuah pikiran yang keluar dari prinsip-prinsip yang paling umum pada pelaksanaan teknik artistiknya, yang berlaku pada periode dan kebudayaan tertentu seperti halnya prinsip seni itu sendiri.

9. SIMBOL SENI DAN SIMBOL DI DALAM SENI

Setiap konstruksi teoritis membutuhkan model. Khususnya jika anda ingin mendapatkan struktur yang terperinci anda harus memiliki sebuah model.

Perlakuan seni sebagai bahasa murni atau simbolisme, atau kerancuan yang lain antara symbol seni dengan symbol di dalam seni, seperti yang dikenal oleh para ikonolog ataupun psikolog masa kini. Menyadarkan adanya dasar serta luasnya perbedaan antara symbol asli dan karya seninya. Perbedaan yang ada jauh lebih besar dari pada yang telah kita sadari sebelum ini. Karena itu apa yang fungsinya saya sebut “symbol seni” yang setiap kasus, karya seni sebagai cangkupan keseluruhan, dan apa adanya lebih menyerupai sebuah fungsi simbolik dari pada suatu yang lain. Perasaan diekspresikan dengan baik atau jelek, dan dengan demikian karyanya menjadi baik, lemah ataupun jelek-perhatikanbahwa pada kasus yang terakhir ini seorang seniman akan memotifasinya sebagai sesuatu yang salah.

Makna dari sebuah bentuk ekspresi. Ini terasa lebih memadai karena karya itu bisa saja memiliki arti tambahan.

Beberapa fungsi simbolik, walaupun tidak seluruhan; khusus, bukan arti sesuatu yang lain, atau menunjuk pada sesuatu yang terpisah dengannya. Menurut definisi “symbol” yang biasa berlaku, suatu karya seni sebaiknya tidak digolongkan sebagai symbol semata-mata. Tetapi definisi yang umum tersebut merupakan nilai intelektual yang paling pokok dan saya  kita merupakan fungsi utama dari symbol- kekuatan perumusan pengalaman, dan penyajiannya secara objektif bagi suatu perenungan, intuisi logis, pengenalan, dan pengertiannya. Itu adalah artikulasi, atau ekspresi logis.

Menurut saya, beberapa symbol di dalam gerak seni tari mempunyai makna yang harus dapat disampaikan kepada penonton atau pengamat seni, symbol dalam seni tari pun juga terdapat dari alur cerita, judul, gerak, dan sebagainya.

10. KREASI PUITIS

Dalam membaca macam telaah semantika dari puisi mungkin seseorang tetap ingin tahu, kenapa bahasa puitis begitu sering ditunjukan sebagai “kreatif”, dan produknya sebagai  “kreasi puitis.” Dirangsang seperti mereka berkomunikasi sehari-hari di dalam masyarakatnya. Penamaan semacam sugesti serta ulasan “kreasi” sepertinya agak berbau pretensius, seperti kalau menunjuk pada semua karya seni sebagai “masterpiece.”
Dalam sebuah lukisan, esensi kreatifnya adalah pemunculan sebuah ruang, dalam pengertiannya bukan ruang dimana lukisan itu tergantung atau tempat penontonnyaa berdiri.

Sebuah factor yang tercipta dalam karya seni adalah elemen-elemen dari karya tersebut. Elemen-elemennya adalah apa yang kita temukan, bili kita menganalisisnya, baik secara kebetulan ataupun bila kita menganalisisnya, baik secara kebetulan ataupun bila dilakukan dengan seksama. Latar belakang serta bagian depannya, penonjolannya, langitnya yang kosong, gerak, aksentuasi, intensitas warna, kedalamanya yang Nampak gelap, serta objek-objek yang berkaitan satu dengan yang lainnya- semua ini adalah elemen-elemen lukisan.

Musik, seperti halnya seni lukis, semata-mata adalah bentuk yang diciptakan tidak untuk ruang, namun untuk waktu; materinya adalah nada serta perubahan titinadanya, kekerasan suaranya, dan kualitas yang ada, sedangkan elemennya adalah bentuk nadanya, pergerakannya, campurannya, resolusi, kandungan arah dan energinya, dalam menuju penyelesaian lagunya yang keras ataupun saat jedanya.

Citra yang muncul adalah esensi yang dihasilkan dari pengertian kata-kata tersebut. Keseluruhan yang dihasilkan sedikit banyak lebih daripada sebuah pernyataan harfiah; yang ini adalah pernyataan yang menampilkan fakta dalam suatu kejelasan khas.

Menurut saya, begitu pula dalam seni tari mempunyai citra tesendiri seperti intensitas geraknya, ruang gerak waktu tenaga, hitungan gerak yang berhubungan pula dengan music dan mempunyai fakta tersendiri yang khas.