Page

Total Tayangan Halaman

Senin, 07 Mei 2012

Michel Foucault


Michel Foucault


Sekilas Sejarah Hidup
Michel Foucault adalah seorang pemikir post-post-strukturalis yang lahir di Poitiers pada tahun 1926. Ia memulai kariernya dengan bekerja di sebuah rumah sakit jiwa dan kemudian meluncurkan berbagai karya antara lain Les Mots et les Choses (1960) dan L’Archeologie de Savoir (1969). Pada April 1970 ia diangkat menjadi dosen di College de France. Ia memulai perkuliahannya dengan mengangkat judul “The Will to Truth” yang membahas tentang “praktek-praktek diskursif” dan ia mengatakan bahwa:

“ Kelompok-kelompok yang teratur (dalam praktek-praktek diskursif) sekarang tidak sesuai dengan karya-karya individu. Meskipun muncul dan untuk pertama kali menjadi jelas dalam salah satu dari mereka, ini berkembang cukup luas di luar mereka dan sering menyatukan berbagai kelompok. Akan tetapi mereka tidak selalu bersesuaian dengan yang biasa kita sebut ilmu atau disiplin, meskipun untuk sementara memiliki perbatasan yang sama.1

Penjelasan Foucault ini menggambarkan ciri inovatif dan individualis dalam karyanya. Metode struktural dijadikannya metode satu-satunya serta metode piker yang mencakup segala-galanya dan menerapkannya juga pada sejarah.
Pemikiran Dasar Foucault
Menurut Foucault, kita tidak bisa mereduksikan “praktek-praktek diskursif” menjadi kategori oeuvre individu atau disiplin akademik. Akan tetapi, praktek diskursif tersebut adalah sebuah keteraturan yang kemudian muncul dalam fakta artikulasi itu sendiri: ia tidak datang sebelum artikulasi dilakukan. Sistematika praktek diskursif itu sendiri tidak berjenis linguistik maupun logis. Keteraturan suatu diskursus itu bersifat tidak sadar dan berlangsung dalam tatanan parole Saussure, dan tidak pada tatanan langue yang sudah ada sebelumnya.
Ia juga banyak berbicara mengenai sejarah. Olehnya sejarah didekatinya sedemikian rupa, sehingga yang penting baginya bukanlah “bagaimana keadaannya di masa lampau”, melainkan struktur-strukturnya yang terungkap dalam pembahasan-pembahasan (diskursus) yang dilakukan oleh para penyelenggara ilmu pengetahuan serta para sastrawan pada suatu masa tertentu. Maka di dalam sejarah ini yang utama bukanlah unsur diakronik, melainkan unsur sinkronik.
Pemahaman sejarah Foucault berusaha menghindari “proyeksi ‘makna’ ke dalam sejarah”.2 Hal ini berkenaan dengan analsisnya mengenai “rezim praktek” yang mana bisa saja diambil karena adanya garis yang memisahkan antara perkataan dan perbuatan ─seperti antara melihat dan berbicara─ selalu berada dalam keadaan yang tidak stabil. Maka dari itu rezim-rezim praktek tidak bisa direduksikan kepada bentuk tindakan yang ahistoris. Untuk memahaminya maka dibutuhkan analisis terhadap sebab, seperti pelaku di balik tindakan.
Berkaitan dengan itu, Foucault juga menulis banyak buku, salah satunya adalah The Order of Things: An Archeology of Human Sciences. Dalam buku ini Foucault memaparkan pandangannya tentang manusia, sang pelaku, yang dihapuskan, “seperti wajah yang dilukis pada pasir di tepi pantai”.3 Yang kemudian bisa diambil dari hal ini ialah tidak ada makna esensial dibalik benda, tidak ada subjek esensial di balik tindakan; dalam sejarah juga tidak ada tatanan esensial. Akan tetapi tatanan itu ada di dalam penulisan sejarah itu sendiri.
Pandangan tentang Bahasa
            Untuk memahami pemikiran Foucault maka dimulai dengan 2 pertanyaan terkait bahasan diatas, yang pertama ialah, “Struktur manakah yang terdapat dalam pembahasan pada sesuatu masa tertentu? Dan yang kedua ialah “Tatanan benda-benda manakah yang terungkap dalam tatanan kata-kata?”
Untuk menjawabnya, disini ia membedakannya menjadi 3 masa: masa renaissance, masa klasik dan masa modern. Pada setiap masa, hubungan antara kata-kata dengan benda-benda berbeda-beda. Foucault mengatakan bahwa:
1.      Pada masa renaissance orang mendasarkan diri pada kesadaran akan adanya keserupaaan (resemblance) antara kata-kata dengan benda-benda. Maka terdapatlah pertalian yang sangat erat antara kedua hal tersebut.
2.      Pada masa klasik, kata-kata melepaskan diri dari benda-benda. Orang mulai memperhatikan watak pemberi gambaran yang dipunyai oleh kata-kata dan dengan demikian orang tegas-tegas menyadari akan adanya jarak antara bahasa dengan dunia.
3.      Kini bahasa menjadi gambaran (representasi) dunia. Sekitar peralihan abad ke 18 ke abad 19 bahasa dan dunia kedua-duanya ditinjau dari segi kesejarahannya.4
Selanjutnya Foucault berbicara mengenai epistema. Ini erat hubungannya dengan 3 masa diatas. Epistema adalah sebuah sistem. Dijelaskan bahwa menurut Foucault, epistema ialah prasyarat munculnya pengetahuan dan teori. Jadi, ia adalah latar tersembunyi dibelakang pengetahuan; epistema adalah struktur dasar yang berada diluar sejarah.

Yang ditanyakan selanjutnya ialah, “Siapakah yang berbicara (subyek) dalam epistema?” Jawabannya bukanlah Tuhan dan manusia. Menurut Foucault, Tuhan telah mati, dan manusia tak lebih dari mitos; ia hanyalah invention of recent date. Lalu siapakah yang berbicara jika bukan keduanya? Ialah bahasa. Melalui dan mengggunakan bahasa, epistema mengetahui dirinya. Jadi, epistema adalah obyek dan bahasa adalah subyek—walaupun kalangan postmodernis menolak pembagian dikotomis ini, namun realitanya, mereka tak bisa menghindarkan diri. Manusia sebagai subyek sudah ditinggalkan, karena itu, Foucault selanjutnya mengumumkan kematian manusia, sebagai implikasi logis kematian Tuhan.
Foucault dengan J. Lacan mempunyai pandangan yang sama mengenai  bahasa. Foucault mengatakan bahwa yang berbicara bukanlah subyek, tapi struktur linguistik dan sistem bahasa. Sementara Lacan menegaskan bahwa jalan yang telah dirintis oleh Freud tak memiliki makna selain bahwa, alam bawah-sadar adalah bahasa. Mereka tampaknya memahami bahasa secara luas.

 Gagasan lain Foucault yang terpenting, berkenaan dengan wacana (discourse). Dalam discourse, bahasa adalah mediator. Wacana adalah ucapan yang dengannya pembicara menyampaikan segala sesuatu kepada pendengar. Unsur terkecil dari wacana adalah kalimat. Wacana yang diperkuat dengan tulisan disebut teks. Wacana merupakan kumpulan pernyataan-pernyataan (statement) yang berbeda dengan ungkapan (utterance) maupun proposisi (proposition). Yang dimaksud Foucault disini bukanlah sekedar perbincangan sehari-hari, tapi perbincangan yang serius (serious speech-act). Serius tidaknya suatu perbincangan diukur berdasar intensitas keterlibatan unsur relasi kuasa dengan pengetahuan yang melahirkan wacana tersebut. 

Dalam The Order of Things, Foucault memberikan pandangan tentang bahasa pada teori genealoginya. Di sini, bahasa bagi Foucault tidak bisa dikurung dalam "apa yang ditulis" dan "apa yang menjadi tafsirnya", keduanya saling terjalin tanpa pemisahan. Hal ini adalah salah satu dari pemikirannya tentang subjek dan objek, bahwa bahasa yang ditulis dan menjadi tafsirnya tidak bisa dipisahkan dalam subjek dan objek. Keduanya terserak tanpa teratur, tanpa terstruktur secara baku.5

Tata Wacana

            Ada beberapa simpul inti pemikiran Foucault yang penting, yaitu wacana,diskontinuitas, kuasa-pengetahuan, dan episteme. Penggunaan terma wacana (discourse) dipopulerkan Foucault dan menjadi konsep penting dalam pemikirannya.  Aturan, sistem, dan prosedur disebutnya dengan “tata-wacana” yaitu keseluruhan wilayah konseptual di mana pengetahuan itu dikonstruksi (dibentuk dan dihasilkan). Wacana dalam pengertian ini adalah keseluruhan domain di mana bahasa dipakai dalam tata-cara tertentu.  Domain itu berakar dalam berbagai praktek kehidupan, lembaga, dan tindakan manusia.  Dalam arti paling luas, wacana berarti segala sesuatu yang ditulis, diucapkan, dikomunikasikan dengan tanda-tanda—dan merupakan kumpulan pernyataan.  Karena itu, studi teks, sejarah, budaya dan klaim obyektivitas dan kebenaran harus ditunda, karena telah dipengaruhi oleh aturan, perbedaan makna, dan strategi yang sama dengan naratif lainnya.  Kini batas antara ‘fakta’ dan ‘fiksi’ semakin buram, karena perlu diperiksa secara ketat.
           
Genealogi Foucault

            Rasionalitas dianggap menghasilkan pengetahuan dan wacana kebenaran.  Namun Foucault mengingatkan, bahwa ketika sebuah wacana dilahirkan, wacana sebenarnya sudah dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya6. Wacana itu dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan (episteme) tertentu.  Untuk itu, kebenaran memiliki mata rantai dengan sistem kekuasaan.

            Foucault menyebut metodenya ‘genealogi’, sebagai bentuk penelusuran historis tentang terbentuknya/terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan, obyek pengetahuan dan wacana ilmiah.  Dalam melakukan penelusuran itu, ia tidak menemukan kontinuitas tetapi diskotinuitas/keretakan (repture) sejarah, episteme, dan wacana.  Foucault mengatakan le langage ne dit pas exactement ce qu'il dit7. yang artinya bahasa tidak mengatakan secara persis apa yang dia katakan. Justru karena bahasa tidak pernah eksak mewakili sebuah makna atau realitas, maka bahasa terbuka bagi sebuah pemaknaan tanpa batas. Genealogi adalah sejarah yang ditulis sesuai dengan komitmen terhadap masalah-masalah masa kini, dan ia akan menerobos masuk masa kini8.

Pengetahuan dan Kekuasaan

            Foucault, melalui teori wacana, menolak pusat atau titik tolak pemikiran.  Kalau ‘pusat’ harus ada, maka pusat itu adalah bahasa atau teks.  Wacana paling bertanggung jawab dalam membentuk atau mencitrakan subyek dan obyek dalam epistemologi, khususnya pembentuk subyek. Wacana dalam ilmu dan praktek sosial adalah jaringan praktik pengetahuan dan kekuasaan.  Wacana menciptakan subyek ilmu-ilmu sosial dan obyek-obyeknya (penyakit, seksualitas, kegilaan dsb).  Foucault, dalam penelitiannya menunjukkan, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dikuasai oleh the will to power.

            Pemikiran Foucault tentang kekuasaan sangat penting, karena ia merelativisir segala sesuatu yang selama ini dianggap absolut.  Ia menempatkan kebenaran, rasio, pengetahuan, ilmu, wacana akademik, pengobatan, pendidikan, rumah sakit, manusia dan sebagainya dalam kerangka relasi dengan kekuasaan.  Kekuasaan menurutnya bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan relasi-relasi yang bekerja dalam ruang dan waktu tertentu.   Kekuasaan memproduksi kebenaran, karena kebenaran berada di dalam jaringan relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran dan menjaga kebenaran itu. Karena itu kebenaran tidak ada dengan sendirinya, dan tidak berada di luar kekuasaan, tetapi berada dalam kekuasaan itu.  Karena itu, kekuasaan adalah kebenaran.

            Foucault membahas kuasa dari segi mekanisme dan strategi kuasa.  Ia tidak berbicara tentang apa itu kuasa, tetapi bagaimana kuasa itu diperaktikkan, diterima dan dilihat sebagai kebenaran, serta bagaimana kuasa berfungsi dalam bidang tertentu.  Kuasa tidak hanya bekerja melalui intimidasi dan kekerasan, tetapi pertama-pertama melalui aturan-aturan dan normalisasi. Kuasa ternyata berkaitan erat dengan pengetahuan.  Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan tidak ada pula kuasa tanpa pengetahuan.   Pelaksanaan kuasa itu, bagi Foucault, tidak mungkin tanpa ada wacana yang bersifat esensial dalam setiap kebudayaan dan masyarakat.

            Menurut Foucault, hakekat kekuasaan telah berubah. Kekuasaan tidak lagi berada di tangan satu orang atau lembaga, tetapi tersebar luas dalam masyarakat dan cenderung ter-sembunyi.  Perubahan itu disebabkan oleh berubahnya fondasi kekuasaan. Dahulu fondasi kekuasaan adalah kehendak, baik kehendak raja atau rakyat, maka kekuasaan didapat me-lalui kumpulan kehendak, kesepakatakan, perserikatan, dan partai politik.  Kini, kekuasaan tidak lahir dari kehendak, tetapi melalui pengetahuan.  Pengetahuan tidak netral, tetapi politis,  menunjang dan memberi kekuasaan.  Tujuan ilmu pengetahuan sosial adalah mengetahui dan mengendalikan tingkah laku manusia. Foucault memahami ilmu pengetahuan sosial sebagai alat penguasaan manusia atas manusia, artinya untuk mengendalikan dan mempengaruhi putusan (tubuh dan jiwa orang lain).  Tubuh dilihat sebagai mesin hidup sebagai sumber daya dan tenaga kerja yang perlu dikendalikan dan dimanfaatkan guna kemajuan.

            Salah satu metode pengendalian adalah melalui disiplin bekerja, normalisasi, dan regulasi.  Normalisasi adalah membuat norma dan aturan-aturan bagi tindakan, sedangkan regulasi menyusun aturan konkret yang harus diikuti.  Norma mengambil peran hukum, agar terwujud efektivitas dan produktivitas.  Tubuh dilihat memiliki fungsi ekonomi dan fungsi politis. Karena itu, dibuatkan peraturan dan disiplin untuk meningkatkan utilitas dan docilitas (kepatuhan dan ketertiban) bagi sikap dan tingkah-laku manusia. Pengetahuan adalah kekuasaan, kata Foucault.  Kerapkali pengetahuan, kekuasaan, dan tenaga fisik bekerjasama.  Kuasa dan pengetahuan pertama-tama bekerja melalui bahasa.

Catatan
1.      Michel Foucault, Résumé des cours, 1970-1982, Paris, Juillard, 1989, hlm. 10. 
2.      Friedrich Nietzsche, The Will to Power, diterjemahkan oleh Walter Kaufmann, New York, Vintage Books, 1968, bagian 1011, hlm. 523.
3.      Michel Foucault, The Order of Things: An Archeology of Human Sciences, terjemahan dari bahasa Prancis, New York, Vintage Books, 1973, hlm. 387.
4.      Delfgauuw Bernard, De Wijsbegeerte van de 20e Eeuw (Filsafat Abad 20), diterjemahkan oleh Soejono Soemargo, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1988, hlm. 155.
5.       Setyo Wibowo, Gaya filsafat Nietzsche, Yogyakarta, Galang Press, 2004.
6.       Best & Kellner 1991
7.      A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta, Galang Press, 2044. hlm. 244
8.      A. Gunawan Admiranto, 50 Filsuf Kontemporer, Yogyakarta, Kanisius, hlm. 179.













Daftar Pustaka

Delfgaauw, Bernard. 1988. Filsafat Abad 20. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana Yogya.
Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Foucault, Michel. 1970. The Order of Things. United Kingdom: Tavistock Publications
Foucault, Michel. 2002. Pengetahuan dan Metode (Karya-Karya
Penting Foucault). Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar