Karl Jasper
Filsafat eksistensialisme
yang diawali dengan murni berfokus pada diri sendiri, mulai berubah dengan
memasukan the other dengan yang lain.
Kesadaran adanya the other menjadikan
eksistensi disadari menjadi ada. Karl Jasper membuat formula dimana eksistensi
bisa didapatkan tidak dengan sesuatu yang tiba – tiba, seperti pada martin
buber dengan konsep grace, tetapi
dengan disadari dan mampu dipikirkan.
Karl jasper
menggunakan pertanyaan filosofis Immanuel Kant tentang “What can I know? What ought
I do? For what may I hope? What is man?” empat pertanyaan tersebut pada akhirnya berujung dengan
adanya suatu transenden dan
pertanyaan “What is transcendence?”. Landasan
pertanyaan ini dimodifikasi oleh Karl Jasper untuk mencari landasan filosofis
bagaimana eksistensi dapat diraih manusia. Dalam pembahasan eksistensialisme
ini akan dibahas tentang Reason,
Communication, existenz, dan encompassing,
untuk menjelaskan bagaimana konsep milik
Karl Jasper tersebut.
Reason pada Immanuel Kant yang hanya bersifat
terbatas pada fenomena. Disini terlihat adanya keterbatasan akan kita ketahui.
Walaupun dalam tulisan ini mengatakan bahwa science
adalah salah satu alat mengetahui bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu, namun
science sendiri akhirnya membatasi reason manusia sebagai hal mekanistik. Karl
jasper meyakini reason yang
dihasilkan pada science akhirnya
harus disadari oleh manusia, bukan sebagai alat yang mendeterminasi kehidupan
manusia. Kesadaran manusia tentang eksistensi kehidupanya tak bisa dijelaskan
dengan menggunakan reasoning yang
bersifat science tersebut, karena
masih ada ketidakpuasan dalam penjelasan - penjelasan yang bersifat science tersebut. Pada akhirnya
dibutuhkan filsafat untuk suatu reasoning
tersebut yang mengijinkan adanya spekulasi.
Communication merupakan suatu
kata kunci dalam filsafat ini. Proses reasoning
yang selama ini dianggap bisa mengetahui semua, melupakan satu hal utama, yaitu
kita tak bisa mengetahui apapun tanpa ada the
other. Kesendirian dianggap oleh Karl Jasper tidak bisa memberikan
kemampuan manusia untuk mendapatkan kejelasan eksistensi dirinya sendiri. Being yang otentik tidak akan bisa
terbongkar, karena apa yang diketahui oleh manusia hanya mencukupi dirinya
sendiri, kita tak bisa mendapatkan hal yang baru dan terutama tak bisa
menggambarkan being milik kita
sendiri. Kita tak mampu menjelaskan diri kita sendiri dengan lebih luas,
dikarenakan kita tidak memiliki cermin untuk merefleksikannya. Untuk mengatasi
ketidaktahuan diri kita tentang being
diri sendiri, dibutuhkan adanya komunikasi dengan being yang lainnya. Seperti yang ditulis oleh Karl Jasper :
“The
individual cannot become human by himself. Self being is only real in
communication with another self being. Alone, I sink into gloomy isolation only
in community with others can I be revealed in the act of mutual discovery.”
Existenz merupakan
kelanjutan dari adanya hal tersebut, dimana manusia dianggap potensi yang mampu
mengaktualisasikan being miliknya
secara otentik dengan kemungkinan yang tidak terbatas. Pintu yang harus dilalui
oleh existenz untuk memperoleh keotentikannya adalah dengan cara melakukan
pilihan. Pilihan tersebut haruslah bersifat sadar, bukan sesuatu yang bersifat
tiba tiba dan tidak direncanakan. Pilihan tersebut haruslah ada dengan syarat
adanya komunikasi dengan the other. The other dalam tahap ini mengijinkan
sang subjek untuk mendapatkan nilai dan bayangan tentang subjek itu sendiri.
Jika suatu pilihan terjadi tanpa adanya the
other, maka tidak mungkin ada penilaian berdasarkan konsekuensi sebelumnya.
The encompassing merupakan suatu
truth yang dianggap bukan hal yang
bersifat objektif dan determinate dan
tidak bersifat partikular. Sesuai dengan yang dikatakan Karl Jasper :
“We call
the source of this truth, the Encompassing, to distinguish it from the
objective, the determinate and particular forms in which beings confront us.
This concept is by no means familiar and by no means self evident. We may
clarify the Encompassing philosophically, but we cannot know it objectively.”
kesadaran
tentang the Encompassing yang
disebabkan ketidakmungkinan kita mengetahui suatu hal melalui seluruh horizon,
pasti kita mengetahuinya secara terbatas. Kesadaran akan keterbatasan itulah
yang mengijinkan dan menjadi motivasi kita untuk berusaha untuk mengetahui
apakah being itu sebenarnya. The Encompassing terjadi ketika existenz merasakan dan mencapai being in itself miliknya sendiri. Hal
tersebut berujung pada kemampuan suatu relasi saat berhubungan dengan sesuatu
yang sifatnya transcendence. The Encompassing merupakan suatu
kegiatan yang sifatnya harus disadari dan dilakukan secara praktik dengan
komunikasi.
Transcendence
merupakan hal akhir dari semua tujuan pencarian filosofis manusia tentang
eksistensinya. Transcendence bukanlah suatu hal yang bersifat determinate dan
mampu diketahui dengan metode yang dibahas awal, yaitu dengan science, dan hal tersebut ada dan
berharga sebagai nilai utama pemuncul eksistensi manusia.