Page

Total Tayangan Halaman

Senin, 07 Juli 2014

Karl Jasper

Karl Jasper

Filsafat eksistensialisme yang diawali dengan murni berfokus pada diri sendiri, mulai berubah dengan memasukan the other dengan yang lain. Kesadaran adanya the other menjadikan eksistensi disadari menjadi ada. Karl Jasper membuat formula dimana eksistensi bisa didapatkan tidak dengan sesuatu yang tiba – tiba, seperti pada martin buber dengan konsep grace, tetapi dengan disadari dan mampu dipikirkan.

Karl jasper menggunakan pertanyaan filosofis Immanuel Kant tentang “What can I know? What ought I do? For what may I hope? What is man?” empat pertanyaan tersebut pada akhirnya berujung dengan adanya suatu transenden dan pertanyaan “What is transcendence?”. Landasan pertanyaan ini dimodifikasi oleh Karl Jasper untuk mencari landasan filosofis bagaimana eksistensi dapat diraih manusia. Dalam pembahasan eksistensialisme ini akan dibahas tentang Reason, Communication, existenz, dan encompassing, untuk menjelaskan bagaimana  konsep milik Karl Jasper tersebut.

Reason pada Immanuel Kant yang hanya bersifat terbatas pada fenomena. Disini terlihat adanya keterbatasan akan kita ketahui. Walaupun dalam tulisan ini mengatakan bahwa science adalah salah satu alat mengetahui bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu, namun science sendiri akhirnya membatasi reason manusia sebagai hal mekanistik. Karl jasper meyakini reason yang dihasilkan pada science akhirnya harus disadari oleh manusia, bukan sebagai alat yang mendeterminasi kehidupan manusia. Kesadaran manusia tentang eksistensi kehidupanya tak bisa dijelaskan dengan menggunakan reasoning yang bersifat science tersebut, karena masih ada ketidakpuasan dalam penjelasan - penjelasan yang bersifat science tersebut. Pada akhirnya dibutuhkan filsafat untuk suatu reasoning tersebut yang mengijinkan adanya spekulasi.

Communication merupakan suatu kata kunci dalam filsafat ini. Proses reasoning yang selama ini dianggap bisa mengetahui semua, melupakan satu hal utama, yaitu kita tak bisa mengetahui apapun tanpa ada the other. Kesendirian dianggap oleh Karl Jasper tidak bisa memberikan kemampuan manusia untuk mendapatkan kejelasan eksistensi dirinya sendiri. Being yang otentik tidak akan bisa terbongkar, karena apa yang diketahui oleh manusia hanya mencukupi dirinya sendiri, kita tak bisa mendapatkan hal yang baru dan terutama tak bisa menggambarkan being milik kita sendiri. Kita tak mampu menjelaskan diri kita sendiri dengan lebih luas, dikarenakan kita tidak memiliki cermin untuk merefleksikannya. Untuk mengatasi ketidaktahuan diri kita tentang being diri sendiri, dibutuhkan adanya komunikasi dengan being yang lainnya. Seperti yang ditulis oleh Karl Jasper :

“The individual cannot become human by himself. Self being is only real in communication with another self being. Alone, I sink into gloomy isolation only in community with others can I be revealed in the act of mutual discovery.”

Existenz merupakan kelanjutan dari adanya hal tersebut, dimana manusia dianggap potensi yang mampu mengaktualisasikan being miliknya secara otentik dengan kemungkinan yang tidak terbatas. Pintu yang harus dilalui oleh existenz untuk memperoleh keotentikannya adalah dengan cara melakukan pilihan. Pilihan tersebut haruslah bersifat sadar, bukan sesuatu yang bersifat tiba tiba dan tidak direncanakan. Pilihan tersebut haruslah ada dengan syarat adanya komunikasi dengan the other. The other dalam tahap ini mengijinkan sang subjek untuk mendapatkan nilai dan bayangan tentang subjek itu sendiri. Jika suatu pilihan terjadi tanpa adanya the other, maka tidak mungkin ada penilaian berdasarkan konsekuensi sebelumnya.

The encompassing merupakan suatu truth yang dianggap bukan hal yang bersifat objektif dan determinate dan tidak bersifat partikular. Sesuai dengan yang dikatakan Karl Jasper :
“We call the source of this truth, the Encompassing, to distinguish it from the objective, the determinate and particular forms in which beings confront us. This concept is by no means familiar and by no means self evident. We may clarify the Encompassing philosophically, but we cannot know it objectively.”
kesadaran tentang the Encompassing yang disebabkan ketidakmungkinan kita mengetahui suatu hal melalui seluruh horizon, pasti kita mengetahuinya secara terbatas. Kesadaran akan keterbatasan itulah yang mengijinkan dan menjadi motivasi kita untuk berusaha untuk mengetahui apakah being itu sebenarnya. The Encompassing terjadi ketika existenz merasakan dan mencapai being in itself miliknya sendiri. Hal tersebut berujung pada kemampuan suatu relasi saat berhubungan dengan sesuatu yang sifatnya transcendence. The Encompassing merupakan suatu kegiatan yang sifatnya harus disadari dan dilakukan secara praktik dengan komunikasi.

Transcendence merupakan hal akhir dari semua tujuan pencarian filosofis manusia tentang eksistensinya. Transcendence bukanlah suatu hal yang bersifat determinate dan mampu diketahui dengan metode yang dibahas awal, yaitu dengan science, dan hal tersebut ada dan berharga sebagai nilai utama pemuncul eksistensi manusia.