Tugas Fenomenologi
Oleh
Adam Azano Satrio, 0906522861
Thesis statement
Kemungkinan
persepsi total dalam fenomenologi Maurice Marleau Ponty melalui teknologi.
Introduksi fenomenologi Maurice
Marleau Ponty
Sebagaimana
kita ketahui bahwa Maurice Marleau Ponty sebagai filsuf memasukan tubuh sebagai
pintu awal memahami kesadaran di dunia. Dalam filsafatnya tidak mungkin ada
bentuk kesadaran mutlak yang bersifat tidak menubuh yang mampu memahami
kesadaran di dunianya. Keberadaan manusia dengan tubuhnya merupakan satu - satunya
cara untuk memahami dunianya, sehingga kita bisa menyadari bahwa kehidupan
dunia merupakan satu hal yang unik bagi tiap - tiap individu bertubuh.
Pandangan
tersebut mengijinkan kita untuk membahas sebuah kehidupan manusia yang menjalani
kehidupannya di dunia dengan lebih sederhana dan membahas bagaimana kesadaran
pra reflektif itu bisa terjadi. Pandangan Maurice Marleau Ponty juga memberikan
alternatif jawaban dari konsekuensi yang dihadirkan oleh Rene Descartes dengan
pemisahan mind dan bodynya, yang berujung pada aliran filsafat rasionalisme dan
empirisme. Walaupun begitu penelitian fenomenologis ini tidak ingin menunjukan
jawaban yang sama dengan Immanuel Kant dengan pemahaman epistemologinya namun
lebih mendasar yaitu tentang kesadaran awal yang dibentuk dalam kehidupan
manusia.
Secara
sederhana untuk memahami persoalan tentang fenomenologi Maurice Marleau Ponty
kita bisa menggunakan contoh dengan melihat cerahnya langit berwarna biru
dipagi hari, ataupun saat menggunakan palu untuk memaku, kita melihat dan
mengalami hal tersebut sebagai satu kesatuan yang hadir kepada kita secara
sertamerta.[1]
Melalui hal tersebut kita bisa membayangkan bahwa kehidupan, sebagai suatu
aktifitas dan kegiatan, adalah hal yang pertama kali kita ketahui di dalam
kesadaran kita, berbeda dengan pandagan Rene Descartes yang meyakini bahwa aku berfikir maka aku
ada, maka Maurice Marleau Ponty meyakini bahwa karena aku bertubuh maka aku
ada. Hal tersebut merupakan penyebab bahwa kesadaran manusia akan suatu hal
pastilah bersifat dari apa yang mampu dilakukan oleh dirinya. Pengalaman menubuh
yang diterima melalui tubuh kita, merupakan awal dari kesadaran yang mampu
diterima dalam kegiatan kita mendunia. Fenomena ketubuhan ini juga mengijinkan
untuk membahas adanya pernyataan yang unik tentang kemampuan tubuh yang seperti
memiliki pemikirannya sendiri, seperti contohnya tubuh kita dapat mengetahui
kue sus mana yang enak tanpa perlu membandingkan kue sus yang satu dengan kue
sus yang lainnya, ataupun tubuh kita dapat mengetahui apakah seseorang yang
kita lihat disuatu ruangan itu cantik ataupun tampan tanpa perlu melakukan
penelitian observatif yang berdasarkan rumusan teori tertentu.
Model
ilmu pengetahuanpun, diklaim menurut Maurice Marleau Ponty, pada awalnya
berdasarkan adanya kesadaran kita dengan tubuh kita. Seperti persoalan jarak,
dimana ketika kita melihat suatu benda yang ingin kita raih berada diluar
jangkauan tangan kita maka kita mengalami kesadaran bahwa benda tersebut jauh,
ataupun persoalan seperti berat, dimana saat kita mencoba mengangkat suatu
benda namun benda tersebut tidak mampu kita angkat, maka kesadaran kita
mengenal bahwa benda tersebut itu berat yang melebihi beban berat kita sebagai
manusia. Secara sederhana tubuh sebagai sesuatu yang erat bagi manusia memiliki
kemampuannya sebagai penilai pertama dalam suatu pengetahuan, sehingga jika
dibalik pernyataan tersebut secara negatif maka tidak mungkin ada pengetahuan
tanpa adanya tubuh.[2]
Hal
tersebut memang memberikan pernyataan masuk akal bahwa kesadaran manusia
terkait dengan dengan keadaan dirinya sebagai mahluk yang menubuh dalam
menjalani kehidupannya, namun penulis menemukan ada konsekuensi unik terlahirkan
dari kemampuan manusia, yaitu teknologi, yang membawa fenomenologi Maurice
Marleau Ponty dari bersifat kesadaran merupakan perspektif individu yang pada
akhirnya unik dengan masing – masing menjadi kesadaran perspektif yang bersifat
totalitas.
Dua konsekuensi awal
Kesadaran
akan dunia tersebut yang diakses melalui tubuh menurut penulis memiliki dua konsekuensi,
yang disebabkan keadaan manusia di dunia, yaitu keterbatasan waktu, ruang, dan
kemampuan. Konsekuensi pertama adalah tiap orang menyadari suatu hal yang sama
dengan kemampuan perspektifnya masing – masing yang berbeda dan yang kedua
beberapa orang bisa tidak mengalami kesadaran sama sekali akan suatu hal
dikarenakan perbedaan kemampuan tubuh yang dimilikinya.
Konsekuensi
pertama membuka persoalan yang terkait dengan kesadaran manusia sebagai mahluk
yang menubuh. Dimana perspektif mengandung keterkaitan dengan kemampuan
memahami objek. Untuk mengetahuinya kita dapat menggunakan analogi bunyi yang
didengarkan oleh dua orang dengan profesi yang berbeda, yaitu seseorang sebagai
musisi dan seseorang sebagai sound engineer. Seorang musisi akan mendengarkan bunyi
sebagai suatu yang khas yang berdasarkan aturan musik tertentu dan komposisi
nada sebagai pembentuk kenikmatan estetik bagi dirinya yang jika nada tersebut
diacak maka akan menyebabkan nada menjadi tidak nikmat di telinga, namun sound
engineer hanya akan melihat suara sebagai bentuk amplitude yang memiliki range
tertentu dalam frekuensi tertentu, yang jika suatu nada memiliki frekuensi dibawah
standar kemampuan manusia tidak akan terdengar ataupun diatasnya akan merusak
pendengaran. Kehadiran nada bagi kedua orang tersebut berbeda bukan dalam
artian orang tersebut “mengkerangkeng” nada dengan persepsinya sendiri namun
nada hadir kedalam dua telinga tersebut dan ditangkap secara berbeda
berdasarkan perspektif dari kemampuan tubuhnya masing – masing. Sehingga jika
ada seorang musisi yang merangkap sebagai sound engineer maka bentuk kesadaran
yang diterimanya tentang nada adalah gabungan dari kedua model tersebut. Pada
konsekuensi awal ini penulis ingin menunjukan bahwa suatu hal yang sama yang disadari
manusia bisa hadir sebagai sesuatu yang berbeda dan kesadaran yang diterima
masing - masing kedua orang tersebut adalah benar apa adanya.[3]
Konsekuensi
kedua muncul ketika beberapa orang mampu melihat cerahnya pagi hari dengan
matanya, ataupun harumnya mawar melalui hidungnya, beberapa orang yang lain
tidak mampu melakukan hal tersebut dikarenakan keterbatasan kemampuan tubuhnya.
Mengikuti pemikiran Maurice Marleau Ponty tentang pentingnya tubuh sebagai
bentuk awal kesadaran akan fenomena, maka orang buta tidak mungkin mampu
mengalami kesadaran tentang warna merah yang berasal dari sebuah patung dan
hanya terbatas pada kemampuannya untuk meraba bentuk patung tersebut dari
tanganya, orang tuli tidak akan mampu mengalami kesadaran tentang nada yang
dikeluarkan dari gitar tetapi hanya terbatas dari melihat posisi jari yang
membentuk akor yang dilakukan sang gitaris, dan lain sebagainya.[4] Contoh
orang buta dan orang tuli itupun bersifat terbatas, sehingga ketika seseorang
yang buta tiba - tiba dapat melihat dapat dipastikan dirinya tidak bisa
mengetahui apa warna merah, dan orang tuli tiba – tiba dapat mendengar tidak
bisa mengetahui nada yang dimainkan sang gitaris. Ketika hal tersebut adalah
benar, dalam pemikiran fenomenologi Maurice Marleau Ponty, maka akan ada
kemungkinan lainnya, bahwa ketika seseorang yang sebelumnya memiliki
kelengkapan tubuh dan kemampuan persepsi yang utuh, kehilangan segala kemampuan
persepsinya maka keadaannya pada saat itu tidaklah berkesadaran, jika ada
kesadaranpun kesadaran yang dirasakannya bukanlah merupakan hal yang baru
tetapi tak lebih dari memori yang diperoleh dari persepsi masa lalunya.
Persoalan
kecacatan tersebut menurut penulis adalah hal menarik, mengingat Maurice
Marleau Ponty juga menggunakan argumen kecacatan, dalam kasus ini phantom hand,
sebagai bentuk anomali di mana seorang pasien yang memiliki ketidaklengkapan
anggota tubuh tetap merasa memiliki pengindraan dengan anggota tubuhnya
tersebut. Phantom hand tersebut membuka persoalan bahwa masih erat keterkaitan
antara tubuh dan psikologi, yang di mana era modern lebih sering memisahkan
kedua hal tersebut menjadi persoalan yang secara rigoris murni terpisah. Di
sini kecacatan menurut penulis adalah penutup kemungkinan adanya pra -kesadaran
yang baru.
Munculnya konsekuensi ketiga
Jika
pra - kesadaran dikatakan terbatas dari tubuhnya sendiri maka persoalan
kecacatan menjadi perihal penutup kemungkinan adanya kesempatan kesadaran
tersebut. Persoalan tubuh tersebut menurut penulis mampu dikembangkan lagi
secara ekstrim jika melihat ada pernyataan tandingan bahwa ada teknologi yang
mampu memberikan pengalaman baru bagi manusia. Perkembangan teknologi
memungkinkan bahwa keterbatasan pra – kesadaran yang disebabkan tubuh dari
kecacatan mampu dipatahkan. Jika kita mengambil kasus orang buta dengan
tongkat, dimana perspektif orang buta tersebut dengan dunianya mampu dibentuk
dengan ada tongkat sebagai bagian dari alat yang menubuh bersama dirinya dalam
menjalani kehidupannya,[5]
maka bagaimana jika ada alat yang mampu membantu orang buta tersebut untuk
dapat kembali melihat? Memang orang buta tersebut tidak akan bisa mengetahui
apakah warna tersebut merah kuning ataupun hijau secara serta merta, tetapi
orang tersebut mampu mengakses pengalaman baru tentang warna yang pada saat
dirinya buta tidak bisa diketahui. Jika melalui teknologi seseoranga mampu
melampaui batasan dari kecacatan dirinya, bagaimana jika ada teknologi yang
mampu melebur seluruh manusia menjadi tunggal? Seperti seseorang akan bisa
mengetahui kubus tidak hanya terbatas dari suatu sisi yang mampu dilihat
melalui matanya saja, tetapi dari seluruh persepsi mata manusia yang masing -
masing melihat melalui matanya sendiri.
Penulis
melihat perkembangan manusia dalam teknologi yang mampu menciptakan sebuah teknologi
seperti protesa (tubuh buatan), dan lain sebagainya, memunculkan adanya
kemungkinan ketiga yaitu kemampuan teknologi yang ekstrim yang diciptakan untuk
mempersepsi total pada kesadaran seluruh manusia, sehingga kesadaran yang unik
dari keterbatasan perspektif tiap - tiap manusia sebagai individu yang hidup di
dunia menjadi hilang karena mampu dilebur menjadi satu. Kemungkinan hadirnya
teknologi telah diadaptasi dalam anime jepang sebagai Human Instrumentality Project.
Human Instrumentality Project
merupakan teori yang dihadirkan dalam salah satu anime jepang yang berjudul
Evangelion. Proses yang dilakukan manusia dalam anime ini adalah melebur
seluruh umat manusia dibumi menjadi satu entitas cairan, yang bertujuan untuk
mengisi kesadaran manusia satu dengan lainnya, yang berarti mampu menjadikan
manusia menjadi “Tuhan”. Dalam anime ini dikatakan bahwa manusia berusaha memiliki
persepektif utuh untuk mencapai tujuan utamanya yaitu mengisi celah primodial
antara tiap manusia yang dikatakan tidak bisa dilewati jika tidak melalui hal
tersebut dan berarti kesadaran yang mampu diterima dari hal yang unik bagi
dirinya sendiri bisa menjadi bersifat utuh dan total.
Penulis
melihat melalui kemungkinan ekstrim dari teknologi yang bisa menjadi
penghilangan bentuk kesadaran yang berasal dari tubuh milik Ponty yang sifatnya
unik bagi tiap - tiap orang dengan keterbatasan tubuhnya masing – masing. Di
sini fenomenologi Maurice Marleau Ponty yang membahas kesadaran dengan melihat
manusia sebagai individu – individu yang unik menjadi dapat dipertanyakan
kembali. Ketika suatu kesadaran adalah dari tubuhnya sendiri dengan segala
keunikan tubuh dirinya, maka jika ada teknologi yang memiliki kemampuan untuk
melebur banyak tubuh, yang secara individual memiliki kesadaran yang berbeda
yang disebabkan dari adanya kemampuan tubuh yang berbeda pula, maka hal
tersebut mengijinkan adanya kemungkinan kesadaran total yang bisa dimiliki tiap
individu tersebut. Hal yang menurut penurut sangat menarik dalam persoalan ini,
walaupun terlihat Maurice Marleau Ponty ingin membuat fenomenologi yang
membahas tentang kesadaran menjadi hal yang yang sifatnya individual dan unik
dengan menggunakan landasan ontologi yang sama sekali berbeda dengan
fenomenolog lainnya yaitu tubuh, tetap memiliki suatu celah dimana argumennya
mampu ditembus yaitu teknnologi.
Daftar
Bacaan
Adian,
Donny Gahral, Pengantar Fenomenologi,
Depok : Penerbit Koekosean, 2010.
Ponty,
Maurice Marleau, Phenomenology Of
Perceptio, London : Routledge, 2005.
[1] Berbeda dengan paham bermodel
empirisme bahwa hal yang kita terima bersifat sensasi atomistik, disini hal yang
kita terima melalui tubuh kita langsung bersifat utuh dan kesatuan, seperti
rumah yang berwana hijau, kita tidak mempersepsi warna dahulu, lalu dimensi,
lalu ukuran, tetapi langsung secara sekaligus.
[2] Lihat Donny Gahral Adian, Pengantar Fenomenologi, Depok : Penerbit
Koekosean, 2010, hlm 115.
[3] Ibid, hlm 115.
[4] “The blind man’s world differs from the normal person’s not only through
the quantity of material at his disposal, but also through the structure of the
whole.” Maurice Marleau Ponty, Phenomenology Of Perceptio, London : Routledge, 2005, hlm 21.
[5] Maurice Marleau Ponty pada
persoalan ini juga menggunakan analogi orang buta dengan togkatnya.