UAS Pragmatisme
Adam Azano Satrio, 0906522861
Rorty, Butler, Dan Kontingensi
Permasalahan utama yang ingin diangkat adalah permasalahan
yang selama ini ditimbulkan oleh filsafat itu sendiri, yaitu pernyataan
dan persoalan terhadap “truth” yang dianggap memiliki unsur mutlak
dan absolut. Rorty menawarkan suatu cara agar filsafat bisa meninggalkan
ataupun tersadarkan, bahwa sudah saatnya meninggalkan pemikiran berbau
platonic. Dan memulai suatu perjalanan untuk memandang kehidupan sebagai suatu
kontingensi yang mengijinkan adanya perubahan, kebermungkinan, serta
ketidakpastian. Semua itu merupakan cirikhas dari Rorty yang mempercayai bahwa
pragmatisme haruslah hidup dalam suatu kontingensi yang mengijinkan adanya
kebermungkinan. Sedangkan bagi Butler permasalahan yang ingin diangkat lebih dalam
adalah persoalan sexual difference,
sebagai seorang feminis, Butler mempercayai juga bahwa kontingensi merupakan
suatu keharusan agar permasalahan toleransi gender bisa terjadi, terutama
dengan teori miliknya tentang performativity dimana identitas seksual itu dianggap sebagai penentu dari identitas
gender seseorang.
Rorty ingin menunjukan bahwa contingency berada dalam berbagai unsurrealitas
manusia dan pada akhirnya mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam bahasa kita
dapat mengetahui bahawasanya kebenaran (Truth) ataupun kepalsuan (Falsity)
dalam bahasa terutama merupakan pernyataan yang kontingensi. Karena dalam suatu
pernyataan yang kita deskripsikan sesuatu dengan keberpahaman kita yang
sebenarnya terlepas dari sesuatu yang dideskripsikan tersebut. Kita dapat
mengatakan bahwa susu itu berwana putih, dan yang orang lain mungkin setuju,
namun yang kita dan orang lain itu katakan sebagai sesuatu truth belum tentu pernyataan yang benar,
sebab kita menjawabnya dengan pernyatan kita. Kosa
kata final inilah yang menjadi titik tolak bagi seseorang untuk mengekspresikan
pandangan-pandangan maupun aspirasinya. Tolok ukur fundamental itulah kriteria
yang diyakini secara subyektif, dan kemudian digunakan untuk mengekspresikan
pikiran-pikiran seseorang.
Sewarna dengan Rorty, Butler menganggap kontingensy
merupakan suatu keharusan dalam kehidupan social manusia dalam melihat
persoalan sexual difference. Butler menggunakan
term Kantian tentang nomena dan fenomena dalam permasalahan sexual difference Butler mempercayai
bahwa ketubuhan kita merupakan permasalahan fenomena
dan karena semua fenomena itu bersifat kontingensi dan berkelanjutan maka
seharusnya tidak ada yang bisa memaksakan suatu norma yang bersifat esensial
terhadap tubuh karena seksualitas ketubuhannya. Kontingensi ini mengijinkan
keberpahaman bahwa identitas gender itu tidaklah terberi, bersifat an sich dan universal, karena identitas
tersebut merupakan suatu performativitas dan selalu berproses menjadi.
Lalu apa sebenarnya tujuan Rorty
menjelaskan adanya kontingensi dalam bahasa? Adanya final vocabulary yang harus dicurigai? Dan berusaha membuang
metafisika? Sebuah pertanyaan sederhana tentang “Bagaimana menjadi Manusia?”
seharusnya mampu menggelitik rasio kita. Pernyataan tersebut disadari ataupun
tidak, mengizinkan kita berpikir bahwa ada yang lain yang bisa kita anggap
sebagai belum menjadi manusia, yang pada akhirnya mengijinkan adanya penindasan
serta pengijinan memberikan kesakitan moral pada yang lain. Pada akhirnya ada
tujuan moral yang dia sarankan kepada kita yaitu keberpahaman kita dalam
pemaknaan kata “We” (Kita). Pada akhirnya yang ingin dikatakan bahwa
bahasa juga mempengaruhi pada kehidupan social manusia. Saat kita lebih
menekankan persoalan “them” (Mereka) maka telah terjadi sebuah pembedaan
yang mengizinkan kita melakukan suatu distingsi pada yang lain. Sehingga kita
dapat mengetahui pemaknaan yang lebih dalam dari pertanyaan sederhana dan
memberikannya distingsi, seperti “apakah kamu percaya dan menyukai yang kita
percaya dan sukai?” menjadi, “apakah kamu menderita?” serta pada akhirnya
pernyataan tentang “We” yang lebih
luas, inilah letak keberhasilan solidarity pada bab terakhirnya Rorty, dimana
tidak lagi kita berpikir hanya menjadi sosok aku tetapi juga menyadari ada yang
lainnya, sehingga kita menjadi keduanya.
Lalu apa yang diharapkan oleh Butler
dengan adanya kontingensi dalam sexual
difference? Butler lebih mengharapkan bahwa kesadaran tiap orang tentang performativity dalam sexual difference mengijinkan adanya
sebuah toleransi yang mengijinkan tiap orang menjalankan proses becoming miliknya sendiri dalam proses
kehidupan dirinya sendiri, tanpa diusik oleh yang lain, dimana yang lain
tersebut menganggap dirinya normal serta dianggap berhak untuk menentukan norma
universal yang fix disebabkan permasalahan ketubuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar