BOP-B UI, dan Kesetaraan Kesempatan
Salah satu permasalahan dalam ekonomi adalah tentang permasalahan tentang keadilan, aktualisasi dari keadilan dalam ekonomi dapat kita ketahui dengan adanya uang sebagai alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan suatu komoditas. Perbedaan dalam hal modal awal dan kemampuan tiap individu adalah hal yang tidak diperhatikan dalam kasus praktik ekonomi, karenanya hal tentang keadilan tentang kesetaraan hanya bisa dikatakan ada, jika ada yang membangun suatu landasan tentang bagaimana membuat starter point yang setara bagi tiap individu. Landasan berfikir yang penulis angkat dalam kasus ini adalah pola pikir milik John Rawls, yang meyakini bahwa insentif merupakan suatu kewajiban moral yang harus diberikan kepada orang yang dianggap memiliki kesempatan kecil untuk melakukan kompetisi didunia ini.
Pada kasus ini penulis ingin mengangkat kasus BOP-B UI, memandang melalui kacamata teori keadilan John Rawls, dan diakhiri dengan komentar dari penulis.
UI Paparkan Skema Biaya Kuliah
Variasi kemampuan keuangan keluarga mahasiswa sangat beragam, mulai dari rentang yang sangat mampu hingga yang tidak mampu. Untuk itu, pihak Universitas Indonesia (UI) menyatakan telah memberlakukan sistem Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan (BOP Berkeadilan) khusus untuk untuk mahasiswa S-1 reguler.
Demikian diungkapkan Kepala Kantor Komunikasi UI Vishnu Juwono di Depok, Senin (10/1/2011), setelah mengirimkan surat balasan UI kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait penetapan biaya pendidikan di UI. Vishnu menuturkan, melalui sistem BOP Berkeadilan, mahasiswa bisa membayar BOP antara Rp 100.000 – Rp 7.500.000 untuk bidang studi eksakta dan menetapkan Rp 100.000 – Rp 5.000.000 untuk noneksakta, sesuai kemampuan masing-masing, melalui mekanisme penetapan BOP Berkeadilan.
“Mekanisme ini bertumpu pada kejujuran mahasiswa atau orang tua dalam mengisi data kemampuan keuangan mereka. Data tersebut diolah dan dianalisa oleh tim UI sehingga menjadi dasar menetapkan BOP masing-masing mahasiswa setiap tahun,” papar Vishnu.
Ia mengatakan, tim Penetapan BOP Berkeadilan tersebut selalu melibatkan unsur mahasiswa yang dilibatkan secara aktif, terutama dalam melakukan verifikasi data, bahkan melakukan survei ke lapangan jika ada data-data yang kurang lengkap atau meragukan.
“Sebagaimana kami sadari, dalam implementasinya hanya sedikit mahasiswa program S-1 reguler yang mampu membayar sebesar besaran maksimal BOP Berkeadilan,” katanya.
“Bahkan, selama tiga tahun terakhir sebanyak lebih dari 8.000 mahasiswa S-1 reguler atau 59 persennya membayar di bawah besaran maksimal BOP berkeadilan ini,” tambah Vishnu.
Ia menuturkan, hampir sebanyak 5.000 mahasiswa S-1 reguler selama 3 tahun terakhir hanya membayar BOP berkeadilan di bawah Rp 2.000.000. Sehingga dengan penerapan sistem BOP berkeadilan itu, lanjut dia, pembayaran biaya pendidikan per semester dari mahasiswa/siswi Program S-1 Reguler rata-rata hanya sebesar Rp 3.000.000 per semester.
“Jika dibandingkan dengan Student Unit Cost (SUC), maka nilai tersebut hanya sebesar 11 sampai 16 persen dari SUC,” tambahnya.
Selain itu, dalam menetapkan BP Program Sarjana (S-1), UI membagi dalam dua kategori, yaitu S-1 Reguler dan Nonreguler, yang terdiri dari Paralel, Ekstensi, Kerjasama Daerah dan Industri (KSDI), Kelas Khusus Internasional (KKI). Adapun program sarjana nonreguler seperti program kelas pararel, Kelas Internasional, dan Ekstensi yang diterima melalui jaluk Seleksi Masuk (Simak UI) akan dikenakan biaya pendidikan yang range nominalnya berkisar dari Rp 7.500.000- Rp 8.500.000 (khusus program sarjana pararel dan ekstensi).
“Ini juga berlaku untuk untuk mahasiswa yang diterima pada program KSDI, sedangkan biaya pendidikan untuk kelas internasional akan dikenakan biaya yang lebih tinggi dan disesuaikan dengan masing-masing jurusan karena menggunakan kurikulum dan infrastruktur perkuliahan berstandar internasional,” jelas Vishnu.
Ia menambahkan, seluruh beban biaya pendidikan untuk program sarjana nonreguler tersebut tidak memperoleh skema BOP Berkeadilan. Oleh karena itu, kata Vishnu, dapat diasumsikan bahwa calon mahasiswa yang memilih kuliah di program sarjana nonreguler, sadar dan mengetahui bahwa mereka harus membayar biaya pendidikan yang tidak murah.
“Selain itu dapat diasumsikan bahwa calon mahasiswa yang memutuskan mengambil studi di program sarjana non reguler juga memiliki kemampuan finansial yang baik,” imbuhnya.
Diberitakan sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendatangi Rektorat Universitas Indonesia (UI), Kamis (16/12/2010), untuk mengetahui transparansi perhitungan, penetapan, dan pengelolaan dana mahasiswa dan dana kampus. Kedatangan ICW dipicu oleh aduan mahasiswa yang merasa UI tidak transparan dalam penetapan standar unit cost (SUC) untuk mahasiswa UI. | kompas
Kesetaraan Kesempatan
Secara singkat karya John Rawls merupakan pandangan baru tentang liberalisme dan egaliterian, terutama tentang masalah hak kepemilikan. Kita telah mengetahui, bahwa dalam hak kepemilikan, semua orang berhak untuk memiliki hasil dari usaha dirinya sendiri. Lalu terjadi pertanyaan apakah semua orang terlahir sama dan setara dalam hal kesempatan untuk mendapat hasil jerih payahnya sendiri?
Berdasarkan Teori Keadilan John Rawls kita memang terlahir secara secara sama dalam hak yang hakiki, tetapi kita lahir memiliki perbedaan, dan konsep keadilan miliknya bukanlah keadilan yang bersifat sama rata, tetapi keadilan yang berdasarkan kesadaran adanya perbedaan terutama kesempatan. Sebab pada kenyataannya, ada sebagian orang yang terlahir dari keluarga yang kaya bisa memperoleh akses yang lebih luas pada semua hal baik, pendidikan, kehidupan sosial, dan lainnya, namun jika kita melihat orang lain yang terlahir pada keluarga miskin, memiliki cacat tubuh, apakah bisa memiliki akses seperti orang kaya?
Maka John Rawls merancang suatu sistem keadilan, dimana bisa diciptakan suatu keadilan dalam payung liberalisme dan egalitarian yang memungkinkan semua orang, baik yang paling beruntung, hingga yang paling menderita, agar mendapat keadilan dalam hal kesempatan yang sepantasnya.
Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai kepentingannya terlebih dahulu baru kemudian kepentingan umum. Hasrat ini adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan ukuran pencapaian keadilan. Maka harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan ini, namun secara empiris masyarakat menunjukan bahwa kebebasan tidak dapat sepenuhnya terwujud karena adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat. Perbedaan ini menjadi dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka yang lemah. Apabila sudah ada persamaan derajat, maka semua harus memperoleh kesempatan yang sama untuk memenuhi kepentingannya.
Walaupun nantinya memunculkan perbedaan, bukan suatu masalah, asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan dan titik berangkat yang sama. Melalui teori keadilan miliknya, menyiratkan pemerintahan berhak untuk campur tangan dalam kehidupan warganegaranya agar terjadi adanya keadilan dalam hal kesempatan tersebut, sebab segala keuntungan yang dimiliki kita sekarang sebenarnya hanya keberuntungan saja dan kita memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan kesempatan pada orang yang kurang beruntung.
Komentar
Pada kasus ini, teori keadilan milik John Rawl mampu diaktualisasikan melalui BOP-B, dimana individu yang tidak memiliki kesempatan yang sama, dalam hal ini kemampuan finansial, untuk memiliki kesempatan yang sama. Disini mampu diperlihatkan bahwa ekonomi tetap memiliki unsur – unsur moral yang tak bisa begitu saja dipinggirkan, terutama dalam persoalan distribusi kekayaan.
Namun penulis tidak berhenti disini saja, yang menjadi pertanyaan lanjutan dalam kasus ini adalah, apakah sesederhana itu saja alasan untuk memberikan insentif kepada orang yang secara kesempatan berbeda dengan kita? Bukankah dengan kita memberikan insentif kepada seseorang itu sama saja kita tidak membiarkan orang tersebut berusaha sampai batas kemampuannya untuk berkarya dengan keunikannya masing – masing sebagai aktualisasi eksistensinya sebagai individu? Bagaimana jika sebenarnya ketidakluasan kesempatan orang yang diberikan insentif tersebut terjadi karena hasil perbuataannya sendiri, seperti karena malas bekerja ataupun karena dirinya gemar menghambur – hamburkan uang? Atau dalam kasus ini, Bagaimana jika orang yang mendapat insentif adalah orang yang keluarganya ataupun dirinya malas untuk bekerja keras untuk mendapakan penghasilan lebih ataupun tidak melakukan management resiko keuangan yang baik? Yang menjadi keanehan lanjutan dalam kasus BOP-B ini, jika adalah benar mereka yang menerima insentif BOP-B adalah orang telah kita bantu karena telah mengalami kekurangan kesempatan, mengapa akses dan kesempatan akan beasiswa lebih dipermudah lagi bagi mereka?
Yang penulis ingin tunjukan adalah teori keadilan milik John Rawls, memiliki kelemahan tentang penyamarataan tentang ketidaksamaan kesempatan, bagi penulis bukan merupakan kesalahan moral jika seseorang mendistribusikan sebagian keuntungan finansial pribadinya jika dipergunakan untuk insentif sebagai alat membuka kesempatan bagi mereka yang mengalami ketidakadilan, jika hal tersebut bukan disebabkan oleh dirinya, dan insentif finansial tersebut berefek pada orang tersebut sehingga mau maju dan bergerak untuk mengaktualisasi kemampuan dirinya secara individual, namun merupakan hal yang salah jika insentif tersebut diberikan kepada orang ketidakluasan kesempatannya disebabkan oleh dirinya sendiri, insentif tersebutlah yang pada akhirnya, menyebabkan efek orang tersebut menjadi malas dan tidak berefek pada orang tersebut, sehingga tidak mau maju dan tidak bergerak untuk mengaktualisasi kemampuan dirinya secara individual.