Rangkuman dan Komentar
Consequence of Pragmatisme,
Sejarah filsafat membuat dua jalur utama dalam perkembangannya, yang bersifat idea, logos, objektif, dan transedental, yang terwakilkan oleh plato dengan jarinya yang menunjuk keatas, serta kedua bersifat material, indrawi dan empiristik, yang diwakilkan dengan aristotales dengan jarinya yang menunjuk kebawah. Perjalan filsafat itu sendiri selalu bermuara pada dua danau besar yang masing masing saling mengekslusifkan dirinya sendiri menjadi dua muara tersebut, namun begitulah pola pikir yang selama ini terbentuk. Kedua pemikiran tersebut telah menjadi fondasi dasar dalam usahanya mencari apa itu “Truth”, walaupun pada akhirnya kedua hal tersebut berhenti pada pemikiran yang dikatakan abstrak dan tidak bersifat langsung terjun pada dunia praktis. Kedua pola pikir itu pada akhirnya berkembang dengan sebutan platonisme dan positivisme. Keduanya memaksa dirinya sendiri untuk menjawab semua pertanyaan dengan sebuah jawaban yang mereka klaim sendiri menjadi sebuah jawaban umum dan bersifat pasti. Seperti kita ketahui bahwa “Truth” diartikan oleh para platonis menjadi hal yang bersifat ideal, transendental, bersifat pasti dan dijamin, bisa kita dapatkan selama kita mengejarnya. Oleh karenanya hal yang bersifat relatif, material, dan subjektif terpaksa dianggap menjadi hal yang mengganggu pencapaian “Truth” tersebut. Sedangkan empirisis mengganti keterpahaman kita tentang “Truth” menjadi hal bersifat indrawi dan material, serta pada akhirnya seperti pada positivisme membuang sama sekali hal yang bersifat metafisik dan transendental, sehingga menyebabkan hal hal yang di rasakan manusia yang tak mampu dikategorikan oleh para positivistik menjadi hal yang berada diluar ranahnya dan dianggap hal yang remeh.
Pragmatis masuk menjadi sebuah metode berpikir baru, dimana filsafat yang pada umumnya membahas hal yang rumit tentang, “Truth”, “Goodness” dan lain sebagainya menjadi masalah “Utility” atau kegunaan, serta secara epistemologis merubah pertanyaan” apakah landasan yang membuat anda meyakini bahwa hal tersebut merupakan hal yang benar?” menjadi “Apakah kebenaran tersebut memiliki kegunaan?”. Pola pikir tersebut dibuat untuk menyerang platonisme yang bercirikhas transendental, serta menyerang positivisme dengan klaim oleh mereka dengan pendapatnya bahwa korespondensi merupakan satu - satunya dasar kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan. Pragmatisme pada mulanya dianggap sebagai suatu bentuk positivisme karena dianggap membuang pemikiran transcendental dan idea karena tidak praktis dalam kehidupan. Namun pragmatisme menyerang juga positivisme karena epistemologisnya yang bersifat korespondensi tersebut.
Pada masa ini pragmatisme di anggap menjadi pemikiran filsafat yang telah ketinggalan jaman. Sebenarnnya hal tersebut dikarenakan pragmatisme sendiri merupakan ranah minoritas, hal yang berada disekitar kita mampu dibahas secara pragmatisme terutama linguistik, pragmatis masih berpengaruh hingga sekarang. Sejarah filsafat sendiri menuliskan bahwa hal - hal yang berbau platonic serta positivism murni itu telah diragukan kembali. Landasan sederhana yang diberikan oleh aliran pragmatism adalah “Truth” tidak lebih dari masalah “Belief”. Hal tersebut dilandasi karena semua pernyataan tentang “Truth”, “Good”, pengetahuan, norma, etika dan lain sebagainya, secara praktis tidak dilandasi dari hal yang logis dan transcendental melainkan masalah belief.
Jika kita memandang dalam sudut pandang positivisme kita bisa menganggap bahwa pragmatisme merusak sistem yang sudah dibentuk. Di mana segala hal yang telah diverifikasi merupakan suatu “Truth.” Pragmatis merusak dasar korespondensi, yang merupakan cara positivisme menjelaskan dunia dan mempercayai adanya truth yang sejati, dengan memaparkan bahwa, korespondensi masih memiliki kemungkinan salah, dengan adanya teori falsifikasi, serta statemen “kebenaran adalah bagaimana kita memandangnya dan mempercayainya” merupakan suatu kebenaran karena kita memiliki kepercayaan atas statement tersebut dan statemen korespondensi dimana ”kebenaran berada diluar sana dan harus kita ketahui dan harus kita namakan” menjadi salah dikarenakan sejarah sendiri membuktikan bahwa kita tidak mampu mendefinisikan segala sesuatu secara mutlak. Bahkan positivism yang mengklaim dirinya sendiri membuang metafisika, telah membangun kepercayaan metafisiknya sendiri dengan usahanya untuk mendefinisikan segala sesuatu dengan hal hal konkret dan mempercayaai bahwa ada kebenaran mutlak serta mampu di mengerti semua manusia disitulah positivism telah bermetamorfosis menjadi suatu keyakinan intuitif.
Selalu ada hal yang bersifat teleologis yang diuasahakan oleh para positivisme dengan kenyataan kenyataan yang sederhana, seperti mengapa kita harus mendefinisikan sesuatu. Hal tersebut dianggap oleh para pragmatis merupakan suatu hal yang mustahil. Sebab hal yang dianggap baku itu, seperti bahasa sebenarnnya dibentuk dari daerahnya yang memiliki perbedaan dengan daerah lainya, itu pulalah yang membangun pragmatism merupakan suatu hal yang masih dapat dikatakan masih memiliki tempat pada pemikiran era ini, atau malahan merupakan segala jaman. Sebab pragmatisme tidak memperdulikan apakah “Truth” itu mutlak dan harus diterapkan di segala spasiotemporality, serta secara epistemologis, pragmatisme menyadari bahwa truth itu sendiri bersifat sementara dan mengizinkan adanya sebuah perbaikan tentang kepahaman manusia terhadap “Truth” tersebut yang dimana tiap orang memiliki pahamnya sendiri yang berbeda dan menyebabkan setiap manusia bisa saling berkomunikasi serta memahami dan menghargai terhadap sesamanya.
Pragmatisme itu sendiri mau tidak mau bersentuhan dengan budaya, sebab budaya adalah pembentuk pola pikir dan “Belief” manusia. Pragmatisme itu sendiri memiliki keyakinan bahwa tidak mungkin ada satu hal yang akan dipahami oleh seluruh umat manusia secara sama namun, berbeda dengan kebanyakan pemikiran filsafat yang mengijinkan ataupun memaksakan sesuatu harus dipandang setiap orang secara serupa dengan menggunakan landasannya tertentu. Pragmatis lagi - lagi ingin menghindari adanya suatu kebenaran mutlak yang dipaksakan oleh suatu hal, tetapi lebih ingin menyadari bahwa kehidupan merupakan hal yang bersifat setiap momennya berbeda dan memiliki konsekuensi bahwa jalan keluarnya berbeda.
Komentar:
Ada sebuah kenyataan menarik yang masih berhubungan dengan landasan berfikir pragmatisme. Orang Eskimo memiliki 7 macam warna putih dalam budayanya. kenyataan sederhana itu merupakan suatu info yang bisa menampar para pemikir platonian serta positivisme, dimana usahanya tentang mencari suatu definisi sederhana seperti putih secara garis besar dan umum telah gagal, dan hanya landasan berfikir pragmatisme yang mengijinkan dan memaklumi adanya perbedaan dalam konsep kebenaran dan tidak memaksakan adanya suatu kebenaran mutlak, selama secara praktis hal tersebut berdampak langsung dan memiliki kegunaan. Selain itu pragmatisme juga mengijinkan manusia untuk memahami bahwa kebudayaan merupakan hal yang juga terintegrasi dalam kacamata yang dipakai manusia untuk berpikir, berbeda dengan dua aliran filsafat mainstream baik itu platonisme maupun positivisme, yang disadari ataupun tidak, menganggap bahwa pola pikir manusia bersifat otonom, dan mandiri.