Page

Total Tayangan Halaman

Selasa, 26 Februari 2013

BAB II PEMIKIRAN ETIKA AYN RAND


BAB II
PEMIKIRAN ETIKA AYN RAND
2.1.   Riwayat singkat Ayn Rand
Alisa Zinov'yevna Rosenbaumm yang lebih dikenal dengan Ayn Rand adalah seorang novelis, filsuf, penulis skenario dan juga penulis naskah drama yang berasal dari Rusia-Amerika. Dia lahir pada 2 February 1905. Lebih jauh lagi, Rand lahir dan menempuh pendidikan di Rusia, akan tetapi, pada tahun 1962 Rand pindah ke Amerika Serikat. Di sana dia mempunyai karya drama yang diproduksi di Broadway pada tahun 1935-1936. Novelnya yang berjudul The Fountainhead menjadi salah satu novel terkenal pada tahun 1943, setelah dua novel sebelumnya tidak mengalami kesuksesan yang signifikan. Lalu, pada tahun 1957, Rand mengeluarkan satu novel yang bergenre filosofi yang berjudul Atlas Shrugged yang akhirnya juga mengalami kesuksesan. Setelah itu, Rand beralih dari novelis fiksi menjadi novelis non fiksi untuk mempromosikan filosofi yang dianutnya.  Rand bahkan juga mempublikasikan banyak essay dan majalah sepanjang sisa hidupnya.
Rand yang banyak membuat karya sepanjang hidupnya ini adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Semasa kecilnya, dia hidup dalam situasi revolusi Rusia. Pada saat masa SMA di Crimea, Rand bahkan mengakui bahwa dirinya adalah seorang atheis. Rand kembali ke rumah keluarganya di Petrograd setelah lulus SMA dan melanjutkan pendidikannya ke Universitas Negeri Petrogrand
Pada 15 April 1929, Rand menikah dengan Frank O’Connor yang ditemuinya saat ia menjadi penulis skenario junior di film The King of Kings. Kemudian, pada tahun 1931, Rand berpindah kewarganegaraan dari Rusia menjadi Amerika. Rand sebenarnya juga berusaha untuk membawa orangtua dan saudara-saudaranya untuk tinggal dan menjadi warga Negara Amerika, akan tetapi Rand tidak pernah bisa mendapatkan ijin untuk membawa mereka berimigrasi. Pada tanggal 6 maret 1982, dirinya meninggal disebabkan gagal jantung
2.2.   Latar Belakang Pemikiran Ayn Rand
. Pada saat dirinya berkuliah di Universitas Negeri Petrogrand dia mulai mengenal karya-karya dari Plato dan Aristoteles yang pada akhirnya sangat mempengaruhi karir menulis Rand. Lebih dari itu, kemampuan Rand dalam berbahasa Prancis, Jerman dan Rusia membuatnya mengenal karya-karya dari  Fyodor Dostoevsky, Victor Hugo, Edmond Rostand, and Friedrich Schiller. Bahkan, Rand juga mempelajari tentang Friedrich Nietzsche yang pada akhirnya sangat mempengaruhi karya-karya filosofisnya.
2.3.   Konsep Etika Objektifis Ayn Rand
Pemikiran Ayn Rand tentang etika banyak disalahartikan sebagai bentuk etika egoistis yang menghalalkan segala cara untuk kesenangan pribadi yang berlandaskan hasrat belaka tanpa menggunakan kognisi dari rasionalitasnya. Pada kenyataannya hal tersebut adalah hal yang salah, Ayn Rand mengatakan perbuatan tersebut bukanlah pemikiran etika objektifis miliknya.
Dalam bukunya, Ayn Rand mengungkapkan bahwa, “Just as man cannot survive by any random means, but must discover and practice the principles which his survival requires, so man’s self-interest cannot be determined by blind desires or random whims, but must be discovered and achieved by the guidance of rational principles. This is why the Objectivist ethics is a morality of rational self-interest—or of rational selfishness.”[1] Dapat terlihat bahwa cara survivalitas manusia dalam kehidupan bukanlah berlandaskan pada pemenuhan hasrat, tanpa menggunakan kognisi dari rasionalitas.
Dikarenakan penulis memfokuskan diri pada permasalahan moral dan etika objektifis, maka pada bab ini penulis hanya akan menjelaskan beberapa term dan definisi dalam pemikiran Ayn Rand yang penulis anggap berguna untuk digunakan sebagai alat analisa untuk membongkar pemikiran reciprocity norm, yaitu self  interest, morality,  sacrifice, compromise dan helping.

2.3.1.      Self Interest
Self interest dalam pemikiran Ayn Rand merupakan pemikiran paling mendasar dari filsafatnya. Self interest mengijinkan pemikiran etika filsafat objektifisme mendapatkan argumentasi rasionalnya, yaitu merupakan hal rasional bahwa seseorang, sebagai agen moral, hanya akan memfokuskan diri dalam proses pemenuhan interest dirinya sendiri dalam kehidupannya. Ayn Rand menegaskan bahwa “Man must choose his actions, values and goals by the standard of that which is proper to man—in order to achieve, maintain, fulfill and enjoy that ultimate value, that end in itself, which is his own life.”[2] Self interest itu sendiri bersifat mendasar dan subjektif sehingga tiap – tiap orang sebagai agen moral memiliki dan memilih tujuan serta pandangan tentang interestnya masing – masing.
Ayn rand mengatakan dalam bukunya bahwa, “the term “interests” is a wide abstraction that covers the entire field of ethics. It includes the issues of: man’s values, his desires, his goals and their actual achievement in reality. A man’s “interests” depend on the kind of goals he chooses to pursue, his choice of goals depends on his desires, his desires depend on his values—and, for a rational man, his values depend on the judgment of his mind.”[3] Secara eksplisit Ayn Rand mengatakan bahwa interest merupakan abstaksi besar yang seharusnya menjadi pusat pemikiran etika dan melingkupi persoalan tentang hasrat, tujuan serta penghargaan dalam kehidupannya.
Harus sangat diperhatikan dan ditekankan bahwa self interest yang diangkat oleh Ayn Rand, dalam praktiknya, harus bertindak secara rasional yang berarti menggunakan kognisi yang penuh perhitungan serta pemikiran dan tidak bertindak hanya dengan berlandaskan hasrat yang gegabah. Seperti yang dituliskan Ayn Rand, “Desires (or feelings or emotions or wishes or whims) are not tools of cognition; they are not a valid standard of value, nor a valid criterion of man’s interests. The mere fact that a man desires something does not constitute a proof that the object of his desire is good, nor that its achievement is actually to his interest.”[4] Ayn Rand menyadari bahwa hasrat tidak memiliki kekuatan validitas sebagai penentu bahwa yang dihasratkan oleh agen moral merupakan hal baik bagi dirinya, ataupun yang didapatkan sesuai dengan interestnya.
Seringkali banyak orang yang menganggap bahwa etika objektifis milik Ayn Rand mengijinkan mengorbankan ataupun memanipulasi orang lain untuk pemenuhan self interestnya, atau dengan kata lain menghalalkan segala cara untuk memenuhi self interest agen moral. Ayn Rand menolak anggapaan itu dalam teksnya dengan mengungkapkan “and when one speaks of man’s right to exist for his own sake, for his own rational self-interest, most people assume automatically that this means his right to sacrifice others. Such an assumption is a confession of their own belief that to injure, enslave, rob or murder others is in man’s self-interest—which he must selflessly renounce. The idea that man’s self-interest can be served only by a non-sacrificial relationship with others has never occurred to those humanitarian apostles of unselfishness, who proclaim their desire to achieve the brotherhood of men. And it will not occur to them, or to anyone, so long as the concept “rational” is omitted from the context of “values,”, “desires,” “self-interest” and ethics.”[5] Dari teks tersebut dapat kita tarik kesimpulan, bahwa etika objektifisme tidak mengijinkan adanya asumsi yang menghalalkan bentuk relasi yang bersifat merugikan salah satu pihak dan hanya mengijinkan sebuah relasi yang bersifat non sacrificial relationship dan semua hal tersebut hanya bisa terjadi dengan adanya kesadaran yang disebabkan rasionalitas dari kedua belah pihak.
Dari kumpulan teks diatas, dapat kita sederhanakan bahwa self interest dalam etika objektifis merupakan persolan etika yang memiliki landasan utama dimana tiap tiap agen moral sebagai individu memiliki tujuannya masing – masing yang bersifat personal dan subjektif namun self interest tersebut harus dipikirkan menggunakan rasionalitasnya dan tidak berlandaskan pada hasratnya saja.
2.3.2.      Morality
Moralitas Ayn Rand dengan keras menentang pemikiran yang bersifat altruis, dimana bagi Ayn Rand interest seseorang dalam pemikiran altruism harus rela dikorbankan untuk interest orang lain. Bagi Ayn Rand tujuan adanya moralitas untuk memiilih dan mendapatkan kehidupan yang mampu dinikmati dan berkualitas dengan memperoleh self interest tiap individu dengan cara yang terhormat dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional, seperti yang tertulis pada buku For The New Intellectual, “…The purpose of morality is to teach you, not to suffer and die, but to enjoy yourself and live.”[6]
Altruism bagi Ayn Rand merupakan hal yang buruk, dikarenakan merendah nilai keberhargaan dan semangat hidup manusia dalam hidup manusia. Seperti yang dituliskan Ayn Rand tentang altruism, “if you wish to achieve full virtue, you must seek no gratitude in return for your sacrifice, no praise, no love, no admiration, no self-esteem, not even the pride of being virtuous; the faintest trace of any gain dilutes your virtue. If you pursue a  course of action that does not taint your life by any joy, that brings you no value in matter, no value in spirit, no gain, no profit, no reward—if you achieve this  state of total zero, you have achieved the ideal of moral perfection. You are told that moral perfection is impossible to man—and, by this standard it is. You cannot achieve it so long as you live, but the value of your life and of your person is gauged by how closely you succeed in approaching that ideal zero which is death.”[7] Dapat kita ketahui bahwa Ayn Rand dengan menggunakan penalarannya dapat menyimpulkan, bahwa pada akhirnya jika seseorang menggunakan pemikiran altruism sebagai landasan moral, maka tidak mungkin orang tersebut bisa ataupun memiliki pilihan untuk menikmati dan menjalani kehidupannya karena kewajiban utama seorang altruis adalah merelakan dirinya bukan untuk memperoleh interest pribadinya namun menjadi kambing perah untuk kepuasan orang lain.
Penulis meyakini bahwa salah satu alasan Ayn Rand menentang pemikiran altruis tersebut dikarenakan pengalaman hidupnya pada era komunisme uni soviet, dimana pemerintahan menggunakan pemahaman bahwa interest mayoritas harus lebih diutamakan dibandingkan interest pribadi. Bagi Ayn Rand pemikiran tersebut serupa dengan pemikiran altruism yang memfokuskan pada pengorbanan interst pribadi agen moral untuk interest objek lainnya.
Selain itu moralitas bagi Ayn Rand menekankan adanya unsur pilihan yang dilandaskan bahwa adanya perbedaan self interest tiap individu dan bukan bersifat imperatif dan kewajiban murni seperti pada Immanuel Kant. Moralitas bagi Ayn Rand bersifat konsekuensi dari pilihan sang agen moral dan tidak berhubungan dengan bagaimana kewajiban seseorang untuk melaksanakannya, sebab jika suatu perbuatan hanya didasarkan pada kewajiban untuk melakukan kebaikan pada orang lain maka dirinya tidak memiliki suatu alasan untuk mendapatkan penghargaan bagi dirinya sendiri, aspek kehidupan manusia seperti ambisi, cinta, karir dan lain sebagainya serta harus rela mengorbankan self interestnya. Dalam teksnya Causality Versus Duty Ayn Rand juga mengungkapkan hal lainnya,“If  one  accepts  that  nightmare  in  the name of morality, the infernal irony is  that  “duty”  destroys  morality.  A deontological (duty-centered) theory of ethics confines moral principles to a list of  prescribed  “duties”  and  leaves  the rest  of  man’s  life  without  any  moral guidance, cutting morality off from any application to the actual problems and concerns  of  man’s  existence.  Such matters as work, career, ambition, love, friendship, pleasure, happiness, values (insofar as they are not pursued as duties) are regarded by these theories as amoral, i.e., outside the province of morality. If so, then by what standard is a man to make is daily choices, or direct the course of his life? In a deontological theory, all personal desires are banished from the realm of morality; a personal desire has no moral significance, be it a desire to create or a desire to kill. For example, if a man is not supporting his life from duty, such a morality makes no distinction between supporting it by honest labor or by robbery. If a man wants to be honest, he deserves no moral credit; as Kant would put it, such honesty is “praise-worthy,” but without “moral import.”  Only a vicious represser, who feels a profound desire to lie, cheat and steal, but forces himself to act honestly for the sake of “duty,” would receive a recognition of moral worth from Kant and his ilk.”[8] Ketika suatu perbuatan moral menjadikan manusia harus melakukan suatu perbuatan dengan dasar kewajiban, maka secara rasional kita tidak bisa membedakan siapakah seseorang yang baik dan buruk, selain itu kita tidak akan mampu menghargai seseorang yang sebenarnya memiliki motif kebaikan didalamnya dan hanya bisa merekognisi seseorang yang berhati jahat namun memaksakan diri untuk melakukan kebaikan dikarenakan kewajiban.
Kita dapat menyimpulkan, bahwa moral dalam kacamata Ayn Rand memfokuskan tentang perhargaan terhadap perjuangan tiap individu manusia untuk mencapai tujuan utama yang masing masing orang tersebut idam – idamkan, serta menghargai segala bentuk kebebasan untuk memilih apa yang dianggap orang itu bernilai bagi dirinya.
2.3.3.      Sacrifice
Saat kita melihat seseorang ibu memberikan makan anaknya, seorang teman yang membayarkan makanan temannya, atau seorang suami yang bekerja keras dengan melakukan lembur dikantor untuk memperoleh tambahan uang demi kesehatan istrinya yang berada di rumah sakit, maka kita dapat mengangkat pertanyaan apakah yang dilakukan ibu, teman atau suami itu adalah pengorbanan? Seringkali orang beranggapan bahwa hal tersebut merupakan bentuk sacrifice.
Sacrifice atau pengorbanan menurut Ayn Rand bukan didefinisikan sebagai  apa yang telah kita lakukan untuk memperoleh sesuatu yang kita inginkan. Secara tegas Ayn Rand membedakan sacrifice dengan non-sacrifice dalam teksnya “Sacrifice does not mean the rejection of the worthless, but of the precious. ‘Sacrifice’ does not mean the rejection of the evil for the sake of the good, but of the good for the sake of the evil. ‘Sacrifice’ is the surrender of that which you value in favor of that which you don’t. If you exchange a penny for a dollar, it is not a sacrifice; if you exchange a dollar for a penny, it is. If you achieve the career you wanted, after years of struggle, it is not a sacrifice; if you then renounce it for the sake of a rival, it is. If you own a bottle of milk and give it to your starving child, it is not a sacrifice; if you give it to your neighbor’s child and let your own die, it is.”[9] Berdasarkan teks tersebut kita dapat melihat, bahwa suatu perbuatan dinamakan sebagai non-sacrifice jika perbuatan itu merupakan suatu tuntutan rasional yang harus dilakukan untuk mencapai interest pribadinya.
Ketika dalam relasi manusia terjadi sacrifice, maka bagi Ayn Rand telah terjadi suatu bentuk kekuasaan sepihak dimana pihak tersebut telah menjadikan pihak lainnya sebagai objek pemuasan interest dirinya tanpa hubungan timbal balik. Seperti yang diungkapan oleh Ayn Rand “It stands to reason that where there’s sacrifice, there’s someone collecting sacrificial offerings. Where there’s service, there’s someone bei ng served. The man who speaks to you of sacrifice, speaks of slaves and masters. And intends to be the master.”[10]
Sacrifice disebutkan oleh Ayn Rand sebagai “a sacrifice is the surrender of a value. Full sacrifice is full surrender of all values…”[11] Oleh karena teks tersebut kita bisa mengetahui, bahwa jika seseorang melakukan suatu perbuatan bukan karena interest pribadi melainkan karena orang lain berupa paksaan ataupun melakukan hal yang secara rasional merugikan dirinya, karena membuat dirinya harus melepas interest besarnya dikatakan sacrifice.
Definisi sacrifice ini mempermudah kita untuk melakukan penilaian, apakah perbuatan yang kita dan lakukan benar dari sudut pandang etika objektifis.
2.3.4.      Compromise
Seringkali ketika sang agen moral memilih dan melakukan kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi self interestnya, terlihat bahwa dirinya masih membutuhkan orang lain untuk membantunya. Ayn Rand menyadari bahwa hanya ada dua cara untuk mendapatkannya, yaitu dengan menjadi seorang yang memperalat atau mengambil hak orang lain dengan azas paksaan atau dengan menggunakan compromise terhadap orang lain dengan azas sukarela. Dikarenakan Ayn Rand tidak mengijinkan adanya hubungan yang bersifat sacrifice disalah satu pihak, seperti yang diungkapkan pada subab sebelumnya, sehingga hanya menyisakan pilihan compromise.
Ayn Rand berpendapat, “a compromise is an adjustment of conflicting claims by mutual concessions. This means that both parties to a compromise have some valid claim and some value to offer each other. And this means that both parties agree upon some fundamental principle which serves as a base for their deal.”[12] Secara eksplisit dapat kita ketahui, bahwa relasi manusia haruslah berdasarkan dengan suatu asas perjanjian yang bersifat saling menguntungkan dan masing – masing pihak memiliki suatu hal yang dapat dipertukarkan.
Pemikiran bahwa harus ada yang ditukarkan inilah yang membuat tiap – tiap orang menyadari bahwa dirinya tidak mungkin bisa melakukan segalanya seorang diri, dan tetap membutuhkan orang lain untuk mendapatkan self interestnya. Term ini tidak dapat digunakan untuk menghalalkan perbuatan menindas orang lain dan mendapat keuntungan dari orang lain tersebut, seperti pada kasus seorang preman yang memaksa orang lain untuk memberikan uang padanya untuk keselamatan orang lain tersebut, hal tersebut dikarenakan memang bukan hak orang lain tersebut untuk disakiti. Telihat jelas bahwa Ayn Rand menentang hal tersebut dengan tulisannya “it is only in regard to concretes or particulars, implementing a mutually accepted basic principle, that one may compromise. For instance, one may bargain with a buyer over the price one wants to receive for one’s product, and agree on a sum somewhere between one’s demand and his offer. The mutually accepted basic principle, in such case, is the principle of trade, namely: that the buyer must pay the seller for his product. But if one wanted to be paid and the alleged buyer wanted to obtain one’s product for nothing, no compromise, agreement or discussion  would be possible, only the total surrender of one or the other.  There can be no compromise between a property owner and a burglar; offering the burglar a single teaspoon of one’s silverware would not be a compromise, but a total surrender—the recognition of his  right  to one’s property…”[13]
            Dapat kita simpulkan bahwa compromise merupakan hal penting dalam relasi manusia, selain menunjukan bahwa tiap orang memiliki kemampuan dan spesialisasi yang berbeda – beda juga menghargai manusia sebagai individu bebas yang berhak memperoleh penghargaan dari apa yang diusahakannya.
2.3.5.      Helping
Perbuatan menolong orang lain atau helping, merupakan term yang sering dianggap tidak mungkin bisa dilakukan dalam etika objektifis. Sering kali perbuatan menolong orang lain seperti beramal, mengikuti kerja sosial, menghibur orang lain dan lain sebagainya merupakan hal yang dilarang dikarenakan menganggap bahwa perbuatan tersebut tidak menguntungkan interest pribadi. Permasalahan utama yang Ayn Rand ingin ungkapkan dengan menolong orang lain adalah ada atau tidak adanya kewajiban dan penting atau remehkah untuk menolong orang lain. Dalam sebuah wawancara  Ayn Rand mengatakan “…my views on charity are very simple. I do not consider it a major virtue and, above all, I do not consider it a moral duty. There is nothing wrong in helping other people, if and when they are worthy of the help and you can afford to help them. I regard charity as a marginal issue. What I am fighting is the idea that charity is a moral duty and a primary virtue[14] 
Banyak tafsiran yang menganggap bahwa tidak mungkin pertolongan bisa dilakukan dengan tidak adanya suatu perbuatan timbal balik dengan adanya term compromise, sedangkan Ayn Rand sendiri tidak melarang perbuatan menolong orang lain selama tidak mengganggu self interest dan mengandung sacrifice didalamnya karena jika ada unsur sacrifice didalamnya maka etika yang dilakukannya adalah etika altruis. Seperti yang diungkapkan oleh Ayn Rand “The proper method of judging when or whether one should help another person is by reference to one’s own rational self-interest and one’s own hierarchy of values: the time, money or effort one gives or the risk one takes should be proportionate to the value of the person in relation to one’s own happiness.”[15] Oleh karena itu kita dapat melihat celah dimana etika objetifis masih mengijinkan untuk menolong orang lain selama sang agen moral mampu meyakini, memilih serta menanggung resiko yang akan diterima melalui perhitungan rasionalnya.
Ayn Rand membandingkan etikanya dengan etika altruis dalam perbuatan menolong melalui teks berikut “To illustrate this on the altruists’ favorite example: the issue of saving a drowning person. If the person to be saved is a stranger, it is morally proper to save him only when the danger to one’s own life is minimal; when the danger is great, it would be immoral to attempt it: only a lack of self-esteem could permit one to value one’s life no higher than that of any random stranger. (And, conversely, if one is drowning, one cannot expect a stranger to risk his life for one’s sake, remembering that one’s life cannot be as valuable to him as his own.) If the person to be saved is not a stranger, then the risk one should be willing to take is greater in proportion to the greatness of that person’s value to oneself. If it is the man or woman one loves, then one can be willing to give one’s own life to save him or her—for the selfish reason that life without the loved person could be unbearable.”[16] Dapat kita ketahui bahwa dalam kerangka pemikiran Ayn Rand, suatu perbuatan menolong harus berdasarkan suatu nilai yang berasalkan dari interest pribadinya. Hal tersebutlah yang membuat suatu perbuatan moral memiliki nilai dan arti keberhargaan bagi kehidupan manusia, berbeda dengan etika altruis yang berarti tidak memiliki penghargaan pada kehidupan manusia dengan menolong secara gegabah karena tidak berlandaskan nilai tertentu.
Dapat kita ketahui perbuatan menolong dalam pemikiran Ayn Rand tidaklah dilarang, sebab hal tersebut adalah hak setiap agen moral untuk melakukannya selama perbuatan tersebut tidak mengandung sacrifice di dalamnya, namun bukan juga suatu bentuk kewajiban melainkan pilihan untuk menerima resiko oleh sang agen moral untuk melakukannya, karena dalam pemikiran Ayn Rand, saat seseorang menolong pastilah orang tersebut memiliki perhitungan dan skala prioritasnya yang masih berhubungan dengan self interestnya.
2.4.   Simpulan Bab
Ayn Rand sebagai seorang filsuf, menekankan pentingnya etika yang membuat manusia berharga, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupannya. Dirinya sama sekali tidak menyetujui bahwa self intest seseorang harus dikorbankan untuk kebahagiaan yang lainnya, ataupun bisa dipaksa untuk melakukan suatu kewajiban untuk mengorbankan self interest pribadi tanpa adanya alasan rasional yang dapat dipertanggung jawabkan. Ayn Rand menyadari bahwa manusia memiliki batasan kemampuannya masing – masing untuk memenuhi self intest masing masing, baik dari segi keterbatasan tempat, waktu, modal, kemampuan pikir dan lain sebagainya, yang pada akhirnya menyebabkan manusia mampu berfikir, bahwa ada cara melakukan Compromise agar tiap individu mampu menukarkan kemampuan demi terwujudnya masing masing individu tersebut. Compromise ini sering disalahgunakan sebagai alibi untuk tidak menolong orang lain. Pemikiran itu muncul karenakan secara praktis seseorang yang ditolong, sebenarnya tidak memiliki apapun untuk ditukarkan, namun kita dapat melihat bahwa perbuatan menolong orang lain itu masih diijinkan dalam kerangka pikir etika Ayn Rand.


[1] Ayn Rand, Virtue of Selfishness, hlm. 8
[2] Ibid, hlm. 21
[3] Ibid, hlm. 46.
[4] Ibid.
[5] ibid, hlm. 26.
[6] Ayn Rand, For The New Intellectual, hlm. 100.
[7] Ibid, hlm. 114.
[8] Ayn Rand, Causality Versus Duties, Philosophy: Who Need it, chapter 10
[9] Ayn Rand, For The New Intellectual, hlm. 114

[10] Ibid, hlm. 58
[11] Ibid, hlm. 114
[12] Ayn Rand, Virtue of Selfishness, hlm. 64
[13] Ibid, hlm. 64
[14] Playboy, edisi maret 1964
[15] Ayn Rand, Virtue of Selfishness, hlm. 41
[16] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar