Page

Total Tayangan Halaman

Selasa, 22 Mei 2012

Rorty, Butler, Dan Kontingensi


UAS Pragmatisme
Adam Azano Satrio, 0906522861

Rorty, Butler, Dan  Kontingensi  
           
Permasalahan utama yang ingin diangkat adalah permasalahan yang selama ini ditimbulkan oleh filsafat itu sendiri, yaitu pernyataan dan persoalan terhadap “truth” yang dianggap memiliki unsur mutlak dan absolut. Rorty menawarkan suatu cara agar filsafat bisa meninggalkan  ataupun tersadarkan, bahwa sudah saatnya meninggalkan pemikiran berbau platonic. Dan memulai suatu perjalanan untuk memandang kehidupan sebagai suatu kontingensi yang mengijinkan adanya perubahan, kebermungkinan, serta ketidakpastian. Semua itu merupakan cirikhas dari Rorty yang mempercayai bahwa pragmatisme haruslah hidup dalam suatu kontingensi yang mengijinkan adanya kebermungkinan. Sedangkan bagi Butler permasalahan yang ingin diangkat lebih dalam adalah persoalan sexual difference, sebagai seorang feminis, Butler mempercayai juga bahwa kontingensi merupakan suatu keharusan agar permasalahan toleransi gender bisa terjadi, terutama dengan teori miliknya tentang performativity dimana identitas seksual  itu dianggap sebagai penentu dari identitas gender seseorang.

Rorty ingin menunjukan bahwa contingency berada dalam berbagai unsurrealitas manusia dan pada akhirnya mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam bahasa kita dapat mengetahui bahawasanya kebenaran (Truth) ataupun kepalsuan (Falsity) dalam bahasa terutama merupakan pernyataan yang kontingensi. Karena dalam suatu pernyataan yang kita deskripsikan sesuatu dengan keberpahaman kita yang sebenarnya terlepas dari sesuatu yang  dideskripsikan tersebut. Kita dapat mengatakan bahwa susu itu berwana putih, dan yang orang lain mungkin setuju, namun yang kita dan orang lain itu katakan sebagai sesuatu truth belum tentu pernyataan yang benar, sebab kita menjawabnya dengan pernyatan kita. Kosa kata final inilah yang menjadi titik tolak bagi seseorang untuk mengekspresikan pandangan-pandangan maupun aspirasinya. Tolok ukur fundamental itulah kriteria yang diyakini secara subyektif, dan kemudian digunakan untuk mengekspresikan pikiran-pikiran seseorang.

Sewarna dengan Rorty, Butler menganggap kontingensy merupakan suatu keharusan dalam kehidupan social manusia dalam melihat persoalan sexual difference. Butler menggunakan term Kantian tentang nomena dan fenomena dalam permasalahan sexual difference Butler mempercayai bahwa ketubuhan kita merupakan permasalahan fenomena dan karena semua fenomena itu bersifat kontingensi dan berkelanjutan maka seharusnya tidak ada yang bisa memaksakan suatu norma yang bersifat esensial terhadap tubuh karena seksualitas ketubuhannya. Kontingensi ini mengijinkan keberpahaman bahwa identitas gender itu tidaklah terberi, bersifat an sich dan universal, karena identitas tersebut merupakan suatu performativitas dan selalu berproses menjadi.
         
Lalu apa sebenarnya tujuan Rorty menjelaskan adanya kontingensi dalam bahasa? Adanya final vocabulary yang harus dicurigai? Dan berusaha membuang metafisika? Sebuah pertanyaan sederhana tentang “Bagaimana menjadi Manusia?” seharusnya mampu menggelitik rasio kita. Pernyataan tersebut disadari ataupun tidak, mengizinkan kita berpikir bahwa ada yang lain yang bisa kita anggap sebagai belum menjadi manusia, yang pada akhirnya mengijinkan adanya penindasan serta pengijinan memberikan kesakitan moral pada yang lain. Pada akhirnya ada tujuan moral yang dia sarankan kepada kita yaitu keberpahaman kita dalam pemaknaan kata “We” (Kita). Pada akhirnya yang ingin dikatakan bahwa bahasa juga mempengaruhi pada kehidupan social manusia. Saat kita lebih menekankan persoalan “them” (Mereka) maka telah terjadi sebuah pembedaan yang mengizinkan kita melakukan suatu distingsi pada yang lain. Sehingga kita dapat mengetahui pemaknaan yang lebih dalam dari pertanyaan sederhana dan memberikannya distingsi, seperti “apakah kamu percaya dan menyukai yang kita percaya dan sukai?” menjadi, “apakah kamu menderita?” serta pada akhirnya pernyataan tentang “We” yang lebih luas, inilah letak keberhasilan solidarity pada bab terakhirnya Rorty, dimana tidak lagi kita berpikir hanya menjadi sosok aku tetapi juga menyadari ada yang lainnya, sehingga kita menjadi keduanya. 

Lalu apa yang diharapkan oleh Butler dengan adanya kontingensi dalam sexual difference? Butler lebih mengharapkan bahwa kesadaran tiap orang tentang performativity dalam sexual difference mengijinkan adanya sebuah toleransi yang mengijinkan tiap orang menjalankan proses becoming miliknya sendiri dalam proses kehidupan dirinya sendiri, tanpa diusik oleh yang lain, dimana yang lain tersebut menganggap dirinya normal serta dianggap berhak untuk menentukan norma universal yang fix disebabkan permasalahan ketubuhan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar