Michel Foucault
Sekilas Sejarah Hidup
Michel Foucault adalah seorang pemikir post-post-strukturalis
yang lahir di Poitiers pada tahun 1926. Ia memulai kariernya dengan bekerja di
sebuah rumah sakit jiwa dan kemudian meluncurkan berbagai karya antara lain Les
Mots et les Choses (1960) dan L’Archeologie de Savoir (1969). Pada April 1970
ia diangkat menjadi dosen di College de France. Ia memulai perkuliahannya
dengan mengangkat judul “The Will to Truth” yang membahas tentang “praktek-praktek
diskursif” dan ia mengatakan bahwa:
“
Kelompok-kelompok yang teratur (dalam praktek-praktek diskursif) sekarang tidak
sesuai dengan karya-karya individu. Meskipun muncul dan untuk pertama kali
menjadi jelas dalam salah satu dari mereka, ini berkembang cukup luas di luar
mereka dan sering menyatukan berbagai kelompok. Akan tetapi mereka tidak selalu
bersesuaian dengan yang biasa kita sebut ilmu atau disiplin, meskipun untuk
sementara memiliki perbatasan yang sama.1
Penjelasan Foucault ini menggambarkan
ciri inovatif dan individualis dalam karyanya. Metode struktural dijadikannya
metode satu-satunya serta metode piker yang mencakup segala-galanya dan
menerapkannya juga pada sejarah.
Pemikiran
Dasar Foucault
Menurut Foucault, kita tidak bisa mereduksikan
“praktek-praktek diskursif” menjadi kategori oeuvre individu atau disiplin akademik. Akan tetapi, praktek
diskursif tersebut adalah sebuah keteraturan yang kemudian muncul dalam fakta
artikulasi itu sendiri: ia tidak datang sebelum artikulasi dilakukan. Sistematika
praktek diskursif itu sendiri tidak berjenis linguistik maupun logis.
Keteraturan suatu diskursus itu bersifat tidak sadar dan berlangsung dalam
tatanan parole Saussure, dan tidak
pada tatanan langue yang sudah ada
sebelumnya.
Ia juga banyak berbicara mengenai sejarah. Olehnya sejarah
didekatinya sedemikian rupa, sehingga yang penting baginya bukanlah “bagaimana
keadaannya di masa lampau”, melainkan struktur-strukturnya yang terungkap dalam
pembahasan-pembahasan (diskursus) yang dilakukan oleh para penyelenggara ilmu
pengetahuan serta para sastrawan pada suatu masa tertentu. Maka di dalam
sejarah ini yang utama bukanlah unsur diakronik, melainkan unsur sinkronik.
Pemahaman sejarah Foucault berusaha menghindari
“proyeksi ‘makna’ ke dalam sejarah”.2 Hal ini berkenaan dengan
analsisnya mengenai “rezim praktek” yang mana bisa saja diambil karena adanya
garis yang memisahkan antara perkataan dan perbuatan ─seperti antara melihat
dan berbicara─ selalu berada dalam keadaan yang tidak stabil. Maka dari itu
rezim-rezim praktek tidak bisa direduksikan kepada bentuk tindakan yang
ahistoris. Untuk memahaminya maka dibutuhkan analisis terhadap sebab, seperti
pelaku di balik tindakan.
Berkaitan dengan itu, Foucault juga menulis banyak buku,
salah satunya adalah The Order of Things: An Archeology of Human Sciences.
Dalam buku ini Foucault memaparkan pandangannya tentang manusia, sang pelaku,
yang dihapuskan, “seperti wajah yang dilukis pada pasir di tepi pantai”.3 Yang
kemudian bisa diambil dari hal ini ialah tidak ada makna esensial dibalik
benda, tidak ada subjek esensial di balik tindakan; dalam sejarah juga tidak
ada tatanan esensial. Akan tetapi tatanan itu ada di dalam penulisan sejarah
itu sendiri.
Pandangan tentang Bahasa
Untuk
memahami pemikiran Foucault maka dimulai dengan 2 pertanyaan terkait bahasan
diatas, yang pertama ialah, “Struktur manakah yang terdapat dalam pembahasan
pada sesuatu masa tertentu? Dan yang kedua ialah “Tatanan benda-benda manakah
yang terungkap dalam tatanan kata-kata?”
Untuk menjawabnya, disini ia membedakannya menjadi 3
masa: masa renaissance, masa klasik dan masa modern. Pada setiap masa, hubungan
antara kata-kata dengan benda-benda berbeda-beda. Foucault mengatakan bahwa:
1.
Pada masa renaissance orang mendasarkan diri pada
kesadaran akan adanya keserupaaan (resemblance) antara kata-kata dengan
benda-benda. Maka terdapatlah pertalian yang sangat erat antara kedua hal
tersebut.
2.
Pada masa klasik, kata-kata melepaskan diri dari
benda-benda. Orang mulai memperhatikan watak pemberi gambaran yang dipunyai
oleh kata-kata dan dengan demikian orang tegas-tegas menyadari akan adanya
jarak antara bahasa dengan dunia.
3.
Kini bahasa menjadi gambaran (representasi) dunia.
Sekitar peralihan abad ke 18 ke abad 19 bahasa dan dunia kedua-duanya ditinjau
dari segi kesejarahannya.4
Selanjutnya Foucault
berbicara mengenai epistema. Ini erat hubungannya dengan 3 masa diatas.
Epistema adalah sebuah sistem. Dijelaskan bahwa menurut Foucault, epistema
ialah prasyarat munculnya pengetahuan dan teori. Jadi, ia adalah latar
tersembunyi dibelakang pengetahuan; epistema adalah struktur dasar yang berada
diluar sejarah.
Yang ditanyakan selanjutnya ialah, “Siapakah yang
berbicara (subyek) dalam epistema?” Jawabannya bukanlah Tuhan dan manusia. Menurut
Foucault, Tuhan telah mati, dan manusia tak lebih dari mitos; ia hanyalah
invention of recent date. Lalu siapakah yang berbicara jika bukan keduanya?
Ialah bahasa. Melalui dan mengggunakan bahasa, epistema mengetahui dirinya.
Jadi, epistema adalah obyek dan bahasa adalah subyek—walaupun kalangan postmodernis
menolak pembagian dikotomis ini, namun realitanya, mereka tak bisa
menghindarkan diri. Manusia sebagai subyek sudah ditinggalkan, karena itu,
Foucault selanjutnya mengumumkan kematian manusia, sebagai implikasi logis
kematian Tuhan.
Foucault dengan J. Lacan mempunyai pandangan yang sama
mengenai bahasa. Foucault mengatakan
bahwa yang berbicara bukanlah subyek, tapi struktur linguistik dan sistem
bahasa. Sementara Lacan menegaskan bahwa jalan yang telah dirintis oleh Freud
tak memiliki makna selain bahwa, alam bawah-sadar adalah bahasa. Mereka
tampaknya memahami bahasa secara luas.
Gagasan lain
Foucault yang terpenting, berkenaan dengan wacana (discourse). Dalam discourse,
bahasa adalah mediator. Wacana adalah ucapan yang dengannya pembicara
menyampaikan segala sesuatu kepada pendengar. Unsur terkecil dari wacana adalah
kalimat. Wacana yang diperkuat dengan tulisan disebut teks. Wacana merupakan
kumpulan pernyataan-pernyataan (statement) yang berbeda dengan ungkapan
(utterance) maupun proposisi (proposition). Yang dimaksud Foucault disini
bukanlah sekedar perbincangan sehari-hari, tapi perbincangan yang serius
(serious speech-act). Serius tidaknya suatu perbincangan diukur berdasar
intensitas keterlibatan unsur relasi kuasa dengan pengetahuan yang melahirkan
wacana tersebut.
Dalam The Order of Things, Foucault memberikan
pandangan tentang bahasa pada teori genealoginya. Di sini, bahasa bagi Foucault tidak bisa dikurung dalam
"apa yang ditulis" dan "apa yang menjadi tafsirnya",
keduanya saling terjalin tanpa pemisahan. Hal ini adalah salah satu
dari pemikirannya tentang subjek dan objek, bahwa bahasa yang ditulis dan
menjadi tafsirnya tidak
bisa dipisahkan dalam subjek dan objek. Keduanya
terserak tanpa teratur, tanpa terstruktur secara baku.5
Tata Wacana
Ada beberapa simpul inti pemikiran
Foucault yang penting, yaitu wacana,diskontinuitas, kuasa-pengetahuan, dan episteme. Penggunaan terma
wacana (discourse) dipopulerkan Foucault dan menjadi konsep penting
dalam pemikirannya. Aturan, sistem, dan prosedur disebutnya dengan
“tata-wacana” yaitu keseluruhan wilayah konseptual di mana pengetahuan itu
dikonstruksi (dibentuk dan dihasilkan). Wacana dalam pengertian ini adalah
keseluruhan domain di mana bahasa dipakai dalam tata-cara tertentu.
Domain itu berakar dalam berbagai praktek kehidupan, lembaga, dan tindakan
manusia. Dalam arti paling luas, wacana berarti segala sesuatu yang
ditulis, diucapkan, dikomunikasikan dengan tanda-tanda—dan merupakan kumpulan
pernyataan. Karena itu, studi teks, sejarah, budaya dan klaim
obyektivitas dan kebenaran harus ditunda, karena telah dipengaruhi oleh aturan,
perbedaan makna, dan strategi yang sama dengan naratif lainnya. Kini
batas antara ‘fakta’ dan ‘fiksi’ semakin buram, karena perlu diperiksa secara
ketat.
Genealogi Foucault
Rasionalitas dianggap menghasilkan
pengetahuan dan wacana kebenaran. Namun Foucault mengingatkan, bahwa
ketika sebuah wacana dilahirkan, wacana sebenarnya sudah dikontrol, diseleksi,
diorganisasi, dan didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya6. Wacana itu dikonstruksikan berdasarkan
tata-aturan (episteme) tertentu. Untuk itu, kebenaran memiliki mata
rantai dengan sistem kekuasaan.
Foucault menyebut metodenya
‘genealogi’, sebagai bentuk penelusuran historis tentang
terbentuknya/terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan, obyek pengetahuan dan
wacana ilmiah. Dalam melakukan penelusuran itu, ia tidak menemukan
kontinuitas tetapi diskotinuitas/keretakan (repture) sejarah, episteme,
dan wacana. Foucault mengatakan le
langage ne dit pas exactement ce qu'il dit7.
yang artinya bahasa tidak mengatakan secara persis apa yang dia katakan. Justru
karena bahasa tidak pernah eksak mewakili sebuah makna atau realitas, maka
bahasa terbuka bagi sebuah pemaknaan tanpa batas. Genealogi adalah sejarah yang
ditulis sesuai dengan komitmen terhadap masalah-masalah masa kini, dan ia akan
menerobos masuk masa kini8.
Pengetahuan
dan Kekuasaan
Foucault, melalui teori wacana, menolak pusat
atau titik tolak pemikiran. Kalau ‘pusat’ harus ada, maka pusat itu
adalah bahasa atau teks. Wacana paling bertanggung jawab dalam membentuk
atau mencitrakan subyek dan obyek dalam epistemologi, khususnya pembentuk
subyek. Wacana dalam ilmu dan praktek sosial adalah jaringan praktik
pengetahuan dan kekuasaan. Wacana menciptakan subyek ilmu-ilmu sosial dan
obyek-obyeknya (penyakit, seksualitas, kegilaan dsb). Foucault, dalam
penelitiannya menunjukkan, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dikuasai oleh the will to power.
Pemikiran Foucault tentang kekuasaan
sangat penting, karena ia merelativisir segala sesuatu yang selama ini dianggap
absolut. Ia menempatkan kebenaran, rasio, pengetahuan, ilmu, wacana
akademik, pengobatan, pendidikan, rumah sakit, manusia dan sebagainya dalam
kerangka relasi dengan kekuasaan. Kekuasaan menurutnya bukan sesuatu yang
sudah ada, melainkan relasi-relasi yang bekerja dalam ruang dan waktu
tertentu. Kekuasaan memproduksi kebenaran, karena kebenaran berada
di dalam jaringan relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang
memproduksi kebenaran dan menjaga kebenaran itu. Karena itu kebenaran tidak ada
dengan sendirinya, dan tidak berada di luar kekuasaan, tetapi berada dalam
kekuasaan itu. Karena itu, kekuasaan adalah kebenaran.
Foucault membahas kuasa dari segi
mekanisme dan strategi kuasa. Ia tidak berbicara tentang apa itu kuasa,
tetapi bagaimana kuasa itu diperaktikkan, diterima dan dilihat sebagai
kebenaran, serta bagaimana kuasa berfungsi dalam bidang tertentu. Kuasa
tidak hanya bekerja melalui intimidasi dan kekerasan, tetapi pertama-pertama
melalui aturan-aturan dan normalisasi. Kuasa ternyata berkaitan erat dengan
pengetahuan. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan tidak ada pula kuasa
tanpa pengetahuan. Pelaksanaan kuasa itu, bagi Foucault, tidak
mungkin tanpa ada wacana yang bersifat esensial dalam setiap kebudayaan dan
masyarakat.
Menurut Foucault, hakekat kekuasaan
telah berubah. Kekuasaan tidak lagi berada di tangan satu orang atau lembaga,
tetapi tersebar luas dalam masyarakat dan cenderung ter-sembunyi.
Perubahan itu disebabkan oleh berubahnya fondasi kekuasaan. Dahulu fondasi
kekuasaan adalah kehendak, baik kehendak raja atau rakyat, maka kekuasaan
didapat me-lalui kumpulan kehendak, kesepakatakan, perserikatan, dan partai
politik. Kini, kekuasaan tidak lahir dari kehendak, tetapi melalui
pengetahuan. Pengetahuan tidak netral, tetapi politis, menunjang
dan memberi kekuasaan. Tujuan ilmu pengetahuan sosial adalah mengetahui
dan mengendalikan tingkah laku manusia. Foucault memahami ilmu pengetahuan
sosial sebagai alat penguasaan manusia atas manusia, artinya untuk
mengendalikan dan mempengaruhi putusan (tubuh dan jiwa orang lain). Tubuh
dilihat sebagai mesin hidup sebagai sumber daya dan tenaga kerja yang perlu
dikendalikan dan dimanfaatkan guna kemajuan.
Salah satu metode pengendalian
adalah melalui disiplin bekerja, normalisasi, dan regulasi. Normalisasi
adalah membuat norma dan aturan-aturan bagi tindakan, sedangkan regulasi
menyusun aturan konkret yang harus diikuti. Norma mengambil peran hukum,
agar terwujud efektivitas dan produktivitas. Tubuh dilihat memiliki
fungsi ekonomi dan fungsi politis. Karena itu, dibuatkan peraturan dan disiplin
untuk meningkatkan utilitas dan docilitas (kepatuhan dan ketertiban) bagi sikap
dan tingkah-laku manusia. Pengetahuan adalah kekuasaan, kata Foucault.
Kerapkali pengetahuan, kekuasaan, dan tenaga fisik bekerjasama. Kuasa dan
pengetahuan pertama-tama bekerja melalui bahasa.
Catatan
1. Michel Foucault, Résumé des cours, 1970-1982, Paris,
Juillard, 1989, hlm. 10.
2. Friedrich Nietzsche, The Will to Power, diterjemahkan oleh Walter Kaufmann, New York,
Vintage Books, 1968, bagian 1011, hlm. 523.
3.
Michel Foucault, The Order of Things: An
Archeology of Human Sciences, terjemahan dari bahasa Prancis, New York, Vintage
Books, 1973, hlm. 387.
4. Delfgauuw Bernard, De Wijsbegeerte van de 20e Eeuw
(Filsafat Abad 20), diterjemahkan oleh Soejono Soemargo, Yogyakarta, Tiara
Wacana Yogya, 1988, hlm. 155.
5.
Setyo Wibowo, Gaya filsafat Nietzsche, Yogyakarta, Galang
Press, 2004.
6.
Best & Kellner 1991
7.
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta,
Galang Press, 2044. hlm. 244
8. A. Gunawan Admiranto, 50 Filsuf Kontemporer, Yogyakarta, Kanisius, hlm. 179.
Daftar
Pustaka
Delfgaauw, Bernard. 1988. Filsafat Abad 20. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana Yogya.
Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Foucault, Michel. 1970. The Order of Things. United Kingdom: Tavistock Publications
Foucault, Michel. 2002. Pengetahuan dan Metode (Karya-Karya
Penting Foucault). Yogyakarta dan Bandung:
Jalasutra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar