Page

Total Tayangan Halaman

Minggu, 17 Februari 2013

Pendahuluan Fenomenologi


Pendahuluan Fenomenologi

Oleh : Adam Azano Satrio

Fenomenologi (inggris : Phenomenology) merupakan cabang dari filsafat yang memiliki bahan kajian yang memiliki tingkat hampir serupa dengan epistemologi, namun fenomenologi lebih memfokuskan pada tindak kesadaran sang subjek terhadap suatu objek bukan pada kevalidan tentang objek tersebut. Contoh sederhana dalam menjelaskan fenomenologi adalah ketika subjek mendengarkan suatu lagu, ketika lagu tersebut dikaji melalui epistemologi pada umumnya kita dapat mengetahui bahwa lagu tersebut memiliki suatu struktur matematis, frekuensi nada dan amplitudo yang bisa kita ukur, namun ketika dikaji melalui fenomenologi kita dapat menganalisa hal lebih kaya dibandingkan itu semua, karena sang subjek merasakan lagu tersebut bisa merespon dengan hasil yang berbeda seperti pada hari pertama ketika mendengarkan lagu tersebut perasaannya biasa saja, tapi pada hari keempat bisa jadi sangat membenci lagu ataupun menjadi sedih semua hal itu karena teringat lagu tersebut diputar setelah putus hubungan dengan sang kekasih.[1]
                Fenomenologi dikatakan unik dikarenakan diawali bukan dari pemikiran spekulasi seorang filsuf namun dari seorang psikolog yang bernama Franz Brentano. Franz Brentano menganggap bahwa pemikiran psikologi pada eranya menyederhanakan menjadi aktivitas mekanistik biasa, seperti emosi seseorang pasti dikarenakan adanya stimulus kepada subjek dan hasil Outputnya pasti sama pada setiap subjek lainnya. Hal tersebut menjadi anti-tesis utama dalam pemikiran Franz Brentano yang mempercayai bahwa kegiatan mental merupakan kegiatan psyche yang unik.

                Pemikiran Franz Brentano dikukuhkan oleh Edmund Husserl menjadi fenomenologi yang memiliki tesis utama bahwa tidak ada dikotomi kantian, dimana objek pasti ada yang bersifat nomena yang tidak bisa diketahui secara pasti dan fenomena yang pasti dapat diketahui, namun semuanya adalah objek fenomena itu adalah yang sebenarnya dan pasti bisa dirasakan oleh subjek. Proses subjek mengilhami fenomena tersebut tidak bersifat satu arah namun dua arah atau yang sering dikatakan sebagai reciprocity, yang menyebabkan kesadaran subjek dengan objeknya bisa jadi menghasilkan sesuatu yang berbeda karena saling mempengaruhi, seperti seseorang yang mendekati lawan jenis, walaupun subjek dan objek sama namun hasil yang dirasakan sang subjek bisa berbeda ditiap waktu yang berbeda. Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran filsuf umumnya, terutama pemikir epistemologi, yang secara gamblang menyederhanakan bahwa subjek sudah pasti akan mendapatkan pengetahuan yang objektif dari objek dan hasilnya bersifat konstan.

Untuk memudahkan pemikiran tersebut kita bisa menggunakan analogi kacamata yang memiliki lensa berwarna ungu. Bayangkan seseorang memiliki penyakit rabun dan hanya bisa melihat dengan kacamata tersebut, sudah pasti bahwa yang akan terlihat oleh orang tersebut pastilah menjadi lebih jelas dibandingkan sebelmnya, namun apa yang terlihat semuanya menjadi berwarna ungu, kita dapat menganalogikan bahwa proses kita melihat suatu hal menjadi proses melihat ala Immanuel Kant, dimana kacamata tersebut adalah 12 modal katagori dan gambaran yang ditangkap mata adalah proses mendapatkan pengetahuan. Kita dapat mengetahui bahwa kita dapat mengetahui objek dengan menggunakan kacamata tersebut dan semua yang tampak menjadi ungu sebagai sebuah fenomena, sedangkan keadaan kita disaat tidak menggunakan kacamata sebagai nomena, kita mengetahui bahwa hal itu ada namun kita tidak bisa secara jelas mengetahuinya. Ketika kita membicarakan fenomenologi maka kita tidak berurusan dengan hal nomena yang bersifat metafisik tersebut namun memfokuskan diri pada apa yang dihayati oleh sang subjek dengan kesadaran keadaannya saat menggunakan kacamata tersebut ataupun tidak menggunakannya, karena fenomenologi lebih memfokuskan diri pada tindak kesadaran subjek. Jika kita bertanya tentang bagaimana fenomenologi bisa menjelaskan other mind? Maka fenomenologi memiliki keyakinan bahwa consciousness merupakan hal yang bersifat publik dan mengijinkan adanya kajian dan kemampuan untuk mengetahui mind subjek lain.

Berbeda dengan pemikiran epistemologi klasik yang sering memisahkan hal empiris dan rasio dan menyalahkan secara mutlak satu posisi, fenomenologi menyamaratakan semua menjadi sumber objek fenomena. Perluasan sumber objek inilah yang pada akhirnya memungkinkan untuk memperluas objek penelitian, seperti hal yang bersifat non-fisik seperti ingatan, imajinasi, fantasi menjadi hal yang bisa dikaji. Kesadaran manusia untuk mengkaji suatu objek dalam fenomenologi selain bersifat dua arah pastilah memiliki suatu keterarahan, act of consciousness, atau yang sering dikatakan sebagai intensionalitas. Hal inilah yang menunjukan bahwa kesadaran bersifat tindakan dan memiliki tujuan kesuatu hal apapun itu baik bersifat empiris yang mampu dikaji melalui alat saintifik ataupun rasio.

Secara praktis fenomenologi bisa menunjukan keberagaman kehidupan yang dialami dan dihayati manusia, serta mampu menjelaskan bahwa tiap subjek adalah suatu hal yang unik.


[1] Contoh yang diberikan Dr. Donny Gahral M.Hum, Dosen Filsafat pengajar matakuliah fenomenologi pada Tanggal 15 february 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar