Pendahuluan
Fenomenologi
Oleh : Adam Azano
Satrio
Fenomenologi (inggris
: Phenomenology) merupakan cabang dari filsafat yang memiliki bahan kajian yang
memiliki tingkat hampir serupa dengan epistemologi, namun fenomenologi lebih
memfokuskan pada tindak kesadaran sang subjek terhadap suatu objek bukan pada
kevalidan tentang objek tersebut. Contoh sederhana dalam menjelaskan
fenomenologi adalah ketika subjek mendengarkan suatu lagu, ketika lagu tersebut
dikaji melalui epistemologi pada umumnya kita dapat mengetahui bahwa lagu
tersebut memiliki suatu struktur matematis, frekuensi nada dan amplitudo yang
bisa kita ukur, namun ketika dikaji melalui fenomenologi kita dapat menganalisa
hal lebih kaya dibandingkan itu semua, karena sang subjek merasakan lagu
tersebut bisa merespon dengan hasil yang berbeda seperti pada hari pertama
ketika mendengarkan lagu tersebut perasaannya biasa saja, tapi pada hari keempat
bisa jadi sangat membenci lagu ataupun menjadi sedih semua hal itu karena
teringat lagu tersebut diputar setelah putus hubungan dengan sang kekasih.[1]
Fenomenologi
dikatakan unik dikarenakan diawali bukan dari pemikiran spekulasi seorang filsuf
namun dari seorang psikolog yang bernama Franz Brentano. Franz Brentano
menganggap bahwa pemikiran psikologi pada eranya menyederhanakan menjadi
aktivitas mekanistik biasa, seperti emosi seseorang pasti dikarenakan adanya
stimulus kepada subjek dan hasil Outputnya pasti sama pada setiap subjek
lainnya. Hal tersebut menjadi anti-tesis utama dalam pemikiran Franz Brentano
yang mempercayai bahwa kegiatan mental merupakan kegiatan psyche yang unik.
Pemikiran
Franz Brentano dikukuhkan oleh Edmund Husserl menjadi fenomenologi yang memiliki
tesis utama bahwa tidak ada dikotomi kantian, dimana objek pasti ada yang
bersifat nomena yang tidak bisa diketahui secara pasti dan fenomena yang pasti
dapat diketahui, namun semuanya adalah objek fenomena itu adalah yang
sebenarnya dan pasti bisa dirasakan oleh subjek. Proses subjek mengilhami
fenomena tersebut tidak bersifat satu arah namun dua arah atau yang sering
dikatakan sebagai reciprocity, yang menyebabkan kesadaran subjek dengan
objeknya bisa jadi menghasilkan sesuatu yang berbeda karena saling mempengaruhi,
seperti seseorang yang mendekati lawan jenis, walaupun subjek dan objek sama
namun hasil yang dirasakan sang subjek bisa berbeda ditiap waktu yang berbeda. Pemikiran
ini berbeda dengan pemikiran filsuf umumnya, terutama pemikir epistemologi,
yang secara gamblang menyederhanakan bahwa subjek sudah pasti akan mendapatkan
pengetahuan yang objektif dari objek dan hasilnya bersifat konstan.
Untuk memudahkan
pemikiran tersebut kita bisa menggunakan analogi kacamata yang memiliki lensa
berwarna ungu. Bayangkan seseorang memiliki penyakit rabun dan hanya bisa
melihat dengan kacamata tersebut, sudah pasti bahwa yang akan terlihat oleh
orang tersebut pastilah menjadi lebih jelas dibandingkan sebelmnya, namun apa
yang terlihat semuanya menjadi berwarna ungu, kita dapat menganalogikan bahwa
proses kita melihat suatu hal menjadi proses melihat ala Immanuel Kant, dimana
kacamata tersebut adalah 12 modal katagori dan gambaran yang ditangkap mata
adalah proses mendapatkan pengetahuan. Kita dapat mengetahui bahwa kita dapat
mengetahui objek dengan menggunakan kacamata tersebut dan semua yang tampak
menjadi ungu sebagai sebuah fenomena, sedangkan keadaan kita disaat tidak
menggunakan kacamata sebagai nomena, kita mengetahui bahwa hal itu ada namun
kita tidak bisa secara jelas mengetahuinya. Ketika kita membicarakan
fenomenologi maka kita tidak berurusan dengan hal nomena yang bersifat
metafisik tersebut namun memfokuskan diri pada apa yang dihayati oleh sang
subjek dengan kesadaran keadaannya saat menggunakan kacamata tersebut ataupun
tidak menggunakannya, karena fenomenologi lebih memfokuskan diri pada tindak
kesadaran subjek. Jika kita bertanya tentang bagaimana fenomenologi bisa
menjelaskan other mind? Maka fenomenologi memiliki keyakinan bahwa consciousness
merupakan hal yang bersifat publik dan mengijinkan adanya kajian dan kemampuan
untuk mengetahui mind subjek lain.
Berbeda dengan
pemikiran epistemologi klasik yang sering memisahkan hal empiris dan rasio dan
menyalahkan secara mutlak satu posisi, fenomenologi menyamaratakan semua menjadi
sumber objek fenomena. Perluasan sumber objek inilah yang pada akhirnya
memungkinkan untuk memperluas objek penelitian, seperti hal yang bersifat non-fisik
seperti ingatan, imajinasi, fantasi menjadi hal yang bisa dikaji. Kesadaran manusia
untuk mengkaji suatu objek dalam fenomenologi selain bersifat dua arah pastilah
memiliki suatu keterarahan, act of consciousness, atau yang sering dikatakan
sebagai intensionalitas. Hal inilah yang menunjukan bahwa kesadaran bersifat
tindakan dan memiliki tujuan kesuatu hal apapun itu baik bersifat empiris yang
mampu dikaji melalui alat saintifik ataupun rasio.
Secara praktis
fenomenologi bisa menunjukan keberagaman kehidupan yang dialami dan dihayati
manusia, serta mampu menjelaskan bahwa tiap subjek adalah suatu hal yang unik.
[1] Contoh
yang diberikan Dr. Donny Gahral M.Hum, Dosen Filsafat pengajar matakuliah
fenomenologi pada Tanggal 15 february 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar