Page

Total Tayangan Halaman

Kamis, 24 Februari 2011

Nasihat Franz Magnis Suseno Tentang kebudaya Indonesia

Rangkuman Seminar Isu – isu Kebudayaan Indonesia Mutakhir



Permasalahan yang diangkat oleh Franz Magnis Suseno pada seminar ini adalah, bagaimana kebudayaan di Indonesia bisa menghadapi modernisasi? Mengingat bahwa Indonesia memiliki kemajemukan budaya yang sangat kental, maka diperlukan sikap dari masyarakat untuk tetap mempertahankan eksistensi budaya miliknya. Berdasarkan fakta historis, Indonesia telah menjadi tujuan migrasi berbagai bangsa di dunia, seperti Cina, India, dan Arab. Hal tersebut bisa terjadi karena daerah nusantara terkenal dengan toleransi dan memiliki kesadaran tentang pluraritas. Sehingga seringkali terlihat banyak akulturasi antara budaya asing dengan budaya pribumi. Hal tersebut lebih spesifik lagi terlihat pada budaya Jawa. Bahkan Beliau mengatakan “Hampir 40% budaya Jawa mempengaruhi bangsa kita.” Hal tersebut juga berpengaruh pada proses penyebaran agama di Nusantara, salah satunya adalah agama Islam. Islam masuk tak hanya berhenti sebagai sekedar agama di Indonesia  tetapi Juga bercampur dengan politik, dan sistem sosial sehingga memiliki kekuatan yang hebat dalam kehidupan sosial masyarakat. Selain itu penyebaran agama Kristiani bisa dilihat berkembang dengan jalan yang terbilang damai. Hal tersebut terlihat dengan banyak kampung - kampung di Jawa berdiri gereja. Fakta sejarah tersebut membuat kita untuk menyadari, nilai toleransi dan nilai pluralitas sebenarnya merupakan nilai yang telah mendarah daging dalam kebudayaan Indonesia.

            Tetapi pada kehidupan abad ini kebudayaan Indonesia memiliki tantangan zaman, yaitu dengan adanya modernitas. Modernitas yang dibawa oleh barat tersebut memiliki nilai - nilai yang baru pada kebudayaan Indonesia, yaitu rasionalisasi dan individualitas. Pada era tersebut muncul permasalah toleransi dan dan pluralism, yang pada era sebelumnya tidak terjadi bahan permasalahan. Hal tersebut disebabkan modernism lebih banyak menghancurkan budaya struktural yang telah dimiliki negeri ini daripada membangun mekanisme sosial. Penghancuran tersebut disebabkan nilai kebebasan individual yang diagungkan oleh para pemikir modern, berbeda dengan keadaan masyarakat tradisional yang mementingkan sikap komunal dan kolektivitas. Walaupun ideologi modernisme tersebut pada mulanya disebabkan adanya penekanan terhadap intelektual dan kemunafikan moral oleh gereja.

            Permasalahan tentang modernitas tersebut juga terlihat pada sistem pendidikan di Indonesia. Dimana sistem kebudayaan barat mau tidak mau mengharuskan adanya pendidikan yang bersifat individualis, seperti gelar sarjana yang tidak dapat di dapatkan secara bersama-sama. Berbeda dengan sistem pendidikan lokal yang sangat mengedepankan kolektivitas dan gotong royong, seperti pada pesantren. Diskursus tersebut pada akhirnya memilih untuk tetap memasukkan kedua sistem pendidikan tersebut. Selain itu pada abad 19 terjadi akulturasi ideologi lokal dengan ideologi barat. Sehingga muncul berbagai macam ide–ide ideologi dalam pembentukan negara, seperti nasionalisme, Islam, dan sosialisme.

            Pada akhirnya keadan masyarakat di Indonesia dengan masuknya ide modernitas berimbas munculnya hukum kompetisi. Hukum kompetisi adalah hukum dimana yang kuat yang akan bisa bertahan karena kehidupan itu sendiri adalah kompetisi, sehingga yang tak bisa bertahan akan kalah. Beliau menceritakan bahwa permasalahan bisa terjadi karena masalah yang tidak masuk akal. seorang tukang parkir tega menusuk temannya sendiri karena masalah uang seribu, dan dia melakukan hal itu disebabkan ketakutan. Jika tidak dapat mengumpulkan setoran tepat waktu tukang parker tersebut akan disakiti oleh preman daerah  tersebut. contoh tersebut menunjukan, bahwa nilai individualitas yang dibawa modernisme, pada akhirnya menghasilkan sifat egoistis yang mengijinkan untuk mengorbankan orang lain demi keselamatan pribadi.

Jika kita kembali berkaca pada sejarah, Founding Father kita, yaitu Presiden Soekarno dan Wakil presiden Moh. Hatta mampu membuat semangat persatuan di Indonesia menjadi kental dan erat, bahkan konflik fisik yang terjadi dalam masyarakat Indonesia sendiri sangat sedikit. Bahkan pada era 1950 banyak partai–partai yang berdiri di Indonesia dengan berbagai Ideologi dan kubu seperti Islam, nasionalis, yang mendukung pancasila dan tidak mendukung pancasila, komunis dan lain sebagainya. Pada saat itu hanya terjadi konflik politik dan ideologi tetapi tidak sampai pada bentrok fisik, dan hanya sebatas perang argumentasi dan pengaruh. Bahkan Soekarno membuat suatu jargon yang bertujuan mempersatukan ideologi dominan yang berbeda pada saat itu, yaitu NASAKOM Nasionalis, Agama, Kommunis. Disini kita bisa melihat bahwa Soekarno telah membuat dasar yang kuat tentang persatuan.

            Masalah lainnya yang menyangkut perpecahan karena individualitas dan hukum kompetisi adalah persoalan ideologi radikalisme dan fundamentalis agama. Dengan penuh arogansi mereka menganggap dirinya paling benar sehingga merasa mereka bebas untuk menekan kelompok lain yang berbeda dengan cara apapun walaupun jalan tersebut adalah jalan kekerasan. Padahal semua agama mengajarkan tentang kedamaian, kerendahan hati, dan toleransi. Ini sesuai dengan perkataan Franz Magnis “Jangankan  berbeda suku dan agama, dalam satu suku dan agama saja asih seing konflik.”

            Menurut beliau, kita dapat menghadapi perpecahan tersebut adalah dengan cara mempelajari budaya orang lain secara menyeluruh. Dengan begitu kita bisa mengritisi semua budaya modern yang masuk ke negeri kita dan mengambil sikap untuk menerima, memodifikasi, atau menolak. Langkah yang hati – hati tersebut dimaksudkan untuk tetap mempertahankan karakter bangsa sekaligus mengambil manfaat dari budaya asing, sebab mau tidak mau pasti kita bersinggungan dengan budaya asing, sebab kita tidak hidup seorang diri.

            Kebudayaan moderen juga memiliki nilai negatif dalam budaya-sosial yaitu kosumerisme. Konsumerisme adalah budaya yang mendekatkan kita dengan hedonisme, yaitu sikap hidup yang mengutamakan kesenangan bersifat duniawi saja. Orang yang telah terkena “virus” tersebut membeli barang bukan lagi karena permasalahan kebutuhan, melainkan tak lebih dari nilai prestisius dan kesan semata. Mereka akan rendah diri dan merasa tidak eksis dalam pergaulan. Hal seperti itu bisa kita lihat dalam kehidupan di sekitar kita, dimana brand atau logo telah mendominasi kesadaran masyarakat pada umumnya, seperti pada telepon seluler bermerek tertentu. Ada pemikiran dalam masyarakat bahwa orang yang tidak memiliki telepon seluler dengan merek tersebut tidak dapat mengikuti perkembangan jaman.

            Dalam kaitan antara kebudayaan dengan ranah politik. Beliau menerangkan, kewajiban negara adalah untuk melindungi kebebasan warga negaranya. Pernyataan tersebut mensyaratkan bahwa kebebasan warga negaranya sangat luas, selama warga negara tidak saling mengganggu warga negara yang lain dalam wilayah publik dan privat. Selain untuk melindungi kebebasan, negara juga berkewajiban untuk membasmi ketidaksosialan yang terjadi di Indonesia. Salah satu contohnya adalah budaya korupsi yang dilakukan oleh anggota pemerintahan akan menghancurkan intergritas, identitas, dan moral negara. Sehingga masyarakat memerlukan sebuah pegangan yang kuat untuk melekatkan kembali nilai-nilai moral dalam tatanan kehidupannya yang bersesuaian dengan kultur asli bangsa ini, yakni kembali pada nilai–nilai Pancasila.

            Nasihat yang diberikan Beliau merupakan bentuk kepeduliannya terhadap hal yang sayangnya sering dilupakan oleh bangsanya sendiri, yaitu kesadaran untuk mempertahankan kebudayaan lokal. Ide kebudayaan lokal seperti tentang toleransi, kolektivitas, pluralis, dan gotong royong. Sudah sepantasnya kita sebagai penerus kebudayaan bagi bangsa kita, melakukan perenungan dan pada akhirnya melakukan tindakan perubahan. Semua ini dilakukan agar bangsa ini bisa bersaing dalam era globalisasi dengan tetap memiliki karakteristik yang elegan dan berintergritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar