Page

Total Tayangan Halaman

Rabu, 03 November 2010

Rasionalisme Vs Empirisme = Kritisisme

Rasionalisme Vs Empirisme = Kritisisme


Rene Descartes

Lahir pada 31 Maret 1596 La Hayee, Touraine dan meninggal di Swiss pada tanggal 11 Februari 1650. Seorang yang disebut sebagai Bapak filsfat modern, karena berdasarkan konsepnya filsafat bisa terlepas perlahan dari heteronom teologi dan menjadi semakin otonom.

Filsafatnya sangat kental dengan paham Rasionalis. Filsafatnya dimulai dari pencarian akan suatu kebenaran yang pasti, tetap dan tak bisa diragukan dengan metode miliknya sendiri yaitu metode keraguan, sampai berhenti di satu titik dan menghasilkan “Cogito Ergo Sum” –aku berpikir maka aku ada- yang tak akan bisa diragukan lagi karena itu sudah benar-benar Clear And Distinct. Selain itu dia juga menghasilkan paham dualisme antara tubuh dan jiwa tentang manusia yang bisa dibandingkan dualisme Plato. Refleksinya tentang substansi dan manusia tersebut menghasilkan pemahaman tentang res cogitan dan res extensa. Selain itu yang menarik dari Descartes adalah dalam penjelasannya tentang dualisme dia akan menghubungkan dengan ilmu biologi, yang menyatakan bahwa jiwa dan tubuh bisa berinteraksi, karena ada Grandula Spenalis di otak. Pada paragraph selanjutnya penulis akan menjelaskan ajaran Descartes dengan cara sesederhana mungkin dan menggunakan contoh pada kehidupan disekitar kita.


Cogito Ergo Sum


Dalam mencari kebenaran tentang pengetahuan atau epistemologi. Descartes berpendapat harus dimulai dari sesuatu yang ada, pasti, tetap dan tak bisa diragukan lagi. Karena pernyataan itulah Descartes memulai metode meragukannya. Metode yang mengajarkan kita harus bisa meragukan ssesuatu hal yang belum jelas kepastiannya, dan hal pertama yang diragukan oleh Descartes adalah dunia diluar kita dan alat untuk mendapatkannya, yaitu indra. Pernahkah kita mengalami pengalaman seperti ini? Kita melihat ada sosok lelaki atau perempuan yang kita kenal dari jarak yang jauh, tapi saat kita dekati ternyata mata kita menipu dan kita tahu bahwa itu orang yang berbeda. Itulah salah satu contoh bahwa kita bisa tertipu oleh indra kita. Selanjutnya kita juga bisa meragukan keadaan dan keberadaan kita sekarang, apakah kita benar-benar berada di situasi sekarang ? apakah kita benar-benar sedang dalam ruangan kelas ini dan belajar matakuliah PFPM? Bisa saja kita sedang bermimpi, seperti dicontohkan dalam film The Matrix, dimana kita sebenarnya berada dalam alam virtual dan semua hal yang kita rasakan tak lebih dari hal yang semu dan semua sensasi kita adalah program dari komputer Matrix. Setelah kita meragukan itu semua apalagi hal yang kita bisa ragukan? Apakah kita bisa meragukan diri kita yang ragu-ragu? Jawabannya adalah tidak, dan hal itu tak bias diragukan karena sudah benar-benar jelas dan terpisah dari pengaruh yang lain atau dengan kata lain clear and distinct. Kita telah secara sadar bahwa kita bisa meragukan sesuatu dan hanya pikiran atau Cogito kitalah yang bias melakukan hal tersebut. Hal inilah yang menghasilkan faham utama Descartes yaitu, “Cogito Ergo Sum” saya berpikir maka saya ada, dengan kata lain hanya rasio akulah suatu yang benar-benar ada dan tak bisa diragukan keberadaannya.


Sang Hantu Dalam Mesin


Berdasarka metode keraguannya yang memfokskan rasionalitas maka Descartes berpendapat ada ide-ide bawaan dalam rasio kita. Yang pertama adalah res cogitan, res extensa, dan ide tentang Allah. Saat ini penulis akan memfokuskan tentang res cogitans dan ras ekstensa milik Descartes. Res cogitans adalah kesadaran tentang rasio milik kita yang mampu memikirkan sesuatu seperti aksioma (contoh: bujursangkar adalah bangun datar yang memiliki 4 buah sisi sama panjang) dan sadar dengan dirinya sendiri, yang kedua adalah res extensa, yaitu idea bawaan yang mengatakan bahwa saya bisa menyadari keadaan diluar saya sendiri yang materi, -walaupun pada awalnya hal itu diragukan- dengan pernyataannya bahwa ada pemisahan antara aku yang bersifat nonmaterial (seperti rasio) karena memliki ide res cogitan dan aku bersifat material (seperti, tubuhku) karena memiliki res ekstensa untuk memahami hal yang ada diluar kita dan bersifat materil. Pertanyaan yang akan timbul adalah jika kedua hal tersebut berbeda bagaimana bisa saling berhubungan? Dikatakan bahwa manusia memiliki Glandula Spenalis di otak yang berfungsi sebagai penyuplai jiwa ke tubuh. Disini terlihat juga prinsip mekanistis dalam pemikirannya. Berdasarkan pernyataannya, bisa dikatakan bahwa manusia itu seperti Hantu yang menggerakkan mesin.


Gottfried Wilhem Von Leibniz


Lahir pada 1 juli 1646 di Leipzig, di Saxony dan meninggal di Hannover pada tanggal 14 november 1716. Merupakan orang yang memiliki sumbangan besar kehampir semua cabang ilmu pengetahuan seperti fisika, matematika, teologi, dan juga filsafat. Sumbangan terbesar dalam filsafat adalah ontologi, metafisika, dan epistemologi dengan ajaran tentang monad.


Kita Mustahil Berinteraksi Dengan Yang Lainnya


Leibniz berpendapat ada banyak substansi dalam realitas. Substansi itu disebut monad (monos=satu; monad=satu unit). jika terkecil dalam geometri adalah titik. Dalam fisika yang terkecil itu atom. Maka dalam metafisika yang terkecil disebut monad. Kata terkecil bukanlah suatu ukuran, melainkan sebagai tidak berkeluasan, maka monad itu bukan benda atau immaterial. Monad-monad bukanlah hal jasmaniah, melainkan kenyataan mental (mental state),yang terdiri dari persepsi dan hasrat. Leibniz membayangkan monad sebagai forces primitives, daya purba yang tidak material, melainkan spiritual. Dengan kata lain, yang ia maksud sebagai monad adalah kesadaran diri tertutup, sejajar dengan Cogito tertutup Decartes. Dalam sebuah pernyataannya yang kemudian termasyur, dia mengatakan sebagai berikut: Monad - monad tak memiliki jendela untuk keluar atau masuk. Karena itu, setiap monad memiliki sudut pandangnya sendiri dan sudut pandang ini melukiskan kenyataan yang melingkunginya. Di antara monad - monad tak ada interaksi, sebab masing-masing merupakan kenyataan mental yang sudah cukup diri (self sufficient). Monad adalah sebuah sistem tertutup yang cukup diri. Setiap monad memiliki cermin hidup alam semesta.

Penjelasan Leibniz bahwa monad-monad sudah cukup diri menimbulkan persoalan. Bagaimana aku mengetahui kenyataan di luar diriku? Jawaban Leibniz adalah sebagai berikut. Setiap monad memiliki sifat-sifat yang jumlahnya tak terhingga, sebab setiap monad mencerminkan seluruh alam semesta dari sudut pandangnya. Dengan kata lain, setiap monad mencerminkan semua monad lainnya. Misalnya, saat “Aku” menyadari selembar daun jatuh di depanku, kesadaran “Aku” itu merupakan sebuah keadaan dari monad yang mencerminkan keadaan monad-monad lain yang bersama-sama mengidentifikasikan “daun”, sedemikian rupa sehingga dari sudut pandang kesadaranku aku sadar bahwa daun itu jatuh.

Kalau dunia dan kesadaran adalah monad-monad yang terisolasi satu sama lain, bagaiman menjelaskan gejala adanya ketertaturan dan hubungan timbal balik. Leibniz menjawab adanya Allah pada saat penciptaan mengadakan keselarasan yang ditetapkan sebelumnya (Pre-established Harmony) di antara monad-monad. Jadi, meskipun monad - monad memiliki momentumnya sendiri - sendiri, mereka akan cocok satu sama lain, sehingga menimbulkan ilusi bahwa mereka berinteraksi satu sama lain. Misalnya, air yang diletakkan di atas api menjadi panas bukan karena api, melainkan monad air, api dan panas bersesuaian satu sama lain. Allah, Sang Pengharmoni, telah menetapkan bahwa peristiwa yang terjadi pada monad lain. Jadi, hubungan timbal balik di antara monad - monad hanya kelihatannya ada. Lalu apakah Allah itu? Dalam pemikiran Leibniz Allah juga monad, tetapi bukan sembarang monad, melainkan monad purba yang merupakan aktivitas murni.
Sumbangan sistem monadologi adalah penghargaan terhadap bagian-bagian alam semesta ini di mana bagian-bagian ini mempunyai keterkaitan satu sama lain, terutama dalam menciptakan suatu keadaan terhadap realitas alam semesta ini.

Memang sulit jika memahami secara literal maksud dari monad Leibniz. Kita bisa memahami dengan membuat analogi tentang orang yang berada dalam ruangan tertutup dan hanya memiliki komputer dalam ruangannya. Mari kita bayangkan jika kita terkurung dalam ruangan tersebut, dan komputer yang ada di ruangan kita telah memiliki data – data yang terinstall segala hal yang ada di dalam ruangan dan di luar ruangan kita. Setelah itu ketika orang itu ingin mengetahui keadaan diluar kita dia cukup mencari dikomputernya. Jika kita membahas tentang bagaimana kita dapat mengetahui keadaan monad lainnya, diluar saya tanpa berinteraksi dengan monad lain . Kita dapat analogikan, saya cukup melihat dari komputer saya, dan saya tak perlu keluar dari ruangan saya. Dan jika kita menanyakan bagaimana penjelasan tentang Pre-established Harmony oleh Tuhan, bisa dianalogikan dengan teknisi komputer yang telah menginstal hardware maupun software computer tersebut

Menurut pendapat saya pribadi Leibniz lebih konsekuen dengan rasionalitas yang bersifat subyektif dibandingkan pendahulunya yaitu Descartes. Dengan penjelasannya terhadap Monad yang dikatakan tak bisa berinteraksi dengan monad lainnya. Berbeda dengn Descartes yang pada akhirnya mengakui ada dunia diluar kita.


John Locke


Lahir 29 Agustus 1632 – meninggal, 28 Oktober 1704 pada umur 72 tahun adalah seorang filsuf dari Inggris yang menjadi salah satu tokoh utama empirisme modern . Selain itu, di dalam bidang filsafat politik, Locke juga dikenal sebagai filsuf negara liberal.

Kontribusi Locke dalam filsafat dapat dilihat dari sudut pandang epistemologis dan juga filsafat politik. Dalam epistemologisnya, dia mengajarkan tentang paham empirismenya yang menghasilkan konsekuensi bahwa rasio pada awalnya seperti tabula rasa atau Blank Slate dan filsafat politiknya mengedepankan tentang ajaran Liberalisme miliknya, yang mengedepankan hak dari individu manusia terutama 3 hak, hak property, hak kebebasan,dan hak hidup serta kontak sosial miliknya yang menegaskan tentang tugas dari suatu negara.


Kita lahir seperti selembar kertas putih


Sebelum memulai dengan pemahaman Locke tentang empirisme, saya akan menjelaskan secara sederhana apa itu empirisme, empirisme adalah aliran epistemologi yang mengedepankan bahwa sumber dari pengetahuan berasal dari pengalaman, dan bagaimana cara kita mendapat pengalaman tersebut menggunakan indra, sedangkan rasio itu sendiri hanya bersifat sebagai alat pengumpul data. Pernahkah kita bertanya pada diri kita sendiri? Apakah mungkin kita bisa mengetahui sensasi asinnya garam tanpa mencoba garam tersebut? Apakah mungkin kita bisa menjelaskan panasnya api, tanpa merasakan api tersebut? Apakah kita dapat mengetahui warna merah tanpa sebelumnya kita melihat benda yang dikatakan berwarna merah tersebut? Tentu saja jawaban yang cocok adalah tidak. Dengan pernyataan diatas maka John Locke dapat mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan bawaan saat kita lahir ,seperti yang sering dikatakan oleh para rasionalis, dan hanya dengan pengalaman atau cara empiris yang berdasarkan indralah kita dapat mendapatkan pengetahuan itu. Berdasarkan pemahaman seperti itulah John Locke dapat mengatakan bahwa pemikiran (rasio) kita pada saat lahir itu kosong seperti kertas putih dengan kata lain Tabula Rasa.
Untuk memahami epistemologi empiris milik John Locke, kita bisa mengambil contoh dengan air yang dipanaskan, air itu memiliki Kualitas Primer yaitu, berwarna bening, bahan yang cair, memiliki massa dan lain sebagainya. Disini pemahaman kita masih sangat sederhana dan akhirnya menghasilkan ide dari kualitas tersebut. Kemudian jika ketiga idea tersebut di gabungkan maka terciptalah idea tentang air yang dipanaskan seperti yang kita ketahui pada umumnya. Idea komplek tersebut dibentuk dengan cara substansi (Hal yang dapat berdiri sendiri, dalam kasus ini, air), modus(ide komplek yang terjadi karena bergantung dengan keadaan substansi, dalam kasus ini air bentuk air tergantung wadahnya karena sifat air itu cair), dan relasi (hubungan timbal balik dalam kasus ini, air menjadi panas karena dipanaskan oleh api). Setelah itu kita bisa memahami kualitas sekunder dari air panas itu, seperti air yang dipanaskan itu nyaman dipakai untuk berendam. Disinilah kualitas sekunder dipahami sebagai efek dari benda itu yang dirasakan secara subyektif.
Pemahaman ini memiliki konsekuensi dalam kehidupan. Dengan paham tabula rasa, kita mau tak mau mengakui bahwa pengetahuan yang kita ketahui pastilah berasal dari luar kita, baik berupa data empiris maupun dogma, dan dalam karakteristik kita pun dibentuk dari budaya ataupun dogma yang kita terima dalam kehidupan kita, maka wajar sajalah John Locke mementingkan pendidikan karena dari pendidikan karakter manusia dibentuk.


The Reason Why Men Enter Into Society Is The Preservation Of Their Property


Kontribusi John Locke dalam filsafat politiknya terlihat dari paham liberalisme yang, yang mengatakan bahwa manusia bebas dan memiliki hak yang dimilikinya semenjak dia lahir, yaitu hak properti atau hak milik dari harta benda, hak hidup, dan hak kebebasan. Hak itu dia tunjukan dalam konsep kontrak sosial miliknya. Locke mengatakan bahwa ada suatu masa dimana manusia hidup di alam dan manusia menghargai hak manusia lain, tetapi datang suatu masa ketika manusia mulai merasa kurang dan ingin lebih, dan imbasnya manusia mulai merampas hak milik orang lain, sehingga manusia dengan segala cara berusaha mempertahankan haknya sampai dengan cara kekerasan. Oleh karena manusia merasa kehidupannya menjadi was - was dalam mempertahankan haknya pada akhirnya dibuatlah pemerintahan dengan tujuan sebagai penjaga hak pribadi masyarakat dan mencegah warganegaranya tidak saling berebut hak yang bukan miliknya.

Kita bisa membayangkan keadaan awal itu seperti awal ekspedisi Inggris yang menguasai lahan di benua Amerika, pada saat itu orang membangun dan mencari penghidupan dengan bebas, dan untuk menjaga hak milik pribadinya mengancam bahkan menembak orang lain yang masuk dalam wilayah properti miliknya di anggap hal yang wajar. Tapi karena manusia tidak merasa puas dan mau mendapatkan hal yang lebih, maka bisa terjadi konflik antara orang yang mempertahankan haknya dengan orang yang merebut hak orang lain. Persoalan akan bertambah runyam jika konfilik itu dimenangkan oleh sang perempas hak orang lain, apa yang bisa dilakukan oleh orang kehilangan haknya? Karena itulah pada akhirnya dibentuk pemerintahan untuk menjadi penjaga hak pribadi.


David Hume


Lahir 26 April, 1711 dan meninggal pada 25 Agustus, 1776 adalah filsuf Skotlandia, ekonom, dan sejarawan. Hume merupakan filusuf besar pertama dari era modern yang membuat filosofi naturalistis. Selain itu dia juga penyumbang pemikiran filsafat empiris yang lebih radikal dibandingan John Locke, dan dia akan dikenal dengan pandangan tentang skeptisime radikal yang akan menggoncang pemahaman empiris pada locke. Selain itu dia mengkritk konsep logika tentang kausalitas atau sebab akibat, dan pada akhirnya mengkritik induksi, yang pada dasarnya alat utama empirisme dalam menghasilkan pengetahuan.

Kausalitas tak lebih dari animal faith

Kausalitas adalah konsep yang menyatakan bahwa suatu kejadian pasti disebabkan oleh kejadian sebelumnya. Jika kita memahami konsep kausalitas itu, kita pada akhirnya akan bertanya, bukankah hal itu adalah yang pasti dan lumrah, bagaimana bisa David Hume skeptis dengan konsep yang sudah pasti seperti itu? Bukankah sudah pasti jika kertas yang terkena air pada akhirnya akan menjadi basah? Bukankah kertas yang terkena api pasti akan menjadi terbakar dan gosong? Jika dilakukan seratus kalipun maka hasilnya pasti akan tetap sama. Hume berpendapat, sebenarnya kita tak bisa memastikan dengan tepat bahwa satu kejadian pasti akan mempengaruhi kejadian lainnya, karena menurutnya hal yang lain bisa saja terjadi. Untuk memahami kritik kausalitas David Hume terhadap kausalitas kita bisa mencoba menganalogikan hal ini.

Jika anda yakin bahwa suatu kejadian pasti menjadi penyebab dari hal yang selanjutnya terjadi, seperti api jika menyentuh kertas akan terbakar, karena telah di observasi sebanyak seratus kali, bagaimana jika kejadiannya seperti ini? Telah diobservasi di depok, bahwa saat musim hujan, terjadi kasus pembunuhan dua kali lebih banyak dibandingkan saat musim kemarau, dan hal ini terjadi selama seratus kali musim hujan. Maka jika berpegang teguh dengan paham kausalitas dan induksi, kita harus berani menyimpulkan bahwa pembunuhan di depok disebabkan oleh musim hujan. Hal ini merupan sah jika kita menganut kausalitas dan induksi, tapi tentu saja hal yang aneh dan tak masuk diakal.

Penyebab kenapa kita memahami pemahan tentang kausalitas tersebut disebabkan kita memiliki semacam kepercayaan hewani (animal faith), kenapa dia menganalogikan dengan binatang? Jika kita memelihara anjing dan membiasakan membunyikan bel sebelum memberikan makanan pada anjing itu. Maka anjing itu akan terbiasa datang kepada majikannya untuk mendapatkan makanan, jika dia mendengar suara bel yang dibunyikan. Hal itu sama saja dengan manusia yang melihat suatu kejadian dan terbiasa melihat apa yang terjadi kejadian selanjutnya dan berkesimpulan bahwa ada hukum pasti dalam kehidupan ini.

Hal ini tentu saja menyebabkan masalah yang besar terutama dalam ilmu alam, dimana observasi dan kepastian hukum alam itu penting. Karena jika kita menganut faham skeptisisme radikal milik Hume, maka kita dapat membantah kedua hal tersebut, dan menyebabkan ilmu alam tak memiliki landasan lagi. Bisa kita bayangkan jika hukum alam itu tidak ada. maka seperti hukum gravitasi dengan mudah bisa dipatahkan dengan mudah, dan kepastian benda yang dilempar keatas dari bumi akan kembali turun kebumi bisa dibantah, dengan pernyataan, bisa saja batu yang dilempar keatas tidak turun kebumi tapi bisa saja melayang – layang di angkasa, dan itu sah menurut skeptisime Hume. Karena itulah hukum dalam ilmu pengetahuan terutama ilmu alam tak lagi bisa bersifat pasti dan hanya dapat bersifat probibilitas saja. Menurut pandangan saya Hume mengajukan kritik ini untuk menangkal induksi yang tidak hati-hati dari sistem induksi yang diajarkan Francis Bacon.


Immanuel Kant


Immanuel Kant lahir di Königsberg, 22 April 1724 dan meninggal di Königsberg, 12 Februari 1804 pada umur 79 tahun. Merupkan seorang filsuf Jerman yang filsafatnya disebut filsafat kritis dan membahas filsafat transendental. Karya Kant yang terpenting adalah Kritik der Reinen Vernunft, 1781. Dia merupakan pemikir yang menghasilkan pemikiran yang mendobrak jamannya dalam hal epistemology yang disebutnya dengan revolusi kopernikan selain itu dia juga mensistesakan empirisme dengan rasionalisme yang bersitegang dangan memberikan alternative ada dua buah dunia yaitu fenomena dan nomena, selain itu dia juga menjabarkan keputusan apa yang dapat dihasilkan manusia seperti analitis dan sintesa dari suatu kejadian dengan menggunakan kategori – kategori (model pemahaman manusia) dalam rasio manusia.


Revolusi Kopernikan


Sebelum kita memulai membahas tentang revolusi kopernikan milik Immanuel Kant, kita akan mulai membahas dengan keadaan filsafat semasa dia hidup. Pada masanya terdapat dua kutub dalam pembahasan epistemology, yang pertama adalah rasinonalisme yang mengatakan bahwa semua pengetahuan sudah pasti ada dirasio dan hanya dengan rasio kita bisa mengetahui yang ada diluar kita dan menganggap hal yang diluar kita yang diterima melalui indra merupakan hal yang tak pasti. Sedangkan yang kedua adalah empirisisme yang mengatakan bahwa pengetahuan itu sebenarnya berasal dari luar dan indralah alat yang dapat mengetahuinya, sedangkan rasio itu hanya sebagai alat pengolahan data dan tak memiliki konsep bawaan. Kedua pemikiran tersebut sebenarnya memiliki suatu kesamaan, yaitu dalam proses memperoleh pengetahuan mereka berpendapat bahwa sang subjeklah yang harus mengadaptasikan dirinya sendiri –baik itu penganut paham rasional maupun paham empirisme- dengan sang objek yang ingin diketahui. Maka Immanuel Kant merubah pemahaman itu secara radikal dengan menyatakan bahwa sang objeklah yang sebenarnya harus menyesuaikan keadaannya terhadap sang subjek. Hal ini lah yang disebut dengan revolusi kopernikan, seperti kopernikus yang merubah pemahaman bahwa planet bergerak secara geosentris menjadi heliosentris, maka kant merubah dari kita yang harus memahami sang objek untuk dapat mengetahuinya menjadi sang objeklah yang harus “menunjukan” dirinya secara tertentu agar kita dapat mengetahui objek tersebut.


Kita Selama Ini Melihat Dengan Kacamata


Setelah Kant membaca buku David Hume dia menyadari bahwa baik rasionalme maupun empirisme memiliki kelemahannya masing – masing. Jika rasionalisme menganggap apa yang diketahui rasio saja yang benar bagaimana rasio bisa meyakinkan bahwa hal yang dipikirakannya adalah sebuah kepastian? Bisa saja itu ilusi atau dogma semata, sedangkan empirisme juga mempunyai kelemahan, yaitu hal yang bisa diketahuinya masih berupa empirisme yang naïf, karena mengesampingkan kerja rasio, sebagai alat penalaran. Maka Immanuel Kant menggabungkan keduanya dalam pemahaman epistemologinya, untuk memahami konsep filsafat Immanuel Kant tentang epistemology kita bisa menggunakan contoh di bawah ini

Kita bayangkan diri kita memiliki penyakit rabun mata, dan kita tak bisa melihat segala hal secara jelas keadaan diluar kita. Lalu saya pergi ke toko kacamata dan berniat untuk membeli kacamata agar saya dapat melihat dengan jelas, sayangnya kacamata yang tersedia ternyata memiliki lapisan lensa yang berwarna biru. Karena hanya itu yang tersedia maka saya memakainya. Lalu apa yang terjadi dalam pengelihatan saya? Saya bisa melihat lebih jelas dibandingkan saat saya tidak menggunakan kacamata. Tetapi tak bisa dipungkiri bahwa yang saya lihat sekarang berwarna biru.

Sekarang saya analogikan kacamata dengan rasio dan keadaan mata saya yang rabun sebagai indra, maka ketika saya melihat suatu pengetahuan secara indrawi tentang suatu objek sebenarnya saya melihat dalam keadaan yang kabur, dan ketika menggunakan rasio saya untuk membantu indra saya dalam mengetahui objek tersebut keadaannya memang lebih jelas dibandingkan menggunakan indra saya saja, tetapi “kacamata” yang saya pakai masih memiliki keterbatasannya sendiri yaitu yang dilihat masih berupa “warna biru”, sehingga yang kita lihat masih berwarna biru. Karena itu mau tidak mau kita hanya bisa melihat gambaran atau representasi benda tersebut yang terlihat dalam “kacamata” kita, sedangkan keadaan benda sesungguhnya tanpa “kacamata” tidak bisa kita ketahui sama sekali. Dari penjelasan ini kita telah bisa membagi keadaan objek, objek bisa di bagi menjadi dua hal, yaitu objek yang bisa kita ketahui dan terlihat dengan “kacamata rasional” kita yaitu dunia fenomena, dengan objek yang berdiri sendiri yang kita tidak dapat ketahui, yaitu nomena atau Das Ding An Sich.


Apa Yang Dapat Kita Putuskan ?


Dalam hal memutuskan suatu objek pengetahuan Kant mengatakan bahwa ada dua keputusan yang bisa kita dapatkan yaitu keputusan analitis dan keputeusan sintesis. Keputusan analitis adalah keputusan yang didapatkan karena objek pengetahuan itu sendiri memiliki keterangan didalamnya, seperti contoh ini, Perawan adalah perempuan yang belum menikah, atau segitiga adalah bangun datar yang memiliki tiga sisi. Sedangkan sintesis adalah pengetahuan baru yang didapatkan karena menghasilkan sesuatu yang baru karena objeknya tidak menyimpan keterangan itu secara objektif, dengan kata lain seperti keterangan tambahan, seperti mahasiswi jurusan Jerman yang itu cantik, mobil itu bagus dan lain sebagainya. Lalu ada dua objek yang bisa diketahui berdasarkan keadaannya, yang pertama adalah secara A priori, yang bersifat rasional atau dapat dijawab oleh akal budi dan A posteriori, yang bersifat empiris atau dapat diketahui dari pengalaman. Ada empat kemungkin jenis keputusan yang bisa diambil, yaitu Analitis A priori, Sintesa A posteriori, Sintesa A priori dan Analitis A posteriori.

Contoh dari Analitis A priori dapat kita lihat dari hal yang bersifat definisi seperti “duda adalah lelaki yang pernah beristri”, disini sisi analitis bisa terlihat dengan pernyataan duda yang sudah past beristri sedangkan aspek A priorinya diketahui dengan kenyataan bahwa pasti secara rasional definisi dari duda itu tak terbatas dalam ruang dan waktu tertentu, dengan lain itu adalah hal yang niscaya dan dapat di maklumkan oleh akal. Yang kedua adalah sintesa A posteriori dimana pengetahuan itu hanya bisa didapatkan dari proses pengalaman seperti pernyataan “Kue ini enak”. Disini aspek sintesisnya dapat kita lihat, pernyataan bahwa enak dalam kue tersebut sebenarnya berdiri secara terpisah dari kue, karena keterangan enak bukan hanya “milik” kue tetapi bisa dikenakan pada hal lainnya. Sedangkan aspek aposteriori bisa dilihat dengan cara kita bisa mengatakan kue ini enak maka saya harus pernah memakan kue tersebut. Kemudian muncul sintesa dari keduanya, yang menjadi fokus Kant, yaitu sintesa a priori, di sebut sintesa karena dari sebuah pernyataan bisa menghasilkan keterangan baru dan hal ini bersifat a priori dengan kata lain niscaya dan tak perlu di uji dengan pengalaman. contoh termudah untuk menjelaskan ini adalah metematika.

“5+4=9” pernahkah kita sadari dalam sebenarnya dalam pernyataan ini terdapat unsure sintesa yang bersifat a priori. Apakah dalam “5 + 4” memiliki keterangan atau sebuah keterangan dari angka “9”. Jika kita jabarkan apakah “5” “+” “4” memiliki keterangan atau cikal bakal lahirnya angka “9”. Jawabannya adalah tidak tapi bagaimana kita tahu hasilnya “9”, karena itu pernyataan tersebut bersifat sintesa, sebab “5+4” mampu menghasilkan keterangan angka Sembilan. Selain itu hal tersebut sudah pasti bersifat A Priori dengan kata lain niscaya dan tak usah dicari pengalaman untuk membuktikannya. Ketiga keputusan itulah yang mungkin terjadi dalam proses pengetahuan manusia

Kemungkinan terakhir, yaitu Analitis A Posteriori , menurut Kant dianggap tidak mungkin. Sebab hal yang ganjil jika kita mencoba mengkaji sesuatu yang keterangannya sendiri bersifat empiris dan sifatnya tidak tetap dan subjektiv. Disini kita bisa lihat perkembangan pemikiran jamannya belum mampu menemukan hal empiris yang bisa didefiniskan secara definitive, dikemudian hari pendapat kant terbantahkan dengan pernyataan tentang unsure – unsure dalam kimia, seperti pernyataan “air adalah H2O”. Di sini kita bisa melihat, bahwa hal yang definitive (sebagai cirri dari analitik) dapat juga berasal dari pengetahuan empiris (yang bersifat A Posteriori).


“Kacamata” Itu Terbuat Dari Apa Saja?


Setelah kita mengetahui bahwa yang kita lihat dari suatu objek adalah hasil dari “saringan” rasio kita, dan segala keputusan itu sebenarnya disebabkan dari kemampuan rasio kita. Maka pertanyaan kita selanjutnya apa sajakah criteria atau kategori yang dimiliki rasio kita sehingga kita mengetahui sesuatu? Kant menjawab ada 4 bentuk kesadaran yang masing - masing bisa dicacah menjadi 12 kategori,kategori tersebut adalah :

Kuantitas Kualitas Relasi Modalitas
Kesatuan / Unitas Realitas Substansi Kemungkinan-kemustahilan
Kemajemukan / Pluralitas Negasi Kausalitas Eksistensi-Non-eksistensi
Keseluruhan / Totalitas Limitasi Komunitas Keniscayaan-Kotingensi

Kuantitas adalah segala hal yang berhubungan dengan nominal objek, kualitas adalah segala hal yang berhubungan keadaan objek, relasi adalah hubungan suatu objek dengan objek lainnya, modalitas adalah sifat keberadaan suatu objek. Dikatakan oleh Kant, jika kita memikirkan suatu hal kita pasti kita akan menggunakan kategori tersebut. Banyak hal yang kita contohkan dalam penggunaan kategori ini. Seperti yang akan saya jelaskan dibawah ini.

Dalam saya akan mengambil contoh dengan menggunakan dasar relasi dan modalitas, saya melihat dan merasakan bahwa pada suhu ruangan normal, air yang dipanaskan hingga suhu100◦c telah mendidih. Disini, secara relasi saya akan menggunakan dasar kausalitas, saya mengakui dan sadar kenapa air menjadi mendidih karena terkena api di suhu 100◦c, jika kita menggunakan modalitas, saya akan menggunakan prinsip keniscayaan – kontingensi, dan saya akan memilih niscaya, karena selama suhu ruangan normal, maka air pasti dan selalu akan memdidih pada suhu 100◦c.

1 komentar:

  1. tulisannya bagus,,

    tapi lebih bagus kalau ditambah sumbernya

    BalasHapus