BAB II
PEMIKIRAN ETIKA AYN RAND
2.1.
Riwayat
singkat Ayn Rand
Alisa
Zinov'yevna Rosenbaumm yang lebih dikenal dengan Ayn Rand adalah seorang
novelis, filsuf, penulis skenario dan juga penulis naskah drama yang berasal
dari Rusia-Amerika. Dia lahir pada 2 February 1905. Lebih jauh lagi, Rand lahir
dan menempuh pendidikan di Rusia, akan tetapi, pada tahun 1962 Rand pindah ke
Amerika Serikat. Di sana dia mempunyai karya drama yang diproduksi di Broadway
pada tahun 1935-1936. Novelnya yang berjudul The Fountainhead menjadi salah
satu novel terkenal pada tahun 1943, setelah dua novel sebelumnya tidak
mengalami kesuksesan yang signifikan. Lalu, pada tahun 1957, Rand mengeluarkan
satu novel yang bergenre filosofi yang berjudul Atlas Shrugged yang akhirnya
juga mengalami kesuksesan. Setelah itu, Rand beralih dari novelis fiksi menjadi
novelis non fiksi untuk mempromosikan filosofi yang dianutnya. Rand
bahkan juga mempublikasikan banyak essay dan majalah sepanjang sisa hidupnya.
Rand
yang banyak membuat karya sepanjang hidupnya ini adalah anak pertama dari tiga
bersaudara. Semasa kecilnya, dia hidup dalam situasi revolusi Rusia. Pada saat
masa SMA di Crimea, Rand bahkan mengakui bahwa dirinya adalah seorang atheis.
Rand kembali ke rumah keluarganya di Petrograd setelah lulus SMA dan
melanjutkan pendidikannya ke Universitas Negeri Petrogrand
Pada 15 April 1929, Rand menikah dengan Frank O’Connor yang ditemuinya saat ia menjadi penulis skenario junior di film The King of Kings. Kemudian, pada tahun 1931, Rand berpindah kewarganegaraan dari Rusia menjadi Amerika. Rand sebenarnya juga berusaha untuk membawa orangtua dan saudara-saudaranya untuk tinggal dan menjadi warga Negara Amerika, akan tetapi Rand tidak pernah bisa mendapatkan ijin untuk membawa mereka berimigrasi. Pada tanggal 6 maret 1982, dirinya meninggal disebabkan gagal jantung
Pada 15 April 1929, Rand menikah dengan Frank O’Connor yang ditemuinya saat ia menjadi penulis skenario junior di film The King of Kings. Kemudian, pada tahun 1931, Rand berpindah kewarganegaraan dari Rusia menjadi Amerika. Rand sebenarnya juga berusaha untuk membawa orangtua dan saudara-saudaranya untuk tinggal dan menjadi warga Negara Amerika, akan tetapi Rand tidak pernah bisa mendapatkan ijin untuk membawa mereka berimigrasi. Pada tanggal 6 maret 1982, dirinya meninggal disebabkan gagal jantung
2.2.
Latar
Belakang Pemikiran Ayn Rand
.
Pada saat dirinya berkuliah di Universitas Negeri Petrogrand dia mulai mengenal
karya-karya dari Plato dan Aristoteles yang pada akhirnya sangat mempengaruhi
karir menulis Rand. Lebih dari itu, kemampuan Rand dalam berbahasa Prancis,
Jerman dan Rusia membuatnya mengenal karya-karya dari Fyodor Dostoevsky,
Victor Hugo, Edmond Rostand, and Friedrich Schiller. Bahkan, Rand juga
mempelajari tentang Friedrich Nietzsche yang pada akhirnya sangat mempengaruhi
karya-karya filosofisnya.
2.3.
Konsep
Etika Objektifis Ayn Rand
Pemikiran Ayn
Rand tentang etika banyak disalahartikan sebagai bentuk etika egoistis yang
menghalalkan segala cara untuk kesenangan pribadi yang berlandaskan hasrat
belaka tanpa menggunakan kognisi dari rasionalitasnya. Pada kenyataannya hal
tersebut adalah hal yang salah, Ayn Rand mengatakan perbuatan tersebut bukanlah
pemikiran etika objektifis miliknya.
Dalam bukunya,
Ayn Rand mengungkapkan bahwa, “Just as
man cannot survive by any random means, but must discover and practice the
principles which his survival requires, so man’s self-interest cannot be
determined by blind desires or random whims, but must be discovered and
achieved by the guidance of rational principles. This is why the Objectivist
ethics is a morality of rational self-interest—or of rational selfishness.”[1]
Dapat terlihat bahwa cara survivalitas manusia dalam kehidupan bukanlah
berlandaskan pada pemenuhan hasrat, tanpa menggunakan kognisi dari
rasionalitas.
Dikarenakan
penulis memfokuskan diri pada permasalahan moral dan etika objektifis, maka pada
bab ini penulis hanya akan menjelaskan beberapa term dan definisi dalam
pemikiran Ayn Rand yang penulis anggap berguna untuk digunakan sebagai alat
analisa untuk membongkar pemikiran reciprocity
norm, yaitu self interest, morality, sacrifice, compromise dan helping.
2.3.1.
Self Interest
Self interest
dalam pemikiran Ayn Rand merupakan pemikiran paling mendasar dari filsafatnya. Self interest mengijinkan pemikiran
etika filsafat objektifisme mendapatkan argumentasi rasionalnya, yaitu
merupakan hal rasional bahwa seseorang, sebagai agen moral, hanya akan
memfokuskan diri dalam proses pemenuhan interest
dirinya sendiri dalam kehidupannya. Ayn Rand menegaskan bahwa “Man must choose his actions, values and
goals by the standard of that which is proper to man—in order to achieve,
maintain, fulfill and enjoy that ultimate value, that end in itself, which is
his own life.”[2] Self interest itu sendiri bersifat
mendasar dan subjektif sehingga tiap – tiap orang sebagai agen moral memiliki
dan memilih tujuan serta pandangan tentang interestnya
masing – masing.
Ayn
rand mengatakan dalam bukunya bahwa, “the
term “interests” is a wide abstraction that covers the entire field of ethics.
It includes the issues of: man’s values, his desires, his goals and their
actual achievement in reality. A man’s “interests” depend on the kind of goals
he chooses to pursue, his choice of goals depends on his desires, his desires
depend on his values—and, for a rational man, his values depend on the judgment
of his mind.”[3] Secara
eksplisit Ayn Rand mengatakan bahwa interest
merupakan abstaksi besar yang seharusnya menjadi pusat pemikiran etika dan
melingkupi persoalan tentang hasrat, tujuan serta penghargaan dalam
kehidupannya.
Harus
sangat diperhatikan dan ditekankan bahwa self
interest yang diangkat oleh Ayn Rand, dalam praktiknya, harus bertindak secara
rasional yang berarti menggunakan kognisi yang penuh perhitungan serta
pemikiran dan tidak bertindak hanya dengan berlandaskan hasrat yang gegabah.
Seperti yang dituliskan Ayn Rand, “Desires
(or feelings or emotions or wishes or whims) are not tools of cognition; they
are not a valid standard of value, nor a valid criterion of man’s interests.
The mere fact that a man desires something does not constitute a proof that the
object of his desire is good, nor that its achievement is actually to his interest.”[4]
Ayn Rand menyadari bahwa hasrat tidak memiliki kekuatan validitas sebagai
penentu bahwa yang dihasratkan oleh agen moral merupakan hal baik bagi dirinya,
ataupun yang didapatkan sesuai dengan interestnya.
Seringkali
banyak orang yang menganggap bahwa etika objektifis milik Ayn Rand mengijinkan
mengorbankan ataupun memanipulasi orang lain untuk pemenuhan self interestnya, atau dengan kata lain
menghalalkan segala cara untuk memenuhi self
interest agen moral. Ayn Rand menolak anggapaan itu dalam teksnya dengan
mengungkapkan “and when one speaks of
man’s right to exist for his own sake, for his own rational self-interest, most
people assume automatically that this means his right to sacrifice others. Such
an assumption is a confession of their own belief that to injure, enslave, rob
or murder others is in man’s self-interest—which he must selflessly renounce.
The idea that man’s self-interest can be served only by a non-sacrificial
relationship with others has never occurred to those humanitarian apostles of
unselfishness, who proclaim their desire to achieve the brotherhood of men. And
it will not occur to them, or to anyone, so long as the concept “rational” is
omitted from the context of “values,”, “desires,” “self-interest” and ethics.”[5]
Dari teks tersebut dapat kita tarik kesimpulan, bahwa etika objektifisme tidak
mengijinkan adanya asumsi yang menghalalkan bentuk relasi yang bersifat
merugikan salah satu pihak dan hanya mengijinkan sebuah relasi yang bersifat non sacrificial relationship dan semua
hal tersebut hanya bisa terjadi dengan adanya kesadaran yang disebabkan
rasionalitas dari kedua belah pihak.
Dari
kumpulan teks diatas, dapat kita sederhanakan bahwa self interest dalam etika objektifis merupakan persolan etika yang
memiliki landasan utama dimana tiap tiap agen moral sebagai individu memiliki
tujuannya masing – masing yang bersifat personal dan subjektif namun self interest tersebut harus dipikirkan
menggunakan rasionalitasnya dan tidak berlandaskan pada hasratnya saja.
2.3.2.
Morality
Moralitas Ayn
Rand dengan keras menentang pemikiran yang bersifat altruis, dimana bagi Ayn
Rand interest seseorang dalam
pemikiran altruism harus rela
dikorbankan untuk interest orang
lain. Bagi Ayn Rand tujuan adanya moralitas untuk memiilih dan mendapatkan
kehidupan yang mampu dinikmati dan berkualitas dengan memperoleh self interest tiap individu dengan cara
yang terhormat dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional, seperti yang
tertulis pada buku For The New
Intellectual, “…The purpose of morality is to teach you, not to suffer and die,
but to enjoy yourself and live.”[6]
Altruism
bagi Ayn Rand merupakan hal yang buruk, dikarenakan merendah nilai keberhargaan
dan semangat hidup manusia dalam hidup manusia. Seperti yang dituliskan Ayn
Rand tentang altruism, “if you wish to achieve full virtue, you
must seek no gratitude in return for your sacrifice, no praise, no love, no
admiration, no self-esteem, not even the pride of being virtuous; the faintest
trace of any gain dilutes your virtue. If you pursue a course of action that does not taint your
life by any joy, that brings you no value in matter, no value in spirit, no
gain, no profit, no reward—if you achieve this
state of total zero, you have achieved the ideal of moral perfection.
You are told that moral perfection is impossible to man—and, by this standard
it is. You cannot achieve it so long as you live, but the value of your life
and of your person is gauged by how closely you succeed in approaching that
ideal zero which is death.”[7]
Dapat kita ketahui bahwa Ayn Rand dengan menggunakan penalarannya dapat
menyimpulkan, bahwa pada akhirnya jika seseorang menggunakan pemikiran altruism
sebagai landasan moral, maka tidak mungkin orang tersebut bisa ataupun memiliki
pilihan untuk menikmati dan menjalani kehidupannya karena kewajiban utama
seorang altruis adalah merelakan dirinya bukan untuk memperoleh interest
pribadinya namun menjadi kambing perah untuk kepuasan orang lain.
Penulis meyakini
bahwa salah satu alasan Ayn Rand menentang pemikiran altruis tersebut dikarenakan
pengalaman hidupnya pada era komunisme uni soviet, dimana pemerintahan
menggunakan pemahaman bahwa interest
mayoritas harus lebih diutamakan dibandingkan interest pribadi. Bagi Ayn Rand pemikiran tersebut serupa dengan
pemikiran altruism yang memfokuskan
pada pengorbanan interst pribadi agen
moral untuk interest objek lainnya.
Selain itu
moralitas bagi Ayn Rand menekankan adanya unsur pilihan yang dilandaskan bahwa
adanya perbedaan self interest tiap
individu dan bukan bersifat imperatif dan kewajiban murni seperti pada Immanuel
Kant. Moralitas bagi Ayn Rand bersifat konsekuensi dari pilihan sang agen moral
dan tidak berhubungan dengan bagaimana kewajiban seseorang untuk
melaksanakannya, sebab jika suatu perbuatan hanya didasarkan pada kewajiban
untuk melakukan kebaikan pada orang lain maka dirinya tidak memiliki suatu
alasan untuk mendapatkan penghargaan bagi dirinya sendiri, aspek kehidupan
manusia seperti ambisi, cinta, karir dan lain sebagainya serta harus rela
mengorbankan self interestnya. Dalam
teksnya Causality Versus Duty Ayn
Rand juga mengungkapkan hal lainnya,“If one
accepts that nightmare
in the name of morality, the
infernal irony is that “duty”
destroys morality. A deontological (duty-centered) theory of
ethics confines moral principles to a list of
prescribed “duties” and
leaves the rest of
man’s life without
any moral guidance, cutting
morality off from any application to the actual problems and concerns of
man’s existence. Such matters as work, career, ambition, love,
friendship, pleasure, happiness, values (insofar as they are not pursued as
duties) are regarded by these theories as amoral, i.e., outside the province of
morality. If so, then by what standard is a man to make is daily choices, or direct
the course of his life? In a deontological theory, all personal desires are
banished from the realm of morality; a personal desire has no moral
significance, be it a desire to create or a desire to kill. For example, if a
man is not supporting his life from duty, such a morality makes no distinction
between supporting it by honest labor or by robbery. If a man wants to be
honest, he deserves no moral credit; as Kant would put it, such honesty is
“praise-worthy,” but without “moral import.”
Only a vicious represser, who feels a profound desire to lie, cheat and
steal, but forces himself to act honestly for the sake of “duty,” would receive
a recognition of moral worth from Kant and his ilk.”[8]
Ketika suatu perbuatan moral menjadikan manusia harus melakukan suatu perbuatan
dengan dasar kewajiban, maka secara rasional kita tidak bisa membedakan
siapakah seseorang yang baik dan buruk, selain itu kita tidak akan mampu
menghargai seseorang yang sebenarnya memiliki motif kebaikan didalamnya dan
hanya bisa merekognisi seseorang yang berhati jahat namun memaksakan diri untuk
melakukan kebaikan dikarenakan kewajiban.
Kita dapat
menyimpulkan, bahwa moral dalam kacamata Ayn Rand memfokuskan tentang
perhargaan terhadap perjuangan tiap individu manusia untuk mencapai tujuan
utama yang masing masing orang tersebut idam – idamkan, serta menghargai segala
bentuk kebebasan untuk memilih apa yang dianggap orang itu bernilai bagi
dirinya.
2.3.3.
Sacrifice
Saat kita
melihat seseorang ibu memberikan makan anaknya, seorang teman yang membayarkan
makanan temannya, atau seorang suami yang bekerja keras dengan melakukan lembur
dikantor untuk memperoleh tambahan uang demi kesehatan istrinya yang berada di
rumah sakit, maka kita dapat mengangkat pertanyaan apakah yang dilakukan ibu,
teman atau suami itu adalah pengorbanan? Seringkali orang beranggapan bahwa hal
tersebut merupakan bentuk sacrifice.
Sacrifice
atau pengorbanan menurut Ayn Rand bukan didefinisikan sebagai apa yang telah kita lakukan untuk memperoleh
sesuatu yang kita inginkan. Secara tegas Ayn Rand membedakan sacrifice dengan non-sacrifice dalam teksnya “Sacrifice
does not mean the rejection of the worthless, but of the precious. ‘Sacrifice’
does not mean the rejection of the evil for the sake of the good, but of the
good for the sake of the evil. ‘Sacrifice’ is the surrender of that which you
value in favor of that which you don’t. If
you exchange a penny for a dollar, it is not a sacrifice; if you exchange a
dollar for a penny, it is. If you achieve the career you wanted, after years of
struggle, it is not a sacrifice; if you then renounce it for the sake of a
rival, it is. If you own a bottle of milk and give it to your starving child,
it is not a sacrifice; if you give it to your neighbor’s child and let your own
die, it is.”[9]
Berdasarkan teks tersebut kita dapat melihat, bahwa suatu perbuatan dinamakan
sebagai non-sacrifice jika perbuatan itu
merupakan suatu tuntutan rasional yang harus dilakukan untuk mencapai interest pribadinya.
Ketika dalam
relasi manusia terjadi sacrifice,
maka bagi Ayn Rand telah terjadi suatu bentuk kekuasaan sepihak dimana pihak
tersebut telah menjadikan pihak lainnya sebagai objek pemuasan interest dirinya tanpa hubungan timbal
balik. Seperti yang diungkapan oleh Ayn Rand “It stands to reason that where there’s sacrifice, there’s someone
collecting sacrificial offerings. Where there’s service, there’s someone bei ng
served. The man who speaks to you of sacrifice, speaks of slaves and masters.
And intends to be the master.”[10]
Sacrifice disebutkan oleh Ayn Rand
sebagai “a sacrifice is the surrender of
a value. Full sacrifice is full surrender of all values…”[11]
Oleh karena teks tersebut kita bisa mengetahui, bahwa jika seseorang
melakukan suatu perbuatan bukan karena interest
pribadi melainkan karena orang lain berupa paksaan ataupun melakukan hal yang
secara rasional merugikan dirinya, karena membuat dirinya harus melepas interest besarnya dikatakan sacrifice.
Definisi sacrifice ini mempermudah kita untuk
melakukan penilaian, apakah perbuatan yang kita dan lakukan benar dari sudut
pandang etika objektifis.
2.3.4.
Compromise
Seringkali
ketika sang agen moral memilih dan melakukan kegiatan yang bertujuan untuk
memenuhi self interestnya, terlihat
bahwa dirinya masih membutuhkan orang lain untuk membantunya. Ayn Rand
menyadari bahwa hanya ada dua cara untuk mendapatkannya, yaitu dengan menjadi
seorang yang memperalat atau mengambil hak orang lain dengan azas paksaan atau
dengan menggunakan compromise
terhadap orang lain dengan azas sukarela. Dikarenakan Ayn Rand tidak
mengijinkan adanya hubungan yang bersifat sacrifice
disalah satu pihak, seperti yang diungkapkan pada subab sebelumnya, sehingga
hanya menyisakan pilihan compromise.
Ayn Rand berpendapat,
“a compromise is an adjustment of
conflicting claims by mutual concessions. This means that both parties to a compromise
have some valid claim and some value to offer each other. And this means that
both parties agree upon some fundamental principle which serves as a base for
their deal.”[12]
Secara eksplisit dapat kita ketahui, bahwa relasi manusia haruslah berdasarkan
dengan suatu asas perjanjian yang bersifat saling menguntungkan dan masing –
masing pihak memiliki suatu hal yang dapat dipertukarkan.
Pemikiran bahwa
harus ada yang ditukarkan inilah yang membuat tiap – tiap orang menyadari bahwa
dirinya tidak mungkin bisa melakukan segalanya seorang diri, dan tetap
membutuhkan orang lain untuk mendapatkan self
interestnya. Term ini tidak dapat digunakan untuk menghalalkan perbuatan
menindas orang lain dan mendapat keuntungan dari orang lain tersebut, seperti
pada kasus seorang preman yang memaksa orang lain untuk memberikan uang padanya
untuk keselamatan orang lain tersebut, hal tersebut dikarenakan memang bukan hak
orang lain tersebut untuk disakiti. Telihat jelas bahwa Ayn Rand menentang hal
tersebut dengan tulisannya “it is only in
regard to concretes or particulars, implementing a mutually accepted basic
principle, that one may compromise. For instance, one may bargain with a buyer
over the price one wants to receive for one’s product, and agree on a sum
somewhere between one’s demand and his offer. The mutually accepted basic
principle, in such case, is the principle of trade, namely: that the buyer must
pay the seller for his product. But if one wanted to be paid and the alleged
buyer wanted to obtain one’s product for nothing, no compromise, agreement or
discussion would be possible, only the
total surrender of one or the other.
There can be no compromise between a property owner and a burglar;
offering the burglar a single teaspoon of one’s silverware would not be a
compromise, but a total surrender—the recognition of his right
to one’s property…”[13]
Dapat
kita simpulkan bahwa compromise
merupakan hal penting dalam relasi manusia, selain menunjukan bahwa tiap orang
memiliki kemampuan dan spesialisasi yang berbeda – beda juga menghargai manusia
sebagai individu bebas yang berhak memperoleh penghargaan dari apa yang
diusahakannya.
2.3.5.
Helping
Perbuatan
menolong orang lain atau helping,
merupakan term yang sering dianggap tidak mungkin bisa dilakukan dalam etika
objektifis. Sering kali perbuatan menolong orang lain seperti beramal,
mengikuti kerja sosial, menghibur orang lain dan lain sebagainya merupakan hal
yang dilarang dikarenakan menganggap bahwa perbuatan tersebut tidak
menguntungkan interest pribadi. Permasalahan utama yang Ayn Rand ingin
ungkapkan dengan menolong orang lain adalah ada atau tidak adanya kewajiban dan
penting atau remehkah untuk menolong orang lain. Dalam sebuah wawancara Ayn Rand mengatakan “…my views on charity are very simple. I do not consider it a major virtue
and, above all, I do not consider it a moral duty. There is nothing wrong in
helping other people, if and when they are worthy of the help and you can
afford to help them. I regard charity as a marginal issue. What I am fighting
is the idea that charity is a moral duty and a primary virtue”[14]
Banyak tafsiran
yang menganggap bahwa tidak mungkin pertolongan bisa dilakukan dengan tidak adanya
suatu perbuatan timbal balik dengan adanya term compromise, sedangkan Ayn Rand sendiri tidak melarang perbuatan
menolong orang lain selama tidak mengganggu self
interest dan mengandung sacrifice
didalamnya karena jika ada unsur sacrifice
didalamnya maka etika yang dilakukannya adalah etika altruis. Seperti yang
diungkapkan oleh Ayn Rand “The proper
method of judging when or whether one should help another person is by
reference to one’s own rational self-interest and one’s own hierarchy of
values: the time, money or effort one gives or the risk one takes should be
proportionate to the value of the person in relation to one’s own happiness.”[15]
Oleh karena itu kita dapat melihat celah dimana etika objetifis masih
mengijinkan untuk menolong orang lain selama sang agen moral mampu meyakini,
memilih serta menanggung resiko yang akan diterima melalui perhitungan
rasionalnya.
Ayn Rand
membandingkan etikanya dengan etika altruis dalam perbuatan menolong melalui
teks berikut “To illustrate this on the
altruists’ favorite example: the issue of saving a drowning person. If the
person to be saved is a stranger, it is morally proper to save him only when
the danger to one’s own life is minimal; when the danger is great, it would be
immoral to attempt it: only a lack of self-esteem could permit one to value
one’s life no higher than that of any random stranger. (And, conversely, if one
is drowning, one cannot expect a stranger to risk his life for one’s sake,
remembering that one’s life cannot be as valuable to him as his own.) If the
person to be saved is not a stranger, then the risk one should be willing to
take is greater in proportion to the greatness of that person’s value to
oneself. If it is the man or woman one loves, then one can be willing to give
one’s own life to save him or her—for the selfish reason that life without the
loved person could be unbearable.”[16]
Dapat kita ketahui bahwa dalam kerangka pemikiran Ayn Rand, suatu perbuatan
menolong harus berdasarkan suatu nilai yang berasalkan dari interest pribadinya. Hal tersebutlah
yang membuat suatu perbuatan moral memiliki nilai dan arti keberhargaan bagi
kehidupan manusia, berbeda dengan etika altruis yang berarti tidak memiliki
penghargaan pada kehidupan manusia dengan menolong secara gegabah karena tidak
berlandaskan nilai tertentu.
Dapat kita
ketahui perbuatan menolong dalam pemikiran Ayn Rand tidaklah dilarang, sebab hal
tersebut adalah hak setiap agen moral untuk melakukannya selama perbuatan
tersebut tidak mengandung sacrifice
di dalamnya, namun bukan juga suatu bentuk kewajiban melainkan pilihan untuk
menerima resiko oleh sang agen moral untuk melakukannya, karena dalam pemikiran
Ayn Rand, saat seseorang menolong pastilah orang tersebut memiliki perhitungan
dan skala prioritasnya yang masih berhubungan dengan self interestnya.
2.4.
Simpulan
Bab
Ayn
Rand sebagai seorang filsuf, menekankan pentingnya etika yang membuat manusia
berharga, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupannya. Dirinya
sama sekali tidak menyetujui bahwa self
intest seseorang harus dikorbankan untuk kebahagiaan yang lainnya, ataupun
bisa dipaksa untuk melakukan suatu kewajiban untuk mengorbankan self interest pribadi tanpa adanya
alasan rasional yang dapat dipertanggung jawabkan. Ayn Rand menyadari bahwa manusia
memiliki batasan kemampuannya masing – masing untuk memenuhi self intest masing masing, baik dari
segi keterbatasan tempat, waktu, modal, kemampuan pikir dan lain sebagainya,
yang pada akhirnya menyebabkan manusia mampu berfikir, bahwa ada cara melakukan
Compromise agar tiap individu mampu
menukarkan kemampuan demi terwujudnya masing masing individu tersebut. Compromise ini sering disalahgunakan
sebagai alibi untuk tidak menolong orang lain. Pemikiran itu muncul karenakan
secara praktis seseorang yang ditolong, sebenarnya tidak memiliki apapun untuk
ditukarkan, namun kita dapat melihat bahwa perbuatan menolong orang lain itu
masih diijinkan dalam kerangka pikir etika Ayn Rand.
[1]
Ayn Rand, Virtue of Selfishness, hlm.
8
[2]
Ibid, hlm. 21
[3]
Ibid, hlm. 46.
[4]
Ibid.
[5]
ibid, hlm. 26.
[6]
Ayn Rand, For The New Intellectual,
hlm. 100.
[7]
Ibid, hlm. 114.
[8]
Ayn Rand, Causality Versus Duties, Philosophy: Who Need it, chapter 10
[9]
Ayn Rand, For The New Intellectual,
hlm. 114
[10]
Ibid, hlm. 58
[11]
Ibid, hlm. 114
[12]
Ayn Rand, Virtue of Selfishness, hlm.
64
[13]
Ibid, hlm. 64
[14]
Playboy, edisi maret 1964
[15]
Ayn Rand, Virtue of Selfishness, hlm.
41
[16]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar